Dua | Nenek Nalini

1014 Words
    "Nenek, cukup Nek! Apa yang Nenek lakukan pada lesung ini?"        "Aku akan menghancurkannya! Gara-gara lesung ini membuat aku selamat dari banjir hari itu! Tidak disangka aku malah harus hidup panjang bersamamu!" keluh amuk nenek Nalini memukul-mukul lesung kenangan kami berdua.        "Tapi Nek, itu kan sudah kehendak Yang Maha Kuasa kita harus hidup sepanjang ini!"      "Tidak! Ini semua gara-gara kamu! Jika hari itu kamu tidak menyuruhku menaki lesung ini, maka saat itu aku bisa tenggelam bersama air banjir dengan orang satu desa, mestinya kamu membiarkan saja aku habis bersama mereka!"        "Nenek, sudahlah jangan seperti anak kecil! Kasihan juga suamimu terus-terusan bersembunyi di belakang partisi meratapi nasibnya harus beristrikan Nenek yang selalu menyesali masa lalu bersamaku!"        "Apa? Kamu bilang dia meratap?" nada amarah nenek Nalini Kamu pikir dia menyesal sudah menikahi aku?" nenek Nalini berganti memukuliku dengan antan besar di tangannya.          Itulah nenekku, bukan nenek kandungku, tapi takdir yang mempertemukan kami hingga kami bisa bersama sampai sekarang. Sudah ribuan tahun nenek Nalini mengiringi perjalanan hidupku. Ada beberapa kakek yang ia nikahi hingga akhir khayat, sedangkan ia sendiri masih hidup panjang hingga sekarang.          "Tuan Muda, Yoda Lembing sudah siap menemui Anda!" seru Aksa yang masuk ke ruang tengah dan beranjak melerai nenek Nalini yang terus saja memukulkan antannya padaku.         "Aksa jangan ikut campur, ini urusanku dengan Bhira, aku harus memberinya pelajaran agar dia menghormati aku dan juga suamiku! Sini kamu Bhira!" nenek Nalini terus saja mengejarku tanpa jera.         "Tolong, Nek! Hentikan, kasihan Tuan Muda!" Aksa melerai sekuat tenaga.         "Apanya yang kasihan, yang harusnya dikasihani itu aku!" tukas nenek Nalini sekuat tenaga memegang antannya dengan erat agar tidak jatuh ke tangan Aksa.          "Nenek sudahi semua ini!" Yoda Lembing melesat masuk dalam perebutan antan ini.          "Yoda, jangan!" tidak aku sangka Yoda Lembing mengeluarkan tenaganya untuk menyelesaikan semua ini.        Akibatnya nenek Nalini pun terlempar keluar kerumunan perebutan antan. Hap! untung saja aku bisa menangkapnya dengan baik sehingga beliau tidak lantas runtuh menghantam lantai marmer.        "Yoda! Kamu hati-hati dong! Jika Nenek sampai terluka bagaimana? Itu tadi sangat berbahaya buat Nenek!" aku naik pitam dan menyudutkan Yoda Lembing. Ia pun hanya menunduk penuh sesal memandang kepada nenek Nalini.        "Sungguh maafkan kelakuan saya, Tuan Muda!" Yoda Lembing membungkuk kepadaku.        "Kakek, tolong bawa Nenek istirahat di kamarnya!" pintaku kepada kakek Brata yang baru berani mendekat ketika nenek Nalini sudah mengaduh kesakitan.        "Mari kita ke kamar, Ma! Sudah aku bilang jangan lagi marah-marah! Tidak baik untuk kesehatanmu!" tutur kakek Brata penuh kasih kepada sang istri.        Setelah semuanya sepi, perhatianku kembali terpusat kepada kehadiran Yoda Lembing, "Yoda, aku memanggilmu karena aku ingin mengajakmu keluar!"        Yoda Lembing, pria bertubuh gagah dengan punggung lebar dan kuat yang merupakan perwira dalam pasukan tombakku. Ia biasa menemaniku berkeliling di pegunungan Wilindaru guna melihat kehidupan masyarakat dan mengatasi kesalahan yang sewaktu-waktu kami temui di sepanjang perjalanan.        "Bersedia, Tuan Muda! Kapanpun Anda menghendaki!" balas Yoda Lembing menurutiku.        "Siapkan semua peralatanku besok pagi! Pilihkan aku mobil terbaik! Sekalian aku ingin mengunjungi peternakan kudaku!"        "Sekalian ada yang mengirim surat siang ini, Tuan Muda!"        "Siapa, Aksa?"        "Seorang yang sangat merindukan Anda selama ini aku rasa!"          Mencurigakan, "Jangan main-main denganku, Aksa!"         "Tidak, tidak! Maksud saya, dia yang selama ini selalu meminta bertemu dengan Anda di setiap bulannya, Anda tahu siapa yang aku maksd bukan?"          "Aaahhh, penjual obat itu lagi!"         "Benar sekali, Tuan Muda! Rupanya Nenek Nalini sudah mengundangnya ke rumah Anda!"        "APA???"        "Nenek, apa yang Nenek lakukan? Mengapa mengundang orang sembarangan ke rumahku?"         "Orang sembarangan bagaimana? Dia sudah setiap bulan mengunjungi aku di rumah ini selama seratus tahun terakhir ini! Bagaimana mungkin dia disebut orang sembarangan?"         "Tapi Nek?"         "Tidak usah mengelak lagi, aku memang ingin mendekatkan kamu dengan Rasmini, aku rasa dia juga wanita yang cocok untukmu. Aku sudah berpengalaman selama ribuan tahun, tentu saja aku rasa kamu cocok dengannya."         "Bukan, dia bukan wanita yang tepat, aku tidak mau kembali menjadi sejenis Boa seperti dia!"        "Kalau begitu tunjukkan kepadaku jika kamu bisa membawa wanita ke rumah ini! Jika seperti yang kamu bilang kamu ingin perempuan dari kalangan manusia seperti ibumu!"          "Aku tidak bisa menemukan wanita yang tepat, nenek! Aku ini Naga! Aku ini hanya bisa menikah dengan wanita yang bertelur, bukan beranak!"         "Kalau begitu memangnya ada manusia perempuan yang bisa aku nikahi?"        "Maka dari itu nikahilah Rasmini, dia perempuan dan bisa bertelur!"        "Nenek hanya menyulitkan aku saja! Aku tidak mau hidup di dalam goa lagi dan bermimpi menjadi naga seperti yang dilakukan Rasmini."         "Kamu yang banyak sekali alasannya! MANA ADA PEREMPUAN YANG BERTELUR?" bentak Nenek Nalini dengan keras sambil melemparkan tombaknya ke arahku.       "HARUSNYA ADA, NEK!"       "BAIKLAH JIKA ITU MAUMU, CARILAH HINGGA KE UJUNG BUMI! LIHAT SAJA NANTI JIKA KAMU SUDAH MENEMUKANNYA! AKU SUMPAHI KAMU TIDAK AKAN BISA HIDUP TANPA DIA DAN AKAN SAMPAI MATI BERSAMANYA!"            Begitu ucapan itu dikatakan nenek Nalini, petirpun tiba-tiba menggelegar, "Dengarlah, pemilik langit pun merestui ucapanku! Mau apa lagi kamu!" Nenek Nalini tertawa terbahak-bahak kemudian saking senangnya ia tertawa hingga lemas dan terduduk.          "Nenek, nenek?" Birawa mendekati sang nenek yang tiba-tiba diam dan memejamkan mata sambil duduk di sofa besarnya.          Kakek Wirya mengguncang tubuh Nenek Nalini, namun tubuhnya limbung dan tak berdaya lagi, "Bira, jangan-jangan nenekmu meninggal! Cepat panggil dokter untuk memeriksa Nenekmu, Bira! Cepat!"        "Tuan Muda, saya akan memanggilkan dokter untuk Nenek!" Yoda Lembing begitu paniknya, matanya menyusuri deretan nomor ponsel dokter yang keluarga dalam daftar buku telepon penting.       "Siapkan saja pakaian Pak Wirya sebanyak mungkin, aku rasa sebentar lagi dia perlu berobat ke rumah sakit!" perintah Bhira sembari terus menatap kepada Kakek Wirya yang bercucuran air mata karea Nenek Nalili masih saja terpejam.        "Tapi Tuan Muda, apakah...?"       "Yoda, siapkan pemakaman juga! Dugaanmu benar!" aku tidak bisa berkata apapun lagi melihat Pak Wirya menangisi tubuh Nenek yang tidak bergerak itu.        Danish menatapku dan mengangguk, ia tahu harus menyiapkan apa saja untuk Nenek Nalini, ia sudah diajari betul cara menghadapi hal semacam ini semenjak dari nenek moyangnya. Sudah beratus tahun Nenek Nalini mendampingiku, sudah ratusan juga pria yang mengalami kesedihan mendalam semacam ini. Dan pria yang menikahi Nenek Nalini selalu saja lelaki tua yang tinggal sebatang kara, maka tingggah kami yang mengurus semuanya sampai selesai.      "Buka ruang pemakaman dan bersihkan segera!" teriak Danish kepada pelayan kebersihan yang sedang membersihkan kebun bunga.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD