Ana mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari-cari asal suara tersebut yang ku tahu apa itu. Aku tak ingin dia melihat sesuatu yang tidak perlu ia lihat, aku ingin meraih pergelangan tangan Ana namun saat aku ingin menyentuhnya ia menarik tangannya terlebih dahulu. Aku memanggil namanya beberapa kali namun ia tak menggubris perkataanku.
“Jangan ke sana Ana.”
"Bagaimana jika ada keluargamu yang terluka? Bagaimana jika dia membutuhkan pertolongan?."
Tiba-tiba Ana berlari hingga membuatku mengejarnya namun perlahan-lahan kakiku berhenti, pandanganku mengabur karena mataku mulai berkaca-kaca. Ana melihat dalam penerangan yang mengabur di antara pepohonan, perlahan-lahan Ana mendekat untuk melihat apa yang terjadi.
Ada seorang pria yang tengah berlutut dengan kepala yang berlumuran darah dan memar yang membiru, bajunya terlihat kotor dengan darahnya sendiri. Rambutnya di cengkram seorang yang berdiri di sebelah kanannya. Pria yang mencengkram pria yang tengah berlutut itu tampak terkejut melihatku, kepalanya tertunduk, menurunkan pandangannya dariku. Ana terlihat sangat terkejut, anak buah Shitler, menganehkan ia berada di kawasan yang seharusnya tak ia jamah.
"Tuan Xander."ia menyapaku.
"Jacob sudah tahu?."
"Tentu saja."
"Bereskan. Jangan sampai ada yang melihatnya lagi."banyak dari tamu undangan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sini, aku tak ingin ada yang melihatnya atau mendengar teriakannya lagi seperti apa yang Ana alami.
"Baik tuan."
Aku membalikan tubuh Ana dari sana, mengajaknya untuk pergi, ia tampak terguncang karena hal itu. Aku menggendongnya, ia tampak terkejut melihat pria tadi, yang pantas mendapatkan nya karena masuk ke kawasan yang tak seharusnya ia masuki. Kami tak akan membiarkannya keluar dari sini dengan informasi apapun yang ia dapatkan dan Shitler harus tahu jika kami tidak akan melonggar padanya.
Pertama kalinya aku melihat Ana serapuh ini, ia hanya diam dengan wajah sendu. Ia terlihat kacau, aku menaruhnya di atas tempat tidur, menarik bantal untuknya, Ana bersandar di bantal dengan kedua kaki tertekuk. Aku mengambil air di atas meja untuknya. Aku duduk di pinggri ranjang, di hadapannya. Terus memerhatikannya.
"Kau harus melupakannya!."gumamku. Ana berhenti minum, matanya melirik ke arahku. kini ekspresinya berubah kesal.
"Apa yang terjadi padanya? Kenapa kau melakukan hal itu!."dan kini ia malah menyalahkanku, Ana tak tahu apapun hal ini membuatku kesal karena merasa frustasi harus menjelaskan sesuatu padanya. kapan ia akan mendengarkan perintahku tanpa penjelasan untuk suatu hal.
"Aku tidak melakukan apa-apa."
"Kenapa kau membiarkan mereka membunuhnya!."Karena mereka pantas mendapatkannya. Haruskah aku berkata begitu agar Ana bisa mengerti kenapa ia di perlakukan seperti itu. tapi yang ku lakukan hanyalah diam, aku tak bisa memberitahukannya tentang hal ini.
"Tinggalkan aku sendiri."ia bergumam lirih, setelah menaruh gelas di atas bufet samping tempat tidur Ana bergerak mundur seolah tak ingin mendekat denganku. Melihatnya seperti ini membuatku bingung, perasaan aneh itu memukulku. Ana menyandarkan kepalanya ke bantal hingga membuatnya mendongak menatap langit-langit lalu ia memejamkan mata. Tubuhku bergeser mendekatinya, menariknya ke dalam pelukanku, lalu tiba-tiba saja Ana menangis. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan hingga ia menjadi sekacau ini. tidak ada yang bisa ku lakukan selain terdiam di sisinya dan membiarkan ia menangis hingga membuatnya lebih tenang.
Perasaan ku ikut kacau melihatnya menangis, ini pertama kalinya aku melihatnya menangis seperti ini. Ana terlihat sangat kuat, ia seperti wanita yang berbeda, kupikir ia tidak akan pernah menangis tapi malam ini ia terlihat sangat berbeda, bukan Ana yang biasa berdebat denganku dan membuatku jengkel karena tak mau mendengarkanku. Ia menarik diri, wajahnya memerah, dadanya bergemuruh karena isak tangis.
Aku menyingkirkan rambut yang menutupi keningnya, menyentuh sisi wajahnya. “maafkan aku.”gumamnya lirih. Aku tak mengerti kenapa ia minta maaf, sebelah alisku terangkat bingung. Jari telunjuknya menunjuk kemejaku yang basah karena air matanya. “aku membuat kemejamu kotor.”
“tidak apa-apa.”
“aku mau itu.”Ana menunjuk sesuatu di belakangku hingga membuatku mengikuti arah pandangnya.
“tidak alkohol Ana.”
“Aku sangat frustasi sekarang, tidak bisakah hanya sedikit saja.”ia membuat kedua jari telunjuk dan ibu jarinya di hadapanku. Meyakinkanku ia hanya ingin sedikit saja. “aku butuh menenangkan diri.”
“tapi bukan dengan alkohol.”aku menolak, tahu betapa kacaunya dia jika meminum alkohol. Wajahnya memberenggut tampak kesal, dan matanya berkaca-kaca seolah ia akan menangis. Lalu isakan kecil lolos dari bibirnya, dia juga membuatku frustasi, bukan hanya dia yang memiliki rasa itu astaga.
“baiklah, hanya sedikit.”Ana mengangguk-anggukan kepalanya cepat, kini senyum di wajahnya terlihat sumringah, kedua matanya sudah sangat sembab karena menangis. Aku membuka botol wiskie dan menuangkannya di kedua gelas kosong yang berada di atas meja dekat sofa. Lalu kembali menghampiri Ana yang berada di atas tempat tidur, menyodorkan gelas itu padanya lalu kembali duduk di hadapannya. Ia meraih gelas itu dengan kedua tangannya, menggenggamnya dengan erat. Aku meminumnya setelah Ana.
Kami hanya diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya Ana mulai mengatakan sesuatu dan matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Apa kau juga akan membuatku seperti itu? berdarah-darah seperti itu?.”
Aku tak berniat melakukannya, sampai kapan dia akan memikirkan hal itu akan terjadi padanya. ia meneguk minumannya lagi lalu menatapku dengan kedua matanya yang sayu, sesekali ia masih terisak karena tangisannya. “aku tidak mau seperti itu Tristan. Jika kau sudah selesai dengan sandiwara ini kau tidak akan membunuhku kan.”
“aku tidak akan melakukannya.”aku memalingkan wajah ketika meneguk minumanku hingga habis, menyentuh bibir gelas dengan jari telunjukku. Sementara Ana ia kembali melanjutkan perkataannya..
“aku belum menikah dan aku mengiginkannya kau tahu, memiliki anak. Jadi jangan bunuh aku dulu oke.. jika kita sudah selesai jadilah mantan yang baik. Biarkan aku bahagia pada pria lain jangan bunuh aku seperti pria yang tadi.”
Hatiku tertegun mendengarnya, aku berdecak lalu kembali menatap Ana. Wajahnya tertunduk menatap ke arah gelasnya yang tersisa sedikit cairan.
"seharusnya aku sudah menikah waktu itu, mungkin sekarang aku sudah memiliki anak dan tidak bertemu denganmu. Seharusnya aku tidak egois."gumamnya lirih. Ia tengah berbicara tentang mantan kekasihnya, rasanya aneh lagi. perasaan yang ku rasakan kini, aku tak suka ia berbicara tentang pria lain.
"Kau tidak akan membunuhku kan?!." ia berkata tentang hal itu lagi. Lama kelamaan aku menjadi muak, aku tak akan membunuhnya dan tidak akan pernah ku lakukan. Aku tidak ingin mendnegar kalimat itu lagi.
"berhenti berkata begitu, aku tidak akan membunuhmu jadi percayalah padaku Ana."
Ia hanya diam, masih memutar-mutar gelas itu di hadapannya.
"seharusnya kita tidak bertemu Tristan."gumamnya lirih. Ana kembali meneguk minumannya hingga habis, ketika tatapan kami bertemu jatanya terlihat sangat sayu, ia mabuk.
"kau dengar itu."katanya lagi.
Aku menarik gelas itu dari tangannya dan menaruhnya di atas bufet dengan gelas milikku, menariknya mendekat lalu menempelkan bibirku padanya. Bibir Ana menjadi sangat lembut ketika menangis, aku menggerakan bibirku, menyentuh permukaan bibirnya yang lembut dan manis seperti madu. Aku menyukainya, mencium bibirnya. Ana kau sepertinya menginkatku, karena kini jantungku berdebar lagi, perasaan aneh ini,... aku menyukainya.