| Atmaku merupakan badui yang melanglang bersama ratusan ribu baskara
| Merapah musim bersulih warna antara rinai dan gersang dalam selaksa masa
| Pengembaraan ribuan tahun, ratusan windu, di atas sejumput buana yang harus direksa
| Digiring binar chandra begitu mendekap erat dera demi daya kepada Sang Maha 'Pereka Cipta'
Aku masih sering memimpikan, di masa lampau dalam hidupku, lebih dari 1500 tahun yang lalu. Di mana sebuah lidi tertancapkan di atas tanah di sebuah desa yang dulunya berada di daerah lembah. Desa itu jarang mendapat sinar mentari karena tegapnya gunung Wilindhana yang menjulang tinggi, menyebabkan desa yang berada di lembah itu hanya mendapat sinar baskara pada tengah hari saja. Dalam mimpiku itu, berdiri seorang anak mencabut lidi emas yang berkilau, dengan perasaan penuh dendam. Alam menyambutnya, dari lubang kecil bekas lidi yang tertancap itu, air menyembur keluar, semakin lama lubang itu semakin membesar. Begitu juga air yang keluar pun semakin deras dan derasnya, hingga desa itu tenggelam. Dalam mimpiku itu, ratap rintih mengharapkan keselamatan adalah sia-sia sudah.
Aku terhenyak, mendapat mimpi itu lagi. Hingga saat terbangun, terasa begitu berat membuka mata, bulan yang terlihat di atasku telah berbentuk sabit. Aku kira lagi jumlah hisab sang candra dengan jari-jariku yang berkuku tajam ini, ternyata sudah saatnya bagiku turun ke lembah. Tatapanku yang tajam dan bercahaya memandangi iras pada rataan tirta di bawah sinar candra. Diri ini besar, tegap dengan kilatan berwarna emas dari perisai yang berjajar menghiasai sekujur punggung, dengusan ini mengeluarkan cahaya, binar merah memancar dari mata ini menyorot tajam, kumisku yang lebat dan meruncing memanjang hingga menyamai panjang kepalaku. Rupawan bukan? Tidak, tidak, lebih tepatnya aku sangat anggun.
Candra berada dalam hari ke 27, aku turun menyusuri hamparan ambal rumput hingga mengendapkan diri pada aliran sungai menuju ke bengawan yang lebih besar lagi. Setelah mengisi kembali 'haki' diri dengan bertapa yang telah menjadi ritualku selama berabad-abad. Berabad-abad? Iya aku sudah hidup selama lebih dari 1,500 tahun. Ya sekitar itu usiaku, sudah tua sekali, bukan? Tidak aku tidak menua selama masa yang aku lewati itu. Usiaku masih terlihat antara dua puluh lima hingga tiga puluh tahun jika disamakan dengan rentang usia insan pada umumnya.
Apa aku ini? Apa aku penghisap darah insan? Ataukah keturunan dewa? Bukan, aku insan biasa, juga bukan insan setengah dewa. Hanya saja aku terkadang jika lesap dan mengaram diri ke dalam air, sosokku berganti menjadi naga. Mungkin kalian bertanya, silumankah? Jangan pernah sebut aku seperti itu, aku sangat tidak suka! Itu menyentak benakku! Yang aku tahu, aku hanyalah anak dari dua insan biasa, yang entah oleh Tuhan Sang Maha Pencipta wujudku dilahirkan dalam keadaan serupa dengan ular bersar dengan dua tanduk yang tumbuh di kening dan masih terlihat hingga sekarang. Tapi hanya beberapa orang tertentu saja yang bisa melihatnya, tidak setiap insan bisa melihat dengan jelas, mungkin tidak juga dengan kamu.
Aku baru saja tiba dari pertapaanku di lereng dan jalan pulang paling aman adalah di kala malam hari menyusuri aliran bengawan agar bisa menyamarkan tubuh besarku ini di antara masyarakat sekitar di mana aku tinggal. Akses yang aku gunakan adalah kolam yang terhubung langsung dengan telaga yang berada di kaki gunung tempat yang harus aku naungi. Telaga itu tempat beberapa sungai-sungai gunung bermuara. Telaga itu bernama Telaga Sembilu.
Aku mengeluarkan kepalaku dari dalam air, wujudku yang tadinya muncul dengan wujud kepala berupa naga, berangsur-angsur beralih menjadi wujud pria muda dan tanduk nagaku pun semakin tak terlihat lagi. Wujud tubuhku pun ikut beralih seiring keluarnya tubuhku dari dalam air hingga kandas sempurna di atas lantai tempat awal aku merunut ke dalam rumah besarku.
"Selamat datang Tuan Muda, sugeng rawuh! Kami sudah menyiapkan baju hangat di kamar untuk Anda!" sambut seorang asisten yang aku tunjuk turun temurun dari keturunan Nenek Mesha, Kakak dari Nenek Nalini. Siapa kedua nenek ini, nanti kalian akan tahu.
Aku mengangguk tanpa suara. Aku tidak mengabaikannya. Dengan satu gerakan tangan aku bisa melayangkan piyama mandi yang telah disiapkan asistenku tersebut dan membungkus tubuhku dengan satu jentikan jari.
"Apakah pertapaan Anda berjalan baik, Tuan Muda?" tanya asistenku lagi, sebut saja ia dengan nama Aksa. Ia merupakan keturuan tingkat ke-150 dari Nenek Mesha.
"Telaga mulai beraroma sembilu, ketatkan penjagaan!" perintahku lirih kepada Aksa yang sudah mengerti harus mengerjakan apa jika aku sudah menitahkan demikian.
Aku paling tidak suka jika telagaku berubah aroma, tepatnya mengeluarkan aroma kebusukan. Aku menjaganya selama ini, agar airnya tetap jernih. Tidak tercemar perbuatan kotor manusia. Sehingga jangan sampai mengubah aromanya, dan tidak sampai meracuni semua yang menggunakan air telaga untuk kehidupan mereka.
"Kami akan segera memperketat pengawasan di telaga, Tuan! Akan saya tambahkan jumlah para pengawas yang berkeliling telaga! Kami akan segera melaporkan kepada Tuan Muda semua kejanggalan kejanggalan yang mungkin kami temukan selama mengitari telaga dan kaki gunung."
"Kabarkan kepadaku berapa jumlah kedatangan orang baru di lingkungan kaki gunung! Semua gerak-gerik yang mencurigakan harus segera diantisipasi!" amaran ini bukan hanya titah biasa. Aksa mengerti jika ada keadaan yang tidak diinginkan sedang terjadi hingga mempengaruhi kondisi riak dan bau khas air telaga yang aku maksudkan itu.
"Sendiko dawuh, Tuan Muda! Semua akan siap di meja Anda pagi ini!" balas Aksa kemudian menarik diri untuk melaksanakan titahku.
Apakah aku paduka raja? Bukan, aku memang bangsawan, juga dari keturunan ningrat. Ayahku seorang pengasuh padepokan yang sangat termasyhur di masanya, sedangkan ibuku gadis desa tercantik yang merupakan murid terbaik dari padepokan yang diasuh ayahku itu. Jadi aku bukan anak Raja.
"Danis!" seruku memanggil seorang penjaga yang kini sedang tertidur di depan pintu ruang penyimpanan, "Jika berani tidak mendengarkan panggilanku, upahmu bulan depan akan aku pangkas lima puluh persen! PAHAM?" aku sudah tidak sabaran lagi.
"Paham, paham, Tuan Muda!" Danis bangun dengan tergopoh-gopoh, "Hah, Tuan Muda Bira sudah kembali?"
"Ini sudah datum ke berapa, haeh? Kamu ini tidur melulu kerjaannya! Sudah kamu bersihkan semua pusakaku?"
"Sudah Tuan Muda! Semua sudah berbau wangi!"
"Siapkan untukku tombak nomer dua puluh satu!"
"Hah, nomer dua puluh satu? Anda mau berburu, Tuan Muda? Berburu apa? Kijang, celeng, beruang, atau kancil kah?"
"Sudah ndak usah banyak bicara lagi! Aku sudah ndak tahan lagi dengan aromanya yang membuat aku alergi!"
"Hah alergi? Wah kalau Tuan Muda sudah alergi berarti itu ada kaitannya dengan ... "
"Mau bilang apa, kamu?" aku mulai mendesak dan naik darah.
"Hehe, ndak, ndak jadi deh Tuan Muda! Saya takut nanti kena cabik, Heeerrgghhh!" Danis melakukan isyarat tangan dengan mengiriskan jari ke lehernya lalu berlagak mati.
"Sembarangan!" semburku mendenguskan kepulan asap putih ke depan wajahnya.
"Nomer dua puluh satu sudah saya bawa ke kaki gunung dengan air dari lima aliran sungai kecil dari gunung Wilindhana ini, Tuan Muda!"
"Nomer dua puluh satu tidak berubah warna, Danis! Coba yang lain?"
Aku melihat Danis menjadi bingung, "Nyuwun sewu Tuan Muda, sebenarnya senjata mana yang sedang Anda cari?"
Tapi aku sedang tidak mencari senjata, melainkan sungai mana yang telah mencemari telagaku, bisa aku lihat dari warna ujung pusakaku yang berubah, "Cari yang ujungnya berkarat, Danis! Aku ingin tahu yang mana!"
"Sebenarnya Anda akan berburu atau mencari sumber baru untuk mencuci pusaka, Tuan Muda? Sekarang juga masih musim dingin, belum musim buaya. Sekarang masih musim unggas menetas dan kelinci-kelinci anakan keluar dari sarangnya."
"Apa aku tanya itu semua Danis?" aku tidak terlalu suka dengan sikap anak ini yang banyak bicara, "Tak pelintir lidahmu sedikit aja sampai besok gak bisa makan kamu, mau?"
"Hehehe, ndak Tuan Muda! Mana saya berani?" ringisnya.
Ku pusatkan konsentrasiku memilih satu persatu ujung pusaka yang aku punyai, hingga mataku terkesiap pada sebuah ujung pusaka yang berubah menjadi hijau tua, "Sudah aku temukan, Danis!"
"Wah, Tuan Muda mengapa yang ini tumbuh karat? Saya malah baru tahu. Padahal baru saja tiga hari yang lalu bahkan aku cuci di air terjun Estubalu."
"Danis, panggil Yoda Lembing untuk menemuiku!"
"Baik Tuan Muda!" Danis bergegas mencari pria dengan julukan Yoda Lembing itu.
.
.
.
.
Alhamdulillah sudah up judul baru saya ini
author tunggu tanggapan kalian mengenai cerita ini ya
maaf masih banyak typo bertebaran di mana-mana