CHAPTER 1
Tiga tahun. Jika dipikir-pikir itu bukan waktu yang sebentar. Apalagi kalau tiga tahun itu dihabiskan untuk menyukai orang yang tidak menyukai kita. Sakit sekali. Tapi dasarnya Wendy memang bodoh. Cinta buta pada Yuan. Padahal jelas-jelas Yuan menyukai orang lain.
“Sumpah Wen, Faren naksir sama lo?”
“Faren siapa?”
Pertanyaan Bibi sama sekali tidak mengusik suapan lontong Wendy. Dia sudah kelaparan sejak pagi. Tapi dosen yang mengajar mata kuliah hari ini malah seenak jidat memperpanjang waktu sampai hampir 40 menit.
“Itu si Adafarren, senior jurusan HI.”
“Adafarren?” Wendy merasa tidak mengenal nama itu. Siapa Adafarren? Wendy mencoba mengingat-ingat siapa orang yang akhir-akhir ini bertemu dengannya atau menghubunginya, selain Yuan.
“Oh maksud lo Pane?” tanya Wendy akhirnya setelah mengingat sosok laki-laki yang selama dua minggu terakhir selalu menemuinya. Mengingat itu Wendy jadi risih sendiri.
“Nah iya, Namanya kan Adaffaren Pane. Kenapa lo manggilnya Pane?”
Wendy mengendikkan bahu. Ia tidak begitu tertarik untuk mengingat kenapa dia memanggil senior jurusan HI itu dengan nama Pane ketimbang Faren seperti orang lain. Ah iya, Wendy ingat. Pane yang mengenalkan sendiri namanya sebagai Pane.
“Lo nggak tertarik sama Kak Faren?”
Wendy menggeleng dengan enteng karena pada kenyataannya dia memang tidak tertarik sama sekali pada Pane. Dia sudah jatuh cinta berat pada Yuan. Wendy tak punya waktu dan tempat untuk memikirkan orang lain.
“Sumpah lo? Lo nggak tau ya kalau Kak Faren tuh idola banget? Dia tuh idaman. Ganteng, tajir, pinter, dan yang paling penting dia tuh nggak pernah ada skandal aneh-aneh..”
Wendy menghela napas. Lontongnya sudah habis. Perempuan itu meneguk habis sisa air di dalam gelasnya.
“Lo denger ya Bibi ku sayang. Mau dia ganteng kek, tajir kek, baik kek, apa kek, i don’t f*****g care. He is not on my eyes, ok. Kalau lo mau ambil aja, gue ikhlas lahir batin.” Wendy berikan Bibi cengiran memperlihatkan betapa ia sangat tidak menganggap adanya kehadiran Pane di dalam hidupnya. Bibi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tau sahabat baiknya itu sudah cinta mati pada Yuan, walaupun cinta buta tiga tahun itu tidak kunjung menemui titik terang.
Wendy sudah berada di semester empat kuliahnya. Tugasnya juga mulai bejibun. Tapi meski tugas-tugas itu seperti bersiap meledakkan kepalanya, namun akan selalu ada waktu dan tempat bagi Wendy untuk stalking dan ngebucin Yuan.
Di dalam kamar kosnya Wendy sedang berbaring di kasur sambil bermain ponsel. Berbagai kertas dan buku berserakan di atas kasur. Laptop nya juga menampilkan halaman awal google. Tapi perhatian Wendy tidak tertuju ke sana. Perhatiannya tertuju pada story i********: Yuan. Wendy sudah beberapa kali mengeluh. Ia merasa bahwa semenjak i********: populer, rasa sakit hatinya jadi meningkat. Bagaimana tidak? Yuan cukup aktif memainkan aplikasi itu. Wendy memang senang karena dengan begitu ia jadi bisa melihat aktivitas Yuan. Tapi rasa senang itu bisa tiba-tiba berganti jadi sakit hati ketika Yuan memposting foto orang lain di storynya. Atau jika Yuan memposting kebersamaan dia dengan orang lain.
Wendy memanyunkan bibirnya karena kesal. Ia ingat bahwa Yuan belum membalas chat w******p nya sejak tadi malam. Pantas saja Yuan tidak membalasnya sebab laki-laki itu sedang kemping bersama orang yang dia sukai. Ya meskipun acara kemping itu dilakukan beramai-ramai, tapi tetap saja. Jika sudah begini maka yang bisa Wendy lakukan hanyalah mematikan ponselnya, kemudian tidur.
...
Wendy turun dari mobilnya dan seseorang sudah ada di sana, seolah ia memang sedang menunggu kedatangan Wendy.
“Selamat pagi,” sapa laki-laki itu dengan senyum cerah. Pane sangat tampan hari ini dengan baju kaos hitam dan kemeja flanel warna senada dipadu celana jeans warna light blue.
Wendy memutar bola matanya dengan malas. “Ngapain di sini?” tanyanya tanpa minat. Sejak awal bertemu sampai sekarang Wendy memang tidak segan-segan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Pane. Meski Pane senior sekalipun.
Pane tersenyum, sama sekali tidak marah atau tersinggung. “Mau ketemu kamu, dong..”
“Ngapain?”
“Ngasih ini..” Pane mengulurkan cup ukuran medium pada Wendy. “Creamy Latte favorit kamu..”
Wendy menghela napas. “Thanks,” ucapnya datar. “Tapi nggak perlu repot-repot. Gue bisa beli sendiri..”
Pane masih tersenyum. Ia ikuti langkah Wendy. “Kamu selesai kuliah jam berapa?”
“Jam 10..”
“Habis kuliah aku jemput ya?”
“Masih ada kuliah lagi..”
“Sampai jam berapa?”
“Jam 1.. terus ada seminar sampai sore..”
“Habis seminar deh..”
Wendy kehabisan alasan. Ia akhirnya hanya berikan Pane senyum tipis. “Iya, nggak janji ya tapi..” lalu Wendy pergi. Pane masih dengan senyum yang sama, perhatikan Wendy yang perlahan menjauh lalu hilang di ujung koridor.
Begitu ia selesai kelas jam 10, Wendy langsung cabut ke kosan Bibi. Sebenarnya dia tidak ada kelas sampai jam 1. Wendy berbohong untuk menghindari Pane. Tapi dia memang ada seminar jam 2. Bibi yang melihat keanehan sang sahabat lantas bertanya.
“Tumben lo sembunyi gitu. Biasanya juga lo santai banget nolak Kak Faren..”
Bibi benar. Minggu-minggu sebelumnya Wendy sangat enteng sekali menolak Pane. Bahkan dengan alasan paling tidak masuk akal sekalipun. Kadangpun ia ketahuan berbohong oleh Pane. Tapi Wendy seperti tak perduli sama sekali. Bahkan ia pernah dengan enteng melenggang melewati Pane setelah ingkar janji seolah itu bukanlah sebuah masalah. Pane memang seperti tak terlihat di matanya.
“Biasa aja perasaan..” Wendy mengelak.
“Biasa? Lo sembunyi-sembunyi gini lo bilang biasa?”
Wendy menggigit bibirnya.
“Apa jangan-jangan lo mulai suka sama Kak Faren?”
“Jangan ngaco ya, lo. Gue nggak suka sama dia dan nggak akan pernah suka. Gue Cuma suka sama Yuan..”
“Terus sikap lo sekarang apa namanya kalau bukan suka? Lo tuh tanpa sadar mikirin perasaan Kak Faren, takut dia kecewa karena tau lo bohong..”
“Gue Cuma kasihan sama dia, itu doang..”
“Terserah lo sih kalau nggak mau mengakui. Tapi ngomong-ngomong Yuan sama Luna udah jadian ya?”
Wendy tersentak. Ketika nama Yuan dan Luna dipasangkan hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk. Sakit.
“Kemaren gue liat postingan Luna, dia dikasih cincin sama Yuan..”
Wendy tidak memberikan respon apapun. Tapi sebenarnya ia sedang memikirkan itu. Ia sudah melihat postingan yang Bibi maksud. Ya tentu saja. Wendy memfollow i********: Luna, perempuan yang disukai dan didekati Yuan sejak lama. Tapi Wendy yakin keduanya belum jadian. Sebenarnya itu harapannya. Ia berharap dua orang itu belum jadian.
“Galau lagi?” Bibi menghela napas. Ia sudah mengenal Wendy sejak lama dan tau betul karakter sahabatnya itu. Setelah ini Wendy akan uring-uringan. Bibi sendiri masih tidak mengerti kenapa Wendy bisa begitu cinta mati pada Yuan. Padahal jelas-jelas Yuan tidak pernah menunjukkan sinyal harapan padanya. Tapi Wendy seperti tidak melihat itu. Ia terus saja berharap meski ia sendiri sudah tau bahwa tak ada harapan.
Manusia ini memang bodoh. Padahal ada orang yang jelas-jelas menyukai kita, tapi kita masih saja sibuk mengejar orang yang melirik kita saja tidak. Seperti Wendy sekarang. Ia sibuk mengejar Yuan padahal Pane selalu menunggunya di sini. Kalau Pane orang biasa sih tidak masalah. Tapi Pane itu tidak lebih buruk dari Yuan. Kalau mau dibandingkan sih Pane lebih ke mana-mana sepertinya. Tapi ya kalau mengatakan itu pada Wendy sudah pasti jawabannya akan begini, “masalah hati nggak bisa ya dibandingin sama itu semua. Pane boleh lebih semuanya, tapi dia nggak punya hati gue. Hati gue udah milik Yuan, paten.” Jika Wendy sudah jawab begitu ya bisa apa?
“Emang lo nggak ada tertariknya sedikitpun ke Kak Faren, Wen? Ini gue tanya serius terlepas dari lo cinta mati sama Yuan. Rasa tertarik sedikit aja gitu?”
Wendy merubah posisinya menjadi telentang, menghadap langit-langit kamar. “Biasa aja. Lo tau kan gue tuh nggak bisa fokus ke dua atau banyak hal sekaligus. Kalau gue udah fokus ke satu hal ya gue Cuma fokus ke situ aja. Gimana gue bisa lirik yang lain kalau hati gue Cuma buat Yuan?” nyatanya memang seperti itu. Orang-orang bilang Pane sangat tampan. Wendy bukan tidak mengakui hal itu, tapi dia memang tidak memperhatikan hal itu sama sekali. Ketika bertemu Pane, Wendy hampir tidak pernah menatap laki-laki itu lebih dari 5 detik. Orang lain benar-benar tidak menarik di matanya.
“Iya iya gue tau. Lo kan emang nggak bisa fokus ke dua atau banyak hal sekaligus. Fokus lo nggak bisa dibagi..” Bibi beranjak dari tempat duduknya menuju pantry. “Lo mau mie rebus nggak?”
“Hm..” Wendy kembali memikirkan hari-hari yang sudah ia lewati. Tiga tahun ia mengejar Yuan. Orang bisa bilang tiga tahun adalah waktu yang sebentar. Tapi bagi Wendy tiga tahun adalah waktu yang sangat lama. Sebab tiga tahun itu sudah tak terhitung berapa kali ia menangis karena nama Yuan. Pedihnya lagi yang punya nama bahkan tidak tau tentang rasa sakit yang Wendy rasakan. Yuan tidak tau kalau ada yang menangisinya setiap malam.
Cintanya pada Yuan saja sudah membuat Wendy lelah. Bagaimana dia punya waktu untuk memikirkan orang lain? Pane? Lagipula kenapa laki-laki itu bisa suka padanya? Wendy merasa tak ada hal spesial yang bisa dia banggakan tentang dirinya. Setidaknya untuk menarik perhatian seseorang seperti Pane yang kata Bibi adalah seorang idola incaran banyak perempuan. Dia tidak secantik Selena si idola di fakultasnya. Dia juga tidak populer seperti banyak gadis-gadis di jurusannya. Dia mungkin lumayan pintar tapi juga tidak sangat-sangat pintar hingga mengharumkan nama kampus. Ia tidak begitu aktif berorganisasi. Intinya Wendy benar-benar merasa dirinya hanyalah perempuan biasa. Lalu kenapa Pane bisa menyukainya bahkan mau mengejarnya meski sudah diabaikan?
***