Proyek Serial di Turki

1271 Words
Hidup itu seperti roda, kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Entah sudah berapa kali Queeny mendengar kata-kata bijak itu dari orang-orang yang berusaha menghiburnya. Queeny menghargai kata-kata mereka, tapi kenapa itu tak nyata? Kenapa Queeny merasa dia selalu merasa di bawah? Apakah karena dia kurang bersyukur dengan nikmat yang ia miliki? Hari-hari baru Queeny sudah dimulai sejak sebulan yang lalu. Ya, sudah sebulan Queeny ditinggalkan oleh anaknya yang seharusnya sedang dia timang. Bibirnya sudah bisa membengkok ke atas. Tawanya mulai terdengar tulus, dan dia muali bersemangat untuk melanjutkan misinya menaklukan nasib di masa depan. Queeny ingat masih ada masa depan yang harus ia rajut, masih ada Turki dan segala keindahannya yang harus ia hadapi. Hari ini dia bersiap untuk berangkat ke Turki bersama dengan orang tuanya dan Marlina, hanya mereka yang sampai saat ini masih setia bersama Queeny. "Rasanya akan sangat lama, seperti bertahun-tahun. Tapi lihat saja, empat tahun hanya sebentar. Kamu pasti bisa!" kata Queeny kepada dirinya sendiri ketika mereka tiba di bandara. Queeny memberi salam perpisahan kepada orang-orang terdekatnya. Berjanji kepada mereka untuk menjadi seorang Queeny yang baru, seorang Queeny yang lebih kuat daripada Queeny yang dulu. Umi dan Abi tersenyum bangga melihat semangat Queeny. *** Seperti yang Queeny duga, empat tahun bukanlah waktu yang lama. Suka duka dia alami bersama teman-teman barunya yang perlahan menggantikan posisi Marlina. Setiap enam bulan sekali Queeny pulang ke Indonesia meskipun cuma libur seminggu, lalu balik lagi ke Turki. Tugas antar negara Queeny jalani. Di semester ketiganya dia sempat jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit karena terlalu memprioritaskan tugas-tugas kuliahnya daripada kesehatannya. Itu membuat Abi dan Umi kelabakan karena baru pertama kali ke Turki, tapi mereka tetap tersenyum bangga kepada Queeny karena Queeny benar-benar menjadi seseorang yang lebih kuat dan bersemangat. Queeny tidak peduli dengan teman-teman laki-laki yang sering menggodanya, bahkan ada beberapa dosen yang berusaha menarik perhatiannya, Queeny tidak mempedulikan mereka dan memilih untuk fokus menjalani kuliahnya. Perjuangan Queeny tidak bisa dihitung lagi sampai hari ini akhirnya dia wisuda. Selama itulah dia tidak pernah bertemu dengan masa lalunya, dan mungkin sudah melupakannya. "Geser sedikit!" perintah fotografer dengan bahasa Turki ketika Queeny, Umi, dan Abi ingin difoto di depan layar abu-abu. Queeny mengenakan toga, sedangkan Umi dan Abi mengenakan batik khas Indonesia. Mereka tersenyum ke arah kamera. "Boleh diulang? Sepertinya fotonya kurang bagus!" pinta Queeny dengan bahasa Turki. Umi dan Abi hanya plonga-plongo karena tak tau apa yang putrinya ucapkan. Queeny menghabiskan setidaknya setengah jam untuk menjalani sesi foto karena tidak menemukan foto yang cocok untuk kenang-kenangan, padahal teman-temannya yang membutuhkan waktu lima menit karena cuma sekali potret. Toga yang miring lah, baju yang kusut lah, rambut yang menutupi wajah, dan masih banyak kekacauan lainnya. Umi sampai menggeleng kelelahan melihat tingkah putrinya. Setelah sesi foto dilakukan, Queeny mengajak orang tuanya untuk makan siang. Setelah itu mereka akan kembali ke hotel karena acara wisuda sudah selesai. Mereka makan di restoran Indonesia yang tak jauh dari kampus. Mereka duduk di tepi ruangan yang bersebelahan dengan kaca jendela sehingga bisa menatap suasana luar. "Queeny pernah ajak kerja sama pemilik restoran ini dulu, tapi pemiliknya nggak setuju karena Queeny kuliah di jurusan public relation, bukan tata boga," curhat Queeny ketika menikmati batagor dalam kemasan VIP. "Kenapa kamu mau milih restoran ini?" tanya Umi. "Umi, ini kan restoran Indonesia. Menunya juga masih terbatas." "Memangnya pemiliknya bukan orang Indonesia?" tanya Abi penasaran. "Bukan, tapi orang Turki. Makanya menunya cuma itu-itu aja. Nah, Queeny kan pengennya nambah menu gitu, loh. Tapi justru dipermasalahin tentang jurusan kuliah." Abi dan Umi tertawa. "Kenapa kamu nggak buka restoran sendiri aja?" tawar Umi sekedar untuk bercanda. "Iya juga ya, Mi. Queeny yangg kepikiran dari dulu." "Nanti buka restoran di Indonesia aja. Setelah lulus pasti balik ke Indonesia, kan?" tanya Abi. "Iya, tapi Queeny nggak langsung balik," sahut Queny membuat Umi dan Abi menatap penasaran. "Queeny harus menyelesaikan proyek Queeny yang masih setengah jalan." Umi dan Abi saling menatap dengan ekspresi datar. "Proyek serial Queeny," tambah Queeny untuk meyakinkan orang tuanya. "Enggak lama, kok. Mungkin sekitar satu minggu." "Oh," sahut Umi sambil menghela napas lega. "Kirain sampai berbulan-bulan." "Tergantung, sih. Terkadang aktris sama aktornya terlalu sibuk dan jadwal harus diganti, jadinya lama. Tapi kali ini kayaknya enggak, karena produsernya sudah kasih deadline minggu depan jadi." Abi mengangguk mengerti. "Ya sudah, selesaikan dulu proyek di belakang layar itu, lalu kamu pulang, ya." Queeny mengangguk mengerti. "Iya, Abi. Queeny janji nggak akan lama-lama di sini." "Oh ya," pekik Umi, "Marlina titip salam, katanya mau kasih selamat karena kamu sudah lulus. Anak-anak pesantren juga titip salam buat kamu." "Marlina juga pasti sudah lulus," sahut Queeny bersemangat. "Kamu nggak pernah bertukar kabar sama dia?" Queeny menggeleng. "Terakhir kami saling tukar kabar mungkin sebulan yang lalu. Katanya, Marlina udah sidang skripsi dan wisudanya minggu lalu."" "Tapi Marlina nggak kasih Umi kabar," sahut Umi. Queeny mengedikkan bahunya. "Positif thingking aja, mungkin Marlina memang sengaja mau menyembunyikan kelulusannya biar jadi surprise." Queeny tertawa. Umi dan Abi ikut tertawa. "Senang lihat kamu kayak gini lagi." Tawa Umi menciut dan berusaha jadi senyuman bangga. Queeny tersipu diperhatikan terlalu lama oleh orang lain meskipun orang itu adalah orang tuanya sendiri. "Semoga kamu selalu bahagia dan dikelilingi dengan energi positif." Senyum Umi semakin tulus. "Amin," sahut Queeny. Dia juga merasakan energi positif selalu mengelilinya sejak dia berkuliah di sini. Semuanya terasa sangat lancar. Peristiwa besar yang ia alami hanya beberapa, itu pun tidak membuatnya depresi dan sakit mental seperti peristiwa yang pernah ia alami ketika masih di Indonesia. "Queeny berusaha untuk melupakan masa lalu, mungkin karena itu akhirnya Queeny bisa semangat lagi," curhat Queeny. "Bagus, masa lalu itu memang untuk dilupakan. Umi setuju." "Jangan sia-siakan masa lalu hanya untuk dilupakan, pelajari juga kesalahan-kesalahan dari sana," pesan Abi. "Setuju," sahut Queeny sambil mengangguk. "Ada banyak hal yang Queeny pelajari dari masa lalu. Salah satunya adalah mengikhlaskan." Umi menatap puas putrinya yang tersenyum tulus. "Ya sudah, ini sudah waktunya sholat ashar. Balik ke hotel?" Abi mengangguk setuju. Mereka meninggalkan restoran untuk kembali ke hotel dan melakukan ibadah sholat ashar. Queeny masuk ke ruangannya dan mengingat ucapan Abi tentang masa lalu yang bisa dimanfaatkan untuk dijadikan pengajaran. Umi dan Abi sudah meninggalkan Turki. Queeny sendirian di negeri orang, tetapi dia tidak pernah merasa sendirian lagi karena orang-orang film sudah dia anggap sebagai keluarganya. Queeny berperan sebagai sutradara. Sehingga dia terkesan tegas dan mungkin beberapa orang menganggapnya galak. Tugas Queeny adalah menilai orang sehingga dia tidak banyak bergerak. Suaranyalah yang punya peran penting sampai orang-orang paham setiap kali ada teriakan cempreng yang menggema, maka itu adalah suara Queeny. Queeny paling suka mengomentari hasil make up para MUA terhadap aktris dan aktor yang akan disyuting, itu membuatnya merasa puas, entah kenapa. Selain mengomentari MUA, bagian yang Queeny suka adalah sesi pengeditan. Orang yang bertugas mengedit pendiam dan penurut, Queeny sering cari hiburan dengan cara menyuruhnya ini dan itu atau sekedar untuk mencari bahan tawaan lewat tukang edit ceroboh itu. "Oke, teman-teman!" seru Queeny lewat mikrofon di tengah studio yang baru saja digunakan untuk syuting adegan tamat. Alat-alat set masih tertawa rapi, tidak ada yang berani merapikan sebelum Queeny mengambil keputusan bahwa take terakhir mereka sudah sempurna. "Syuting kita di serial ini akhirnya sudah berakhir. Aku sangat berterima kasih atas kerja sama kalian. Jika tanpa kalian, serial ini mungkin tidak akan tamat. Jadi, mari kita beri apreasis kepada diri kita sendiri dengan tepuk tangan!" Gemuruh tepuk tangan dan tawa memenuhi langit-langit studio. Queeny tersenyum puas melihat tawa bahagia di wajah rekan-rekan kerjanya. "Aku harap kerjasama ini tidak berakhir di sini. Semoga suatu saat kita bisa dipertemukan lagi." Seseorang mengangkat tangannya ke udara, membuat seluruh perhatian tertuju pada laki-laki itu. "Aku dengar kau mau pindah kembali ke Indonesia, Miss?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD