6

1269 Words
Nieve langsung membuka pintu saat mendengar seseorang mengetuknya. Dia melihat Teresa berdiri di depan pintu sembari tersenyum. Nieve ikut tersenyum. Tubuhnya bergerak memeluk erat Teresa hingga membuat wanita itu sangat terkejut. "Nieve, Apa yang salah denganmu?" tanya Teresa bingung. Dia tidak langsung menjawab. Nieve justru menghela napas pelan untuk menetralkan perasaannya. Perlahan dia melepaskan pelukan itu. Merasakan Teresa membalas pelukannya saja sudah membuatnya sedikit tenang. "Tidak apa-apa. Aku hanya merindukanmu," jawab Nieve diiringi tawanya. Dia mempersilakan Teresa untuk masuk ke dalam lalu menutup pintunya kembali. Mereka pun duduk berdampingan di sofa. Teresa menepuk paha Nieve membuat wanita itu tertegun lalu menatapnya. "Kau tidak berangkat kerja?" tanya Teresa. Nieve menggeleng pelan, "Aku mengambil cuti hari ini." Dia menghela napas pelan melihat Teresa mengangkat kedua alisnya, "Aku sedang tidak mood untuk ke kantor." "Gayamu seperti pemilik perusahaan saja," ledek Teresa diiringi kekehannya membuat Nieve tersenyum. "Yah .... Bagaimana dengan perkembangan novelmu?" tanya Nieve. "Aku sedang membuat akhir ceritanya. Dan itu membuat tenagaku terkuras banyak," jawab Teresa mengadu kesulitan untuk mengakhiri novelnya. Nieve kembali tertawa melihat ekspresi wajah Teresa. Teresa Longobardi, teman seusianya yang dekat sejak mereka sekolah menengah pertama. Saat itu Teresa adalah satu-satunya teman yang membantunya dalam kesulitan saat kedua orangtuanya bercerai. Teresa adalah teman yang merangkulnya saat yang lain mengucilkannya. "Oh ya," Teresa tertegun mengingat sesuatu membuat Nieve menatapnya dengan penuh tanya, "Kau ... masih ingat dengan Fabio Ricetti?" Teresa mendesah kasar karena Nieve bereaksi biasa saja. Bahkan wanita itu terlihat kebingungan. "Oh mia Dio! Fabio, pria yang kau kagumi saat kita kuliah. Kau tidak ingat?" Nieve termenung mencoba mengingat. Nama Fabio seperti angin lalu dalam otak Nieve. Setelah mengetahui fakta bahwa pria itu mempunyai kekasih dari fakultas lain, Nieve sudah berhenti menyukainya diam-diam. Bahkan sekarang nama itu terasa sulit untuk dijangkau hatinya. "Fabio?" tanya Nieve ragu saat menyebutkan nama itu. Sedangkan Teresa nampak mengangguk dengan semangat. "Iya, aku mulai ingat," jawab Nieve. "Aku mendapatkan nomernya. Dan aku mendengar kabar kalau sekarang dia tidak mempunyai kekasih," ujar Teresa. "Mana ponselmu?" tanya Teresa sembari mengulurkan tangannya seolah meminta Nieve untuk meminjamkan ponsel. Nieve hanya mengikuti. Dia memberikan ponselnya pada Teresa. Membiarkan wanita itu mengetik nomer baru di layar dengan nama 'Mia Amore'. Teresa mengembalikan ponselnya pada Nieve. "Coba kau hubungi dia. Aku yakin kali ini dia pasti akan merespon," ujar Teresa. "Cepat!" perintahnya sembari menggoyangkan lengan Nieve. "Nanti saja," balas Nieve dan meletakkan ponselnya di atas meja. Teresa berdecak kesal melihat tingkah Nieve. Tanpa meminta persetujuan Nieve, Teresa mengambil ponselnya lalu mengirimkan sebuah pesan pada Fabio. "Kau sedang apa?" tanya Nieve penasaran. Dia mencoba melihat layar ponselnya namun dihalang Teresa. "Hei! Tere, hentikan! Apa yang kau lakukan?!" Nieve mencoba meraih ponselnya. Bahkan posisi duduk mereka sudah tak karuan. Teresa bangkit berdiri sedang perhatiannya hanya terpaku pada layar ponsel. Jemarinya pun nampak sibuk mengetik sesuatu membuat Nieve merasa cemas. Nieve ikut berdiri dan masih berusaha mengambil ponselnya. Sampai dua menit kemudian Nieve berhasil mengambilnya. Nieve mengecek ponselnya. Dia membuka menu pesan dan terkejut membaca isi pesan yang dikirim Teresa pada Fabio. Dia juga melihat balasan pria itu. "Tere! Cazo!" Nieve berdecak kesal. Dia bahkan reflek memukul lengan Teresa. Sedangkan Teresa hanya tertawa melihat raut wajah Nieve. *** Sepasang manusia duduk berhadapan di restoran dalam gedung Torre Del Dio. Usai memesan makanan, keduanya saling bertatapan kaku. Sampai akhirnya salah satu dari mereka memulai percakapan untuk mencairkan suasana. "Kau ... bekerja di mana?" tanya pria itu. Wanita bergaun warna plum itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Gaun yang dikenakannya memiliki kerah yang menutupi leher dengan belahan bawah gaunnya mencapai setengah pahanya. "Aku ... di perusahaan Marche Corp.," jawabnya. "Wow. Kau hebat sekali bisa bekerja di perusahaan itu," desah pria bernama Fabio itu memuji. Nieve hanya tertawa kaku. Dia menjadi bingung di depan Fabio. Rasa tertariknya yang sudah lama hilang kembali muncul. Dalam benaknya, Nieve merasa berterima kasih pada Teresa. Karena tanpa sahabatnya itu, makan malam bersama Fabio hanya akan menjadi mimpi belaka. "Ba-bagaimana denganmu?" tanya Nieve. "Aku seorang fotografer," jawab Fabio. Nieve mengangguk mendengar jawaban Fabio. Sebenarnya dia sudah tahu lebih dulu pekerjaan pria itu. Dirinya pun sudah melihat hasil-hasil potret Fabio dari salah satu sosial media milik pria itu. Dan lagi, Teresa yang menunjukkannya. Oh mia Dio! Teresa memang sangat membantu. "Oh ya, di sini juga ada club. Bagaimana kalau nanti kita ke sana?" ajak Fabio. Nieve terlihat berpikir sejenak sampai akhirnya dia mengangguk menerima ajakan Fabio. Perhatian mereka teralihkan saat melihat pelayan mengantar pesanan. Sang pelayan pun menghidangkan menu di atas meja dan mempersilakan mereka untuk menikmati. Nieve dan Fabio memulai aktivitas makannya. Sesekali pria itu mengajak berbicara untuk menghilangkan kegugupan Nieve. Hingga perlahan Nieve terlihat menikmati suasana yang menyelimuti mereka. *** "Bos! Bos maafkan saya!" Enzo hanya diam sembari menatap tajam pada pria yang saat ini membungkuk di kakinya. Bahkan pria itu memeluk kedua kaki Enzo erat-erat. Tidak ingin tarikan dua pengawal pada lengannya membuat pelukan itu terlepas. Kedua telapak tangan Enzo mengepal. Raut wajahnya menampakkan emosi, bahkan rahang pria itu mengeras sempurna. Sesekali Enzo menggerakkan kedua kakinya untuk melepas pelukan pria itu. Sebelah tangan Enzo meraih benda dari balik jasnya. Tanpa menunggu lama, ujung senapan itu terarah pada kepala Ermanno Pizzarelli. Satu detik kemudian suara tembakan terdengar nyaring di halaman sebuah rumah keluarga Pizzarelli. Ermanno merupakan salah satu anak buahnya yang sudah membocorkan informasi penting pada musuh. Sehingga tidak ada ampun bagi pria itu. Enzo menendang tubuh tak bernyawa Ermanno. Dia memasukkan senjatanya kembali ke dalam balik jas. Enzo berjalan melangkahi tubuh Ermanno. Dirinya lebih memilih pergi dari tempat itu diikuti Rery dan dua anak buah lainnya. Rery berjalan lebih cepat saat langkah mereka hampir dekat dengan mobil. Rery membukakan pintu untuk Enzo dan menundukkan kepala saat Enzo sudah masuk ke dalam mobil. Dia memutari mobil lalu duduk di kursi pengemudi. Tak lama kemudian Rery mulai melajukan mobilnya diikuti mobil lain anak buahnya. "Kita ke mansion," perintah Enzo sembari memejamkan kedua matanya. Setelah menikmati hiburan main judi hampir tiga jam, Enzo mendapat undangan pertemuan mendadak. Selama rapat berlangsung, pikiran Enzo kembali tertuju pada Nieve. Hingga membuat pria itu mendesah berulang kali, merasa kesal dengan otaknya sendiri. Bahkan tak jarang beberapa anggota mafia lain terlihat bingung dengan tingkahnya. Pertemuan yang pertama kalinya terasa bosan untuk Enzo, berlangsung hampir dua jam. Selesai dengan pertemuan tersebut, Enzo berniat menghubungi Nieve. Namun dirinya kembali tidak mendapat kesempatan karena mendengar terjadi keributan di Torre Del Dio. Dan sekarang Enzo merasa lega karena urusan tersebut baru saja selesai. Rasa lelahnya membuat otak Enzo hanya terpusat pada Nieve. Dia ingin merasakan tubuh wanita itu untuk menghilangkan penatnya. Enzo ingin merasakan bibir lembutnya yang selalu terasa manis dan menariknya untuk selalu menciumnya. Beberapa menit kemudian mobil yang ditumpangi Enzo memasuki halaman mansion. Dia turun dari mobil saat Rery membukakan pintu untuknya. Kedatangan Enzo menarik perhatian Agusto. Pria itu menghampirinya sembari menundukkan kepalanya. "Selamat malam, Giovane Maestro," sapa Agusto. Enzo menghentikan langkahnya. Dia menatap Agusto. "Apa Nieve ada di kamar?" "Signorina belum pulang, Giovane Maestro." Jawaban Agusto seperti bara api yang menyulut emosi Enzo. "Maledetta cagna!" umpat Enzo lalu merogoh celananya. Dia menyalakan ponselnya dan menunggu beberapa saat. Enzo mulai membuka beberapa pemberitahuan percakapan pesan dari ponsel Nieve. Kabut emosi menyelimutinya saat membaca setiap pesan. Bahkan genggaman pada ponselnya semakin erat saat melihat nama kontak yang sedang berkirim pesan dengan Nieve. "Pergi ke Torre Del Dio," perintah Enzo dan berbalik pergi. Langkah kakinya sangat cepat menuju mobil. Bahkan dia membuka pintu mobil itu sendiri dan menutupnya, seolah tidak sabar jika harus menunggu Rery yang membukanya. Sepanjang jalan Enzo tidak berhenti mengumpat dalam hati. Dia hampir tidak percaya jika Nieve telah melanggar perintahnya. Wanita itu terlihat sangat penurut. Namun semua penilaian Enzo salah, wanita itu sama seperti p*****r lainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD