Pagi di hari libur, Dimas masih saja menutup diri di kamarnya. Maklum saja, dia sama sekali tak ada kerjaan lain. Selain hanya berdiam diri di rumah. Apalagi sehari sebelumnya tak ada perintah dari sang ibu untuk mengantarkan ke swalayan atau bahkan kontrol ke rumah sakit.
Sedangkan pagi itu, Lastri telah menyiapkan sarapan dengan berbagai menu. Tak hanya itu, Lastri juga tampak berseri-seri wajahnya. Dia mengenakan pakaian yang juga lebih rapi dengan parfum yang menyengat hidung.
“Lastri, kamu mau ke mana?”
“Tidak ke mana-mana, Bu.”
“Kamu kelihatan cantik sekali daripada sebelum-sebelumnya.”
Lastri nampak tersipu malu dengan apa yang didengar itu. Senyumnya nampak sangat anggun dan kedua pipinya berubah menjadi merah merona. Nampak kedua rambutnya dikepang dua, dengan rok dan juga kaos putih yang menghiasi tubuhnya, layaknya gadis muda yang tengah dirundung asmara.
Tak lama, Lastri mendengar suara bel rumah berbunyi dengan begitu keras. Seketika, Lastri pun melangkah dengan nyanyian cinta yang mengalun lembut. Lastri yang seolah tak sabar, untuk menunggu majikan laki-lakinya itu keluar kamar.
Namun, Lastri harus cukup bersabar. Dia yang hatinya berbunga-bunga itu pun begitu sangat mengagumi dan menunggu pernyataan cinta yang diharapkan dari mulut Dimas.
Sembari langkan itu tetap saja bergerak. Lastri yang mendengar suara bel pintu itu menambah kecepatan langkahan kakinya. Lastri pun segera membuka pintu itu.
“Permisi.”
“Iya, cari siapa ya, Mbak?”
“Mas Dimasnya ada?”
Mendengar nama Dimas disebut. Lastri seketika menatap wanita yang tengah berdiri di depannya itu dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Bahkan hal itu diulanginya hingga tiga kali.
“Halo, Mbak. Saya mau ketemu Mas Dimas.”
“Iya, silakan masuk.”
Lastri mimik wajahnya seakan berubah drastis melihat wanita itu. Dia tak segera masuk ke dalam untuk memanggil Dimas, melainkan berdiri mematung dengan pandangan nanar pada wanita itu.
“Mbak, apa bisa dipanggilkan Mas Dimasnya?”
Lastri tertegun, dia yang awalnya terus saja berdiri kini terbangunkan lamunannya. Dengan cepat Lastri melangkah dengan hati dongkol tak terkira. Ada rasa cemburu menggerogoti.
“Lastri, siapa yang datang?”
“Lastri tidak kenal, bu. Tapi dia wanita yang mencari mas Dimas.”
“Cari Dimas?”
“Iya, Bu.”
“Biar Ibu saja yang bangunkan Dimas, kamu urusi pekerjaan yang lain saja, ya.”
“Baik, Bu.”
Lastri berlalu. Dia tak menuju ke belakang. Melainkan masuk ke dalam kamar dan menguncinya dengan erat. Entah mengapa Lastri tak suka dengan kehadiran wanita yang sama sekali tak pernah dijumpainya itu.
Tak tanggung-tanggung, rasa cemburu itu membuat Lastri terisak. Dia menangis, merasa bahwa posisinya kini terancam. Menatap wajahnya di cermin. Lastri menarik rambutnya, hingga dua kepangan itu berubah bentuk.
Lipstik yang menghiasi bibirnya pun dengan cepat diusap dengan jarinya. Tak hanya itu, Lastri segera mengganti pakaian yang sudah menghiasi tubuhnya sedari pagi. Dengan tangis yang membara penuh dengan kecemburuan yang dahsyat.
“Lastri, tolong buatkan minuman untuk tamunya.”
Suara sang ibu menggelegar di balik pintu. Lastri mengusap air matanya, namun hatinya seolah masih saja menangis. Rasa tak bisa membohongi raut wajahnya. Dengan terpaksa, Lastri pun keluar kamarnya. Dia menuju ke dapur untuk segera membuatkan minuman yang dipesan langsung oleh sang ibu.
***
Dimas yang dengan cepat segera membersihkan badannya. Ketika sang ibu memberitahukan jika ada seseorang yang datang dan mencarinya. Setelah selesai mandi, Dimas pun tak berlama-lama di kamar. Dia segera menuju ke ruang tamu.
Saat dirinya menatap wajah wanita yang tengah duduk bersama sang ibu. Dimas pun seolah menerima sebuah kejutan. Dia sama sekali tak menyangka, jika Hanum datang sendiri ke rumahnya. Dimas benar-benar dalam kejutan yang besar.
“Hanum.”
“Mas Dimas.”
“Kenapa tidak bilang kalau mau ke sini, setidaknya aku bisa menjemputmu.”
“Tadi aku mengantarkan pesanan pakaian di dekat komplek perumahan ini, jadi kupikir tidak ada salahnya mampir sekalian.”
“Ehm,ehm.”
Suara dehem sang ibu membuat pembicaraan antara Hanum dan Dimas pun terhenti. Kini Dimas fokus kepada wajah wanita yang sudah merawatnya sedari kecil itu.
“Bu, dia Hanum. Wanita yang membuat Dimas...”
“Dia calon istrimu, kan.”
Dimas yang belum selesai menjelaskan itu, harus menerima jika rasa tak sabar ibunya itu membuatnya menyadari dan membiarkan jika ucapannya harus dipotong di tengah jalan.
Hanum nampak diam tanpa berkomentar. Sedangkan Dimas mengangguk dengan ucapan sang ibu yang menanyakan bahwa Hanum adalah calon istrinya.
Tak sengaja, Lastri yang mendengar pembicaraan itu dan juga dirinya yang menatap tajam ke arah Dimas. Dia begitu sangat terkejut, mengetahui bahwa wanita yang duduk bersama ibu Dimas itu adalah calon istrinya.
Minuman yang dibawa oleh Lastri itu pun seakan tak kuat menerima kenyataan. Kedua tangan Lastri bergetar hebat. Minuman itu pun jatuh menghiasi lantai dengan suara gemuruh yang mengagetkan.
“Lastri, ada apa?”
Suara sang ibu terlantun dengan begitu kagetnya. Sedangkan Lastri yang diselimuti rasa gugup dengan sekujur tubuh terasa bergetar hebat. Dia pun hanya menggelengkan kepalanya dan cepat-cepat membersihkan pecahan gelas itu, serta membuat minuman yang baru.
***
“Ibu harap kalian cepat menikah, jangan ditunda-tunda lagi, Sekar siap kan untuk menikah dengan Dimas secepatnya?”
Sekar hanya memandang penuh kegetiran. Dia sama sekali tak menyangka jika ibu Dimas akan meminta untuk bisa menjalani kehidupan rumah tangga dengan laki-laki yang sebenarnya sama sekali tak dicintainya itu.
Namun, demi sebuah sandiwara yang harus terus berjalan. Dan bahkan agar dirinya tak mengecewakan Dimas, apalagi Hanum berusaha untuk membalas budi dengan apa yang tengah Dimas korbankan untuk menutupi semua hutang-hutang yang menjadi masalah besar itu.
Akhirnya Hanum pun mengangguk dengan senyum tertahan. Seolah meyakinkan pada sang ibu jika dia bersedia dengan apa yang dikatakannya itu.
“Kalau begitu, kalian ngobrol saja dulu. Ibu mau ke dalam sebentar.”
Sang ibu segera melangkah. Kini di dalam ruang tamu itu hanya ada Hanum dan juga Dimas. Tak ada pembicaraan yang dilakukan. Keduanya masih saja merasa canggung. Namun, Dimas berusaha sekuat tenaganya untuk bisa mencairkan suasana yang membeku itu.
“Hanum, terima kasih ya, kamu sudah membantuku.”
“Sama-sama, Mas.”
“Meskipun aku cukup tahu, bahwa berpura-pura menjadi seorang kekasih itu tidaklah mudah.”
Hanum tak menjawab. Dia diam dengan segala pemikirannya. Sedangkan saat Dimas mengucapkan kata-kata itu, Lastri telah berdiri di belakangnya, tanpa sepengetahuan Dimas.
Lastri menyodorkan minuman kepada Hanum dan juga Dimas. Sembari pikirannya terus saja tertuju pada kata “Berpura-pura menjadi seorang kekasih.”
Lastri melangkah dengan cepat. Pikirannya terus saja terganggu. Dia merasakan kecurigaan pada hubungan Dimas dan juga Hanum. Hingga tak sadar, Lastri yang melangkah cepat itu tak sengaja menabrak sang ibu yang baru saja berbelok arah.
Nampan yang menghiasi tangan Lastri itu pun jatuh ke lantai, menghasilkan bunyi yang riuh dan kembali mengejutkan sang ibu.
“Lastri, kamu ini kenapa? Seperti orang dikejar hantu saja.”
“Bu, tadi Lastri mendengar, Mas Dimas bilang jika mbak Hanum adalah kekasih pura-pura.”
“Kekasih pura-pura, apa maksudmu Lastri.”
“Ya kekasih pura-pura, Bu. Kekasih bohongan begitu, bukan kekesasih beneran.”
Sang ibu menarik kernyitnya. Dia mencoba untuk menerima sebuah ungkapan dari Lastri. Sembari terdiam, pikiran sang ibu terus saja berjalan.
Merasa sangat penasaran, sang ibu pun segera melangkah menuju ke ruang tamu kembali. Dia ingin memastikan akan apa yang dikatakan Lastri kepadanya. Karena sang ibu yang begitu percaya pada Lastri, bahwa asisten rumah tangganya itu tak pernah berkata bohong.
Melangkah perlahan. Sang ibu masih mendapati Dimas dan Hanum saling diam tanpa pembicaraan. Suasana nampak sekali sunyi. Suara alas kaki sang ibu yang terdengar begitu kentara, beradu dengan lantai.
“Dimas, kalian bukan kekasih bohongan, kan?”
Dimas dan Hanum saling menatap. Seolah tak mengerti dengan ucapan sang ibu yang tiba-tiba membuat jantung seakan berdegup maraton. Bibir itu masih kelu, belum bisa menjawab dengan mudah. Hanya pandangan nanar yang dihadirkan.