Pacarmu

1794 Words
Kinerja Rahel sebagai asisten dokter jadi kurang efisien, karena dia mudah lelah. Bahkan sekarang dia juga mudah mengantuk. Karenanya, Rahel telah memikirkan untuk mengajukan resign sebulan lagi. Setidaknya, dia sudah mulai memberitahu dokternya tentang niatnya. Dokter tersebut telah sangat menyukai Rahel yang cekatan dan cerdas sejak awal magang. Bahkan sengaja mempertahankannya agar Rahel memiliki lebih banyak pengalaman dan pengetahuan. Dokter tersebut sangat menyayangkan keputusan Rahel. Karenanya, meskipun dia tidak menunjukkan keberatan, tapi masih mencoba menanyakan tentang Rahel pada seorang temannya di rumah sakit tersebut. "Saya tidak tahu, dok. Hanya saja, sepertinya Rahel sedang mengalami masalah kesehatan. Dia terlihat sangat pucat beberapa Minggu ini. Seperti sangat kelelahan. Mungkin, tugas kuliahnya juga sedang banyak!" Perawat itu cukup dekat dengan Rahel. Meskipun Rahel masih sangat muda, tapi karakternya yang baik membuat semua orang di rumah sakit menyukainya. Dokter spesialis syaraf agak jarang, bahkan dia sebagai salah satu dokter spesialis di rumah sakit tersebut, juga kesulitan untuk menemukan magang yang cocok seperti Rahel. Jadi tentu dia agak kesulitan untuk melepasnya pergi. "Aku sudah menyuruhnya memeriksa. Apakah dia mengabaikan peringatanku?" Dokter Jo agak marah, karena dia juga menyadari hal tersebut sejak lama. Khawatir sekaligus kesal. Perawat tersebut buru-buru menggeleng. "Rahel bilang dia sudah periksa, saat dokter Rian menyuruhnya datang!" "Hah, saya mengerti. Tolong beritahu saya, jika kamu menemukan informasi tentang Rahel. Saya harap anak itu tidak sedang dalam masalah!" Dokter Jo tidak bisa melaksanakan apapun, dia tidak memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan orang lain. "Iya, Dok. Siap!" Perawat tersebut memperhatikan kepergian dokter Jo sambil menghela napas. Dokter Jo adalah dokter senior yang sangat sulit. Setelah akhirnya menemukan asisten yang cukup cocok dengannya, malah harus melepaskannya. Saat perawat itu akan ke ruangan pasien untuk memeriksa, dia tanpa sengaja melihat sosok yang tidak asing. Mantan anak magang di rumah sakit ini. Yang juga adakah mantan Rahel. "Malik!" Dia memanggilnya. "Bisa bicara sebentar?" Malik berkunjung ke rumah sakit ini untuk mencari temannya. Mereka ada janji untuk pergi bersama, karena merasa senggang, dia datang menjemputnya. "Ada apa? Kalo memang penting, ayo bicara di taman samping!" Perawat itu mengangguk. "Sebenarnya bukan hal yang sepenting itu. Hanya saja, aku ingin bertanya sebagai teman!" Malik mengernyit, ekspresi dan cara bicaranya itu membuatnya bingung. "Oke!" Setelah mereka sampai di taman, Malik dan pesawat itu terlibat pembicaraan serius yang dibalut oleh suasana santai. "Jangan ngaco. Mana mungkin Rahel berhenti magang, dia sangat suka pekerjaannya!" Malik telah sangat mengenal Rahel. Gadis itu mungkin terlihat kekanakan, tapi memiliki tekad yang kuat. Kecuali ada alasan yang sangat penting, tidak mungkin Rahel berhenti bekerja di rumah sakit ini. Apalagi kuliahnya juga akan berakhir setahun lagi. Setelah lulus nanti, Rahel bisa minta rekomendasi dari rumah sakit ini untuk pindah ke rumah sakit yang lebih besar, jika dia mau. Jadi, kenapa tiba-tiba ingin mengundurkan diri? "Entahlah, dokter Jo aja gak tahu. Aku cerita ini ke kamu, karena kupikir kamu tahu sesuatu. Kalian telah menjalin hubungan lama, dan baru putus sebulan lalu!" Malik menggeleng, dia benar-benar tidak tahu. Mereka sudah putus, dan sama sekali tidak berhubungan lagi. Tidak saling ikut campur urusan masing-masing. "Aku akan bertanya padanya!" Malik langsung berbalik pergi, mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi temannya, memberitahu kalau mereka tidak jadi pergi. Malik hafal dengan jadwal kuliah Rahel. Saat ini Rahel pasti masih di universitas. Seharusnya dia tidak lagi ikut campur tentang urusan Rahel, tapi dia tidak bisa diam saja setelah mendengar cerita temannya. Apakah benar kecurigaan teman perawatnya itu kalau Rahel sakit? Malik mencari Rahel di kelasnya, tapi dia tidak menemukannya. Bingung, tapi tidak menyerah untuk menemukannya. Bertanya pada teman Rahel tentang keberadaannya. Sayangnya, semua orang menjawab tidak tahu. Juga, sikap orang-orang itu terhadapnya agak jauh. Mungkin karena mereka tahu dia sudah tidak lagi menjadi pacar Rahel. Statusnya sebagai senior di universitas tidak berbeda dengan yang lain. Jika sebelumnya, mereka akan bersikap ramah padanya. Saat kembali ke mobilnya, dia melihat Nisa. Merasa menemukan harapan, dia mendatanginya. "Nisa!" Nisa hanya melihatnya dan menunggu. Terlihat jelas ketidaksukaan itu di wajahnya. Dia mengerti kenapa Nisa bersikap seperti itu, karena Nisa adalah teman dekat Rahel. "Rahel dimana? Kenapa dia gak dateng ke kelasnya. Tumben banget dia absen!" Malik bersikap biasa, meskipun Nisa agak mengabaikannya. Nisa berdecak. Dia tersenyum sinis pada Malik, mendengar pertanyaan itu. "Lo lupa kalo Lo bukan pacar Rahel lagi? Kenapa masih nyariin? Gak usah sok peduli, urusin aja tuh pacar baru Lo!" Tentu Malik tidak menyangka akan mendapatkan respon keras dari Nisa. Dia bertanya baik-baik, tapi gadis itu malah memarahinya. "Gue nanya bukan berarti peduli. Jawab aja Napa sih! Dimana dia?" Malik tidak akan terpancing oleh kemarahan Nisa. Nisa mendengus, dia sangat ingin memukuli kepala laki-laki b******k itu. Beraninya Malik masih mencari Rahel, setelah menyakiti hatinya. "Rahel dimana juga Lo gak perlu tahu. Mending jauh-jauh deh dari hidup Rahel. Susah payah dia mencoba melanjutkan hidupnya, setelah Lo perlakuan dia kayak gitu. Tapi seenaknya aja Lo mau datengin dia lagi!" Malik di dorong oleh Nisa. Dia tentu kesal, tapi masih tidak membalas kemarahan Rahel tersebut. "Gue gak akan nyariin Rahel, jika bukan karena hal penting. Juga, cinta itu gak bisa dipaksa. Kisah gue sama Rahel udah berakhir, jangan buat gue seolah-olah sedang berselingkuh darinya!" Malik tidak pernah peduli tentang pandangan orang terhadap kehidupan percintaannya, karena dia tidak merasa ada yang salah. Tapi Nisa telah keterlaluan, sehingga dia sudi menjelaskan. Nisa tertawa sarkasme. Dia sangat benci laki-laki seperti Malik. Bagi Malik, setelah putus, perasaan itu tidak lagi ada. Tapi tidak bagi Rahel yang pernah begitu cinta dan mempercayainya. Masih ada sisa rasa yang terbelenggu di kedalaman hatinya. "Rahel pasti nyesel pernah cinta sama laki-laki b******k kayak Lo. Sekarang dia kesulitan bernapas, sedangkan Lo udah bisa seneng-seneng sama cewek lain! Rahel jadi kurus, bahkan kesehatannya juga menurun. Itu karena Lo!" Nisa mengatakannya dengan sangat emosional, sehingga matanya berkaca-kaca. "Dia Sakit apa?" Malik mengabaikan makian Nisa terhadapnya. Dia lebih fokus pada kalimat terakhir. "Lo gak perlu tahu!" Nisa sedikit merasa bersalah, karena dia agak melebih-lebihkan. Rahel hanya selalu lesu dan mudah lelah. Tapi tetap saja, hati yang sakit lebih parah dari pada sakit fisik. Karena mempengaruhi mental seseorang. Dulu Rahel gadis yang ceria, setelah putus dari Malik, keceriaannya menghilang. "Apa karena itu dia mundur dari rumah sakit?" Malik bertanya dengan sedikit gelisah. Sakit apa yang membuat Rahel sampai berhenti dari pekerjaan itu. Nisa kaget mendengar ucapan Malik. Rahel berhenti, kapan? Dia tahu tentang ide Rahel ingin ambil cuti setelah semester ini berakhir. Tapi dia belum tahu kalau Rahel akan berhenti dari rumah sakit. Kenapa? "Lo mending jauh-jauh dari Rahel. Apapun yang terjadi padanya tidak lagi ada hubungannya dengan Lo!" Nisa buru-buru pergi, dia marah dan panik. Tentu sangat bodoh jika dia masih tidak bisa melihat keanehan tersebut. Pasti ada yang disembunyikan Rahel darinya. Sesuatu yang besar pasti terjadi! Nisa terburu-buru menghubungi Rahel. Beruntung Rahel sudah memblokir nomor Malik, sehingga laki-laki itu tidak bisa menghubunginya dan mencarinya. Dia khawatir, jika tadi Rahel benar-benar bertemu dengan Malik. Rahel sedang berbelanja di mall. Dia mencari s**u untuk ibu hamil dan beli beberapa buah-buahan. Dokter bilang dia akan baik-baik saja setelah melewati trimester awal. Maka dia harus lebih fokus memenuhi nutrisi tubuhnya. Demi bayi di perutnya. Saat Nisa menghubunginya, Rahel bilang sedang di tempat ramai. Akan menelponnya lagi nanti setelah di kosan. Dia memang sengaja absen dari kelas, karena tahu dosennya sedang bepergian. Hanya memberikan tugas. Jadi dari pada tetap di kelas, dia memilih untuk pergi beli s**u dan mengerjakan tugasnya di kosan. Rahel tidak tahu Nisa sedang marah dan khawatir. Karena dia sedang sibuk membayar belanjaannya. Rahel tidak langsung pulang setelah selesai mendapatkannya apa yang dicarinya. Dia pergi ke toko kosmetik untuk membeli lipstik. Mencoba lipstik warna nude, dia merasa itu sangat bagus, tapi dia ingin membeli yang warna terang juga, sehingga dia mencoba yang lainnya. "Itu tidak cocok!" Suara seseorang mengagetkan Rahel. Rahel menoleh, dan kaget saat melihat Gibran. Kenapa Gibran ada di toko kosmetik. Apalagi laki-laki itu masih mengenakan seragam sekolahnya, dan hanya melapisi dengan jaket. "Kenapa kamu disini?" Rahel menoleh ke arah siswi berseragam lainnya. Jadi sepertinya keduanya datang bersama. Apakah siswi itu pacar Gibran? Rahel langsung tersenyum menggoda pada Gibran. Dia tidak menyangka, Gibran ternyata pacar yang manis, sampai menemani ke toko kosmetik. Gibran mengambil lipstik yang dipegang Rahel dan menaruhnya kembali ke rak. Kemudian dia memilih lipstik dengan warna sedikit pink. "Coba ini!" Gibran memberikan pada Rahel. Rahel menerima dengan bingung, kemudian kembali menghadap ke kaca. Mencoba memoleskan lipstik dengan warna itu ke bibirnya yang sudah dipoles sebelumnya. "Ini agak terlalu muda. Aku bukan gadis kecil lagi, tidak cocok untukku. Ini lebih cocok untuk pacarmu!" Rahel menyerahkan lipstik itu pada Gibran kembali. Gibran mengerutkan keningnya, menatap Rahel dengan malas. Kemudian mengambil lipstik dengan warna lain. "Coba yang ini!" Rahel menurut, dia mencobanya dan sedikit menyukainya. "Lumayan!" "Ya udah, beli itu aja!" Gibran mengambil lipstik yang baru dengan warna sama dan membawanya pergi ke kasir. Rahel bingung, dia mengambil lipstik yang pertama dia sukai dan pergi ke kasir. "Kamu beli lipstik untuk pacarmu? Warna itu cocok untuk wanita dewasa sepertiku!" Rahel masih mencoba mengingatkan, sambil meletakkan lipstik yang akan dibelinya. Gibran menaruh lipstik itu untuk dibayar bersama dengan lipstik yang dibawanya. Mengabaikan protes Rahel. "Ini!" Gibran menyerahkan paper bag itu pada Rahel. Rahel tidak mau menerima, dia menoleh ke belakang. Mencari sosok siswi yang tadi dilihatnya. Takut kalau terjadi kesalahpahaman. Gibran tidak sabar, jadi menaruhnya langsung ke tangan Rahel. "Ini hadiah, karena kamu sangat cantik!" Rahel terperangah mendengar ungkapan Gibran. Dia malu saat melihat petugas kasirnya tersenyum padanya. Gibran tidak bohong dan tidak berniat untuk menyanjung. Dia bersungguh-sungguh saat mengatakan Rahel sangat cantik. Seorang wanita hamil, tengah mencoba lipstik sendirian, terlihat wajahnya yang begitu cantik dan imut. "Anak bodoh! Kamu menyia-nyiakan uangmu untuk wanita! Itu buruk!" Rahel memarahi Gibran seperti orangtua. Gibran diam tidak menanggapi, karena dia selalu melakukan apapun yang dia inginkan, dengan yakin. "Gibran! Maaf ya lo pasti nunggu lama!" Seorang gadis datang sambil membawa keranjang berisi produk skincare. Rahel akan menyingkir, saat Gibran sudah lebih dulu menariknya. Sehingga mereka jadi berdiri bersebelahan. "Ini, siapa?" Gadis itu bertanya pada Gibran. "Hai, aku tetangganya di kosan. Gibran ini seperti adik laki-laki!" Rahel lebih dulu menjelaskan dengan sikap ramah, agar tidak ada kesalahpahaman. Gadis itu mengangguk. "Halo kak, aku Alda!" "Kamu mau kemana lagi?" Gibran memotong pembicaraan yang cerah itu, bertanya pada Rahel. "Emh, mau cari buku!" Rahel tidak ingin mengganggu lagi, jadi dia sekalian akan mengucapkan perpisahan pada keduanya. Tapi malah keduluan oleh Gibran. "Al, Lo balik sendiri ya!" Gibran bicara dengan Alda, dan langsung menarik tangan Rahel tanpa menunggu respon Alda. Rahel bingung, dia tidak mengerti kenapa keadaan jadi berbeda dari yang dia pikirkan. Kenapa dia membawa pacar gadis itu bersamanya? Bukankah artinya dia telah menggangu kencan mereka. "Mau kemana?" Rahel bertanya, karena Gibran masih menariknya. "Katanya mau beli buku!" "Aku beli sendiri, kenapa kamu juga ikut! Pacarmu pasti marah!" Rahel berusaha melepaskan tangannya, sedangkan barang belanjaannya sudah dibawakan Gibran. Gibran menjawab ringan. "Dia bukan pacarku!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD