16

2081 Words
Sebetulnya Abi memang teman Raja yang paling sering berkunjung. Rizka juga menyukai anak itu, hanya saja dia tidak bisa se-akrab Mamanya Abi dan Raja yang sesuai dengan penuturan putra semata wayangnya itu, mereka bisa mengobrol berjam-jam tanpa ada Abi di rumah. “Kamu ga mau istirahat duluan aja di kamar Raja?” tanya Rizka pada Abi. “Ga usah Tante, aku nunggu Raja aja,” ucap Abi pada Mama-nya Raja. Sudah berteman sejak lama tapi Abi memang tidak mengubah panggilannya. Kalau Raja dengan Mama-nya mah beda. Mama Fay mungkin rela kehilangan Abi selagi beliau punya Bang Ammar dan Raja. Sering sekali Abi kalah saing oleh temannya ini. Rizka menghela napas panjang mendengar penolakan ketiga yang ia dapatkan. Seingatnya, Raja pernah cerita bahwa Abi adalah Abang sepupu Jana. Dalam beberapa menit ke depan Raja sudah pasti pulang dan kalau Abi tetap duduk di sini, sia-sia Jana kabur dari rumah selama tiga bulan terakhir. Rizka tidak tega melihat anak seriang Jana harus berakhir dijodohkan dengan pria yang tidak dia sukai. “Ya sudah, Tante ke Nenek dulu, ya. Nenek belum makan obatnya.” “Iya, Tan. Anggap rumah sendiri aja,” ucap Abi nyengir. “Memang rumah Tante kok ini.” “Iya, makanya jangan sungkan.” Rizka menggeleng-gelengkan kepala melihat bocah tersebut. Setiba di kamar mertuanya, Rizka menyipitkan kedua mata sambil memangku tangan di d**a. Mama jelas sedang tidak tidur ketika dia membuka pintu tapi sekarang beliau memejamkan kedua matanya. Mama sama nakalnya dengan Raja kalau sudah sakit seperti ini. Mana tidak ada yang berani memarahi beliau. “Yang meyakinkan dong, Ma, bohongnya.” Rizka mendapati Mama Siti masih enggan membuka mata. Kelopak matanya bergerak terlalu gelisah untuk seseorang yang harusnya terlihat sedang tidur. Rizka tidak percaya bahwa orang tua akan bertingkah seperti anak-anak sampai ia mendapati sendiri Mama mertuanya beberapa minggu terakhir. Wanita itu kemudian sengaha menghela napas panjang setelah sebelumnya duduk di pinggir ranjang. “Gini nih, suamiku pergi kerja dari pagi sampe sore malah ada yang sampe malam kaya sekarang, anakku satu-satunya bukannya nyari istri malah sibuk main sama Nenek mudanya. Mertuaku, satu-satunya yang biasanya selalu diandalkan malah lebih milih tidur.” “Kenapa kamu sama Bilal ga punya anak lagi aja?” “Kata orang yang anaknya cuma satu kaya aku,” cibir Rizka. “Suami Mama meninggal muda, beda sama kamu yang suaminya masih ada dan kamu juga belum menopause, masih sempat kalo mau nambah anak.” “Anakku yang harusnya udah punya anak, Ma. Cucu Mama yang sejak ada Jana suka keluyuran tiap hari. Untung dia ga punya adik atau aku bener-bener ditinggal main tiap hari.” “Cucu Mama udah pulang belum?” tanya Siti pada menantunya. “Belum.” “Mama belum makan ini,” ucap Siti dengan kedua alis menyatu. Wanita lansia itu juga terdengar merengek barusan. “Makan masakan aku aja, yuk,” ajak Rizka sambil mengingatkan mertuanya bahwa beliau belum memakan obatnya. “Mama nunggu Raja aja.” “Mama yang begini bikin aku merasa masakanku udah ga seenak dulu. Padahal sendirinya belajar dari Mama.” “Kamu suka mengeluh yang ga penting ya, sekarang. Nanti Mama suruh Bilal ngajak kamu bulan madu lagi.” “Mama!” ucap Rizka tidak terima. “Raja yang disuruh cepat-cepat nyari istri terus bulan madu dong. Aku-aku mulu yang Mama urusin.” “Raja udah ada pawangnya. Untuk saat ini Mama cuma bisa nyuruh yang udah halal aja.” “Mama juga suka sama Sabine?” tanya Rizka sambil memijat tangan mertuanya. Wanita itu tersenyum malu-malu mengingat bahwa ada satu gadis cantik yang menatap putra semata wayangnya dengan penuh cinta. “Suka.” “Tuh, ‘kan.. kapan kita lamar dia, ya, Ma? Mama yang rajin dong makannya biar cepat sembuh. Biar kita bisa baralek gadang.” “Sebelum kita lamar anak itu, kamu Mama kasih PR dulu.” “PR apaan?” “Nyari tau siapa yang anak kamu suka. Main asal lamar, cucu Mama bisa kabur dari rumah, Riz. Kalo cucu Mama kabur, nanti siapa yang masukin Mama ke liang lahat?” “Ih, Mama suka gitu.” Rizka mengatakan bahwa dirinya sudah mulai muak mendengar kata liang lahat yang sering keluar dari mulut Mama akhir-akhir ini. Memangnya beliau tidak ingin melihat cucunya sendiri menikah? Tidak mau menimang cicitnya? “Mama udah ikhlas pergi karena udah tau cewek seperti apa yang cucu Mama suka.” “Raja udah ngaku ke Mama siapa yang dia suka?” tanya Rizka mengabaikan kalimat yang mengatakan bahwa mertua yang dia anggap sebagai Mamanya sendiri itu bersedia berpisah dengannya dan Bilal. “Bukannya lebih aneh kalo justru kamu yang tau siapa yang cucu Mama sukai?” kekeh Siti. Di saat yang bersamaan Raja berdiri mematung di ambang pintu. “Nek!” panggil pria itu lengkap dengan tatapan, ‘Jangan ngomong apa-apa lagi, Nek, please!” Rizka melotot dan mengingat siapa yang ia tinggalkan di depan sana. “Kamu udah ketemu sama Abi? Jana mana?” tanya wanita itu panik. Tidak sempat protes tentang Raja yang dengan tidak adilnya curhat masalah cewek pada Neneknya, dan bukan pada Mamanya. “Kamu Mama telfonin dari tadi, coba sesekali Mama ini dianggap penting, Ja! Jana mana?!” Siti yang tidak mengerti tampak bingung. Apa hubungan Abi dan Jana dengan kemarahan menantunya? “Jana aman, Mama. Jana nginap di rumah temennya. Kami udah tau Abi mau nginap di rumah,” terang pria itu tenang. “Mama bantu ambil piring boleh? Nenekku belum makan, ‘kan?” tanya Raja sambil menatap Neneknya dengan kedua mata menyipit. “Dari tadi Nenek nungguin makanan dari kamu,” ucap Rizka masih kesal. Kalau Raja pulang seperti biasa, Mama pasti sudah menyelesaikan makan malamnya. Sejak sakit beberapa waktu lalu, nafsu makan Mama memang turun. Apapun yang dimasakkan untuknya tidak pernah habis. Kemudian Jana dan Raja iseng-iseng membelikan berbagai jenis makanan tiap kali mereka keluar dan ternyata Mama bisa menghabiskan makanan yang Raja belikan. Wanita itu segera meninggalkan kamar sang mertua untuk mengambilkan piring agar Mama bisa segera makan. “Jarang-jarang Mamamu marah, Ja,” ucap Siti sambil menepuk ranjangnya. Meminta sang cucu segera mendekat. “Mana Jana-nya Nenek, Ja?” goda Siti pada cucu semata wayangnya itu. Sebetulnya wanit aitu ingin bertanya seperti, “Mana Jana-mu, Ja?” tapi dinding rumah ini terlalu tipis. Bisa syok menantunya nanti. Raja menjelaskan bahwa Nenek tidak akan bisa bertemu dengan Jana-nya itu selagi Abi menginap di rumah. Tapi Raja berjanji Abi tidak akan menginap lama. Anak itu tidak bisa meninggalkan Mamanya terlalu lama. Raja juga menjelaskan bahwa Abi yang Nenek kenal sebagai temannya sejak kecil adalah Abang sepupunya Jana sehingga beliau mengerti dengan situasi keseluruhan. “Jana ga punya teman disini.” Nenek benar, tidak ingin membuat Neneknya yang sedang sakit punya beban pikiran, Raja mengatakan, “Jana aman di apartemen.” “Apartemen siapa?” Raja menatap langit-langit kamar Neneknya. Kira-kira sedang berpikir, ‘Jawabnya apa, ya?’ “Ooh.. udah nyicil ya dikit-dikit,” ucap Siti mengerti. Cucunya tidak punya apartemen, Jana pun tidak punya properti tersebut. Nyicil? ulang Raja membatin. Pria itu kemudian menatap sang Nenek yang ternyata sedang senyum malu-malu. “Apaan sih, Nek. Masa aku tinggalin adik Nenek di luar gitu aja. Atau di hotel gitu? Ini adik kesangan Nenek loh yang lagi kita omongin.” “Iya, iya.. Nenek paham. Kesayangan Nenek banget itu, kamu jangan sampe ga sayang sama kesayangan Nenek.” “Ga, Nenek kayaknya ga paham.” “Paling paham mah Nenek walaupun udah tua begini.” “Nek..” panggil Raja memelas. “Kamu beli apa hari ini?” tanya Rizka di saat yang bersamaan. “Coto Makassar, Ma.” Raja berdiri kemudian pamit. Ada Abi si pria paling tampan se-antariksa yang merasa Sabine sedang menyukainya di depan sana. Raja menjatuhkan dirinya di sofa seberang sofa yang Abi duduki. Dia hanya melirik sekilas temannya itu kemudian memejamkan matanya. “Udah makan lo, Bi?” tanya-nya. Raja merasa perlu menanyakan ini jika Abi berada di rumahnya karena tiap kali pria itu berada di rumah Mama Fay, dia tidak pernah merasa lapar sama sekali baru diajak makan. “Ga butuh gue basa-basi lo! Dari tadi gue disini sampe bikin nyokap lo ngecekin gue berkali-kali. Untung gue udah anggap ini rumah sendiri jadi ga akan pergi walaupun diusir.” “Siapa juga yang berani ngusir lo. Bokap gue bahkan ga berani negur lo kalo lo udah terlalu banyak omong,” kekeh Raja. Pria itu bisa merasakan betapa gugupnya Mama hari ini. Sampai mengecek Abi berkali-kali. “Bokap lo emang ga mau gue berhenti nyocot. Soalnya anak beliau kaya orang bisu. Ngomongnya pas ditanya atau pas dimarahin aja.” Mendengar hal tersebut Raja mencibir. Dia sudah terlalu nyaman dengan posisinya yang sedang berbaring ketika teringat sesuatu. Bangkit, Raja meninggalkan Abi yang kembali protes. Katanya Raja sok sibuk sekali hari ini. “Apaan nih?” tanya Abi. Barusan Raja melemparnya dengan sesuatu. Berniat marah tapi ternyata dia dilempar dengan satu kantong jajanan mulai dari roti-rotian sampai kripik aneka rasa. “Makan aja! Bukannya fungsi utama cocot lo buat makan?” tanya Raja. Abi menatap Raja dengan senyum aneh. Aneh bagi Raja karena selain tersenyum, temannya itu menyatukan kedua alisnya. “Makan aja gue bilang! Ga butuh gue makasih dari lo.” “Lo baik begini ada maunya, ‘kan? Biar gue ga rebut Sabine? Tenang aja ta-i! Gue ga suka sama calon bini lo itu.” “Terserah lo ya, Bi, ya! Gue ngantuk.” Senyum Abi makin lebar. Dia yakin sekali bahwa Raja sedang menyogoknya agar tidak membalas perasaan Sabine. Siapa juga yang sudi punya hubungan lebih dari sekedar anak sahabat Mama dengan cewek tidak tau malu itu? Tapi karena suapan ini berasal dari lubuk hati si pembalap yang paling dalam, Abi tidak akan menyia-nyiakannya. Pria tersebut mengikuti Raja ke kamar. Dia mengaku mengantuk padahal tidak ada yang namanya tidur kalau Abi menginap. Mana camilan segini banyak, bisa untuk sampai subuh ini mah. >>> “Lo- sialan lo, Ja!” pekik Abi kesal karena Raja meninggalkannya di tengah-tengah game begitu saja. “Sabar,” kekeh Raja pada Abi yang kepalanya sejajar dengan kaki Raja. Keduanya tidur dengan kepala di kaki masing-masing. Abi di kepala ranjang sedangkan Raja di sisi berlawanan. Nenek: Ja Begitu pesan yang Raja dapatkan barusan. Me: Kenapa Pria itu tersenyum begitu melihat tanda bahwa Jana sedang mengetik di pojok kiri atas layar ponselnya. Nenek: Bang Abi curiga ga kenapa kamu bisa tau semua yang dia suka? Raja mendengus membacanya. Abi ini temannya dari sebelum sunat. Memangnya Jana pikir hanya dia saja yang tau snack favorit Abi? Me: Ganggu aja lo, Nek. Kalo ga penting ga usah chat. Sayang Nenek: Hah? Sayang? Raja belum selesai mengetikkan balsan tapi Abi menendang sebelah tangannya sehingga pesan tersebut terkirim. “Lo ngapain sih Bi? Ke kamar tamu aja sana lo!” ucap Raja kesal. “Gue nungguin ini! Kita udah kalah gara-gara lo. Mana sayang banget yang barusan tuh.” “Sabar gue bilang!” Me: Maksud gue, Sayang layar ponsel gue bisa aus dipake buat balasin chat lo yang ga penting. Nenek: Durhaka banget kamu! Nenek: [Mengirim foto] Raja mencibir melihat screenshot chat mereka dimana Jana mengganti nama kontaknya dari Cucu menjadi Khaleef Kundang. “Malin Kundang kali,” kekeh Raja sebelum mengabaikan Jana yang pasti sedang kesepian. Bagaimana tidak kesepian, setiap hari selama beberapa bulan terakhir, agenda wajib gadis itu adalah mengganggu Raja. Seolah Raja yang bernafas saja itu salah sekali. Papa saja enggan lama-lama di ruangan yang sama dengan mereka. Raja dan Abi kembali mabar dengan damai ketika notifikasi pesan tersebut kembali memecah konsentrasi Abi. “Lo kalo keluar lagi demi balesin chat ga penting, lo gue tendang beneran.” “Ga akan keluar gue.” Nenek: Makasiii.. kamu batal jadi Khaleef Kundang. Begitu isi pesan tersebut, berikutnya Raja menerima foto semangkuk coto Makassar. Pria itu teringat Jana tidak punya apapun untuk makan malam di apartemen yang baru mereka dapatkan sore tadi. “Woi!” “Hm?” “Lo lagi deket sama siapa? Itu siapa yang berani bikin temen gue senyum-senyum sendiri?” “Sama Nenek gue.” “Nenek yang lagi terbaring sakit di kamar lain di rumah yang sama sama lo ngechat elo?” “Nenek gue yang dari Padang. Ati-ati mulut lo, Bi! Nenek gue sehat dan bakal terus sehat.” “Memang ada Nenek yang dari Padang?” tanya Abi yang tidak pernah mendengar hal ini. “Ada lah.” “Nenek lo ada cucu cewek yang bisa jadi bini gue, ga?” “Ga ada. Lo usaha sendiri dong, Bi!” “Ini juga usaha Khaleef!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD