7. Tak Punya Malu

1104 Words
“Kudengar kemarin kau dari perusahaan tuan Hanry?” Pria itu bertanya setelah menyesap teh hangatnya. Meletakkan cangkir ke atas meja, ia menunggu Renata bicara. “Dari mana kau tahu?” tanya Renata disertai senyuman tipis guna menutupi rasa kesalnya. Ia ingin pergi tanpa menyapa Hanggara tapi, ia tetap melakukannya karena menghormati ayahnya sebagai orang kepercayaan kakeknya. “Aku punya kenalan di sana dan dia memberitahuku,” jawab Hanggara. Namun, ia berbohong. Ia tahu mengenai itu dari anak buahnya yang ia suruh memata-matai Renata. Renata melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dan mengatakan, “Sepertinya sudah saatnya berangkat.” Menunjukkan jam tangannya dan mengetuk dengan ujung kuku. Hanggara berdecak samar kemudian bangkit dari duduknya. “Kebetulan sekali kita searah. Bagaimana kalau aku antar? Kau mau ke Starcam App, kan?” Alis Renata tampak berkerut. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya penuh selidik. Hanggara tampak gugup dan gelagapan. Ia menggaruk belakang kepala yang tak gatal dan mengatakan, ”Ah, itu, aku hanya menebak.” Tak mungkin ia mengatakan orang suruhannya yang memberitahunya, bukan? “Tidak. Aku akan berangkat sendiri,” tolak Renata. Bicara dengan Hanggara saja rasanya sudah malas apalagi berangkat bersama. “Ayolah, Re, kenapa?” Hanggara masih memaksa, berharap Renata mau pergi bersamanya. Ia seolah lupa bahwa dulu ia memandang Renata jijik sebelum ia menjadi cantik jelita. Renata terdiam seperti memikirkan sesuatu. Hingga akhirnya ia pun mengangguk setuju. “Baiklah.” Wajah Hanggara menjadi cerah mendapat jawaban sesuai yang ia inginkan. Tak menunggu lama, ia dan Renata segera keluar menuju mobilnya di halaman depan. Saga yang sedari tadi menunggu di depan pintu mobilnya, berdiri tegak melihat Renata keluar dari dalam rumah. “Lama sekali,” ucap Saga saat Renata menghampiri. “Aku berangkat dengannya. Kau di rumah saja dan istirahat,” ucap Renata. Langkahnya yang mendekati Saga bukan untuk menaiki mobilnya melainkan memberitahu Saga ia pergi dengan Hanggara. Alis Saga berkerut tajam. ”Apa maksudmu?” Ia merasa aneh. Ia tahu Renata tidak menyukai pria itu tapi, apa yang dia lakukan? Renata memutar bola mata malas dan memilih mengambil langkah menuju mobil Hanggara. Ia malas berdebat dengan Saga. Melihat reaksi Saga sudah jelas pria itu tak menyukai keputusannya. Saga tetap berdiri menatap Renata yang akhirnya memasuki mobil Hanggara. Ia tahu Renata pasti punya tujuan tertentu tapi, tetap saja ia merasa kesal melihatnya bersama Hanggara. “Apa kau tidak merasa risih?” ucap Hanggara tiba-tiba setelah mobilnya mulai meninggalkan kediaman Renata. “Risih?” tanya Renata seraya menoleh padanya. Hanggara mengangguk. “Saga. Kau tidak risih dia terus didekatmu seperti anjing penjaga? Bagaimana jika dia tiba-tiba punya niat buruk padamu?” Renata hanya diam tanpa mengalihkan pandangan. Ia menunggu Hanggara melanjutkan ucapan. “Kau tahu sendiri, kakekmu menjadikannya cucu angkat. Bisa saja dia merasa iri saat kakekmu memberikan seluruh kekayaannya padamu. Bisa saja dia berniat melakukan sesuatu yang buruk padamu agar kekayaanmu jatuh ke tangannya,” ujar Hanggara. Sudah lama ia tidak menyukai Saga bahkan sebelum Saga menemukan Renata. Ia selalu merasa kalah darinya dalam hal apapun. Renata tetap tak bergeming, menatap Hanggara dengan pandangan tak terbaca sampai tiba-tiba tawa kecilnya terdengar membuat Hanggara setengah menoleh padanya tanpa menurunkan konsterasi mengemudi. “Apa sudah selesai?” tanya Renata yang tawa kecilnya telah menghilang. Hanggara mengernyitkan alis, menatap Renata penuh tanya. Renata yang menyandarkan kepala pada jok kembali menatap Hanggara dan mengatakan, “Apa sudah selesai? Jika sudah, turunkan aku di sini.” Hanggara terkejut. Apa ada yang salah dengan ucapannya sampai-sampai Renata meminta turun? “Re, apa maksudmu?” “Apa masih kurang jelas?” ucap Renata yang kini raut wajahnya menjadi amat datar. ”apa aku harus memakai pengeras suara? Turunkan aku, sekarang,” lanjut Renata dengan penekanan di setiap kata pada kalimat terakhir. “Ta- tapi, Re, perjalanan masih jauh. Kita bahkan belum setengah jalan.” “Aku benar-benar muak, pada orang yang menjatuhkan orang lain apalagi dengan tujuan membuatnya lebih tinggi,” ucap Renata tanpa mengubah ekspresi datar seperti sebelumnya. “harusnya kau sadar, sesungguhnya aku sangat membencimu. Mungkin kau sudah lupa. Tapi, aku masih mengingatnya dengan jelas bagaimana saat kau mengatakan kakek tak mungkin punya cucu jelek sepertiku.” Hanggara tertohok seakan ujung tombak yang runcing menusuk ulu hati menembus jantung. Ia kira Renata sudah melupakannya mengingat kejadian itu sudah cukup lama. Waktu itu ia memang sempat menghina Renata karena fisiknya tapi, sekarang Renata sudah berubah, sudah menjadi wanita yang sempurna dan sayang jika diabaikan begitu saja. Terlebih, Renata mewarisi kekayaan kakeknya. “Waktu itu aku khilaf, Re. Aku minta maaf.” Renata hanya diam. Jika Hanggara punya rasa malu, harusnya pria itu sudah berhenti dan membiarkannya turun. Perlahan mobil berhenti saat rambu lalu lintas berwarna merah. Renata tak menyiakan kesempatan itu, ia segera turun tak peduli Hanggara mencegahnya pergi. “Re! Tunggu, Re!” Renata mengabaikan Hanggara, tak peduli pria itu akan membencinya. Justru itu bagus, maka ia akan terbebas dari pria sialan itu. “Agh! Sialan!” Hanggara memukul setir. Ia kesal dan marah, tapi bunyi klakson di belakangnya membuatnya terpaksa melajukan mobilnya tanpa melihat bahwa Renata memasuki mobil yang berjarak 2 mobil di belakangnya. Saga melirik Renata yang memasuki mobil dan duduk di sebelahnya. Sebelumnya Renata sudah menyadari bahwa Saga mengikuti. Ia pun tak ragu keluar dari mobil Hanggara setelah memberinya pelajaran. “Sudah kubilang, harusnya kau di rumah saja,” ucap Renata tanpa menoleh pada Saga. Saga mendengus. ”Bukankah harusnya bilang terima kasih?” Renata tersenyum sinis sambil melirik pria itu dan mengatakan, “Terima kasih. Seperti biasa, kau selalu bisa diandalkan.” Sudut bibir Saga terangkat menciptakan senyum miring nan samar. “Sudah membuatnya memilih berhenti memgejarmu?” tanyanya. “Jika dia waras, harusnya dia berhenti mulai hari ini. Jika tidak, mungkin urat malunya sudah putus, atau ….” Ucapan Renata menggantung. “dia mungkin mengincar sesuatu,” lanjutnya. Saga melirik Renata dan merasa kalimat terakhirnya mengisyaratkan sesuatu. Dan sepertinya, ia menyadari maksud itu. Awalnya Renata tidak berpikir terlalu jauh, tapi karena ucapan Hanggara sebelumnya, ia justru berpikir mungkin saja Hanggara memiliki maksud tertentu mendekatinya. Bukan semata karena ia telah menjadi jelita, tapi mungkin ada hubungannya dengan harta warisnya. Renata mengambil ponsel dari dalam tas, alisnya pun tampak mengernyit saat membaca pesan dari seseorang. Dan saat telah membaca sepenuhnya isi pesan itu, seringai bengis terukir di bibirnya. Saga melirik Renata sekilas, dan melihat seringai yang wanita itu tunjukkan, ia yakin Renata baru saja mendapat kabar gembira yang berhubungan dengan niat balas dendamnya. “Di depan belok kiri. Aku ingin memberi seseorang kejutan,” ucap Renata tanpa melunturkan seringai tipisnya seakan-akan ia begitu tak sabar. Saga hanya diam tak berniat bertanya, meski cukup penasaran, ia memutuskan menyaksikan apa yang akan terjadi setelahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD