Part 33 - Bantu Membantu

2328 Words
“Maaf Mas, aku tidak bisa membantumu.” “Apa permintaan ini sangat sulit bagimu, Hanum?” “Aku tidak ingin berbohong pada siapa pun, maafkan aku, Permisi.” Hanum seolah tak bisa dinego lagi. Dimas yang berharap pada wanita itu, nyatanya tak sedikit pun harapan dapat diraihnya. Hanum dengan cepat berlari untuk segera menghindar dari Dimas. Akan tetapi, Dimas sama sekali tak mengalihkan pandangannya pada wanita itu. Harapan yang digantungkan itu masih sangat tinggi. Dimas setidaknya sudah mencoba untuk meminta bantuan Hanum, walaupun kini rasa kecewa begitu kuat dirasakan olehnya. Pandangan Dimas masih tertuju pada Hanum yang melangkah dengan cepat menuju rumah kontrakannya itu. Dimas sama sekali tak mengalihkan pandangannya. Tiba-tiba saja, dari dalam mobilnya itu, Dimas melihat Hanum yang telah berbincang dengan dua orang laki-laki. Dimas yang diselimuti rasa penasaran, dia menatap lebih mendekatkan wajahnya ke arah jendela mobil. Melekatkan pandangannya tanpa lepas. Dia nampak melihat bahwa Hanum sedang menundukkan kepalanya, dan kedua laki-laki itu nampak sedang berbicara cukup serius dengan Hanum. Hal itu, semakin mengundang rasa penasaran Dimas. Hujan yang masih mengguyur deras itu, tak menyulutkan niat Dimas untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Hanum. “Kamu tidak bisa mengelak lagi, jika kamu tidak bisa bayar terpaksa masalah ini akan kami bawa ke jalur hukum.” “Pak, tolong beri saya waktu dua hari lagi, saya akan berusaha membayar hutang-hutang itu.” “Tidak bisa, kamu harus bayar sekarang, jika tidak kami tidak bisa memberikan kelonggaran lagi.” “Tolong jangan penjarakan saya, Pak. Padahal saya juga korban. Saya tidak pernah memakai uang pinjaman itu, saya hanya meminjamkan identitas saya, lalu kenapa harus saya yang dihukum?” “Jangan banyak tanya, mau bayar sekarang atau langsung saja ke meja hukum!” “Kalau sekarang saya tidak punya uang sebanyak itu, Pak. Biar besok saya akan usahakan untuk mendapatkannya.” “Omong kosong, banyak alasan kamu!” Hanum nampak memohon dengan hiasan air matanya. Dia terjerat masalah hutang yang bukan kewajibannya untuk membayar. Awalnya Hanum hanya membantu rekan kerjanya yang butuh biaya persalinan, karena suatu hal rekannya itu meminjam nama Hanum sebagai peminjam hutang. Dan kini, Hanum harus menghadapi ulah rekannya yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan tidak mau membayar sisa hutang itu lagi. Bak jatuh tertimpan tangga, itu yang kini dirasakan oleh Hanum. Dimas yang mendengar semua pembicaraan itu, dengan cepat dirinya bertindak. “Berapa hutang Hanum, aku yang akan membayarnya.” Hanum tercengang dengan kedatangan Dimas, yang tanpa diminta memberikan sebuah pertolongan kepadanya. Hanum hanya diam dan menyaksikan. Dia tak bisa melakukan apa-apa. Terhimpit keadaan yang benar-benar menyusahkan. “Sepuluh juta.” “Mana nomor rekeningnya, akan aku bayar sekarang juga.” Dua laki-laki itu pun sepertinya tersenyum lebar dengan memberikan nomor rekening kepada Dimas. Sejurus kemudian, Dimas mengeluarkan ponselnya dan segera mengirimkan sejumlah uang dengan nilai yang sudah ditetapkan itu. Tak lama, kedua laki-laki yang merupakan penagih hutang itu pun tertawa bersama, lalu segera beranjak dari rumah Hanum. Tak peduli hujan atau pun badai menerjang. Demi uang apa pun akan mereka lakukan. “Terima kasih, Mas. Aku tak tahu harus mengucapkan apa lagi, yang jelas aku pasti akan menggantinya.” “Sama-sama, kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Aku permisi!” Tak ada lagi yang diharapkan Dimas pada Hanum. Dia memilih untuk berbalik badan dan akan beranjak dari rumah kontrakan wanita yang memiliki lesung pipit itu. “Tunggu, Mas!” Suara Hanum nampak terdengar lirih. Membuat Dimas tak melanjutkan langkahnya. Melainkan dirinya berhenti dan kembali berbalik badan. Menatap Hanum dengan perasaan tak menentu. Dia ingin tahu apa yang membuat Hanum memanggilnya lagi. “Ada apa?” “Mengenai permintaanmu tadi, aku berubah pikiran, Mas.” “Maksudnya bagaimana Hanum? ”Aku akan membantumu, untuk pura-pura menjadi kekasihmu.” “Kamu serius?” “Iya.” Dimas seakan tak percaya. Hingga dirinya kembali menanyakan ulang pada Hanum. Dan dengan isyarat anggukan kepala dan senyum yang mengembang itu, Dimas pun yakin dengan apa yang Hanum ucapkan itu, bukanlah suatu kebohongan. Melainkan kenyataan yang akan segera dihadapi bersama. Dimas tersenyum. Dia merasa senang. Setidaknya satu urusan yang membuat dirinya tersudutkan karena tak mudah mencari wanita yang bisa mengerti akan apa yang kini diharapkan oleh sang ibu. Jatuh cinta adalah perkara sulit bagi Dimas. Tak mudah baginya untuk mengutarakan keinginan akan cinta. Sedangkan sang ibu terus saja memintanya untuk menjalani kehidupan baru dengan menikah. Melupakan masa lalu yang telah memberikan banyak pelajaran padanya. Dimas pun hanya bisa berusaha untuk menyenangkan hati ibunya. Apalagi sang ibu yang memiliki penyakit jantung, membuat Dimas benar-benar menjaga dengan penuh kehati-hatian agar apa yang dikatakan dan dilakukan itu, tidak menyinggung perasaan sang ibu. Dan kini usaha yang dilakukannya itu, dengan mengenalkan Hanum pada sang ibu, setidaknya ada sedikit harapan jika sang ibu tidak selalu memaksanya untuk mencari wanita pendamping hidup. Dan yang paling membuat Dimas lega adalah dirinya bisa terlepas dari asisten rumah tangganya, yang apabila dirinya tak mampu mencari calon istri, maka terpaksa sang ibu menjodohkannya dengan Lastri. Suatu hal yang sama sekali tak pernah terbayangkan dari pikirannya sendiri. “Terima kasih, Hanum. Kamu sangat membantuku.” “Aku juga terima kasih, Mas Dimas telah menyelamatkanku dari dua laki-laki tadi.” “Iya sama-sama. Besok sepulang kerja aku jemput kamu, ya. Kita ke rumahku.” Hanum mengangguk diiringi senyum manisnya. Lalu Dimas segera bertandang untuk melanjutkan kembali perjalanan pulang, sebelum malam menyapa lebih cepat. *** Fauzi memarahi banyak pegawai “Warung Ijo” yang tak memberikan informasi lengkap tentang keberadaan Sekar. Meskipun ada yang memberitahu akan tempat tinggal Sekar yang berada di belakang warung, nyatanya ketika Fauzi dan pak Surya mengecek dan memastikan akan hal itu. Ternyata Sekar sama sekali tak berada di rumah itu. “Pak, aku sangat yakin jika Sekar akan kembali lagi ke rumah itu.” “Lalu apa yang akan kita lakukan?” “Kita cari saja penginapan atau kontrakan di dekat rumah itu, setidaknya kita bisa mudah untuk mengawasi Sekar.” Fauzi yang awalnya mencoba menghubungi nomor seorang wanita yang memberikan informasi tentang keberadaan Sekar. Akan tetapi ternyata nomor itu sudah tidak aktif. Fauzi pun seakan meyakini jika wanita itu tak berani menampakkan batang hidungnya. Meskipun begitu, Fauzi tak berkecil hati. Dia akan terus berusaha untuk mendapatkan kembali cinta dari wanita yang begitu membuat pikirannya terus menari-nari akan wajahn cantik itu. Apalagi anak perempuan Fauzi yang selalu mengatakan ingin memiliki ibu baru. Fauzi pun tergugah hatinya. Semangat empat puluh lima itu pun diperjuangkan tanpa lelah. Dia harus bisa mendapatkan kembali Sekar dan setidaknya sebuah pernikahan itu pun dalam harap mimpinya. Teguh yang kini datang ke warung. Dia tak melihat sosok laki-laki yang tadinya mengejar Sekar hingga Sekar merasakan ketakutan yang dahsyat. “Bimo, apa tadi ada seorang laki-laki yang mencari Sekar?” “Iya, Pak. Dua orang laki-laki yang terus menanyakan keberadaan Sekar.” “Lalu apa dari kalian memberikan informasi kepada laki-laki itu tentang Sekar?” “Wina tadi bilang kalau Sekar tinggal di tempat pegawai yang ada di belakang warung ini, Pak.” “Ada lagi?” “Tidak ada, Pak. Hanya itu saja.” “Apa kedua laki-laki itu sekarang sudah pergi?” “Sepertinya sudah, Pak.” Teguh yang mengorek sebuah informasi dari salah satu anak buahnya. Dengan cepat dirinya segera mengambil ponsel dari saku kanannya. Teguh kemudian menuliskan sebuah pesan di grup para pegawainya, untuk tidak memberikan informasi apa pun tentang Sekar kepada orang asing yang tak dikenal. Semua pegawainya itu pun nampak mengiyakan apa yang sudah Teguh instruksikan itu. Tak ada penolakan atau sanggahan apa pun. Hal itu membuat semua pegawai merasa ada sesuatu yang ditutupi dari pegawai baru yang bernama Sekar itu. *** “Sekar, apa kamu masih memiliki keluarga?” Suara bude membuat Sekar kembali menundukkan kepalanya. Hatinya terasa pilu ketika mendengarkan pertanyaan itu. Betapa tidak, dia yang sebenarnya secara nyata memiliki keluarga, namun semua terasa jauh dan tidak menunjukkan sebagai sosok keluarga. Sekar tak mau berlama-lama dalam lamunannya. Dia sadar jika bude pasti sudah menunggu jawaban darinya atas pertanyaan yang dilontarkan itu. Lamat-lamat, Sekar mulai memberanikan diri untuk menatap bude dengan berhias senyum indahnya itu. “Sekar masih punya ayah dan satu adik tiri, Bude.” “Lalu kenapa Sekar tidak tinggal bersama mereka?” “Ceritanya panjang, hanya saja mereka kini sudah dibutakan oleh keegoisan masing-masing, ayah yang memaksaku untuk menikah dengan seorang laki-laki yang sama seklai tak kucinta, dan adikku dia membawa bayiku tanpa seijinku.” “Bayimu? Jadi Sekar sudah menikah dan punya anak?” “Iya, Bude.” “Lalu suaminya kemana?” “Entahlah, dia pergi ketika kami masih menjadi pengantin baru. Dan sampai sekarang sama sekali tak perna kumendengar kabar akan keberadaannya.” Cerita yang dilontarkan Sekar itu membuat bude merasa terenyuh hatinya. Dan tak bisa dipungkiri juga, saat Sekar mengingat akan bayinya dirinya kembali menghadirkan air mata di tengah-tengah rasa yang semakin tak kuasa untuk ditahan itu. “Sekar, kenapa bisa pergi berdua dengan Teguh kemarin?” “Mas Teguh menyelamatkanku bude, saat aku dikejar oleh laki-laki yang diminta ayah untuk menikahiku.” “Sekar tidak menaruh hati sedikit pun pada laki-laki itu.” “Tidak, bude.” “Masih berharap suamimu kembali lagi?” “Sekar tidak tahu, yang ada dipikiran Sekar hanya bayi Sekar, yang kini dipisahkan secara paksa dari dekap Sekar.” Air mata itu kembali membanjiri kedua pipi Sekar. Dia tak bisa menahan perasaannya sendiri, rasa yang tak mudah untuk bisa diungkapkan begitu saja. Sedangkan bude yang juga merupakan seorang ibu, seakan sangat mengerti dengan apa yang dialami oleh Sekar. Tanpa disadari, Sekar yang terus mencurahkan kegundahan hatinya lewat tetes air mata itu pun membuat bude segera mengerahkan kedua tangannya untuk memeluk erast Sekar. Kesedihan yang dirasakan itu memang sebuah kewajaran bagi seorang wanita, apalagi dia sudah berstatus sebagai ibu. Bude kedua matanya berkaca-kaca, dia kembali teringat perjuangan di masa lalunya. Kala sang mantan suami meminta hak asuh anak secara paksa. Dan bude yang kalah di pengadilan hanya bisa mengikhlaskan kepergian anaknya yang dibawa keluar negeri. Kala itu, hati seorang ibu terasa hancur lebur tak bersisa. Tiada hari tanpa air mata. Kerinduan membelenggu, tapi waktu seakan berjalan begitu sangat lama. Menanti perjumpaan adalah sebuah doa yang terus dipanjatkan. Namun, tak semudah itu. Bertemu yang hanya sebatas memandang dan memeluk sangat erat. Tak lupa kecupan sayang selalu disematkan di setiap perjumpaan. Akan tetapi, waktu yang berjalan ketika bahagia datang itu sangatlah cepat. Kembali perpisahan yang menemani dalam larutnya rindu yang membelenggu. Hingga akhirnya, takdir kembali menyiksa. Bude harus kehilangan sang anak, kala penyakit demam berdarah itu merenggut nyawa anak semata wayangnya. Di situ, suatu kesabaran benar-benar diuji. Tak mudah untuk menerima kenyataan yang pahit. Meskipun usaha untuk bisa bangkit sudah berkali-kali dilakukan, namun tetap saja hati merasa rapuh. Hingga akhirnya kehadiran Teguh yang menjadi yatim piatu karena ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan, menjadi obat perindu bagi bude. Teguh menjadi sosok anak yang begitu dicintai segenap jiwa dan raga. Bahkan hingga dewasa cinta itu sama sekali tak pernah pudar. Melainkan terus saja bersemi tiada henti. “Sekar, aku sangat mengerti dengan apa yang kamu rasakan. Semoga kamu bisa bertemu dengan bayimu, ya.” “Terima kasih bude.” Haru itu begitu kentara di antara keduanya. Dua sosok wanita yang pernah melahirkan buah hati dari rahimnya. Begitu peka perasaannya, hingga kadang diri pun tak dihiraukan. *** Lastri yang hari ini berdandan layaknya artis papan atas. Dia memakai pakaian yang tak biasanya dikenakan, lalu paras wajahnya pun sedikit lebih mencolok dan berani. Rambut yang biasanya hanya dikepang satu ke belakang, kini diurai dengan hiasan bando di kepalanya. Dimas yang kala itu baru saja keluar dari kamarnya, mendapati Lastri yang terasa begitu aneh dipandangan matanya. “Mas Dimas, apa mau Lastri bikinkan kopi?” “Tidak perlu, oh iya. Apa ibu sudah di meja makan?” “Sudah mas, ibu sudah menunggu dari tadi.” Lastri nampak tersenyum tanpa redup. Sembari kakinya tak bisa berhenti untuk tidak bergerak. Dia seakan salah tingkah sendiri di hadapan Dimas. Bahkan hal itu membuat Dimas begitu merasakan keanehan. Dimas pun memilih untuk segera beranjak dari hadapan Lastri. Dia segera menuju ke meja makan untuk menyantap hidangan makan malam. Duduk berhadapan dengan sang ibu. Dimas yang menikmati sendok demi sendok makanan yang masuk ke mulutnya. Sang ibu juga demikian, tak ada obrolan ketika mereka saling menikmati makan malam itu. Ketika Dimas telah selesai mneghabiskan makanannya. Dia segera mengakhirinya dengan minum air putih. Lalu Dimas wajahnya nampak sangat sumringah. Tak disadari ada Lastri yang mengintip di balik dinding. Dia tanpak melihat Dimas dari kejauhan dan dengan kediaman. “Bu.” “Apa?” “Ibu kenapa hari ini sepertinya banyak sekali beban yang dipikirkan?” “Bebannya cuma satu, Dimas.” “Apa itu, Bu?” “Calon istri untuk kamu.” “Ibu tenang saja, Dimas sudah mendapatkannya.” Mendengar ucapan Dimas, Lastri yang mendengar pembicaraan itu pun seketika tersenyum lebar. Dia seakan tak sabar menunggu Dimas untuk mengatakan sosok wanita yang kini telah menyelami hatinya itu. “Kamu serius, Dimas!” “Sangat serius, Bu.” “Kapan kamu akan mengenalkannya ke Ibu?” “Sabar, ya.” “Jangan buat ibu menunggu lama lagi, Dimas.” “Dimas akan tanya dulu sama dia, jika besok dia bisa untuk bertemu ibu, Dimas akan mengenalkannya.” “Ibu doakan dia bisa datang ke mari, sebenarnya dia siapa?” “Ibu sudah pernah melihatnya.” “Jangan buat ibu penasaran Dimas, cepat katakan.” “Besok saja ya, bu. Biarkan dia sendiri yang akan menceritakan tentang dirinya pada ibu.” Lastri semakin tak karuan, pendengaran yang begitu jeli itu membuatnya seakan terbang tinggi dan merasakan rasa yang berkobar dengan sangat indah. Lastri merasa tak sabar dengan apa yang dikatakan Dimas pada ibunya. Lastri begitu yakin, jika Dimas memang memiliki rasa yang tak bisa diucapkan dengan begitu mudah. Seolah tak sabar menunggu esok. Lastri segera berlari ke kamarnya, hatinya berbunga-bunga hingga membanting tubuhnya sendiri tak kerasa. Bayangan wajah Dimas terus saja berputar-putar pada kedua bola matanya. Dia begitu sangat senang, bisa bekerja di rumah seorang laki-laki yang tampan dan juga sangat baik itu. Lastri memeluk guling dengan begitu erat, sembari pikirannya melayang membayangkan akan Dimas seorang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD