Lima detik kemudian, layar Queeny belum berubah. Queeny tidak melakukan apa-apa dengan laptopnya. Dia masih belum siap untuk membuka pengumuman itu.
"Kalau nggak lolos gimana?" gerutu Queeny sambil membayangkan tulisan tidak lolos di layar dan dia akan sedih karena masa depannya tak sesuai rencana.
"Tapi aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Mereka bilang usaha tidak akan mengkhianati hasil. Buka ajalah!" Queeny yakin dengan usaha yang ia lakukan dan dia menguatkan diri untuk membuka pengumuman. Apapun yang ada di dalam sana, penolakan atau keberhasilan, adalah hasil dari jerih payahnya.
Queeny menahan napas ketika membuka email. Dia me-restart emailnya dan menunggu bulatan di atas menu bergerak memutar selama beberapa detik. Queeny membuka mata.
Queeny meloncat-loncat kegirangan. Dia buru-buru membukakan pintu untuk ibunya dan memeluknya erat.
Umi kebingungan setengah mati. "Kamu kenapa sih?"
"Queeny lolos Umi!" sahut Queeny dengan nada antusias tak tertahankan.
"Queeny lolos!" ulang Queeny karena saking bahagianya.
"Lolos apa?" tanya Umi memastikan.
"Queeny dapat beasiswa kuliah di Turki." Queeny menangis terharu di pelukan ibunya.
Umi terpaku. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena akhirnya impian anaknya terwujud dengan segala ikhtiar yang sudah Queeny lakukan. Di sisi lain, Umi sedih karena itu berarti dia harus merelakan Queeny pergi ke negeri orang yang tidak dekat.
"Umi akan bilang ke Abi. Kamu siap-siap, ya. Acaranya sebentar lagi akan dimulai."
Queeny menatap ekspresi datar ibunya. "Umi nggak suka Queeny lolos?"
Umi memaksakan diri untuk tersenyum. "Suka. Umi senang kamu lolos."
Queeny tau apa yang dikatakan ibunya tidak sepenuhnya benar. Dia memberikan ibunya pergi ke ruangan lain untuk melaporkan kelulusan itu kepada Abi.
Queeny masuk ke dalam kamarnya membaca ulang hingga empat kali email dari pihak pemberi beasiswa. Dia tidak salah lihat, dia memang lolos.
Queeny menghubungi Marlina. Dia tidak sabar ingin mendengar reaksi Marlina ketika memberitahunya kalau dia lolos.
Namun Marlina tidak menerima panggilan Queeny hingga ketiga kalinya. Queeny paham, Marlina pasti sedang sibuk. Karena itulah dia memutuskan untuk bersiap-siap dan menghubungi Marlina nanti.
Acara empat bulanan akan dilaksanakan dengan sangat meriah. Beberapa kerabat datang ke rumah untuk mendoakan Queeny.
Perasaan Queeny selalu cerah dan ceria di hari itu. Dia tidak bisa melupakan kebahagiaannya karena pengumuman kelolosan yang ia terima pagi hari tadi.
***
Di sisi lain, seorang laki-laki berpakaian formal keluar dari area meeting sebuah kafe. Laki-laki itu adalah Yusuf. Dia terlihat untuk pertama kalinya sejak pagi tadi melakukan meeting penting dengan beberapa rekan kerjanya.
Yusuf menghentikan langkah karena mendeteksi wajah yang ia kenal sedang duduk di samping jendela sendirian.
"Arga!" pekik Yusuf kepada sosok laki-laki seumurannya sekaligus temannya itu.
"Yusuf," sahut Arga. Tersenyum bangga ke arah Yusuf.
"Sendirian?" tanya Yusuf lalu bergabung ke meja Arga.
Arga memperhatikan sekitar. Dia tidak melihat Yusuf juga bersama dengan seseorang. "Kamu juga sendirian."
Yusuf mengangguk tak kentara. "Memangnya harusnya dengan siapa?"
"Queeny."
Ekspresi cerah Yusuf berubah suram. "Bagaimana kabarmu?"
Arga tertawa mendengar Yusuf berdalih dari pertanyaannya. "Lumayan. Kemarin ada beberapa kasus yang harus kutangani. Kepalaku pusing menyelesaikan kasus itu."
"Jangan marah, tapi aku benar-benar penasaran apa yang terjadi antara kamu dan Queeny."
Yusuf tidak bisa berdalih lagi. Mau tak mau dia harus menghadapi pertanyaan yang selama ini hindari.
"Yusuf, kamu sudah mengalami beberapa kali patah hati. Seharusnya kamu tau mana saja wanita yang membuatmu nyaman."
Yusuf melirik kesal. "Kau menganggapku seperti itu?"
"Ya, seperti itulah kenyataannya," sahut Arga sambil agak tertawa.
Yusuf mengulum senyum.
"Jujur, aku kecewa padamu karena sudah meninggal gadis sebaik Queeny," sambung Arga.
Sialnya Yusuf tak punya kalimat untuk menjawab kritik Arga.
"Jika saja aku bisa, aku ingin menggantikanmu. Sayangnya, aku tidak bisa. Kamu sudah menyia-nyiakan dia, Yusuf. Aku tidak bercanda."
Arga berubah menatap serius ke arah Yusuf membuat Yusuf merasa terintimidasi.
Ada dua buah email dari penyedia beasiswa. Mungkin email itu terkirim dobel. Queeny membuka salah satunya sambil menutup mata. Jantungnya terus berdetak. Jari-jarinya terasa berkeringat dingin.
"Queeny, kamu sudah bangun?" tanya Umi dari balik pintu sebelum Queeny membaca semua pengumuman di email.
Queeny menghela napas kesal karena harus menghadapi gangguan lebih dulu.
"Queeny!" seru uminya sambil mengetuk pintu beberapa kali.
"Iya, Umi!" sahut Queeny dengan suara lantang.
"Sudah bangun? Kenapa dikunci pintunya?"
Queeny menggeram. "Bentar lagi Queeny keluar."
"Sedang apa kamu?"
Queeny mengabaikan ibunya dan membaca email kelulusan lagi. Semakin ke bawah matanya semakin membelalak. Dia paham beberapa kata dalam bahasa Inggris dan dia tau apa yang sedang dia baca saat ini bahwa dia dinyatakan lulus seleksi. Dia mendapatkan beasiswa impiannya.
"AAA!" teriak Queeny membuat Umi langsung syok dari depan pintu.
"Queeny, kamu kenapa?!" teriak Umi sambil menggendor-gedor pintu karena khawatir.
Queeny berada di dalam mobil bersama dengan Umi dan Abinya untuk menuju ke bandara. Hari ini dia akan bersiap untuk pergi ke Turki, melakukan riset bersama dengan kenalannya yang sudah lebih dulu berada di Turki.
Sejak tadi pagi Umi dan abinya belum pernah bicara apa-apa. Queeny tau mereka sangat cemas dengan kepergiannya ke negeri lain padahal Queeny sudah berjanji untuk menjaga diri.
"Udah lah Umi, nggak usah sedih-sedih gitu. Queeny akan baik-baik saja."
Umi tidak menjawab dari kursi depan. Abi juga sama.
"Queeny bisa jaga diri dengan baik di sana. Lagipula, ada Karmila yang akan menemani Queeny."
Umi menghela napas. "Setiap kali kamu bilang kamu bisa jaga diri, kamu ingat apa yang terjadi?"
Queeny tau apa maksud uminya. Dia selalu ceroboh dan berakhir tak bisa menjaga diri.
"Itu dulu, sekarang Queeny akan lebih berhati-hati lagi."
Dengan terpaksa Umi dan Abi melepaskan Queeny di depan bandara karena mereka ada urusan pesantren yang harus dilakukan pagi ini.
Queeny tidak diantara hingga ke dalam area bandara, itu justru membuat Queeny agak tenang.
"Hubungi Umi kalau sudah sampai di Turki, oke?" Umi mencium kening Queeny dan memeluknya sangat erat.
"Queeny akan jaga diri. Umi dan Abi nggak usah khawatir."
"Jangan lupa makan tepat waktu dan jaga kandungan kamu." Umi menatap perut Queeny yang semakin membuncit.
"Jaga diri kamu baik-baik!" pesan abi dari dalam mobil.
Queeny mengalami mereka satu persatu dan memberi salam sebelum masuk ke dalam bandara dan berpisah dengan kedua orang tuanya.
Queeny duduk di kursi tunggu sebelum pesawat akan diberangkatkan. Dia menatap kerumunan yang membuat kepalanya pusing. Tubuhnya masih lemas, mungkin karena dia sedang hamil anak pertama, tapi Queeny tidak akan membiarkan kesehatannya menghalanginya menikmati hari menyenangkan ini.
Ada telepon dari Karmila, orang yang akan menemani Queeny di Turki.
Queeny buru-buru menerima panggilan itu.
"Halo!" sapa Queeny dengan nada gembira.
"Halo, Queeny. Kamu sudah sampai?"
"Belum. Ini masih di bandara Jakarta. Sebentar lagi naik pesawat."
"Berarti masih lama, ya, sampainya."
"Ya, lumayan."
Karmila terdiam selama beberapa detik membuat Queeny menunggu jawaban dari Karmila.
"Nanti akan kujemput di bandara. Hubungi aku kalau sudah sampai, ya."
"Oke."
Karmila mematikan panggilan.
Queeny merasa seperti orang hilang di tengah kerumunan orang-orang yang berkelompok. Dia baru saja ingin pergi ke mall untuk berbelanja beberapa kebutuhan, tapi dia ingat kopernya sudah tidak muat dimasuki barang-barang, karena itulah Queeny tetap duduk di sana sambil menunggu pengumuman untuk naik ke dalam esawat.
Di sisi lain, Yusuf sedang berjalan di area bandara ketika langkahnya semakin berhenti karena melihat sosok Queeny. Yusuf benar-benar berhenti di tengah lalu lalang orang. Dia menautkan alis dan menatp lekat-lekat sosok yang mirip Queeny itu.
Dia memang Queeny, bukan orang yang mirip Queeny.
Hati Yusuf seperti tersiram air es yang menyejukkan. Rasa rindu dalam hatinya sedikit terobati. Dia ingin sekali menyapa Queeny, mencimnya, dan memeluknya, tapi dia ada sesuatu dalam dirinya yang menahannya.
Yusuf hanya memperhatikan Queeny dari kejauhan. Tangannya terkepal merasakan emosi rindu yang begitu kuat. Tapi dia tidak bisa menemuinya.
Queeny terlihat berdiri. Menatap sekelilingnya seolah mencari sesuatu. Yusuf terperangah melihat perut buncit Queeny.
Tunggu, apa dia ... hamil? Yusuf menatap tak percaya. Queeny hamil anaknya? Yusuf melangkahkan kaki untuk menemui Queeny tepat saat pengumuman kepada penumpang berbunyi.