Part 38: Badmood

2033 Words
"Lo aja yang duduk." "Gue pengennya berdiri." "Ck, ya udah gue duduk." Balder berdecak sebal sembari duduk di tempat duduk single di dalam bus. Seperti biasa mereka berangkat sekolah dengan menaiki bus kota. Sebenarnya Balder memberikan tempat duduk lebih dulu kepada Felix sebab dari kemarin hingga pagi ini Felix masih saja memasang muka masamnya. Balder paham kalai Felix sedang dilanda suasana yang tidak baik. Sekarang Felix berdiri di sebelahnya sambil tangannya memegang pegangan bus di atasnya. Dalam perjalanan tidak ada obrolan sama sekali, Balder memilih diam karena bukan pertama kalinya juga menghadapi sifat temannya dan membiarkan Felix bisa menetralkam emosinya. Dibandingkan dengan dirinya, Felix lebih mudah emosi dan sewaktu emosi selalu kurang fokus terhadap apapun. Ini masih emosi biasa belum lagi nanti jika emosinya bisa meledak akan jauh berbahaya dan Balder berusaha selalu ada disisi Felix saat temannya itu emosinya akan meledak. Balder mengeluarkan permennya sebagai pengganti rokok, ia sudah kecanduan mengkonsumsi benda itu sejak dirinya duduk dibangku SMP dan sulit dihilangkan begitu juga dengan Felix. Setelah itu Balder memainkan ponselnya dan melihat video-video lucu yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Tak peduli ada orang yang melihat tawanya disini dan yang terpenting dirinya bahagia. Bus berhenti sejenak menjemput penumpang lagi dan suara seseorang memanggilnya ketika baru saja masuk ke dalam bus. "Abra!" Gadis itu memekik kegirangan dan tak percaya bisa bertemu Abra di dalam bus sesuai dugaannya. "Jessi." Balder mendonggakkan wajahnya dan ikut melihat ke asal suara seseorang yang dikenalinya. Felix menghela napasnya melihat gadis itu menghampirinya dan ia juga reflek memegangi tubuh gadis itu ketika bus mulai berjalan kembali. "Akhirnya ketemu sesuai insting gue. Halo Balder." Jessi melambaikan tangannya menatap Balder yang seperti tidak percaya ada dirinya disini. "Berdiri." Felix alias Abra itu menepuk pundak Balder membuat Jessi menoleh ke laki-laki itu. "Gak usah, gue pengen berdiri kok." Balder tetap berdiri dan memberikan tempat duduknya pada Jessi meski Jessi tidak mau namun Abra memaksa gadis itu supaya segera duduk di depannya. "Muka Abra kenapa serem amat sih? Masih pagi lho." Jessi mencebikkan bibirnya kesal lalu melirik Balder yang berdiri di sebelah Abra. "Lagi badmood dia." Balder yang menjawab pertanyaan dari Jessi. "Badmood kenapa? Tapi perasaan Abra tiap hari badmood deh." "Iya, tiap hari dia badmood terus." Balder berusaha menahan tawanya agar tidak meledak. "Heem emang suka badmood, untung gue bawa sesuatu dan nanti badmood Abra bisa menghilang." Jessi tersenyum lebar dan menatap Abra yang tengah menatap ke arah lain. "Wah apa tuh?" tanya Balder penasaran. "Nanti gue kasih juga." Jessi mengangguk. "Lo baik banget sih pantesan Abra betah ada di deket lo tiap hari." Balder terkekeh pelan dan mengabaikan tatapan tajam dari Abra. Balder sengaja memancing emosi temannya dan ternyata Abra bisa menahan emosinya saat ada Jessi di sebelahnya. 'Sekarang gue jadi tau kelemahan ni bocah, bisa-bisanya tahan emosi kalau ada Jessi di sebelahnya. Beda ya kalau orang punya cewek ya begini'--ucap Balder di dalam hatinya. "Bener kah kalau Abra betah deket sama gue terus?" Mata Jessi seketika berbinar mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Balder. "Iya, dia sebenernya seneng kalau ada dideket lo terus." Balder mengangguk sambil melirik Abra yang diam saja. "Wah, tapi gue pengennya denger Abra langsung bilang kayak gitu ke gue. Gue gak langsung percaya." Awalnya Jessi tampak bahagia mendengar ucapan Balder namun ada disisi lain masih meragukan, apakah benar apa yang dikatakan oleh Balder kalau Abra begitu bahagia ada didekatnya? "Yah padahal lo tadi langsung percaya gitu." Balder mendesah kecewa. "Lihatlah Abra masih murung gitu mukanya." Jessi menunjuk Abra dan masih memasang raut wajah datarnya. "Karena ada gue kali, beda nanti kalau kalian berduaan. Perhatiin deh sikap dia," ucap Balder dengan suaranya yang dipelankan walau begitu Abra masih dapat mendengar jelas suara temannya itu. 'Ingin rasanya gue lempar dia dari bus sekarang juga'--Abra menahan rasa kekesalannya pada Balder yang sepertinya disengaja memancing emosi di depan Jessi. "Ah iya, ekhem." Jessi berdehem dan menjadi gugup saat memergoki Abra menatapnya sedari tadi. Bus yang ditumpangi oleh mereka pun telah sampai di SMA Bangsal. Mereka bertiga bergegas turun dan yang membuat Balder salah fokus melihat Abra yang menggandeng tangan Jessi. Kebetulan posisinya ada di belakang mereka. 'Memang bener, pawangnya Felix itu Jessi. Gue jadi penasaran kisah masa kecil mereka pasti menggemaskan. Gue aja harus berusaha ekstra nahan Felix lagi emosi'---pikir Balder. Abra menoleh, menatap Jessi dan Jessi pun menatapnya balik setelah mereka turun dari bus lalu melangkah bersama memasuki area sekolah mereka. "Jangan terlalu mudah dibodohi oleh ucapan orang lain." Abra meletakkan telapak tangannya di atas kepala Jessi saat mengatakan hal tersebut. "Maksudnya, ucapan Balder tadi kah?" "Heh kalian malah saling tatapan disini, banyak yang lihat noh." Balder mengagetkan kedua orang yang baru saja mengobrol dan lelaki itu menunjuk menggunakan sorotan matanya ke sekitar mereka. Ada beberapa murid yang memperhatikan Abra dan Jessi disini. Abra dan Jessi sama-sama salah tingkah namun yang lebih terlihat jelas ialah Jessi sedangkan Abra berusaha untuk tetap bersikap tenang dan biasa saja. "Gue duluan." Balder melewati di antara mereka sambil menepuk pundak mereka juga. Lelaki itu tersenyum lebar dan sengaja memberikan waktu mereka untuk terus bersama. "Abaikan ucapan teman gue, dia memang begitu." Abra melangkah lebih dulu dan tentu saja Jessi menyusul langkah lebar laki-laki itu. "Haha iya kelihatan memang bercanda." Jessi tertawa sejenak. "Kenapa naik bus?" tanya Abra heran pada Jessi. "Oh itu emm." Jessi menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan entah kenapa mendadak menjadi gugup seperti ini. 'Astaga gegara dia usap kepala gue efeknya jadi gugup banget kayak gini'--Jessi memekik di dalam hatinya. Abra masih menunggu jawaban darinya melalui sorotan matanya ketika menatap Jessi. 'Kok tumben sih dia nanya-nanya begini? Tapi kalau gue tanya balik entar dia gak mau ngobrol lagi, ini kesempatan emas bagi gue dan jangan disia-siakan'---pikir Jessi. "Gue sengaja naik bus karena gue pengen berangkat sekolah bareng sama lo," jawab Jessi. "Bokap lo melarang buat gak deketin gue lagi dan gak temanan sama gue. Harusnya lo ingat ini juga." "Masalah bokap gue, gue bisa atasi sendiri. Bokap gue emang gitu orangnya, suka lihat dari covernya." "Gue paham mengapa bokap lo gak suka sama gue karena tampilan gue kayak anak berandalan. Tentang adik lo yang meninggal karena dibunuh para preman sewaktu pulang sekolah pasti bokap lo trauma soal itu." "Tapi kan lo bukan anak preman." "Gue mantan anak preman dan suka bikin onar di jalanan." "Kan itu masa lalu lo, sekarang udah enggak." Jessi kekeuh dan tidak menyalahkan Abra sama sekali. Menganggap masalah di masa lalu itu sudah berlalu dan tak perlu diungkit kembali. "Gue gak mau lo kena amuk sama bokap lo lagi." "Paling cuman diomelin doang." Abra menghembuskan napasnya pelan, gadis itu sangat keras kepala sekali namun disisi lain Abra juga tak ingin ada jarak dengan Jessi. "Gue tetep pengen terus ada didekat lo." Abra menghentikan langkahnya dirasa Jessi seperti sedang merasakan tidak nyaman. Ia melihat Jessi yang bersusah payah menaikkan tali tasnya ke atas dan sepertinya Jessi membawa beban terlalu banyak di dalam tasnya. "Eh?" Jessi menatap bingung saat tali tasnya di tarik ke atas oleh Abra sehingga ia merasa seperti tidak membawa beban sama sekali. "Lo bawa apaan, berat sekali. Lepas!" Suruh Abra. "Enggak papa, ini gak berat. Isinya baju ganti." "Lepas!" Jessi pun melepaskan tasnya dan Abra yang membawa tasnya sekarang. Abra melangkahkan kakinya lalu dan Jessi segera menyusulnya. "Gue jadi repotin lo." Jessi merasa tidak enak menatap Abra yang sedang membawa tasnya ditangannya. Abra hanya diam saja dan terus berjalan menuju kelas mereka. Jessi mengulas senyum tipis dan seperti sudah terbiasa mengetahui Abra hanya diam saja. Saat mereka sudah hampir tiba di kelas, mereka berpapasan dengan Dipta dan Anya yang juga baru saja tiba di sekolah. "Pagi Jess." Anya tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya ke arah Jessi. "Pagi juga, halo kalian. Dipta dah masuk sekolah nih." Jessi membalas lambaian Anya dan menyapa kedua temannya tersebut. "Sekarang lo udah gak bareng gue lagi Jes." Dipta menatap Jessi sendu. "Ah sorry Dip, gue pengen berangkat sendiri." "Minggir!" Abra melangkah maju, otomatis Anya dan Dipta memberikan jalan untuk Abra yang melintas di antara mereka. "Ekhem tasnya yang dibawa nih sama Abra." Goda Anya kepada temannya dan baru mengetahui saat Abra melintas di sampingnya tadi kalau Abra membawakan tas milik Jessi ditangannya. "Bawaan gue banyak di dalam tas terus tiba-tiba Abra langsung ambil tas gue dan dibawa gitu aja." "Lo gak takut tas lo digeledah sama dia?" tanya Dipta sedikit merasa cemas karena bagaimana pun isinya juga ada barang-barang pribadi milik Jessi. "Enggak, Abra bukan orang seperti itu. Dia baik dan bisa andalkan." Jessi tersenyum sambil menggeleng. "Segitu percayanya lo sama dia padahal kalian baru kenal. Jangan terlalu mudah percaya sama orang. Temen deket aja bisa berkhianat." "Betul itu kata Anya." Dipta menyetujui ucapan Anya yang mengingatkan Jessi tentang kepercayaan. "Iya, gue paham kok. Tapi gue yakin banget kalau Abra itu bukan orang jahat dan memang gak ada firasat buruk apapun soal Abra. Ya sudah gue masuk ke kelas dulu." Pamit Jessi pada mereka. Selepas kepergian Jessi, Anya dan Dipta juga masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Anya dan Dipta duduk sebangku. Dulu Anya, Dipta dan Jessi satu kelas ketika awal-awal pengenalan sekolah dan ketika kelas sudah ditentukan ternyata mereka berbeda kelas itupun hanya Jessi saja yang berbeda. "Gimana lo udah nemu fotonya?" tanya Anya dengan suaranya yang berbisik, melanjutkan pembahasan kemarin. "Nanti aja di perpus." "Oke." ... "Lo bawa baju ganti kan?" tanya Jessi pada Balder yang kini tengah duduk di sampingnya setelah mencuri kursi di samping tempat duduk Jessi dan Abra. "Bawa." "Tapi kelihatannya tas lo ringan banget tadi." "Gue gak pernah bawa buku LKS dan paket cuman bawa buku tulis doang. Gue taruh di loker meja." "Astaga pantesan kelihatan gak ada isinya, emang gak takut hilang apa ditinggal di sekolah?" Jessi langsung syok sedangkan Abra sudah tidak kaget lagi terhadap temannya itu yang memang menjadi kebiasaan sejak memasuki bangku sekolah menengah pertama. "Enggak, kalau hilang ya tinggal bayar sanksi," jawab Balder begitu santai sekali. "Mana makanannya? Gue nungguin nih." "Iya nanti lah waktu istirahat." "Oalah gue kira sekarang." "Enggak, buat nanti makanannya." "Lo gak balik ke belakang?" Abra membuka suaranya setelah terdiam begitu lama. "Nanti hehe." Balder mengedipkan sebelah matanya sambi terkekeh pelan. "Oh ya, gue baru ingat sesuatu." Jessi menunjuk jarinya ke atas ketika ada sesuatu yang melintas di otaknya. "Apa tuh?" tanya Balder tanpa menatap ke Jessi dan tatapannya terpaku pada ponselnya. "Gue ada rencana mau buatin akun sosmed Abra." "Wah bagus tuh biar dia gak kudet dan jadi anak seleb." Balder langsung menyetujuinya dan mengacungkan jempolnya ke arah Jessi. Memang sudah dari lama Balder menyuruh Abra supaya membuat akun sosial media. "Gimana?" Tentu Jessi menunggu keputusan dari pihak yang bersangkutan. Namun Abra malah diam saja dan tangannya bergerak merapikan alat tulisnya yang berantakkan di dalam loker mejanya. "Lha kok diam aja, kan gue butuh kepastian ini. Lo mau gak gue buatin akun sosmed?" tanya Jessi lagi. "Mau lah Bra, cepetan jawab mau!" Suruh Balder yang sudah geregetan sendiri karena temannya itu tak kunjung menjawab tawaran dari Jessi. "Memang gunanya buat apa?" Abra sebenernya males bermain salah satu akun sosial media yang direkomendasikan tersebut. "Nanti lo bakal tau sendiri gunanya buat, bentar gue mau buatin lo. Tapi pakai hp lo dong." Jessi menjulurkan tangannya dan meminta ponselnya Abra. "Enggak, pakai hp lo sendiri sana." "Jadi, gue juga pegang akun lo nih?" tanya Jessi memastikan. "Terserah lo." Senyum merekah terbit dibibirnya Jessi hingga kedua matanya ikut menyipit. Mendengar respon Abra yang seperti itu sama saja menyetujuinya. "Oke gue buatin akun lo deh dan Balder jadi saksinya." Jessi mulai membuatkan akun untuk Abra. "Gue saksi? Haha." Balder tertawa dan tak lama tawanya berhenti mengetahui ditatap tajam oleh Abra. Abra juga kelihatan mengusir Balder dari tatapannya yang sudah jelas sekali ingin Balder kembali ke bangkunya sendiri. Balder mendengus sebal kemudian beranjak berdiri dan bertepatan ada seorang murid memasuki kelas mereka. Menyampaikan sebuah informasi tentang lomba yang diadakan di sekolah ini dan lomba itu diadakan tiap tahunnya. "Nanti kumpul di lapangan sebentar." "Yes jam pertama mapel mat kepotong!" teriak Balder dan murid lainnya termasuk Jessi yang sama-sama tidak menyukai pelajaran matematika. Berbeda dengan Abra yang merasa resah, padahal mata pelajaran matematika bisa membuatnya melupakan kejadian buruk yang selalu terbayang-bayang dipikirannya dan kejadian kemarin masih dirinya ingat. Abra berusaha mengenyahkan pikirannya tentang kemarin dan mencoba kembali fokus untuk hari ini. Entahlah sulit sekali menenangkan hatinya setelah bertemu ayah kandungnya kemarin. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD