Part 8 (Hadiah Kecil untuk Rania)

2077 Words
Part 8 (Hadiah Kecil untuk Rania) "Kak Bara?” Suara Rania terdengar memanggil-manggil di telinganya. Bara yang sudah nyaris terlelap dengan tubuh tergeletak lemas di serambi masjid pun langsung membuka mata dan duduk dengan tegak. Ia melihat ke kanan, kiri, depan, hingga memutar tubuh ke belakang untuk mencari sosok yang telah memanggilnya. Namun, tak ada seorang pun yang ia lihat di sana. Bara lantas berdiri dan mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut masjid. Ia juga berjalan ke pekarangan. Namun, tetap saja ia tak melihat sosok anggun yang mengganggu tidurnya pagi ini. Bahkan, ia juga tak melihat keberadaan Pak Amin di masjid An Nur. ‘Apa hanya halusinasiku saja karena merindukannya?’ batin Bara. “Rania, kupikir ia benar-benar di sini. Mungkin aku terlalu merindukannya,” gumam pemuda itu. Bara kembali merebahkan tubuhnya di serambi masjid. Napasnya masih terengah-engah, terlebih saat mencari sosok gadis yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak pagi ini. Ia kembali memejamkan mata untuk meneruskan tidurnya dengan bibir yang menyungging senyum karena merasa pikirannya sudah dipenuhi oleh sosok gadis bernama Rania. Pikirannya perlahan terbawa ke alam bawah sadar. Namun, baru beberapa menit ia menikmati tidurnya, kembali suara seseorang mengejutkannya. Bukan suara Rania, melainkan suara Pak Amin yang cukup keras dan terdengar sangat panik. Bara mencoba menghiraukan dan terus tertidur, karena ia berpikir itu mungkin hanya halusinasinya saja akibat terlalu lelah. "Astaghfirullah! Bara, kamu kenapa?" Pak Amin yang baru keluar dari kamar mandi segera berlari menghampiri pemuda yang tampak sangat lemah itu. Semalaman ia menunggu pemuda malang itu kembali ke masjid. Tak ada seorang pun yang bisa ia tanya untuk mengetahui keberadaan Bara. Alangkah kagetnya pria paruh baya itu melihat Bara tiba-tiba saja tergeletak tak berdaya di serambi masjid. "Bara ...." Pak Amin menepuk-nepuk pelan pipi Bara. Rasa khawatirnya begitu besar melihat kondisi pemuda yang baru saja menjemput hidayah itu. Perlahan Bara membuka mata. Ternyata ia tidak berhalusinasi. Pak Amin benar-benar berada di dekatnya. "Saya tidak apa-apa, Pak," jawabnya lemah dengan mata yang masih tampak sangat berat untuk dibuka. "Tidak apa-apa bagaimana?!” protes Pak Amin. Pria berhati lembut itu pun segera berlari untuk mengambilkan air minum untuk Bara. "Ayo duduk. Minumlah," pinta Pak Amin seraya membantu Bara duduk dan menyandarkan punggung di dinding masjid. "Minum dulu." Pak Amir menyodorkan segelas air ke hadapannya. Bara membuka matanya lebih lebar, lalu menghabiskan air di dalam gelas hanya dengan tiga kali tegukan. Ia benar-benar merasa kehausan, dahaga yang begitu besar setelah berlari dan menghadapi para pengikut Bandot. Pak Amin berdiri membawa gelas untuk mengambilkan air minum lagi untuk bara. "Sudah, Pak, cukup. Terima kasih," cegahnya dengan suara yang terdengar lebih bertenaga. Napasnya pun mulai teratur. Pak Amin kembali duduk di sampingnya dan meminta pemuda malang itu untuk beristirahat di kamar. "Tidurlah di kamarmu. Istirahat,” pinta pria tua itu dengan lembut. Di wajah teduhnya terpancar jelas rasa khawatir dan kasih sayang yang besar untuk Bara, pemuda asing yang baru dikenalnya beberapa hari. Ia pun membantu Bara untuk berdiri. "Saya bisa berjalan sendiri, Pak. Terima kasih. Bapak tidak usah khawatir melihat saya begini.” Bara tersenyum dan berlalu menuju kamarnya. Ia merebahkan tubuh jangkungnya yang teramat lelah di kasur. Persendian dan otot-ototnya terasa seperti ditarik-tarik. Ia tak bisa lagi memejamkan matanya seperti tadi. Pikirannya melayang pada Bandot. Lelaki bengis itu sudah melihatnya di pasar. Ia sangat khawatir Bandot dan para pengikutnya mengetahui tempat tinggalnya saat ini. “Bandot tidak boleh tahu aku tinggal di sini!” gumamnya dengan gigi-gigi yang terkatup rapat. Dadanya mendadak bergemuruh. Rasa benci terhadap Bandot dan rasa khawatir terhadap keselamatan orang-orang yang telah menolongnya, berbaur menjadi satu. Pak Amin, Rania, dua orang yang terus melintas di benaknya, yang ia khawatirkan akan menjadi sasaran Bandot jika pria bengis itu mengetahui keberadaan dan orang-orang yang telah menolongnya. Bayangan wajah Rania yang tertutup cadar pun melintas jelas dalam benaknya. Gadis itu, sorot matanya kembali mampu meneduhkan hati yang sedang terbakar. Tanpa sadar, bibir Bara kembali menyungging senyum mengingat wajah Rania yang tampak tersipu dari balik cadarnya. “Manis,” gumam Bara. “Rania ... kamu bidadari. Dan aku hanyalah pendosa yang ingin hidup lebih baik. Pantaskah aku mencintaimu?" Bara meragu akan cintanya. Sebab, ia tahu bahwa dirinya dan Rania seperti langit dan bumi yang begitu jauh untuk dijangkau dan sangat berbeda kedudukannya. Ia pun mengusap-usap wajahnya untuk menghapus bayang-bayang wajah gadis itu dari benarnya. “Allah, lindungilah selalu Rania,” ucapnya sebelum kembali menutup mata untuk meneruskan tidurnya yang tertunda. Ia mencoba menjemput mimpi yang teramat indah, meski sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada di hidupnya. *** Tiga jam terlelap membuat tubuh Bara kembali lebih segar. Ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sudah sejak kemarin ia tidak mandi. Tubuhnya terasa sangat lengket dan bau. Bahkan, bau keringatnya sendiri mampu membuatnya menutup lubang hidung rapat-rapat. Selesai mandi, Pak Amin sudah menyambutnya di dapur masjid. "Kamu sudah makan?" tanya pria paruh baya itu seraya menghampiri Bara. Wajah pemuda itu tampak sangat segar sekarang. Berbeda sekali saat ia menemukan Bara tergeletak di serambi masjid pagi tadi. "Sudah, Pak." Suara yang keluar dari bibir dengan yang keluar dari perut sangat bertolak belakang. Jelas sekali ia sangat kelaparan. Meski pagi tadi sudah sarapan di rumah makan Minang, tetapi ia memuntahkan kembali sumber energinya saat berkelahi dengan pencopet yang ternyata adalah salah satu anak buah Bandot. Perkelahiannya dengan para preman itu juga membuat tenaganya terkuras habis. Pak Amin tertawa kecil mendengar suara yang keluar dari perut Bara hingga membuat Bara menunduk dan tersenyum malu, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang masih basah. "Jangan berbohong. Anggap saya ini keluargamu." Ucapan Pak Amin membuat Bara termangu. Keluarga? Sebuah kata yang selama ini menyiksanya. Ia tak punya keluarga. Ayah yang tak pernah ia ketahui sosoknya. Ibu yang menelantarkannya. Sedang ayah angkat, menyiksanya dengan sadis, pemperlakukannya seperti seekor binatang. Mendadak kedua matanya terasa panas. Semburat gerimis terlihat pada sepasang manik hitam itu. Dadanya naik turun menahan amarah. Sebuah rasa yang ia tak tahu harus diluahkan pada siapa. Orang tuanyakah? Bandot? Takdir? Atau bahkan Tuhan? Tanpa sadar kedua tangannya terkepal erat. Gigi-giginya pun terdengar bergemeretak. "Bara? Apa saya salah bicara?" Pak Amin sedikit terkejut melihat perubahan sikap pemuda itu setelah ucapan terakhirnya. Ia khawatir telah mengatakan sesuatu yang salah, atau mengorek luka yang selama ini disimpan rapat-rapat oleh pemuda di hadapannya. Sebuah hubungan buruk tentang keluarga, pasti terjadi dalam hidup Bara, pikir Pak Amin. "Maaf jika saya salah bicara," ucap orang tua itu lagi, membuat Bara menoleh dan menyadari perubahan sikapnya, yang membuat Pak Amin merasa bersalah. Bara menarik napas berat untuk meredakan emosinya. Pak Amin tidak salah. Pria baik itu tak harus meminta maaf padanya. “Maaf, Pak. Saya hanya terbawa emosi. Bapak tidak salah. Mungkin, suatu hari saya akan cerita tentang kehidupan yang saya jalani," tuturnya. Pak Amin tersenyum lega. "Istighfar. Agar Allah menenangkan hatimu." Bara mengangguk. "Astagfirullahal adzim," ucapnya. Kalimat itu baru ia pelajari ketika belajar dengan Pak Amin. "Sekarang makanlah. Ini ada semur ayam dan tumisan dari Rania." Pak Amin membuka tudung saji di meja dapur masjid. ‘Rania?’ Batin Bara mendadak berontak untuk segera tahu tentang gadis itu. Bunga-bunga di taman hatinya pun bermekaran kala mendengar nama Rania disebut-sebut. "Rania, Pak? Apa dia tidak kuliah?" tanya Bara dengan sorot mata berbinar. Tampak sekali ia begitu antusias membahas gadis itu. "Tidak. Libur katanya. Dan kalau libur, biasanya dia masak, terus diantar ke sini." "Baik sekali ...," puji Bara. Wajahnya merona tiap kali mendengar nama gadis itu. Terlebih kisah tentangnya. Bara sangat ingin tahu lebih jauh tentang sosok gadis yang seumur-umur membuatnya merasa lebih bersemangat dan ingin melindungi seseorang. "Iya. Rania memang gadis yang baik." Pak Amin tersenyum melihat ekspresi pemuda di hadapannya. Wajah-wajah insan yang sedang jatuh cinta terlihat jelas di sana. Senyum pemuda itu terkembang tanpa melihat situasi. Dengan mendengar namanya saja, wajah tampan yang dingin itu langsung semringah dan tampak hangat. "Makanlah. Jangan tersenyum terus. Nanti kamu disangka gila," goda Pak Amin. Bara tertawa kecil mendengar ocehan Pak Amin. Ia segera mengambil piring dan menyendok nasi juga lauk pauknya. "Bismillah," ucapnya sebelum memasukkan nasi ke mulut. Enak. Jauh lebih enak dari masakan resto yang pernah ia datangi bersama Bandot. Sesuap demi sesuap, ia begitu menikmati tiap gigitan dari masakan buatan Rania. Gadis yang membuatnya tersenyum seperti orang gila. Ia pun tersenyum lagi mengingat ucapan Pak Amin barusan. ‘Rania, kamu sangat unik. Apakah aku bisa mendekatimu?’ tanyanya dalam hati. Ia tak sadar jika sedari tadi Pak Amin terus memperhatikannya, seperti orang tua yang mengetahui bahwa sang anak tengah jatuh cinta, cinta pertamanya. “Baskom, panci, pita, mainaaan ...!” Terdengar teriakan pedagang keliling di depan masjid. “Apa itu, Pak?” “Pedagang serba ada,” jawab Pak Amin. “Serba ada? Apa saja, Pak?” tanya Bara penasaran. “Banyak. Kalau kamu mau lihat, ke sana saja. Mana tahu ada yang kamu butuhkan, biar Bapak belikan. Sebentar, Bapak ambil uang dulu.” “Tidak usah, Pak!” cegah Bara cepat. Ia tiba-tiba terpikir sesuatu. Rania! Ia ingin sekali membelikan sesuatu, hadiah kecil untuk gadis yang tengah menari-nari di hatinya itu, menggunakan uang yang ia dapat dari hasil kerjanya semalam. “Saya ke sana dulu, Pak.” Ia segera berlari ke gerobak pedagang itu dengan penuh semangat hingga tanpa sadar ia memakai sandal yang salah. Sebelah kanan ia pakai sandal Pak Amin, satunya lagi memakai sandalnya sendiri. “Mau beli apa?” tanya Pak Amin. “Cuma lihat-lihat!” Bara segera berlari menghampiri pedagang dengan gerobak penuh berbagai macam barang dagangan itu. Ia pun melihat benda-benda yang mungkin bisa ia hadiahkan untuk Rania. “Cari apa, Mas?” tanya pedagang yang melihat Bara tampak bingung. “Eh, itu. Untuk perempuan,” jawab Bara gugup. “Maksudnya?” “Eemm, yang bisa diberikan untuk perempuan.” “Gadis?” tanya seorang ibu yang sedang memilih mangkuk plastik. “I-iya, Bu,” jawab Bara dengan ekspresi malu-malu, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ini ada ikat rambut, ada bros jilbab.” Ibu tersebut menunjukkan deretan aksesoris wanita pada Bara. “Oh, iya. Terima kasih, Bu,” jawabnya antusias. Bara pun melihat-lihat benda tersebut dan memilih sebuah bros jilbab berbentuk bunga mawar. ‘Kau seperti mawar. Indah, cantik,’ batin Bara seraya melihat bros jilbab yang tampak sangat cocok di matanya jika dipakai Rania. Ia pun membayar benda tersebut dan segera kembali ke masjid dengan wajah bahagia yang tak bisa ia tutup-tutupi. “Sepertinya lagi bahagia, sampai tidak sadar sandalnya salah,” ucap Pak Amin yang melihat Bara tersenyum-senyum sendiri setelah kembali dari melihat-lihat sesuatu di gerobak pedagang serba ada itu. Bara langsung menoleh ke kakinya. Ia melongo dan tersenyum malu pada Pak Amin, lalu menukar sandalnya pada orang tua itu. “Beli apa?” tanya Pak Amin penasaran, melihat Bara menggenggam sesuatu. “Tidak beli apa-apa, Pak,” jawab Bara berbohong. Ia malu jika Pak Amin tahu bahwa ia membeli sesuatu untuk Rania. Pak Amin hanya tersenyum dan tidak ingin bertanya lagi. Ia tahu bahwa pemuda itu masih malu-malu untuk mengakui perasaannya. “Pak, saya keluar sebentar.” Bara langsung berjalan keluar masjid. Pak Amin yang sudah mengerti ke mana tujuan pemuda itu, lantas tersenyum semakin lebar. “Semoga Allah beri jodoh terbaik untuk kalian,” doa orang tua itu. Bara terus melangkahkan kakinya menuju sebuah rumah. Rumah yang pernah ia masuki dengan mengancam Rania menggunakan pisau lipat yang selalu ada di sakunya. Setibanya di depan rumah berlantai dua tersebut, Bara hanya mematung. Degup jantungnya berdetak sangat cepat. Ada debar-debar di d**a yang belum pernah ia rasakan. Nyalinya mendadak menciut setelah berdiri di depan bangunan kokoh bercat putih itu. Ia lalu mengambil bros jilbab dari saku celananya. ‘Apakah Rania mau menerima hadiah murahan ini?’ pikirnya. Ada rasa rendah diri dan takut dalam diri Bara. Ia takut Rania akan menolak hadiah murahan itu, terutama dari orang tak jelas seperti dirinya. Tiba-tiba ia juga terpikir akan uang yang ia dapatkan dari hasil bekerja di klub malam. ‘Pantaskah aku memberikan sesuatu pada gadis alim itu dari uang yang kudapatkan di tempat maksiat?’ Batinnya kembali menolak apa yang sudah ia niatkan sejak di masjid tadi. Nyalinya untuk bertemu Rania dan memberikan hadiah kecil itu benar-benar hilang. Untuk pertama kalinya ia merasakan menjadi seseorang yang pengecut. Bara menggenggam erat bros itu dan menghela napas panjang. Dengan berat hati, ia menuruti kata hatinya. Ia pun berbalik meninggalkan rumah itu, memilih untuk membatalkan niatnya memberikan sesuatu untuk gadis bernama Rania. “Kak Bara?” Tiba-tiba sebuah suara terdengar memanggilnya. Bara menghentikan langkahnya dan berbalik, menghadap Rania yang berdiri di teras rumahnya. Bara merasakan aliran darahnya berdesir hebat melihat sosok anggun yang menatapnya penuh tanya itu. “Rania ....” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD