8. Menyapa dengan Elegan

1166 Words
Saga tetap duduk di depan kemudi saat Renata turun dan memasuki sebuah minimarket. Ia kira, akan terjadi sesuatu tapi, Renata mengatakan bahwa ingin membeli sesuatu. Namun, ia yakin, ada hal lain yang pasti ingin wanita itu lakukan. Renata memasuki minimarket dan segera melangkah menuju rak s**u untuk ibu hamil. Di saat yang sama, seorang wanita hendak mengambil kotak s**u di rak atas dan sedikit kesulitan meraihnya. Melihat itu, Renata berinisiatif membantu. Memakai heels cukup tinggi, ia pun berhasil mengambil kotak s**u yang ingin wanita itu ambil. “Ini,” ucap Renata seraya memberikan s**u merk terkenal pada wanita tersebut. Wanita itu tersenyum. Padahal ia mengira Renata mengambil s**u itu untuknya, ternyata sengaja ingin membantu mengambilkan untuknya. “Ah, terima kasih,” ucap wanita itu yang tak lain adalah Sari. Ia tidak terlalu memperhatikan membuatnya tak menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. “Sama-sama.” Sari yang sebelumnya hanya terfokus pada susunya, kini menegakkan kepala melihat siapakah yang telah membantunya. Sepersekian detik ia terkagum melihat yang membantunya adalah wanita yang begitu cantik. Namun, tiba-tiba wajahnya mulai pucat saat merasa familiar dengan senyuman itu. Renata tetap mengukirkan senyuman sampai tiba-tiba senyumnya lenyap digantikan ekspresi terkejut. “Eh? Tunggu, kenapa aku merasa … sepertinya aku mengenalmu,” ucap Renata yang memperhatikan Sari dengan seksama, menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kakinya yang memakai sandal jepit. Sebulir keringat menetes di pelipis Sari. Ia teringat ucapan Teguh kemarin dan tak mengira akan bertemu hari ini. “Re- Re … Renata,” ucap Sari terbata, suaranya pun terdengar bergetar. Wajahnya juga kita bertambah pucat dengan keringat dingin mulai membasahi dahi. Renata melebarkan mata dan memasang ekspresi dibuat-buat. “Ya Tuhan, Sari? Ini kau Sari sahabatku? Ya ampun, apa yang kau lakukan di sini? Oh, ya Tuhan, apa yang kukatakan? Sudah jelas kau di sini untuk membeli susu.” Sari hanya diam, rasanya ia ingin berlari menghindar. Namun, entah kenapa, kakinya seakan tak sanggup sekedar mengambil langkah pelan. Renata masih memasang sandiwaranya, bertingkah seperti pemeran antagonis dalam drama sementara dalam hatinya tersenyum puas. Renata mengambil merk s**u yang sama dalam genggam tangan Sari. “s**u untuk ibu hamil,” ucapnya berakting membaca tulisan pada kemasan. Ia kemudian menatap Sari dan bertanya, “jadi, kau hamil? Wah, selamat, ya. Eh? Tapi tunggu dulu, kapan kau menikah? Ish, kenapa tidak mengundangku, Sar, Sar. Bukankah kita ini sahabat? Ck, jahat sekali.” Renata merajuk seperti anak kecil saat mengatakan kalimat terakhir. Aktingnya benar-benar sempurna. Mungkin jika ia mau, ia bisa menjadi seorang artis. Sari tak berani menatap Renata, ia seperti berusaha mencari alasan untuk mengakhiri pembicaraan ini sekaligus pergi menyelamatkan diri. “Ah, jangan bilang kau menikah dengan mantan suamiku?” Ucapan Renata membuat tubuh Sari menegang. Mulutnya terbuka tertutup seperti menjadi gagap. “Pft. Hahahaha.” Tiba-tiba kelakar tawa terdengar, Renata tertawa cukup keras bahkan hingga memegangi perutnya. Namun, tak lama, perlahan tawanya menghilang digantikan seringai mengejek menatap Sari. “Hah … Sari … Sari, kenapa kau mendadak jadi seperti orang bisu? Padahal, rasanya aku masih ingat saat kau menyemangatiku saat aku bercerai dengan pria b******k itu. Apa yang terjadi padamu, Sar? Kenapa kau seperti katakutan? Padahal, berselingkuh dengannya saat kami masih berstatus suami istri saja kau berani.” “Re- Renata, i- itu semua bukan- a- aku–” St! Ibu jari dan telunjuk Renata bertemu memberi isyarat agar Sari diam. Kemudian tangannya terangkat dengan telunjuk berdiri di depan mulutnya. Ia kemudian mengatakan, “Sst, diam. Mau kau bicara sampai mulutmu berbusa, aku tidak akan mendengarkan.” Sari menatap Renata dengan mata tampak basah. Ia merasa seperti berhadapan dengan orang yang berbeda. Renata benar-benar sudah berubah. Bukan hanya fisik tapi juga karakternya. Renata bersedekap d**a dan menatap Sari dengan raut wajah nan datar. “Sebelum aku pergi, aku hanya ingin mengatakan, hukum karma masih berlaku, Sari. Jika bukan hari ini, mungkin besok. Jika bukan kau, mungkin anak dan cucumu yang akan menanggung kesalahanmu. Jadi, jangan terlalu senang saat kau pikir telah bahagia setelah menyakiti seseorang. Tunggu tanggal mainnya sampai kau menerima pembalasan.” Setelah mengatakan itu, Renata membalikkan badan dan mengambil langkah. Derap heelsnya pun terdengar dan seolah menjadi dentum kematian di telinga Sari. Perlahan Sari merosot saat Renata tak lagi terlihat oleh pandangan. Kakinya seolah tak mampu lagi menahan berat tubuhnya, tangisnya pun tiba-tiba pecah. Sementara itu, Renata berjalan keluar minimarket dan memasuki mobil dengan rasa puas dan bangga. Bangga pada dirinya sendiri yang berhasil menghadapi Sari bahkan mungkin, berhasil membuat wanita itu ingin mati. Namun, ini belum cukup, ini baru awal. Masih tersisa banyak hal yang ingin ia lakukan pada Sari juga sang mantan suami. Saga melirik Renata sekilas kemudian menjalankan mobilnya meninggalkan area itu. Tak ada sepatah kata terucap sebab, ia sudah melihat semuanya. Ia mengikuti Renata setelah wanita itu masuk, bersembunyi di balik rak dan menyaksikan apa yang telah Renata lakukan. “Bukankah yang tadi itu tontonan yang menarik?” ucap Renata tiba-tiba. Saga melirik Renata lewat ekor mata. Ia tak mengira Renata tahu ia melihat semuanya. Renata mengambil botol air mineral di atas dasbor yang masih dingin. Membuka tutup botol itu kemudian meminumnya meski air mineral itu bekas minum Saga. Saga tersenyum masam. Rupanya ia ketahuan karena kecerobohannya sendiri. Ia lupa menyingkirkan air mineral itu, pantas saja Renata tahu ia telah melihat semuanya. “Kuharap dia tidak keguguran setelah apa yang kau lakukan.” Renata menoleh, menatap Saga tanpa berkedip. “Apa? Bukankah itu bagus? Apa kau lupa, aku juga kehilangan anakku? Nyawa dibayar nyawa, bukan?” ucapnya yang memasang wajah polos dibuat-buat. Namun, di mana Saga justru terlihat seperti seorang psikopat. Meski bicara demikian, Saga yakin, Renata tidak benar-benar berniat meminta nyawa Teguh, Sari, atau anak mereka sebagai bayaran meninggalnya Yogi. Jika begitu, harusnya sudah lama mereka mati karena Renata bisa membayar orang untuk melenyapkan mereka. Tapi, wanita itu memilih cara lain untuk membalas mereka, membuat mereka menderita pelan-pelan. Renata kembali menghadap depan, menatap jalanan yang sedikit padat. Meski bicara seperti itu, ia tidak benar-benar ingin Sari keguguran. Ia ingin Sari kehilangan bayinya setelah anak itu lahir, ia ingin membuat Sari merasakan apa yang ia rasakan dulu, ditinggalkan Teguh, dan kehilangan bayinya. Di tempat lain, terlihat Teguh yang tengah berbicara dengan salah satu staf yang diduganya mungkin mengetahui sesuatu mengenai Renata. “Entahlah. Aku juga tidak begitu mengetahuinya,” jawab pria itu menjawab pertanyaan Teguh. Teguh bertanya mengenai Renata, memintanya memberitahu apapun yang diketahuinya. Pria itu menepuk bahu Teguh dan mengatakan, “Sudah lah, jangan mencoba mendekatinya meski kau penasaran. Dia tidak akan melirik pria seperti kita,” ucapnya berpikir Teguh bertanya karena mengagumi Renata. Tanpa menunggu Teguh bicara, ia segera pergi seakan enggan memperbanyak pembicaraan dengannya. “Hei, tunggu dulu!” cegah Teguh. Namun, pria itu terus melangkah. Pria itu mengangkat satu tangan dan melambai tanpa menoleh. “Sudah waktunya bekerja.” Teguh mendecih kesal bahkan mengumpat. Ia merasa tak percaya jika orang itu tak tahu apa-apa walau hanya sedikit. Pria yang sebelumnya bicara dengan Teguh menghentikan langkahnya setelah berbelok menuju lorong yang sepi. Mengambil ponselnya dari saku jas, ia menghubungi seseorang. “Dia menanyakan anda.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD