Part 9 (Berharap Lebih)
Gadis bermata indah dengan wajah yang masih tertutup dengan cadar itu berdiri menghadapnya dengan tatapan penuh tanya. Tatapan itu membuat d**a Bara semakin berdebar dan lidahnya kelu untuk berkata-kata.
“Rania ....” Bibirnya bergumam. Hanya itu yang mampu ia ucapkan.
“Ada apa, Kak?” Bara yang terus mematung membuat Rania tak sabar untuk menanyakan perihal lelaki itu berada di depan rumahnya.
Suara lembut gadis itu membuat Bara lagi-lagi merasakan desir-desir halus di seluruh aliran darahnya. Keindahan garis mata Rania seolah-olah telah menghipnotis Bara hingga tak mampu bergerak, dan akhirnya gagap berkata, “A-ada sesuatu untukmu.”
Dengan keberanian yang ia kumpulkan sekuat tenaga dan mengabaikan kata-kata hatinya untuk membatalkan niat, Bara akhirnya mengeluarkan sebuah benda kecil yang akan ia berikan kepada Rania dari saku celananya. Ia berjalan tiga langkah ke hadapan gadis itu dan menyodorkan bros jilbab berbentuk mawar di telapak tangannya.
Rania tertegun melihat benda itu di tangan Bara. Ia mengalihkan pandangan pada Bara untuk memastikan bahwa itu memang untuknya.
Seolah-olah mengerti akan tatapan Rania, Bara pun mengangguk.
Dengan hati-hati Rania mengambil hadiah kecil itu agar tak menyentuh tangan Bara. Jari-jari lentiknya tampak bergetar, seiring debaran di d**a yang mendadak menyergap Rania. Ada senang dan terkejut yang menyelimuti hatinya kini. Senyumnya terkembang di balik cadar, hanya menampakkan garis mata yang menyipit.
Kedua insan tersebut mematung tanpa kata dengan saling menundukkan kepala. Suasana yang canggung itu pun membuat Bara nyaris tak dapat bernapas, hingga membuatnya tak ingin berlama-lama di sana. Ia takut jantungnya akan meledak akibat terlalu kencang berdetak dan berdebar-debar tak karuan.
Bara lantas berbalik dan berlari kencang meninggalkan Rania tanpa kata-kata.
Sementara, Rania memandang punggungnya yang semakin menjauh sambil tersenyum. Lalu, ia pandangi hadiah pertamanya yang ia terima dari seorang pria. Bros yang cantik, pikir Rania.
“Terima kasih,” ucapnya pelan.
***
Di serambi masjid, Bara merebahkan tubuhnya yang lelah setelah berlari dari rumah Rania. Dadanya masih berdebar-bedar akibat pertemuannya dengan gadis itu. Ia pandangi langit yang cerah dengan senyuman yang lebar. Belum pernah ia tersenyum seperti ini sebelumnya. Hatinya yang kelam, perlahan mulai cerah dan berwarna.
Rania, gadis itu mampu mengubah hidupnya perlahan. Memberi warna dalam kehidupannya yang gelap.
Bara mengangkat satu tangannya ke atas, seolah-olah hendak menyentuh langit.
“Kau bagaikan langit cerah di atas sana. Apakah aku bisa menggapaimu?” gumamnya sambil membayangkan lukisan wajah Rania di awan.
***
Matahari mulai meninggi kala Bara selesai belajar membaca Iqra dengan Pak Amin. Panas yang menyengat tak membuat semangat belajarnya untuk bisa membaca Alquran mengendur. Ia manfaatkan waktunya sebaik mungkin untuk menimba ilmu dari orang tua yang memperlakukannya seperti anak sendiri itu.
"Ini buku tuntunan salat. Kamu bisa mempelajari dan menghafal bacaannya dari sini." Pak Amin menyerahkan sebuah buku berukuran 25x15 cm kepada Bara. Buku yang berisi bacaan salat dengan tulisan Arab, latin, beserta artinya. Juga dilengkapi dengan visualisasi gambar gerakan salat yang benar.
Bara membuka lembaran berisi gambar pertama yang memperlihatkan posisi seseorang saat takbiratul ihram. Di bawahnya, terdapat bacaan doa iftitah beserta artinya, yang dibaca setelah takbiratul ihram tersebut.
"Pelajari dulu, jika ada yang membuatmu bingung, tanyakan saja,” ujar Pak Amin.
"Iya, Pak. Terima kasih."
"Terima kasihnya bukan kepada saya."
"Lalu?" tanya Bara heran. Bukankah buku itu dari Pak Amin? Sepasang mata elangnya pun menyipit ingin tahu.
"Terima kasihlah kepada Rania. Dia yang membawakan buku itu kemarin sore. Dititipkan ke saya."
Rania. Nama itu lagi-lagi membuat bunga di hati Bara merekah. Apalagi mendapat perhatian seperti ini dari sang gadis, membuat pikirannya enggan menolak diisi oleh sosok bidadari tersebut. Ia merasakan degup jantungnya kembali berpacu seperti motor di sirkuit balapan.
"Apa Rania tidak menanyakan saya, Pak?"
Pak Amin mengerutkan dahi mendengar pertanyaan narsis dari pemuda di hadapannya.
"Ma-maksud saya ...."
Orang tua itu tertawa melihat Bara yang tampak salah tingkah dan berkali-kali mengubah posisi duduknya.
"Dekati Allah, maka Allah akan mendekatkanmu dengannya."
Pemuda itu mengerutkan dahi. Ia tidak mengerti maksud ucapan Pak Amin.
"Jika hatimu terpaut pada seseorang, mintalah kepada Dia, Zat yang menggenggam hatinya," jelas Pak Amin dengan mengacungkan telunjuk ke atas.
"Meminta kepada Allah untuk mendapatkan hati Rania. Begitukah, Pak?" Bara mulai memahami apa maksud dari ucapan orang tua itu.
Pak Amin mengangguk. "Tapi ingat, kamu berubah ke arah yang lebih baik, ke jalan yang Allah ridai, niatkan semata-mata hanya karena Allah. Bukan karena ingin mendapatkan hati seorang gadis."
Kata-kata Pak Amin menancap dalam di hatinya. Niat. Ia harus benar-benar meluruskan niatnya karena Allah. Bukan karena Rania, atau pun lainnya. Ia merasa harus benar-benar memahami tentang niat itu. Ia tak ingin hijrahnya hanya semata-mata demi manusia.
"Oh ya, bagaimana pekerjaannya? Sudah dapat? Bapak khawatir sekali semalam. Tidak tahu nomor ponselmu. Dan pagi tadi, kamu pulang seperti orang sakit,” tanya Pak Amin. “Tapi, begitu pulang dari rumah Rania, kamu sepertinya sangat gembira.”
Bara tersenyum mendengar kalimat terakhir Pak Amin. Lelaki paruh baya itu pasti melihat jelas perubahan dalam dirinya.
"Saya sudah dapat pekerjaan, Pak," ucapnya.
"Alhamdulillah. Kalau boleh tahu, kenapa semalam kamu tidak pulang?"
Pertanyaan Pak Amin membuatnya bingung harus menjawab bagaimana.
"Nak Bara?" tegur Pak Amin yang melihat pemuda itu termenung.
"Saya ...." Bara tampak ragu-ragu untuk memberitahukan pekerjaannya pada orang tua itu.
"Ya sudah kalau belum bisa bercerita. Saya harap kamu baik-baik saja."
"Terima kasih, Pak. Bapak baik sekali kepada saya. Padahal saya hanyalah orang asing yang tidak Bapak tahu asal usulnya," ucap Bara parau.
"Bapak percaya kamu orang baik. Semoga Allah selalu memberi petunjuk dan menjagamu." Pak Amin tersenyum dan menepuk pundak pemuda itu layaknya seorang ayah yang tengah memberi nasihat kepada anaknya.
"Terima kasih, Pak. Pak Amin adalah satu-satunya orang yang bersikap baik kepada saya." Semburat gerimis mulai tampak di mata Bara. Ia menarik napas berat, lalu memijat bagian antara dua alis. Ia mendongak untuk menahan air matanya agar tidak tumpah di hadapan orang lain, termasuk Pak Amin.
***
Anak-anak kecil berlarian di pekarangan masjid An Nur, menciptakan suasana ramai sore hari. Suara-suara ceria, jerit tawa anak-anak yang tak pernah Bara rasakan di masa kanaknya. Hanya tangisan, dan suara dentuman dari sebuah pukulan yang ia dengar dan rasakan selama hidup di bawah bayang-bayang lelaki bengis bernama Bandot, yang hingga saat ini masih mencari keberadaannya.
Riuh suara anak-anak semakin terdengar kala seorang gadis bermata bening melangkah ke dalam pekarangan masjid. Bara memandang gadis itu dari kejauhan, di sisi ujung serambi masjid. Sorot mata teduh Rania selalu mampu memberikan ketenangan tersendiri di hati Bara.
Gadis itu menunduk malu kala menyadari sepasang mata tengah menatapnya sejak tadi. Ia terus berjalan memasuki masjid tanpa menoleh sedikit pun ke arah Bara. Ia takut pandangan ke sekian kalinya akan membuat setan leluasa untuk menggodanya agar terus melihat seseorang yang bukan mahramnya.
Seperti biasa, gadis itu pun mulai mengajarkan anak-anak membaca Iqra dan menceritakan sebuah kisah kepada mereka. Di balik kaca masjid yang bening, sepasang mata masih betah memperhatikannya dari luar.
"Adik-adik, Kak Rania akan menceritakan kisah salah seorang sahabat bernama Khalid bin Walid. Ada yang pernah mendengar namanya?" tanya Rania pada para muridnya.
Semuanya menggeleng. Termasuk seorang pemuda yang khusyuk mendengarkan dari luar. Ia tak berani masuk untuk belajar lagi secara langsung dengan Rania. Ia merasa semakin malu setelah pertemuannya semalam, saat memberikan hadiah kecil untuk gadis itu.
"Khalid bin Walid adalah seorang sahabat yang sangat tangguh." Rania mulai bercerita. "Beliau adalah panglima perang. Ia mendapat julukan pedang Allah yang terhunus."
"Dia jago berkelahi, Kak?" tanya salah seorang murid.
"Bukan hanya jago berkelahi, tetapi juga jago dalam mengatur siasat perang. Dia adalah pemimpin perang terbaik. Setelah Rasulullah tentunya."
"Waah, hebat, Kak. Fatih ingin seperti itu nanti kalau sudah besar!" ucap salah seorang anak yang duduk di bangku kelas 3 SD.
"Aamiin. Siapa yang ingin seperti Khalid bin Walid?" tanya Rania.
"Saya! Saya!" Anak-anak itu saling berlomba mengangkat tangannya.
"Saya juga, Ustazah," gumam Bara tanpa beranjak dari tempatnya walau sesaat.
Pak Amin yang sedang membersihkan halaman masjid, hanya tersenyum melihat tingkah pemuda yang sedang kasmaran itu.
"Masyaa Allah. Hebat semua adik-adik Kakak," ucap Rania. "Tapi, apa adik-adik tahu kisah Khalid sebelum masuk Islam?"
Semua menggeleng. Termasuk seorang pemuda yang terus mendengarkan cerita yang keluar dari bibir gadis itu.
"Khalid awalnya adalah panglima perang dari kaum kafir Quraisy, kaum yang menyerang kaum muslimin pada saat perang Uhud. Saat itu, Khalid melihat celah kelemahan pasukan Muslimin. Mereka menjadi lemah setelah bernafsu mengambil rampasan perang dan turun dari Bukit Uhud. Dan saat itulah Khalid langsung menghajar pasukan Muslim. Namun, justru setelah perang itulah ia masuk Islam."
Anak-anak itu masih mencerna apa yang diutarakan Rania. Wajah polos mereka menyiratkan ketidakpahaman. Rania tertawa kecil melihat wajah-wajah lugu itu.
"Tidak apa-apa kalau belum paham," ucapnya.
"Saya paham, Ustazah!" Suara berat seorang pria mengejutkan Rania dan anak-anak. Mereka menoleh ke pintu. Pemuda itu berdiri menatap sang guru yang tersipu.
Bara melangkah ke dalam masjid, lalu duduk di antara para murid.
Rania terdiam. Lidahnya kelu untuk melanjutkan ceritanya. Tatapan mata pemuda itu tak lepas sedetik pun darinya, membuat degup jantung Rania berdetak cepat dan tak berani mendongak. Ia memilih melihat karpet masjid untuk menghindari bertemu pandang dengan pemuda itu.
"Silakan dilanjut, Ustazah," ujar Bara.
Gadis itu mengangguk dengan tetap menundukkan pandangan. Menatap hamparan sajadah di dekat gamisnya.
"Setelah itu ... Khalid masuk Islam. Ia menjadi panglima perang pada pemerintahan Abu Bakar. Memimpin 46.000 pasukan Muslimin, menghadapi tentara Byzantium yang berjumlah 240.000 pasukan."
Bara mendengarkan dengan saksama. Sementara, anak-anak saling memandang tak mengerti dengan apa yang diceritakan gurunya.
"Dengan jumlah yang tidak seimbang itu, apa yang terjadi, Ustazah?" tanya Bara antusias.
Rania memberanikan diri untuk memandang pemuda itu sejenak, lalu mengalihkan pandangan pada anak-anak yang masih tampak bingung, dan melanjutkan ceritanya.
"Bukan Khalid namanya jika tidak mempunyai strategi perang. Dia membagi pasukan Islam menjadi 40 kontingen dari 46.000 pasukan Islam, untuk memberi kesan seolah-olah pasukan Islam terkesan lebih besar dari musuh."
"Lalu?" tanya Bara lagi. Seolah-olah hanya ada Rania dan dia sebagai pendengar di dalam masjid ini.
"Strategi Khalid ternyata sangat ampuh,” lanjut Rania dengan memandang anak-anak muridnya bergantian, kecuali Bara. “Saat itu, taktik yang digunakan oleh Romawi terutama di Arab utara dan selatan yaitu dengan membagi tentaranya menjadi lima bagian; depan, belakang, kanan, kiri dan tengah. Heraklius telah mengikat tentaranya dengan besi antara satu sama lain. Hal itu dilakukan agar mereka tidak sampai lari dari peperangan," lanjutnya lagi dengan tetap memandangi muridnya satu per satu. Namun, ia selalu melewatkan pandangannya pada Bara, lelaki dewasa yang terus menerus bertanya tentang kisah salah satu sahabat yang ia ceritakan sore ini.
"Kegigihan Khalid bin Walid dalam memimpin pasukannya membuahkan hasil. Membuat hampir semua orang tercengang. Pasukan Islam yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu berhasil memukul mundur tentara Romawi, dan menaklukkan wilayah itu."
Anak-anak itu mengangguk meski tak sepenuhnya paham apa yang diceritakan Rania. Sedangkan pemuda jangkung berkulit putih di antara mereka, hanya tersenyum memandangi wajah gurunya hingga Rania selesai menceritakan kisah sahabat Khalid Bin Walid tersebut.
***
"Ustazah!"
Langkah Rania terhenti di pekarangan masjid setelah mendengar seseorang memanggilnya. Suara seseorang yang sangat tak asing lagi baginya. Rania menoleh dan memastikan bahwa dirinyalah yang sedang dipanggil. "Saya?"
Bara mengangguk dan menghampiri Rania. "Terima kasih atas buku salatnya."
Gadis itu tersenyum dari balik cadarnya. Namun, tetap terlihat dari garis di sudut pelupuk matanya yang menyipit setiap kali bibirnya menyunggingkan senyuman. "Sama-sama. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan sebagai sesama Muslim," tutur Rania.
‘Sebagai sesama Muslim?’
Entah angin apa yang membuat d**a Bara mendadak sesak mendengar jawaban gadis yang berdiri hampir dua meter di hadapannya itu. Ucapan yang keluar dari bibir Rania, ternyata jauh dari apa yang ia harapkan. Hanya sebagai kewajiban sesama Muslim? Sungguh, ia berharap lebih dari itu.
"Terima kasih," ucapnya lemah dan berlalu meninggalkan Rania dengan tertunduk lesu.
Rania termangu menatap punggungnya lelaki itu. Ia tak mengerti apa yang salah dengan ucapannya sehingga ekspresi Bara yang sebelumnya tampak bahagia, tiba-tiba berubah muram dan tak bersemangat. Pemuda itu tak dapat menyembunyikan kekecewaan di wajahnya dari Rania.
‘Kak Bara, maaf jika jawabanku membuatmu kecewa. Kuharap kamu mengerti. Semoga Allah selalu membimbing hati kita agar tidak mengikuti hawa nafsu semata,’ batin Rania setelah punggung lelaki itu menghilang di balik pintu kamarnya.
Ia pun melangkah meninggalkan masjid, dengan hati yang sedikit terluka melihat Bara kecewa atas apa yang memang sudah seharusnya terjadi.
***