Part 20 (Tragedi di Masjid)
"Aku hanyalah insan yang tersesat, dan berlari keluar dari kegelapan. Dalam perjalanan itu, aku melihatmu di ujung cahaya. Rania, maukah kau menarikku ke sana?" ~Bara~
***
"Pak Amin, aku bebas!" teriak Bara sebelum menyadari siapa sosok yang kini berada dalam dekapannya. Sesosok tubuh mungil yang tertutup pakaian longgar, juga jilbab lebar yang terulur panjang ke bawah.
Bara merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan Pak Amin! Alarm dalam dirinya segera memberi peringatan. Ia langsung melepaskan pelukannya dan memandang wajah yang tertutup kain cadar dengan sorot mata penuh keterkejutan.
Sepasang mata indah itu terbuka lebar, menatapnya tak percaya, seolah-olah dunia sedang berhenti berputar.
"Rania?"
Degup jantung Bara berdetak tak karuan, seolah-olah sedang berpacu di sirkuit balapan. Wajahnya memerah menahan malu yang tak terkira, juga rasa bersalah yang mendadak menyelubungi seluruh permukaan hatinya.
Gadis di hadapan Bara menatapnya syok. Kelopak mata indah itu terbuka lebar. Kedua tangannya gemetar di sisi paha. Ia menggigit bibir bawah dari balik cadar. Tubuhnya mendadak kaku bak patung di museum. Detak jantungnya seirama dengan Bara, berdegup tak beraturan. Rania merasakan debaran yang sangat keras di dadanya. Ia bahkan nyaris tak mampu bernapas dengan baik.
"Ma-maaf. Aku kira—“
Bara belum sempat menyelesaikan kalimatnya, gadis itu langsung berlari kencang meninggalkan masjid An Nur. Rania bahkan meninggalkan sandal yang ia letakkan di bagian teras depan. I terus berlari kencang untuk segera menjauh dan menghilang dari pandangan pemuda itu. Rania tak ingin melihat dan dilihat olehnya. Ada sisi yang terluka di hatinya. Juga rasa malu, yang belum pernah ia rasakan seumur hidup. Kejadian spontan yang ia tahu mungkin tak disengaja oleh Bara, tetapi mampu menyebabkan beberapa tetes air mengalir dari sudut kelopak matanya.
Rania masuk ke rumahnya dan mengurung diri di dalam kamar. Ia meringkuk di sudut ranjang, duduk dengan memeluk erat kedua lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Ia terisak, menangisi kecerobohannya.
Tubuh yang ia jaga sejak kecil hanya untuk lelaki yang menikahinya, beberapa menit lalu telah berada dalam dekapan seorang pria. Rania terluka, kecewa, sedih, dan malu. Semua rasa itu menyelubungi hatinya hingga membuatnya tak mampu berkata-kata dan hanya isak tangis yang mewakili perasaannya.
Beruntung sang kakak sedang bertugas di kepolisian pagi ini. Jika tidak, anggota kepolisian itu pasti sudah mencecarnya dengan berbagai pertanyaan dan menyalahkan dirinya juga Bara atas apa yang baru saja terjadi. Pandu pasti tak akan pernah tinggal diam dan membiarkan Rania kembali ke masjid An Nur agar tidak pernah bertemu dengan pemuda itu.
Rania mendadak teringat akan kejadian saat malam ini menolong Bara. Saat itu, Bara yang tak sadarkan diri juga pernah terjatuh dan menimpa tubuhnya.
Tidak! Rania menggeleng kuat. Kejadian di masjid beberapa menit lalu bukan kali pertama ia dan Bara berada dalam jarak sedekat itu.
Tidak! Bahkan tidak ada jarak di antara mereka.
Rania semakin terisak. Bahunya berguncang keras seiring tangisnya yang semakin kencang, mengingat dua hal yang tak pernah ia sangka akan terjadi padanya. Rania merasa hina, merasa malu. Ia merasa tak pantas menyandang sebutan gadis yang suci, meski kulitnya belum pernah disentuh lelaki lain walau satu inci.
‘Tok! Tok!’
Suara ketukan pintu menghentikan Rania dari tangisnya. Ia segera mengambil tisu di meja riasnya dan menghapus air mata. Meski sudah tak ada tetesan yang tersisa, tetapi kedua matanya tampak sembab dan merah.
“Rania, boleh Umi masuk?” Terdengar suara Umi di depan kamar.
Rania bingung. Mengizinkan Umi masuk sekarang berarti harus siap jika orang tuanya itu menanyakan perihal kondisinya yang terlihat jelas sedang menangis. Ia pun mencoba mengoles bedak dengan cepat di wajahnya untuk menyamarkan kesan sembap, meski kedua matanya masih terlihat merah.
Rania bergegas membuka pintu kamar dan tersenyum kepada ibunya.
“Umi ....”
“Kamu kenapa, Nak? Boleh Umi masuk?” tanya Umi dengan lembut.
Rania mengangguk dan mengajak ibunya duduk di tepi ranjang.
“Tadi Umi lihat kamu masuk rumah dan berlari ke kamar. Umi pikir ada yang tertinggal atau apa, tapi kamu tidak juga keluar dari kamar. Apa ada sesuatu?”
Rania menggeleng. “Tidak ada apa-apa, Umi.”
Mendengar jawaban sang anak, wanita yang telah melahirkan dua orang anak itu pun tersenyum dan mengusap bahu anaknya.
“Umi tahu kamu berbohong. Kamu tidak bisa menyembunyikannya dari Umi,” tutur wanita itu masih dengan kelembutan seorang ibu.
Rania menunduk. Ia pun sadar bahwa sejak kecil, ia tak pernah bisa menyembunyikan perasaan apa pun yang ada di hatinya terhadap ibunya itu. Wanita itulah tempat Rania mencurahkan segala keluh kesah maupun rasa bahagianya sejak kecil.
“Ada apa, Sayang? Mata kamu juga merah. Kamu pasti habis menangis.”
Rania mengangguk pelan, lalu memandang wajah sang ibu yang selalu memberi keteduhan padanya.
“Maafkan Rania, Umi ....” Air mata gadis itu kembali mengalir. Ia memeluk sang ibu dan menumpahkan tangisnya dalam dekapan Umi.
Orang tua itu tidak berkata apa-apa, hanya mengelus punggung sang anak seraya menunggu gadis itu bercerita.
“Rania tidak bisa menjaga diri. Rania bukan gadis salihah ...,” lirih Rania di tengah isak tangisnya.
Mendengar penuturan sang putri, ada rasa terkejut yang menggelayut di hati ibunya. Juga berbagai pertanyaan dan dugaan yang tiba-tiba muncul di benak orang tua itu.
“Ada apa, Nak? Coba ceritakan ke Umi,” pinta orang tua itu, tak sabar mendengar penjelasan anaknya.
Rania melepaskan pelukannya dan menatap sayu wajah teduh sang ibu. Diiringi isak tangisnya, ia menceritakan semua yang terjadi padanya selama ini, selama kedua orang tuanya menjalankan ibadah umrah di tanah suci.
Ia jelaskan semuanya dari awal, dari mulai ia menemukan pria asing bernama Bara yang sedang dikeroyok oleh beberapa orang, hingga akhirnya pemuda itu tinggal bersama Pak Amin di masjid An Nur dan terjadi sebuah ‘kecelakaan' di masjid beberapa saat lalu atas dirinya dan Bara. Kejadian kedua yang membuat Rania merasa tak bisa menjaga harga dirinya sebagai seorang Muslimah.
Rania juga menceritakan apa yang selama ini melanda perasaannya terhadap pemuda itu. Tak ada satu hal pun yang gadis itu sembunyikan dari ibunya.
“Maafkan Rania, Umi. Maafkan Rania ....”
Ada rasa sedih di hati ibunya mendengar apa yang terjadi pada putri satu-satunya itu selama ia dan suaminya tidak berada di rumah. Namun, ia tahu apa yang terjadi pada sang gadis adalah sebuah hal yang tidak disengaja.
Wanita yang penuh cinta itu pun tersenyum dan membawa putrinya ke dalam pelukan.
“Putri kecil Umi ternyata sudah dewasa,” ujar lembut orang tua itu seraya mengelus punggung anaknya.
Mendengar jawaban ibunya yang tak pernah ia bayangkan, membuat Rania melepaskan pelukan dan menatap wajah sang ibu yang tengah tersenyum.
“Umi tidak marah?” tanya Rania heran.
Ibunya menggeleng. “Umi tahu itu tidak disengaja. Cukup mohon ampun kepada Allah dan berdoa agar Allah selalu menjagamu, Sayang.”
Rania mengangguk dan mengusap air matanya.
“Maafkan perasaan Rania juga yang tidak seharusnya Rania biarkan tumbuh, Umi.”
Umi terlihat menarik napas sebelum merespons ucapan putrinya.
“Manusia pada usia seperti kamu memang sudah pantas jatuh cinta, menyukai lawan jenis. Tidak ada yang salah, itu fitrah manusia,” tutur orang tua itu. “Namun, kamu tetap harus menjaga hati untuk lelaki yang kelak menjadi suami kamu, Rania.”
Rania mengangguk memahami ucapan orang tuanya.
“Banyak-banyak istigfar. Mintalah selalu pada-Nya agar menjaga hatimu dari lelaki yang bukan suamimu, dan mintalah pada-Nya agar memberikan jodoh yang terbaik untukmu, yang Allah pilih untuk menjadi imam yang bagus untuk dunia dan akhiratmu.”
“Insyaa Allah, Umi.”
“Untuk sementara, hindari dulu pertemuan dengan lelaki itu. Siapa namanya tadi?”
“Bara, Umi.”
“Si Bara. Jangan ke masjid dulu untuk mengajar anak-anak. Suruh saja mereka belajar di rumah kita, beritahu orang tuanya,” saran ibunya Rania.
Rania mengangguk setuju atas semua saran sang ibu, tanpa ada bantahan darinya.
“Kamu sudah mau lulus kuliah, apa sudah siap untuk menikah?”
Rania yang sejak tadi menunduk, langsung menatap wajah ibunya setelah mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Umi.
Ibunya pun tersenyum melihat ekspresi kaget sang anak.
“Sudah siap?” tanya ibunya lagi seraya tertawa kecil.
Rania menggeleng dan tersenyum kecil. Ia tidak tahu apakah dirinya sudah siap menikah atau belum untuk saat ini, atau selepas dirinya lulus S1 yang diperkirakan tak lama lagi. Namun, jika ia berkata siap, maka sudah pasti orang tua dan kakaknya akan segera mencarikan lelaki untuk taaruf dengannya.
Tidak! Rania tidak siap untuk itu. Hatinya masih belum bisa menerima lelaki mana pun. Bahkan sebelum kehadiran Bara dalam hidupnya. Dan kini, pemuda asing itu telah menyentuh satu bagian terdalam di hatinya, yang mungkin harus ia kubur perlahan demi menjaga hati untuk lelaki halalnya kelak.
***
Bara masih mematung di tempat ia tak sengaja memeluk seorang gadis yang begitu menjaga diri, menjaga muruahnya. Kakinya terasa kaku untuk digerakkan dari tempat itu. Debaran di dalam dadanya terasa begitu dahsyat dari biasanya. Begitu kerasnya hingga ada sakit yang tercipta di sana.
Pemuda itu mencoba mengingat kembali bagaimana sorot mata indah itu memandangnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. Sinar yang memancarkan ketakutan, keterkejutan, serta kesedihan yang menyatu di sepasang mata Rania.
Bara menyesal. Ia merutuk diri dan membiarkan rasa bersalah menyelubungi hatinya. Betapa bodoh apa yang telah dilakukan. Kekanakan dan tidak memperkirakan apa pun sebelum bertindak, hingga membuat gadis yang dicintainya tampak bagai seekor burung yang terluka akibat panah para pemburu. Ia benar-benar menyesal. Namun, waktu tak bisa terulang untuk menghindari kejadian tak disengaja akibat kecerobohannya itu.
"Bara?"
Suara Pak Amin menyadarkannya dari lamunan yang terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Ia menoleh ke belakang dan melihat orang tua itu berdiri dengan tatapan terkejut melihatnya.
"Bara, kamu sudah bebas? Ya Allah, alhamdulillah!" Pak Amin langsung menghambur ke arah pemuda yang masih mematung itu. Bara masih belum bisa menghilangkan rasa terkejut yang membuat lidahnya kelu dan kakinya sulit beranjak dari sana.
Pak Amin melepaskan pelukannya. Ia menatap heran pada pemuda yang tampak linglung itu.
"Kamu kenapa, Nak? Apa yang terjadi? Kamu sakit?" Rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut Pak Amin hanya mampu dijawab oleh Bara dengan menggeleng pelan.
"Bara!" Pak Amin menepuk-nepuk pelan pipi pemuda yang baru saja dibebaskan dari tahanan itu.
"Eh, i-iya, Pak. Alhamdulillah saya sudah dibebaskan.” Bara tergagap. Ia berusaha memulihkan kesadarannya dari kejadian yang membuatnya tidak fokus dengan orang tua yang ada di hadapannya saat ini.
"Alhamdulillah. Bapak sangat khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Pak Amin.
"Pak, saya ingin istirahat dulu," ucapnya lemah. Kerasnya jantung berdetak membuat Bara mendadak merasa sangat lelah. Pikirannya terus menerus melayang pada satu nama, Rania.
"Baiklah. Mari." Pak Amin menuntun pemuda itu ke kamarnya. Membiarkannya istirahat, meski banyak hal yang ingin orang tua itu tanyakan.
Bara mengunci pintu kamarnya dan duduk termenung di kasur. Pikirannya terbayang-bayang kejadian beberapa menit lalu, saat ia mengira seseorang adalah Pak Amin dan membawa tubuh itu ke dalam pelukannya. Bara mengembuskan napasnya dengan kasar, lalu mengusap wajahnya frustrasi.
"Betapa bodohnya! Kenapa kau lakukan itu, Bara!" umpatnya pada diri sendiri. Ia menyesal. Tatapan syok dan ketakutan dari sepasang mata indah Rania membuatnya merasa menjadi orang yang sangat jahat, orang yang sangat c***l dan tidak bisa menghargai wanita. Bahkan, terhadap gadis yang begitu menjaga diri seperti Rania. Ia merasa seperti seorang m***m yang hendak menerkam mangsanya yang lemah.
"Ya Allah …." Bara memijit-mijit kepalanya yang mendadak terasa pusing akibat kejadian barusan. Baru saja keluar dari penjara, ia sudah membuat kesalahan yang besar.
Bara tidak tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Bagaimana caranya untuk meminta maaf pada Rania? Masihkah dirinya yang b***t ini punya muka untuk bertemu gadis itu? Sudikah gadis itu melihatnya wajahnya?
Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya.
"Ya Allah ... ampunilah aku. Ampuni aku. Kuharap Rania bisa memaafkanku," lirihnya.
***