Mari Kita Hidup Masing-masing
Queeny tiba di Indonesia dengan perasaan bimbang. Dia merasa gugup karena tidak tahu apa yang akan terjadi. Sejenak setelah turun dari pesawat, ponselnya berdering.
"Assalamualaikum, Queen, iya bener Caca meninggal?" tanya Inayah dengan suara parau.
"Wa'alaikumsalam, Umi maaf Queen nggak tahu, ini Queeny disuruh pulang sama Mas Yusuf sendiri ke Indonesia," kata Queeny.
"Astaghfirullah, kamu pulang sendirian? Yaudah kamu tunggu di bandara biar umi suruh supir buat jemput kamu ya," saran Inayah.
"Nggak apa-apa umi, Queeny pake taksi aja."
"Tapi kamu langsung ke sini ya," suruh Inayah.
Dengan hati yang berat, Queeny segera pergi ke rumah Inayah. Rumah itu terlihat sepi dan penuh dengan aura kesedihan. Queeny memasuki rumah dengan hati-hati, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur Inayah yang sedang dipeluk oleh Rido.
Inayah duduk di sofa dengan mata yang memancarkan kepedihan.
"Sudah, kita tunggu aja jenazah Caca ya," ucap Rido.
Dia melihat Queeny dengan mata berkaca-kaca dan berkata, "Queeny, Caca sudah pergi untuk selamanya. Kenapa anak sekecil itu bisa merasakan sakit bahkan sebelum dia berpulang?"
Queeny mendekat tanpa bisa berkata apa-apa.
"Queeny, Yusuf sempat bilang katanya Caca meninggal karena kamu, tapi umi nggak percaya, umi yakin Yusuf terhasut dengan kata-kata Jasmine, sebenarnya umi nggak setuju kalau Caca diasuh sama Jasmine, cuman kami nggak ada pilihan lain, Caca itu rahasia kami, sekarang kami udah nggak peduli dengan gosip-gosip tetangga tentang Aina dan Caca, orang tua mana yang mau ini terjadi," beber Inayah.
"Aku sama Rangga menemui Caca sebelum Caca koma, aku pengen Rangga bisa sadar kalau dia udah buat orang lain menderita, itu aja umi dan Mas Yusuf salah faham. Setelah itu Rangga katanya akan menyerahkan diri," kata Queeny dengan berhati-hati.
"Yang umi heran, kenapa Jasmine menutupi Caca sakit selama ini? Sudah separah ini baru bilang sama Yusuf. Umi kasian sama kamu, kamu yang nggak tahu apa-apa jadi terlibat, maafkan umi ya Queeny." Inayah semakin terisak.
Queeny menghela napas, "Umi jangan bilang begitu, sepertinya ini salah Queen, andaikan dulu Queeny nggak setuju dijodohkan mungkin Mas Yusuf dan Mbak Jasmine bisa berkomunikasi dengan baik soal Caca."
"Hus, umi sangat bersyukur Yusuf menikah sama kamu, dari dulu juga Aina sudah menghayal kalau Yusuf itu nikahnya ya sama kamu. Kamu jangan semakin tambah bersalah apalagi ditambah dengan meninggalnya Caca ya."
Sementara itu, jenazah Caca tiba di rumah dalam sebuah peti mati. Pemandangan itu begitu menyayat hati, dan Queeny merasa sedih melihat Caca yang telah pergi.
Queeny bersama Inayah, Jasmine menatap Queeny dengan tatapan tidak suka. Queeny lupa mengabari Sarifah dan Malik, segera Queeny menelpon dan mengabarkan kabar duka Caca.
[Umi sama abi mau berangkat, kami langsung ke pemakaman aja ya.]
Begitulah pesan dari Sarifah.
Mata Yusuf menjadi buka bahkan ia tidak memperdulikan kehadiran Queeny.
Mereka bersama-sama membantu mengangkat peti mati itu dan membawanya ke pemakaman dekat kuburan Aina.
Di pemakaman, suasana hening dan sedih menyelimuti semua orang yang hadir. Mereka berkumpul di sekitar makam Caca, berdoa, dan mengenang kenangan indah bersamanya meski tidak begitu banyak. Queeny tidak bisa menahan tangisnya, dan air mata pun mengalir tersedu-sedu.
Setelah prosesi pemakaman selesai, Queeny mencoba menghadapi Jasmine yang tampak sangat marah. Jasmine berbicara dengan nada tinggi, "Kau adalah penyebab kematian Caca, Queeny! Semua ini terjadi karena kamu."
Queeny mencoba menjelaskan, "Aku tidak punya niatan apa pun untuk menyakiti Caca."
Tiba-tiba Yusuf yang masih terpukul masih memeluk nisan Caca membentak, "Diam! Queen, kamu pergi dari sini!"
"Mas!" Queeny menyentuh lengan Yusuf.
"Pergi dari sini! Saya udah tidak mau melihat kamu!" tegas Yusuf.
Inayah dna Rido yang melihat perlakuan Yusuf itu terkejut. Namun, mereka tidak bisa apa-apa.
Sarifah dan Malik melihat dari kejauhan Queeny menangis meninggal pemakaman. Sarifah segera memeluk putrinya itu.
"Ayo, kita pulang aja ya, Nak." Sarifah membawa Queeny ke dalam mobil. Sementara Malik berjalan menuju makam Caca seraya berdoa untuk Caca.
"Di depan makan anak yang tak berdosa, orang dewasa seakan-akan tidak punya wibawa dan bersikap egois, tolong kalau ada masalah jangan marah-marah di depan anak yang baru saja berpulang. Dan kamu Nak Yusuf, mulai hari ini kami orang tua Queeny el Qorny mengambil lagi anak kami, kami tidak ikhlas anak kami diperlukan kurang baik," tuturnya dan kemudian ia kembali ke mobil.
Queeny pun pulang ke Bandung, Marlina mendengar kabar dari Queeny pun merasa sedih.
Tiga hari kemudian Queeny mendapatkan surat panggilan dari Queeny merasa tegang ketika menerima surat panggilan dari polisi untuk memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus Rangga.
"Ini surat apa, Nak?" tanya Sarifah.
"Ini surat pemanggilan sebagai saksi, mi. Aku harus ke Jakarta," kata Queeny.
"Oh begitu, yasudah kita dampingi kamu ya, Sayang?"
"Nggak usah umi, aku dijemput Marlina kok, umi jangan khawatir ya," ucap Queeny.
Pada hari persidangan, Queeny tiba di pengadilan dengan perasaan campuran antara kecemasan dan tekad untuk memberikan kesaksian yang benar. Dia duduk di kursi saksi, mata tertuju pada hakim dan pengacara yang siap untuk bertanya.
Pengacara penuntut pun mulai mengajukan pertanyaan, "Queeny, tolong ceritakan semua yang kamu saksikan dalam kasus ini."
Queeny dengan hati-hati dan detail menceritakan semua yang dia lihat dan alami sehubungan dengan kasus Rangga. Dia menjelaskan setiap peristiwa yang dia ingat dengan jelas, berusaha memberikan informasi yang seakurat mungkin.
Pengacara pembela pun mulai mengajukan pertanyaan dan mencoba menggoyahkan kesaksian Queeny, namun Queeny tetap teguh pada kesaksiannya dan tidak berubah dalam keterangannya.
Setelah menjalani pemeriksaan yang cukup panjang, Queeny akhirnya selesai memberikan kesaksiannya. Dia merasa lega bahwa dia telah menjalani kewajibannya sebagai warga yang baik dalam mencari kebenaran.
Kemudian, persidangan berlanjut dengan kesaksian dari saksi-saksi lainnya yaitu Yusuf. Queeny melihat suaminya itu yang sudah mencampakkannya, Yusuf tidak bereaksi ketika ia berjalan berpapasan dengan Queeny.
'Mas, bagaimana pun aku tidak pernah menyesal menikah denganmu,' batin Queeny.
Selesai sidang, langkah Queeny dan Marlina terpangkas ketika melihat Yusuf ada di hadapannya.
"Boleh saya bicara sebentar?" ucapnya.
"Boleh," kata Queeny singkat.
Queeny dan Yusuf duduk di depan gedung pengadilan setelah persidangan selesai. Mereka berdua terdiam, tetapi ekspresi wajah mereka menggambarkan segala emosi yang terpendam. Queeny merentangkan pandangannya ke langit biru yang mendung, mencoba menyembunyikan kebingungannya di balik tatapannya yang kosong.
Yusuf akhirnya mengucapkan kata-kata dengan suaranya gemetar, "Queeny, maafkan aku. Sepertinya pernikahan ini salah, aku tidak berpikiran akan berdampak begitu besar pada Caca, Caca yang seharusnya aku jaga dengan baik malah berakhir seperti ini, aku begitu trauma dengan sebuah hubungan dan kini aku kembali jatuh di lubang yang sama."
Air mata terkumpul di mata Queeny saat dia mendengar kata-kata Yusuf. Hatinya hancur, dan dia bisa merasakan perasaan penyesalan Yusuf.
Yusuf melanjutkan, "Aku merasa bahwa saatnya memberimu kebebasan. Kamu harus hidup dengan bebas, Queeny. Aku akan membiarkanmu pergi kemanapun kau pergi, hiduplah dengan caramu sendiri."
Pandangan Queeny masih tertuju ke langit, tetapi matanya berkaca-kaca. Dia berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat, suaranya gemetar saat dia menjawab, "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, Mas. Aku merasa begitu sedih dan tak percaya dengan semua ini."
Yusuf mencoba menenangkan Queeny, dia meletakkan tangannya lembut di pundak Queeny, mencoba memberikan dukungan yang dia bisa, "Aku tidak ingin melihatmu menderita. Kamu berhak bahagia, Queeny."
Setelah percakapan yang sulit itu, Queeny pun pergi. Marlina, membantunya mengemas barang-barangnya dari apartemen Yusuf.
Queeny dan Marlina sedang duduk di sofa apartemen Marlina.
"Gue nggak nyangka pernikahan lo bisa seumur jagung, padahal lo baru aja jatuh cinta sama tu dosen killer. Eh, sekarang dia udah nggak jadi dosen kan. Lo mesti sabar ya Queen," kata Marlina dengan memeluk Queeny.
"Udah jalannya kek gini, Mar. Hmm, gue mesti apa ya sekarang?" Queeny memeluk kedua kakinya.
"Coba impian lo sekarang apa?" Marlina mencoba memancing.
"Gue sebenernya pengen ke Turki, oh iya bener pemerintah kan lagi ngadain beasiswa Turki."
"Mar, gue pinjem laptop lo deh," kata Queeny yang kemudian Marlina memberikan laptop tersebut.
Queeny segera membuka laptop Marlina dan matanya dengan fokus mengisi semua informasi di web tersebut.
"Lo mau ngapain si?"
"Gue mau kuliah di sana, Mar, kesempatan nagus nih doain gue ya mudah-mudahan bisa lolos, minimal administrasinya dulu deh."
"Amin, lah terus kuliah lo di sini gimana?"
"Gue mau keluar!" Tatapan Queeny penuh keyakinan.
"Hah?" Marlina melongo.