4

1628 Words
Enzo keluar dari kamar. Kedua tangannya sibuk menggulung lengan kemeja sedangkan langkahnya semakin cepat menuruni anak tangga. Dia melihat Rery masih berdiri di ruangan depan. Ketika langkahnya melewati Rery, pria itu menundukkan kepalanya sejenak pada Enzo. "Katakan pada Jack untuk datang menemuiku," perintah Enzo lalu mendekat ke arah sofa. Dia duduk di sana sembari menyandarkan punggungnya. "Sì," jawab Rery lalu segera menghubungi Jack. Enzo hanya diam mendengar Rery menelepon. Lamunannya tertuju pada wanita asing itu. Rasa penasaran akan wanita itu membuat tangannya meraih map biru yang tergeletak di atas meja. Jemari Enzo membuka map tersebut dan mulai membacanya. Melihat nama wanita itu tertulis menggunakan pena membuat Enzo ingat jika dirinya belum tahu namanya. "Nieve Valente," gumam Enzo membaca nama itu. Nama keluarganya tak terdengar asing di telinga Enzo. Dirinya pun mencoba mengingat nama itu sampai akhirnya sadar jika wanita itu adalah pemilik rumah bordil yang menjadi langganan Jack. Sedangkan ini adalah dua kalinya Jack menyediakan wanita dari rumah bordil itu. "Ternyata kelakuannya mirip seperti ibunya," desah Enzo. Lima juta Euro adalah nominal yang cukup tinggi hanya untuk seorang p*****r. Tapi dirinya sudah berjanji akan memberikan berapa pun nominal yang diinginkan wanita itu. Beberapa saat kemudian ketenangan Enzo terganggu oleh deru langkah yang mendekat. Enzo melihat Jack datang menghampirinya. Tak lupa pria itu menundukkan kepalanya sejenak. "Enzo—" "Kau tidak mendengar ucapanku?" potong Enzo sembari menjatuhkan tatapan tajam ke arah Jack. Jack mengangkat kepalanya. Dia menatap gusar sekitar. Rasa cemas menelannya mentah-mentah mengingat kalau dirinya belum menyediakan wanita untuk Enzo. Bahkan saking cemasnya, Jack tidak melihat Enzo sedang memegang map biru miliknya. "Saya akan segera menyediakan wanita untuk Anda," ujar Jack dengan suara gagap. Ketakutannya terlihat jelas dari wajahnya. Enzo mengernyitkan keningnya bingung. Dia menutup map biru itu lalu melemparnya ke arah Jack. Pria itu pun menerima map dan ikut merasa bingung. "Map ini ...." Jack bergumam bingung lalu membukanya. Dia membaca map tersebut dan sudah tertera sebuah nama di sana. "Lalu bagaimana caranya wanita itu datang dengan membawa map itu?" tanya Enzo. "Tapi, Janira mengatakan kalau map ini hilang. Satu jam yang lalu dia meneleponku," jelas Jack. "Dia masih perawan. Kau tahu bukan jika aku tidak suka," ucap Enzo kesal. "Maafkan saya, Enzo. Saya akan segera membawa wanita lain untuk Anda." "Tidak usah," tolak Enzo cepat lalu berdiri membuat Jack memundurkan langkahnya. "Aku sudah membayar lima juta Euro padanya. Bawa wanita lain setelah aku bosan dengannya." "Lima juta?!" Jack mengulangi ucapan Enzo sembari membelalakkan kedua matanya. Enzo mengalihkan tatapannya. Satu demi satu pertanyaan memenuhi kepalanya. Dia pun menyuruh Jack untuk segera pulang sambil membawa map itu. Enzo juga menyuruh Jack untuk tidak mengatakannya lebih dulu pada Janira jika putrinyalah yang datang. Setelah Jack pamit pulang, Enzo kembali masuk ke dalam kamar yang dihuni Nieve. Dia memperhatikan wanita itu yang nampak tenang dengan dunia mimpinya. Enzo berjalan mendekat, langkahnya menginjak piyama yang tergeletak di atas lantai. Enzo duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur ke arah wajah Nieve. Jemarinya bergerak menyingkirkan beberapa helai rambut wanita itu yang menutupi wajahnya. Tatapan Enzo terpaku pada wajah cantik Nieve. Perhatian Enzo teralihkan saat mendengar suara ketukan pintu. Dia menoleh ke arah pintu dan melihat Agusto menunduk hormat. Pria paruh baya itu berdiri di depan pintu. "Masuk," perintah Enzo. Agusto masuk perlahan. Langkahnya berhenti tepat di depan Enzo. "Siapkan semua kebutuhannya selama.dia di sini. Dan ingat, aku lebih suka dia memakai pakaian seksi," perintah Enzo sembari melirik ke arah Nieve yang terbaring di atas ranjang. "Sì, Giovane Maestro," jawab Agusto sembari mengangguk. "Setelah dia sadar, bersihkan kamar ini," perintahnya lagi. Enzo menggidikkan dagunya ke arah s**********n Nieve yang terdapat bercak darah. Agusto melirik ke arah Nieve sekilas karena keadaan wanita itu yang tidak tertutupi sehelai kain. Dia kembali menatap Enzo mengingat satu hal. "Dia masih perawan?" tanya Agusto tidak percaya. Karena pasalnya Enzo selalu tidak suka jika Jack memberikan wanita yang masih perawan. Agusto masih belum tahu apa alasan Enzo tidak menyukai hal itu. "Sì," jawab Enzo singkat. Agusto menunduk hormat saat Enzo bangkit berdiri. Dia memperhatikan tuannya yang sedang membenarkan posisi tidur Nieve. Enzo nampak telaten ketika menyelimutinya. "Siapkan makan malam untukku," perintah Enzo selesai menyelimuti Nieve. "Sì, Giovane Maestro," jawab Agusto lalu pamit pergi dari kamar itu. *** Nieve mengerang pelan saat tersadar dari tidur panjangnya. Perlahan kedua matanya terbuka. Dia memperhatikan pemandangan langit-langit di kamar tersebut. Bayangan kemarin malam kembali muncul dalam benaknya. Meskipun rasa sakit pada sekujur tubuh tak lagi dirasakan, namun malunya tak kunjung hilang. Ini adalah pertama kali melakukannya, namun tidak dengan orang yang dia cintai. Nieve melakukannya dengan pria yang bersedia membayarnya. Dan sekarang dirinya adalah seorang p*****r. Nieve mengusap pipinya yang basah. Dia tidak sadar sejak kapan airmatanya menetes. Dirinya sudah terlambat untuk menyesal. Dan setelah ini, Nieve harus membujuk ibunya supaya berhenti menjadi g***o. Kedua kaki Nieve tertekuk ke bawah hingga menapak pada lantai. Langkahnya tertuju ke arah sebuah pintu. Dia memperhatikan lorong gelap itu sejenak sebelum akhirnya melangkah lebih dalam memasukinya. Nieve melihat sebuah kamar mandi dan ruangan lain. Tanpa ingin berlama-lama mengamati kamar mandi itu, Nieve langsung berdiri di bawah shower. Dia mulai menyalakan shower dan membiarkan tubuhnya basah terguyur shower. Beberapa menit kemudian aktivitas mandinya terganggu oleh deru langkah serta suara pria paruh baya dari ruangan samping. Nieve pun mematikan shower lalu memakai bathrobe. Merasa penasaran dengan apa yang sedang dilakukan Agusto, Nieve pun memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Langkah Nieve tertuju ke arah ruangan samping. Dia pun memasuki ruangan itu dan tertegun melihat Agusto sedang membereskan walk in closet itu bersama beberapa pelayan lain. "Selamat pagi, Signorina," sapa Agusto. "Selamat pagi. Ini ...." Nieve menatap sembari menunjuk beberapa pelayan yang sedang merapikan pakaian-pakaian wanita ke dalam lemari. "Giovane Maestro menyuruh saya untuk menyiapkan semua kebutuhan Anda selama tinggal di sini," jelas Agusto. Nieve mengejapkan matanya beberapa kali seolah tak percaya. Dia melihat ke arah kanannya. Nampak dua pelayan berseragam sedang merapikan macam-macam bentuk perhiasan ke dalam lemari penyimpanan. Perhatian Nieve kembali teralihkan saat melihat pelayan lain yang baru memasuki ruangan itu dengan membawa troli berisi banyak kotak sepatu. Tak lupa mereka pun menata sepatu-sepatu branded itu di lemari. "Jika Anda membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk mengatakannya pada saya," ujar Agusto membuat perhatian Nieve teralihkan. "Gra-grazie," ucap Nieve gugup. Dirinya masih belum nyaman berbicara dengan Agusto. "Kalau begitu, kami pamit keluar," ucap Agusto saat beberapa pelayan selesai menata semua barang di ruangan itu. Keenam pelayan itu berbaris di belakang Agusto sembari menundukkan kepalanya. "I-iya," balas Nieve dan ikut menundukkan kepalanya. Agusto bersama keenam pelayan itu pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan Nieve sendirian. Pandangan Nieve memperhatikan sekeliling ruangan. Dirinya masih tidak percaya melihat barang-barang branded itu tertata rapi dalam lemari, menunggu untuk giliran menempel di tubuhnya. Apakah ini pelayanan spesial yang dimaksud dalam berkas itu? Nieve membatin setelah mengingat beberapa isi dalam map biru yang dia curi dari ibunya. Pantas saja p*****r-p*****r di rumah bordil milik ibunya sampai bertengkar hebat demi berebut menjadi wanita milik Enzo Giovinco. Nieve berjalan ke arah lemari pakaian. Dia meraih salah satu dress berwarna mint lengkap dengan pakaian dalamnya. Sejenak Nieve merasa malu membuat Enzo harus menyiapkan pakaian dalam untuknya. "Sudahlah, semua sudah terjadi. Demi Madre," gumam Nieve seolah menangkis jauh-jauh semua penyesalannya dan mengubur dalam-dalam rasa malunya pada Enzo. Dirinya harus bisa bersikap layaknya wanita penghibur di depan pria itu. *** Nieve keluar dari ruangan walk in closet. Dirinya mulai memasukkan pakaian yang dikenakannya kemarin ke dalam paper bag yang dia dapatkan dari ruangan walk in closet. Setelah merasa barangnya tidak ada yang tertinggal di kamar itu, Nieve pun memakai tas selempang miliknya dan membawa paper bag sembari melangkah keluar kamar. Namun saat langkahnya melewati ranjang, kedua kakinya berhenti bergerak. Tatapan Nieve terjatuh pada secarik kertas serta ponsel yang tergeletak di atas nakas. Dia pun mendekat ke arah nakas dan mengambil kertas serta ponsel yang terlihat baru. Senyum Nieve mengembang lebar melihat angka yang tertera di cek itu. Sebuah angka yang membuatnya harus melacur pada pria kaya, lima juta euro. Nieve membolak-balikkan ponsel. Dirinya merasa bingung dengan ponsel tersebut. Sampai akhirnya ponsel itu berdering membuat Nieve reflek mengangkatnya. "Halo," sapa Nieve bingung karena tidak ada nama pemanggil. Hanya deretan nomer baru. "Kau sudah bangun?" Nieve tertegun mendengar suara khas pria itu. "Su-sudah," jawab Nieve bingung bercampur gugup. Suara berat Enzo membuat Nieve kembali ingat dengan kejadian kemarin malam. Otak Nieve kembali memutarkan kenangan di mana tubuhnya ditelanjangi dengan mudah oleh Enzo, dicium dan disentuh tanpa ada penolakan, serta dihancurkan dinding keperawanannya dengan tak berperasaan. "Itu cek yang kau minta. Aku sudah membuang ponselmu. Dan ponsel itu untukmu. Mulai sekarang kau adalah milikku, jadi kau harus patuh dengan perintahku," jelas Enzo mematenkam kepemilikan terhadap Nieve. Nieve menghela napas pelan mendengar ucapan Enzo. Dia tidak bisa melawannya karena ucapan pria itu tidak bisa dilawan saat ini. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Enzo karena tidak mendapat respon apapun dari Nieve. "Aku akan pulang karena harus bekerja," jawab Nieve. Enzo diam sejenak mendengar jawaban Nieve. Dia sudah mendapatkan satu jawaban dari beberapa pertanyaan yang mengganggunya sejak kemarin malam. "Baiklah, kau masih bisa bekerja. Tapi kau harus pulang ke mansion itu. Dan satu hal yang harus kau ingat, aku tidak suka barang milikku dirusak oleh orang lain." Nieve melirik ke arah kanan, tepat tertuju pada ponselnya. Dirinya kembali mendesah mendengar kalimat-kalimat kediktatoran sosok Enzo Giovinco. Seolah pria itu terus saja mengingatkan pada Nieve bahwa dirinya adalah 'barang' milik seorang Enzo. "Terima kasih untuk ijin ... yang kau berikan," balas Nieve dengan susah payah memilih kalimat untuk terlihat menghormati pria itu. Padahal jika saja dirinya boleh berbicara dengan jujur, Nieve akan membantah dengan semua perkataan Enzo. Nieve mendengar pria itu tertawa pelan. Entah itu sebuah tawa hinaan atau tawa kesenangan. Dia menjauhkan ponselnya dari telinga setelah mendengar suara sambungan teleponnya terputus. Nieve memasukkan dengan cepat ponsel dan cek itu ke dalam tas. Dia ingin cepat-cepat pergi dari kamar itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD