Part 21 (Tersedak)
Bara baru saja keluar dari kamarnya. Ia merasa lebih segar setelah beristirahat sejenak dan membersihkan diri di tempat yang sudah seperti rumahnya sendiri. Sejak berada di penjara, ia tidak bisa merasakan kesegaran seperti ini. Kesegaran menghirup udara bebas dan melihat awan yang menghias indah di langit biru.
"Kamu terlihat lebih kurus," ujar Pak Amin, memandang iba pemuda yang sudah seperti anaknya sendiri itu.
"Yang penting saya sehat, Pak," jawab Bara seraya duduk di kursi makan, tempat ia biasa menyantap makanannya bersama Pak Amin. Bara menatap meja yang penuh dengan berbagai makanan. Beberapa di antaranya adalah jajanan atau camilan yang selama ini belum pernah ia lihat.
"Makanlah yang banyak," kata Pak Amin, duduk di samping Bara.
"Bapak sampai menyambut kepulangan saya begini,” ujar Bara senang seraya memperhatikan beberapa jenis makanan yang sebagian tampak asing di matanya.
Pak Amin tertawa mendengar ucapan pemuda itu.
"Menyambut bagaimana? Bapak saja tidak tahu kalau hari ini kamu sudah bebas."
Bara tertawa kecil, lalu mengambil sebutir kurma sebelum menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piringnya.
"Ini buktinya, ada banyak makanan."
"Oh, itu tadi Rania yang mengantar,” jawab Pak Amin sambil mengambil sebutir kurma, lalu memasukkan ke mulutnya. Rasa manis langsung menempel di lidah orang tua itu.
"Uhuk!" Mendengar nama Rania disebut, membuat Bara yang sedang meneguk minuman jadi tersedak.
"Pelan-pelan saja minumnya," kata Pak Amin yang lantas tersenyum penuh arti. Orang tua itu tahu betul bahwa Bara menaruh hati pada Rania. Saat kunjungan mereka di rumah tahanan pun, Pak Amin bisa melihat bagaimana sorot mata Bara terhadap Rania. Ada rindu yang dipendam oleh pemuda itu dan terlihat dari sinar matanya setiap kali melirik Rania.
"I-iya, Pak," ucap Bara malu-malu, lalu kembali membasahi tenggorokannya.
"Orang tua Rania baru pulang umrah tadi pagi. Jadi membawakan oleh-oleh, diantar ke sini."
"Umrah itu pergi ke Arab, Pak?"
Pertanyaan Bara terdengar seperti seorang anak kecil yang lugu.
Pak Amin mengangguk. “Menjalankan ibadah di tanah suci Mekah.”
“Bapak sudah pernah ke sana?”
“Belum. Doakan ya, agar uang Bapak bisa segera terkumpul dan berangkat ke tanah suci sebelum waktunya malaikat mau menjemput saya.”
Bara menghentikan mulutnya dari mengunyah makanan setelah mendengar kata-kata “malaikat maut”. Ia takut kehilangan. Kehilangan orang terkasih untuk kedua kalinya. Ibu ... yang ia tak tahu di mana makamnya, mendadak menari-nari dalam benaknya. Sosok wanita yang penuh kasih itu telah pergi meninggalkannya di dunia ini untuk selamanya. Apakah Pak Amin juga akan melakukan hal yang sama?
Dada Bara terasa sesak. Ia tak bisa lagi menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. Ia pun permisi kepada Pak Amin untuk ke kamar mandi, untuk mengeluarkan makanan di mulut yang begitu sulit tertelan. Juga, untuk meredakan sesak di d**a akan kehilangan orang-orang yang begitu menyayangi dan ia sayangi.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Pak Amin panik begitu Bara kembali ke meja makan.
“Tidak apa-apa, Pak. Maaf,” ujar Bara singkat.
“Apa ucapan saya menyinggung sesuatu?”
Bara menggeleng. “Saya hanya takut kehilangan. Saya takut Pak Amin meninggalkan saya, seperti halnya ibu saya yang telah pergi lebih dulu,” lirih Bara. Suaranya terdengar berat. Ada kesedihan yang ia tahan di hadapan orang tua itu.
Pak Amin memahami perasaan pemuda itu. Ia pun tak ingin mengorek kembali luka lama yang mungkin sudah terkubur dalam di hati Bara.
“Semua yang bernyawa pasti mati. Jika hari ini Fulan, mungkin esok giliran kita. Setiap pertemuan akan ada perpisahan. Itu sudah takdir, dan harus kita jalani dengan ikhlas,” nasihat Pak Amin, berusaha untuk menenangkan hati Bara.
Bara mengangguk paham, meski ia belum bisa sepenuhnya tegar jika harus kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidup untuk kedua kalinya.
“Ayo, makan lagi!” ajak Pak Amin, yang terus berusaha untuk mencairkan suasana dan mengalihkan perhatian Bara dari hal-hal yang membuat pemuda itu sedih.
Keduanya tersenyum dan menikmati makanan yang dibawa Rania bersama-sama.
"Ngomong-ngomong, apa tadi kamu melihat Rania?”
Pertanyaan Pak Amin kembali membuat Bara tersedak.
“Kamu kenapa? Setiap Bapak sebut nama Rania, sepertinya kamu tersedak terus,” goda Pak Amin.
Bara tampak malu-malu dan menyembunyikan senyumnya dari orang tua itu.
“Tadi, ‘kan, Rania mengantar makanan ini, terus dia bilang mau mengobrol sebentar dengan Bapak, ada yang ingin dia tanyakan katanya. Terus dia bilang mau ke kamar mandi dulu. Selagi dia ke belakang, Bapak buka bungkusan yang dia bawa. Tapi, Bapak tunggu-tunggu anak itu tidak kembali juga. Malah Bapak melihat kamu di samping."
Bara berusaha menelan nasi yang terasa tersangkut di tenggorokannya setelah mendengar penuturan Pak Amin. Jelas saja orang tua itu tidak melihat Rania. Gadis itu langsung kabur setelah Bara melakukan kesalahan padanya. Dirinyalah yang menyebabkan Rania tidak jadi menemui Pak Amin.
"Tidak biasanya Rania begitu. Sepertinya terburu-buru sekali, sampai sandalnya pun tertinggal,” gumam Pak Amin.
"Ehem." Bara berdehem pelan dan meneguk air agar nasi di tenggorokannya bisa masuk. Cerita Pak Amin membuatnya merasa dipojokkan, meski orang tua itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Jadi … apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Pak Amin tiba-tiba.
"Hah?" Pemuda itu melongo mendengarnya.
"Kenapa ekspresimu begitu? Bapak kan hanya bertanya apa yang terjadi sampai kamu sekarang sudah dibebaskan? Memangnya, apa yang kamu pikirkan?" selidik Pak Amin yang tampak curiga dengan pemuda di sampingnya itu.
Bara menarik napas lega. Ia mengira Pak Amin bertanya apa yang terjadi dengannya dan Rania tadi.
“Apa jangan-jangan Rania kabur setelah melihat kamu?”
Mendadak makanan di mulut tersembur keluar diiringi batuk. Pak Amin segera menepuk-nepuk pelan pundaknya dan memberikan segelas air pada Bara. Kecurigaannya semakin besar melihat respons Bara. Pak Amin jadi semakin ingin tahu apa yang tadi terjadi di antara mereka. Namun, ada rasa kasihan dan geli setiap kali melihat pemuda itu tersedak setelah mendengar nama Rania. Pak Amin pun mengurungkan niatnya untuk menggali lebih jauh perihal dua insan muda itu.
“Makanlah. Maaf jika Bapak terlalu banyak bertanya,” ujar Pak Amin.
Bara tersenyum dan mengangguk. Mereka kembali menikmati makanan yang terhidang di hadapan.
Sembari mengisi perutnya, Bara mulai bercerita mengapa ia tiba-tiba dibebaskan dari segala tuntutan. Wanita yang ia tolong di klub malam itu ternyata membantunya keluar dari rumah tahanan. Dengan menjadi saksi dan memberikan bukti-bukti yang menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah. Dan sekarang, Kevin, lelaki yang memukulnya di klub malam itulah yang sedang menjalani sidang atas penggunaan narkoba.
“Alhamdulillah ... syukurlah. Janji Allah itu pasti. Dia benar-benar membantumu di saat yang tepat. Allah mengeluarkanmu dari pekerjaan di klub malam itu dan membebaskanmu dengan cara-Nya yang tak akan pernah terpikirkan oleh hamba-Nya.”
Bara mengangguk mendengar penuturan orang tua itu.
“Jadikan ini pelajaran yang sangat berharga untuk bisa lebih mendekatkan diri lagi kepada-Nya,” lanjut Pak Amin.
“Iya, Pak. Terima kasih sudah selalu mengingatkan saya, dan peduli dengan saya yang mendekam di penjara. Dan ... mau menerima saya meski saya bukan orang yang bayang
“Semua orang punya masa lalu. Baik atau buruk, tidak menjadi persoalan asalkan ia mau bertobat. Allah menyukai orang yang berbuat dosa kemudian bertobat. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan yang Allah berikan untuk menjemput hidayah-Nya, Nak Bara,” nasihat Pak Amin sambil meletakkan tangannya di pundak pemuda itu.
Bara mengangguk. Semangatnya lagi-lagi terpompa setiap kali mendengar kata-kata petuah dari Pak Amin, sosok orang tua bijak dan menyenangkan, yang belum pernah ia temui selama ini.
“Pak, besok saya akan mencari kerja lagi. Saya janji akan mencari kerja yang baik.”
Pak Amin tersenyum. Ia bisa melihat semangat darah muda yang mengalir dalam diri pemuda itu.
“Semoga Allah memudahkanmu. Insyaa Allah Bapak juga akan membantumu mencari pekerjaan.”
***