Part 37: Mencari Sesuatu

2115 Words
"Lho datang kemari lo." Balder yang baru saja menyelesaikan pekerjaan berniat akan istirahat malah temannya yang katanya tak bisa bekerja hari ini datang ke tempat kerja ini. "Muka lo kenapa tuh?" tanya Balder sembari mengikuti langkah kaki temannya dan ia melihat wajah temannya itu menandakan kalau suasana hati temannya sedang tidak baik-baik saja. "Felix." Balder memegang bahu Felix yang kini temannya itu sudah duduk di atas sofa ruang istirahat para pekerja. Hanya saja yang lembur dua orang termasuk Balder. Felix menggeleng lalu menyalakan televisi dan memilih asal acara televisi. Namun acara televisi yang menampilkan tentang Asher yang menghadiri acara ulang tahun karyawannya dan Felix segera mematikan televisinya. "Ah sial!" umpat Felix dan memilih membaringkan tubuhnya di atas sofa yang didudukinya ini. Balder yang penasaran, menyalakan televisi kembali dan melihat acara televisi yang membuat temannya merasa kesal. Setelah dicermati ternyata itu adalah acara perayaan ulang tahun salah satu karyawan terbaik perusahaan Abraham dan disana juga ada Asher tengah berpidato. Balder mengangguk paham lalu mematikan televisi itu dan melirik Felix yang berusaha menetralkan rasa emosinya yang sempat meluap. Balder beranjak berdiri dan menuju dapur yang telah disediakan di tempat kerjanya yang memang begitu luas sekali. Balder membuka lemari es, meraih buah kesukaan temannya dan mengambil pisau serta piring. Balder kembali ke ruangan tadi dimana Felix tengah berbaring juga kemudian ia menyiapkan minuman bersoda dan mulai mengiris buah. Balder membiarkan temannya yang beberapa mengumpat karena ia paham apa yang sedang dirasakan oleh Felix. Barulah nanti ia akan menanyai temannya itu atau kalau tidak menunggu temannya bercerita. "Gue siapin buat lo." Balder telah selesai menyiapkan cemilan untuk temannya da menyuruh Felix makanan buah-buahan yang sudah diiriskan. Felix memposisikan tubuhnya untuk duduk lalu ia mulai melahap buah pir, buah kesukaannya. Namun Balder tiba-tiba memekik panik dan menyuruh Felix meletakkan pisau yang digunakan sebagai sendok. "Anjir itu pisau Lix, entar kena lidah lo mana tajam pula." Balder merebut pisau itu dan digantikan garpu. Balder geleng-geleng kepala, memang kebiasaan temannya itu tak bisa fokus ketika emosi sudah menguasai pikirannya. 'Bagaimana pertemuan mereka sampai membuat Felix semarah ini?'--Pikir Balder yang begitu penasaran sekali. "Gue bentar lagi mau pulang." Balder menatap jam di dinding ruangan ini. "Belum waktunya pulang. Lo kan lembur." "Iya sih, tapi gue udah capek." "Ya udah pulang aja sana." "Lha lo, lo kan juga pulang." "Enggak, gue mau disini dulu. Mana kuncinya?" Felix mengadahkan tangannya di depan Balder, meminta kunci tempat bengkel sekaligus cuci motor dan mobil. "Enggak jadi pulang deh gue." Balder menghembuskan napasnya lalu menggelengkan kepalanya. Ia tak ingin meninggalkan temannya yang sedang emosi itu sendirian. Balder pun memainkan ponselnya dan melihat akun sosial medianya. Felix melirik apa yang dilihat oleh temannya hingga membuat Balder cekikian tidak jelas. "Njir ngakak bet gue." Balder kelelahan menertawai konten yang ditayangkan di konten orang. "Itu yang dimaksud akun sosmed?" tanya Felix dan ia juga teringat ucapan Jessi yang menyuruhnya untuk membuat akun sosial media supaya dia bisa terkenal karena fisiknya yang mendukung menjadi selebgram. "Iya tapi ini video-video doang kontennya. Gue punya banyak akun sih," jawab Balder menjelaskannya. "Lo gak tertarik apa buat akun sosmed? Lumayan lah kalau lo main gituan, lo bisa dapat uang kalau jadi selebgram alias dapat endors sebutannya." "Maksudnya?" "Lo kan banyak dibicarakan di berita sekolah karena lo juga dekat sama Jessi, banyak yang nanyai akun sosmed lo dan gue khawatirnya sih ada yang bikin akun sosmed palsu tentang lo. Sejak lo lawan teman-temannya Faisal, tagar nama lo naik jadi trending nomor satu di sekolahan selama beberapa hari dan bisa nih jadi lo tambah terkenal di sekolahan kalau punya akun sosmed," ujar Balder yang sudah tau segala hal apapun yang terjadi di sekolahannya karena Balder selalu mengikuti apapun berita yang viral di sekolah. "Seyakin itu lo kalau gue buat akun sosmed, bikin gue tambah terkenal? Gue malah makin risih kalau banyak yang tau gue. Gue lebih memilih gak ada yang kenal sama gue." "Sayangnya lo sudah terkenal jadi lo gak bisa menepis soal itu. Gue aja sebagai teman lo nih, followers gue naik tiap hari dan sekarang jadi puluhan ribu. Kalau Jessi hampir sejuta, beuh gue lihat postingannya membuktikan dia itu bener-bener anak orang kaya." Balder berdecak kagum sewaktu pernah melihat postingan di salah satu akun sosial media milik Jessi dan sekarang menunjukkannya pada Felix supaya temannya itu juga tau. "Ini akun sosmed yang mana?" tanya Felix dan tidak kaget lagi kalau banyk orang yang mengikuti Jessi. Jessi bukan kalangan dari keluarga sembarangan. "Ini akun Instragam, kita bisa lihat kegiatan orang-orang kaya juga disini." "Lo harus tanya Jessi dulu akunnya yang mana atau lo cari sendiri?" tanya Felix lagi yang masih belum tau tentang akun sosial media karena ia dari dulu tak pernah tertarik sama sekali dan lebih tertarik berita umum. "Gue cari sendiri karena gue penasaran soalnya Jessi sering disapa banyak murid di sekolah. Masak lo gak ngerasa sih? Terlalu acuh sama sekitar ya lo." "Gue taunya dia terkenal karena keluarganya juga jadi donatur di sekolahan kita." "Hadeh, itu banyak murid yang tau dari akun sosmednya Jessi. Banyak yang kepo tentang orang tuanya Jessi di postingan Jessi kan bisa lihat akun sosmednya orang tuanya Jessi jadi lewat postingan di akun sosmednya orang tuanya Jessi membuat mereka akhirnya tau Jessi itu bukan anak dari kalangan biasa dan salah satu donatur besar di sekolahan, rebutan posisi biar jadi orang pertana sama bokap lo eh sorry." Balder kelepasan menceritakan Asher yang juga pernah menduduki posisi pertama sebagai donatur besar di sekolahan mereka. "Lo tau itu semua dari sosmed berarti lo juga kepo sama mereka?" Tanpa dijelaskan mereka itu siapa, Balder pun sudah tau siapa yang dimaksud mereka oleh Felix. "Iya gue tau tapi soal nyokap kandung lo, gue bener-bener gak tau dan gak ada sama sekali tentang nyokap kandung lo. Kayaknya dulu pernah ada tapi sekarang semuanya menghilang berita soal nyokap lo dan akun sosmed milik nyokap lo. Yang gue tau cuman keluarga bokap lo yang sekarang. Sorry gue cerita begini bukan maksud bikin lo tambah emosi tapi gue baru ingat kalau hal ini penting juga buat lo dan sorry lagi, gue baru kasih tau lo karena gue juga baru-baru ini kepoin tentang keluarga lo." Balder akhir-akhir ini seringkali melihat postingan-postingan dari orang-orang yang membuatnya penasaran terutama keluarga temannya walau Felix pernah bilang kepadanya untuk tidak terlalu tau tentang keluarganya tapi namanya juga orang penasaran, Balder tidak menuruti permintaan Felix beberapa waktu yang lalu. Felix terdiam dan memikirkan ucapan Balder yang menceritakan tentang ibunya yang tidak ada kabarnya sama sekali. Ia juga baru sadar karena selama ini Felix hanya tau soal ayahnya saja bukan ibunya. "Gak ada berita terakhir soal nyokap gue kah?" Berat rasanya menanyakan ibunya apalagi teringat ibunya pernah memberikan luka terdalam kepadanya. Rasa benci, sesal dan dendam masih tertanam dipikirannya sampai sekarang. Mau bagaimana pun luka dari masa kecil terus membekas selamanya. "Bentar gue cari dulu." Balder mencari tentang Naura, ibu kandungnya Felix. Sebenernya Balder tak pernah tau berita tentang keluarga Felix kalau tidak temannya sendiri yang menyuruhnya. "Terakhir nyokap lo dirumorkan kecelakaan dan luka parah dibagian kepalanya. Ada rumor lagi nyokap lo hilang ingatan dan ini rumor baru eh gak bisa diklik. Kayaknya baru dihapus sama si pembuat rumor ini." Balder terkejut karena postingan berita yang baru tentang Naura yang hilang ingatan setelah mengalami koma pasca kecelakaan beruntun setahun yang lalu. "Beneran?" Felix meraih ponselnya Balder dan memeriksa berita tentang ibunya tapi malah mendapati tulisan file telah rusak. "Aneh." Gumam Felix sambil mengembalikan ponsel ditangannya pada pemiliknya. "Kayaknya rumor ini bener. Nyokap lo aja menghilang selama ini." "Gue bingung sama nyokap gue. Dari kecil, dia kadang memperlakukan gue dengan baik dan penuh kasih sayang tapi nyokap juga sering mengucapkan kalimat yang menjatuhkan mental gue dan selalu buat gue tertekan. Kalau bokap, dia tetap dengan ambisinya sedangkan nyokap, sifatnya yang gak bisa ditebak." "Lo masih kecil waktu itu jadi gak paham apapun." "Ada dokter dulu sering ke rumah dan periksa kesehatan nyokap tapi gue gak paham apa yang dokter bicarakan sama bokap. Gue selalu dikunci di dalam kamar dan cuman tau dari jendela kamar saja." "Apa nyokap lo waktu itu sakit? Atau punya penyakit serius?" "Gue gak tau apa-apa tapi yang gue lihat dokter itu tiap bulannya datang ke rumah." "Lo masih ingat wajah dokter yang sering ke rumah?" tanya Balder penasaran. "Samar-samar sih dan gak begitu ingat." "Cewek apa cowok?" "Cewek dan kalau orangnya masih ada sekarang kemungkinan umurnya ya sama kayak nyokap." "Maaf ini gue tanya lagi, apa orang tua lo pernah berantem?" "Pernah, sering banget mereka berantem dan bikin gue sakit kepala kalau diingat." "Gak usah diingat lagi kalau begitu." Balder pun tak ingin melanjutkan pembahasan ini. Pasti Felix memiliki rasa trauma besar karena di waktu itu masih anak-anak. "Setelah gue sering ikut campur lihat orang tua berantem, di kamar mereka dipasang alat peredam suara." "Felix, kalau sudah gak kuat buat cerita ya jangan diteruskan. Tangan lo geter itu." Balder tak sengaja mengetahui kedua tangan Felix bergetar. Felix terdiam lalu menatap kedua tangannya yang sama-sama bergetar dan dadanya juga tiba-tiba terasa sesak. Balder beranjak berdiri dan mengambil air mineral untuk temannya. "Tenangin diri lo, jangan pikirkan hal lain. Rasa trauma bukan hal kecil." ... "Lo serius mau cari tau tentang Abra? Lagian Felix menghilang waktu dia masih kecil dan otomatis banyak perubahan di wajahnya ketika dia beranjak remaja." Anya menatap Dipta tak percaya sedangkan laki-laki itu sibuk berkutat pada laptopnya. Malam ini mereka berdua ketemuan di sebuah cafe yang dekat dengan rumahnya Anya. Dipta yang mengajak duluan pada Anya untuk datang ke tempat ini. "Gue ngerasa aneh ke Abra dari awal, itu orang bisa langsung membuat Jessi nyaman padahal lo tau sendiri kan Jessi gak mudah akrab ke orang dan Jessi tiap lihat dia kayak lihat Felix." "Iya gue juga merasa aneh tapi masak iya kalau Abra itu Felix." Anya menatap layar laptop Dipta menampilkan dua wajah yang berbeda usia. Wajah Felix dan wajah Abra yang didapat Dipta dari BK. "Kalau dilihat-lihat memang ada kemiripan sih mereka ini." Dipta memperhatikan dengan teliti kedua foto tersebut. "Bener emm lo punya fotonya om Asher." "Ah iya, thank's udah ingetin." Dipta menjetikkan jarinya dan baru teringat bahwa ucapan Anya termasuk penting juga. Dipta mengambil salah satu foto Asher di postingan akun sosial media Asher yang menurutnya paling jelas dan bisa untuk membandingkan wajah Asher dengan wajahnya Abra. "Dua-duanya diperbesar terus disamain ukurannya deh." "Bentar gue HD-in fotonya dulu biar makin jelas." Dua orang ini tampak sama-sama serius sekali karena saking penasarannya akan membandingkan foto mereka. Selanjutnya Dipta memulai membandingkan ketiga foto tersebut dan mengamati satu per satu dengan teliti. "Mirip, dari mata, hidung dan bibir. Cuman bentuk muka aja sih yang beda," ujar Dipta setelah mengamati wajah ketiganya. "Kalau dilihat-lihat sih bener kata lo, bibirnya Abra mirip sama Faisal. Gue juga bandingin sama fotonya Faisal dan kalau mereka bersanding, cocok jadi adik kakak." Anya menunjukkan foto wajahnya Faisal dan menjajarkan ponselnya di samping laptopnya Dipta. "Bener, mereka kayak keluarga." "Tapi masak bener Abra itu Felix? Soalnya gelagatnya gak ada yang bisa dicurigain. Kita curiga dari sisi pandangnya Jessi. Dilihat Abra biasa saja dekat sama Jessi." "Kita gak kenal deket sama dia meski sering ketemu di sekolah jadinya ya gak tau apapun." "Jadi kita harus deketin Abra dong, emang gak bikin dia yang curiga ke kita? Takutnya kita salah menduga dan dia jadi menghindari kita terus dampaknya ke Jessi. Ya meski lo suka sama Jessi tapi gue kasian sama Jessi yang gak tau apa-apa tiba-tiba dijauhi sama Abra." "Kita bisa tau dia tanpa harus dekatin dia." "Gimana itu?" "Lo deketin Balder." "Enggak, gila kali ya lo!" Reflek Anya memukul bahu Dipta dan teriakan Anya mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. Anya meminta maaf pada mereka karena telah mengganggu kenyamanan mereka disini. "Astaga." Dipta mengusap bahunya yang lumayan terasa sakitnya. "Eh sorry pasti sakit ini." Anya pun ikut mengusap bahu Dipta dan merasa bersalah. "Gak papa kok." Dipta tersenyum sambil menggeleng. "Bisa gak cari cara lain, please gue gak mau deket-deket sama Balder." Anya mendengus sebal. Orang yang disukainya malah menyuruhnya bersama orang lain, sungguh menyebalkan situasi seperti ini. "Bentar gue pikirin dulu." Sambil menunggu ide cemerlangnya muncul, Dipta melanjutkan mengamati foto mereka tadi. "Tapi kalau Faisal lebih jelas miripnya sama bokapnya." Gumam Dipta. "Bokapnya Felix punya dua istri, si Faisal ibunya namanya Luna. Guru TK lo dulu sedangkan ibunya Felix seinget gue pernah jadi rektor di universitas ternama dan punya banyak bisnis tapi sekarang udah diambil alih semua sama om Asher kalau gak salah." Anya mendongakkan wajahnya ke atas, menatap langit-langit "Ah gue paham, jadi Felix juga kemiripan sama nyokapnya. Tapi gue lupa wajah nyokapnya kalau gak lihat dulu soalnya udah lama gue gak pernah ketemu semenjak om Asher selalu bersama tante Luna." "Kan lo bisa tanya om lo. Om lo temenan deket sama om Asher pasti ada foto mereka waktu masih bareng." "Gue coba tanya dulu." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD