Aku menghampiri Ana dan duduk di sebelahnya, matanya mengikuti kemana aku pergi dan saat aku berada di sebelahnya ia masih memerhatikanku. Ia tengah merangkai bunga seperti apa yang nenek lakukan, Ana tidak ahli dalam hal itu, rangkaiannya berantakan. Aku di sana bukan untuk membantunya tetapi hanya untuk melihat perkerjaan yang tengah dilakukannya, aku ingat dahulu nenek kerap kali meminta bantuan untuk melakukannya dengan iming-iming pembelajaran atau sekedar penyaluran hobby, waktu luang, tapi aku menolaknya secara cepat tanpa berpikir, aku lebih suka bersama kakek, diajari caranya menembak sesuatu.
"Darimana saja kau?."kepalanya sedikit ditundukan ke arahku untuk membisikan sesuatu.
"Dari mana ya.."Matanya berubah sengit. Aku tersenyum menyukai ekspresi nya saat aku membuatnya jengkel. Aku mengambil salah satu tangkai bunga tersebut dan Ana mengambilnya lagi dariku, beberapa kali hingga akhirnya ia memukul tanganku, aku terkekeh niatan untuk menjahilinya malah semakin besar. Ketika aku mengambil dua tangkai sekaligus darinya ia langsung merebutnya.
“hentikan itu.”bibirnya mendesis, tatapannya sengit, aku mengabaikan hal itu.
“jangan mengganggu Tristan.”nenek menatapku, ada senyum di wajahnya yang berusaha tak ia tunjukan di hadapanku dan Ana.
“benar, kau sangat mengganggu, pergilah.”aku tidak mau, belum pernah ada yang mengusirku dan Ana adalah satu-satunya orang yang berani melakukan hal itu padaku. Aku tetap di sana, duduk di sebelahnya dan mencoba untuk diam, tapi sulit untuk melakukannya karena rasanya selalu ingin menarik tangkai bunga itu dan memindahkan posisinya, membuat Ana memarahiku lagi dan lagi. Aku tak tahu dengan apa yang ku lakukan sekarang. Ponselku berbunyi, ada sebuah email masuk. Baru saja aku melihat ponsel untuk melihat pesan tersebut nenek menegurku.
“Ajak Ana bermain di pantai Tristan, jangan terlalu banyak memikirkan pekerjaan.”Ana memutar tubuhnya menghadap ke arahku, matanya berbinar terlihat sangat antusias dengan perkataan nenek. Aku tidak berharap nenek berkata tentang hal ini.
“Tristan sangat keren bermain Jetski.”reflek Ana menoleh pada nenek sebelum kembali menatapku dengan wajah berbinar, ia terlihat sangat bersemangat. Matanya seolah berkata ayo pergi, tunjukkan padaku.
“benarkah? Kau tidak pernah cerita.” Kedua mataku berputar malas. Bagaimana bisa aku cerita, tiap kali bertemu dengannya yang kita bahas hanyalah mafia, bukannya pertukaran biodata untuk mengenal satu sama lain.
“Tristan terlalu malu untuk menyombongkan dirinya!.”timpal nenek.
“benarkah? Aku rasa dia malah suka melakukan hal yang sebaliknya.”gerutu Ana mencibir, secara terang-terangan dia mengatakan betapa sombongnya aku. Aku tidak berpikir demikian, jika yang dia maksud mengenai peti mati itu, aku rasa itu bukan apa-apa. Aku pikir tidak ada salahnya jika aku sombong bukan.
“baiklah. Ganti bajumu jangan memakai dress.”Aku bangkit berdiri dengan Ana yang menyusulku, ia berlari-lari kecil untuk berdiri di sebelahku, menyamakan langkah kakiku yang membuatku melambatkan langkah kakiku. Ia terlihat sulit, keningnya mengerut beberapa kali saat wajahnya mendongak saat berbicara denganku dan menunduk melihat ke arah langkah kakinya.
“aku benar tentang nenek dan kakekmu yang mengaggapmu seorang Gay.”ia menyenggol lenganku, tertawa karena perkataannya sendiri. lagi-lagi dia membahas tentang Gay.
“lalu apa jawabanmu?.”kedua matanya mengerjap bingung.
“Apa! Aku.. aku berkata tidak yakin.”ucapnya dengan suara ditarik-tarik, mataku melirik ke arahnya dengan bibir tersenyum. Ana terlihat ragu, mereka tidak akan percaya aku adalah Gay. Kakek pasti tahu apa yang aku lakukan dia suka memata-mataiku dan mencari kabar apa yang tengah ku lakukan di New York, nenek aku tidak tahu tapi yang jelas mereka tidak akan berpikir demikian. Aku tidak berpura-pura untuk menjadi cucu yang baik.
Ana menatapku dengan tatapan aneh, dari atas ke bawah. Aku pikir tidak ada yang salah denganku hingga membuatku memeriksa pakaian yang ku kenakan sendiri, kaus dan celana pendek selutut. Ana tidak buruk dalam memilih pakaian, ia hanya kurang memiliki stok pakaian yang cocok untuk dirinya, ia harus berhenti berpakaian kaus dan celana jins di New York, aku berniat untuk membelikannya pakaian dan melihatnya dengan beberapa gaun yang cocok di tubuhnya. Kami pergi menuju pantai, aku bertanya tentang apa saja yang nenek tanyakan di taman tadi dan dia mengatakan apa saja yang nenek katakan. Beberapa kali ia tertawa mengingat ucapan nenek yang menceritakan sesuatu mengenai ku. Informasiku bocor.
“jangan percaya itu.”kataku setelah mendengar salah satu perkataan nenek mengenaiku, dia berkata jika aku terlihat sangat menyukainya.
“kau seharusnya menjadi actor, aktingmu luar biasa.”kedua mataku berputar malas. Aku tidak suka menjadi pusat perhatian sebesar itu. Sesampainya di pantai jetskinya sudah ada, dan beberapa orang yang akan mengawasi apa yang akan kami lakukan. Ana terlihat tidak sabaran, bibirnya berkedut menahan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya. Seperti bocah berumur 5 tahun yang sangat antusias untuk menaiki wahana. Kupikir kedua kakinya menahan diri untuk tidak loncat kegirangan karena keterlaluan bersemangat untuk melakukan hal ini. Aku dan Ana memakai pelampung sebelum menaiki nya, ia duduk di belakangku dengan kaku, saat jetskinya bergoyang ia mencengkram pelampungku.
“kita tidak akan jatuh ke air kan?.”
“jika kau ingin berenang kau bisa melakukannya, kau tidak akan tenggelam karena memakai pelampung. Tapi jika kau tidak mau berenang maka kita di atas jetski saja.”
“ide yang bagus, lagi pula aku tidak suka berenang.”mendengarnya membuatku tertawa.
“kau siap?.”aku bertanya dulu memastikan ia sudah siap untuk hal ini, Ana terlihat tak suka berenang tapi ia sangat antusias untuk melakukan hal ini. dia adalah wanita yang aneh.
“tentu saja.”ia berteriak tepat di dekat telingaku.
“sudah?.”aku memastikan lagi.
“Yup.”
“peluk pinggangku.”
“Apa!.”ia terdengar sangat terkejut dengan permintaanku. Butuh beberapa detik ia berpikir lalu dengan ragu-ragu kedua tangannya melingkar di pinggangku. Aku tertawa, hampir saja terbahak-bahak. Bibirku tidak bisa berhenti untuk tidak tersenyum. Aku menyalakan jetski, melajukannya setelah Ana memelukku. Pelukannya mengencang ketika jetski ini melaju, Ana berteriak kencang dan menjerit kegirangan. Aku senang mendengar suaranya yang sesenang ini, membuatku bergerak lebih jauh ke tengah laut. Berputar-putar dengan dua orang yang mengawasi kami, salah satunya menggunakan kamera untuk mengambil gambar, sesuai dengan permintaanku tadi, biarkan Ana memiliki kenang-kenangan ini. Cukup lama berputar-putar di tengah laut aku menghentikkannya ketika kami akan kembali ke tepi pantai. Menoleh pada Ana di belakangku.
“mau mencoba nya?.”
“Ta.. tapi aku tidak bisa.”Ana terdengar ragu-ragu, ia terlihat menginginkan tapi takut untuk mencobanya. Aku berdiri untuk bertukar posisi dengannya.
“Tristan.”teriak Ana, mencengkram sisi jetski yang bergoyang saat aku berdiri, melihatnya panik malah membuatku ingin tertawa. Ia takut jatuh, aku tidak akan membiarkannya terjatuh.
“tidak apa-apa.”aku pindah ke belakangnya dan Ana bergerak maju dengan terpaksa. Ia kelihatan bingung saat aku menuntunnya untuk melakukan apa yang harus ia lakukan dengan benda ini.
“seperti menaiki motor matic.”
“tapi aku tidak bisa memakai motor matic.”gerutunya. astaga.
“anggap saja menaiki sepeda.”aku membantunya, mengajarinya untuk mengemudikan benda ini. Ana menuruti apa yang ku katakan. Baru kali ini ia benar-benar mendengarkan perkataanku tanpa mendebatkannya. Seharusnya ia melakukan hal ini.
“santai saja ketika mengemudikannya. Relax.”ucapku karena Ana terlihat takut. Dia seharusnya yakin tidak ada yang akan terjadi padanya, aku akan memastikan itu. dia harus percaya padaku.
“tentu saja ini membuatku tegang, aku sedang berusaha tenang jangan paksa aku.”
“kau benar-benar payah.”
“diamlah Tristan. Ohoh.. Ya tuhan. Haha.”ia panik, hampir melepaskan kemudi kalau saja aku tak menahan tangannya.
“tenanglah.”bisikku di dekat telinganya.
“WOW.”teriak Ana bersemangat, kini ia bisa melakukannya, perlahan-lahan. Ia bisa melakukannya, kami berputar-putar tidak terlalu jauh. Cukup lama hingga akhirnya aku kembali memegang kendali, Ana terlihat lelah, tidak mudah mengendarai benda ini untuk pemulai, menahan jetski di atas ombak tidak semudah yang di bayangkan. Ia meminta untuk bertukar tempat duduk dan aku menyetujuinya. Ana terlihat lelah, ia hanya memeluk tubuhku, aku berputar sekali lagi cukup jauh lalu kembali ke tepi pantai, kami berdua tidak boleh kehilangan banyak tenaga, pesta kebun nenek nanti malam, khususnya untuk Ana ia tak boleh mengantuk saat di pesta nanti walau aku ragu ia akan merasakannya.
**
Kami sampai di kamar dan Ana langsung membanting dirinya di atas tempat tidur, ia erlihat sangat kelelahan. Matanya langusng terpejam, saat aku kembali dari toilet ia sudah meringkuk, terlelap dengan AC menyala. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya, bersandar pada headbpard ranjang tempat tidur. Ana tidak buruk untuk dijadikan partner, dia lucu dan kerap kali membuatku tertawa, perasaan ini baru untukku, hal-hal yang membuatku lelah di kantor karena segudang pekerjaan yang menguras pikiranku akan lenyap saat aku berbicara padanya dan ketika dia membuatku tertawa atau tersenyum mendengar perkataan konyolnya juga mimik wajahnya yang kesal karena aku meledeknya. Kedua tanganku bersedekap, masih memerhatikan Ana.
Aku terbangun dengan tubuh tersentak kaget, menyadari aku baru saja tertidur. Ana masih terlelap di sebelahku dengan posisi yang sama. Aku memutuskan untuk mandi lebih dulu lalu membangunkan Ana untuk bersiap-siap. Ana di bantu dengan dua orang wanita yang di minta nenek untuk merias wajahnya, Ana tak bisa melakukannya. Ana terlihat cantik untuk beberapa saat aku terpaku pada penampilannya yang sangat berbeda, seperti bukan Ana tapi ini memang dia. Tetap saja aku lebih suka tanpa semua warna itu di wajahnya. Gaun itu lagi-lagi cocok di tubuhnya, melihatnya dengan gaun itu membuatku semakin ingin membelikannya beberapa untuk di New York. Aku ingin melihatnya mengenakan beberapa gaun, aku akan membelikannya setelah pulang dari sini.
“aku seperti baru saja terkena sihir ibu peri.”gumamnya menggerutu.
Aku menghampiri Ana untuk membawanya segera pergi menuju taman belakang, aku mengenal beberapa orang dari mereka, sebagian besar adalah kolega kakek. Aku tak mengerti kenapa mereka di undang, beberapa dari mereka yang di undang adalah orang-orang yang kakek tahu menusuknya dari belakang. Saat aku masuk bersama dengan Ana, tatapan penasaran itu menerjang kami, tak sabaran untuk mencari tahu siapa wanita yang berada di sebelahku mereka menghampiri kami, melirik ke arah Ana penasaran. Senyum simpul ku tunjukkan saat mereka menyapaku, aku memperkenalkan Ana sebagai kekasih, hal itu mengejutkan mereka sepertinya. Ana semakin baik melakukan hal ini bersama ku, ia mencoba untuk berbaur, dan mengenalkan dirinya sendiri sebagai kekasihku. Aku menyukai caranya berinteraksi, ia bagus dalam hal itu, aku senang ia tak bersikap kaku.
“Tuan Xander, sudah lama tidak melihat anda di San Fransisco,”Frank menyapaku, membawa wanita simpanannya yang berbeda lagi, ia memiliki banyak wanita berbeda yang di ajaknya ke setiap pertemuan, setelah perceraiannya dengan istri pertama 3 tahun lalu ia tak pernah membawa wanita yang sama ke dalam pertemuan yang berbeda. Matanya melirik ke arah Ana sebelum benar-benar menatapnya, membuat keningku mengerut.
“kenalkan kekasihku, Ana. Ana kenalkan Frank.”
Mereka saling menjabat tangan, Ana menyerngit mencoba menarik tangannya yang digenggam Frank. Aku menarik lengan Ana, menunjukkan secara terang-terangan untuk menghentikkan jabatan tangan itu. Frank menunjukkan ketertarikannya pada Ana dan aku menolak untuk berbagi dan membiarkannya membawa Ana pada pertemuan nya yang lain.
“kau cantik Ana.”
“terima kasih.” Aku senang Ana tidak menimpalinya dengan kata-kata kau juga tampan. Wanita yang berada di sebelahnya tersenyum padaku, aku tak suka basa-basi ini. mereka berdua harus enyah dari hadapanku.
“kapan-kapan mampirlah ke tempatku Tristan, ada hal menarik yang bisa kita bicarakan.”ia merujuk pada bisnisnya yang sama sekali tak menarik minatku. Berjudi bukan sesuatu yang ku sukai. Nenek menghampiri kami dan memperkenalkan kami berdua pada temannya.
Teman lamaku, Devian datang dia salah seorang kawan ku di SMA. Kami masih berkomunikasi sampai sekarang. aku senang berbisnis dengannya, dia pria yang bisa membaca grafik saham cukup tepat. Dia menarik perhatianku membicarakan beberapa perkerjaan hingga nenek menepuk lenganku dan memberitahukanku jika Ana tengah menari. Mengejutkanku karena aku tak percaya ia melakukannya, dia bahkan tak memberitahuku dulu dan malah menghilang tiba-tiba. Pantas saja, tidak mengherankan melihatnya sedang bersama dengan siapa sekarang.
Ana mengajakku untuk bergabung, aku menggelengkan kepala tidak berminat untuk melakukan hal itu. aku menatapnya dari sini, merasa kagum melihat keahlian lainnya yang di miliki Ana. Tubuhnya bergerak dengan lihai, ia pandai melakukan hal itu. Aku rasa aku mengenal wanita yang tepat, dia sangat menakjubkan. Saat bibirnya tersenyum, ia menarik perhatianku pada bibirnya. Jantungku berdebar dengan keras, sentakan diri untuk menghampirinya sangat keras. Setelah selesai kakiku berjalan ke arahnya tanpa sadar. Dia sudah berada di hadapanku dengan nafas tersenggal-senggal. Ia tertawa dengan mawar di bibirnya.
“kau hebat.”gumamku, menatap matanya yang indah. Sesuatu dalam diri mendorongku untuk melakukan sesuatu, Ana berniat mengambil mawar dari bibirnya, tanganku menghentikkan pergerakan tangannya, menyingkirkannya sebelum mengambil alih mawar itu, membuangnya ke lantai lalu meraih kedua pipinya dan menempelkan bibirnya. Aku ingin melakukan hal ini sejak tadi. Menyentuh bibir Ana yang lembut, jantungku terasa keras, berdebar cukup kencang. Aku menyukai bibirnya, Ana membuatku kehilangan kendali diri.