Bab.12 Si Nona Lemot

1816 Words
"Sepertinya menyenangkan kalau bisa tinggal di sini seterusnya. Tempatnya indah, tenang dan jauh dari polusi. Di Jakarta mana mungkin kita bisa menikmati pemandangan seperti ini," ucap Freya yang masih berdiri di samping kolam renang memandang laut lepas di depan sana. "Kalau mau, kamu bisa pindah ke sini." "Ngawur! Aku bukan orang kaya seperti kalian yang bisa membangun villa semewah ini tanpa pusing memikirkan uang. Dulu untuk mendirikan Seven saja aku dan mama harus mati matian banting tulang bertahun tahun, itu pun masih berhutang banyak ke keluarga Bang Jo." Dari tempatku duduk sekarang, aku bisa menangkap sekilas senyum masam di bibirnya. Ck, aku bilang juga apa! Freya terlalu tidak peka, dia selalu gagal menangkap maksud dari ucapanku. Cantik, tapi lemot! "Aku punya rencana pindah ke Bali, Frey. Nanti setelah adikku kembali dan siap mengambil alih hotel yang di Jakarta." Freya menoleh dan mengernyit bingung menatapku. Dia sepertinya sedang berusaha mengingat sesuatu. "Adik? Bukannya Bang Ibra anak tunggal?" tanya Freya. "Aku punya dua adik, tapi yang perempuan sudah meninggal saat umur empat belas tahun. Sedangkan yang satu lagi laki laki, dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di Aussie." "Kok aku tidak pernah lihat dia keluar bareng Bang Ibra?" tanya Freya penasaran. "Dia sudah enam tahun lebih tinggal di luar dan jarang mau pulang kalau tidak dipaksa." "Apa dia mirip dengan Bang Ibra?" "Maksudnya?" tanyaku. "Tidak, lupakan saja!" Bibirku berkedut menahan tawa melihat Freya yang salah tingkah. Mungkin dia penasaran, apakah adikku juga sama arogan, irit bicara dan bermulut pedas sepertiku. "Boleh aku tanya? Kamu tidak usah menjawabnya kalau memang merasa keberatan." "Tanya apa?" sahut Freya yang sekarang duduk di kursi depanku dengan tatapan waspada. "Siapa pria yang bersamamu di bandara tadi? Aku seperti pernah melihatnya, tapi lupa dimana." Serius, wajah bocah itu memang terasa tidak asing lagi bagiku. "Dia Enda, adik bungsunya Reza." Adiknya Reza, pantas saja wajah mereka terlihat tegang tadi. "Kamu periksa dulu peralatan kerjamu untuk besok, aku akan langsung menghubungi mereka kalau kamu butuh yang lainnya!" ucapku. "Ok." Freya beranjak masuk ke kamarnya. Pikiranku masih dipenuhi oleh bocah bernama Enda itu. Enda ... dan bingo! Aku ingat sekarang dimana pernah melihatnya, Aussie. "Bang Ibraaaaa ..." Sial! Jantungku hampir meloncat keluar saat Freya berteriak keras dari dalam kamarnya. Heran! Kemana perginya Freya yang tadinya pendiam? Kenapa dia suka sekali berteriak dan marah marah padaku. "Abaaang ..." Belum sempat aku menyahut panggilannya, Freya sudah berdiri dengan wajah kesal. Di tangannya ada kamera yang aku yakin baru diambil dari kotak di atas meja. "Aku tahu Bang Ibra kaya, tapi demi Tuhan kamera ini harganya hampir delapan puluh juta. Kenapa membelinya? Kan aku sudah bilang tidak butuh kamera baru!" Aku diam menatap Freya yang terus mengomel. Ingin sekali mencubit bibirnya yang ternyata bawelnya tidak ketulungan itu, tapi takut nanti dia tambah ngamuk. "Hanya sebuah kamera Frey, kenapa kamu sampai semarah itu?" "Kembalikan sana ke tokonya, aku tidak butuh itu!" Rupanya dia benar benar marah. Kamera itu diletakkan begitu saja di bangku sampingku, lalu dia masuk ke kamarnya. "Kalau kamu tidak mau ya sudah, aku lempar saja ke kolam renang." Aku meraih kamera itu dan melangkah menuju ke tepi kolam renang. Diam diam aku mengulum senyum melihat Freya yang berlari keluar dan merebut kamera itu dari tanganku. Wajahnya terlihat galak dengan mata yang melotot sengit padaku. "Katanya tidak mau, sini buang saja kalau begitu!" Tanpa mengucapkan apapun, dia berbalik dan melangkah lebar menuju kamarnya. Aku tertawa terbahak, Freya yang sewot benar benar terlihat imut. Hidupku dijamin tidak akan pernah sepi lagi kalau wanita bawel itu ada di sampingku. *** Melihat kulkas yang terisi penuh, Freya memilih masak sendiri daripada makan makanan dari hotel. Aku tidak bohong, masakannya tidak kalah enak dari masakan Tante Aida. Coba saja kalau mamaku ada di sini, pasti senang bukan main ketemu dengan wanita yang pandai memasak seperti Freya. "Bang Ibra mau kopi atau teh? Kalau bisa kurangi minum kopinya, tidak bagus untuk lambung." "Tapi aku butuh kopi Frey! Pekerjaanku masih banyak yang belum selesai." Kami baru saja selesai makan malam. Aku yang sudah lebih dulu duduk di sofa ruang tamu masih dibuat pusing melihat tumpukan berkas di depanku. Freya datang dan meletakkan secangkir kopi di atas meja, lalu duduk di sofa depanku. Dia tidak bersikap judes lagi setelah tadi sore aku mengajaknya melihat matahari terbenam dari atas tebing. Ternyata semudah itu membuatnya melupakan marahnya gara gara kamera itu. "Kamu lihat dan pelajari ini dulu, supaya lebih paham point point penting tentang Abraham Hotel!" Freya menerima uluran iPad dariku, lalu mulai membaca ringkasan penting tentang hotel resort ini. Setidaknya itu akan banyak membantunya supaya tahu bagian mana saja dari hotel ini yang perlu ditonjolkan dalam pengambilan fotonya nanti. "Besok pagi kamu ikut aku ke kantor untuk bertemu dengan managernya. Tanya apapun yang ingin kamu tahu supaya mempermudah pekerjaanmu." "Ok," sahutnya singkat. "Kamu sudah telepon mamamu?" "Sudah." "Jangan jadikan pekerjaanmu kali ini sebagai beban Frey, aku hanya ingin kamu mencobanya dulu. Sesuai kesepakatan kita, kalau ternyata hasilnya memang kurang memuaskan, kamu bisa meminta rekanmu langsung datang kesini untuk mengambil alih pekerjaan ini." "Aku tahu, terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk mencobanya." "Banyak banyaklah kamu melihat lihat pemandangan di sini, siapa tahu kamu akan jatuh cinta dengan alam Bali." pancingku. "Sejak dari datang tadi pun aku sudah jatuh cinta dengan tempat ini kok. Indah dan tenang, cocok untuk tempat mengungsi saat jenuh hidup di ibukota." jawabnya. Aku tersenyum melihat matanya yang berbinar, sepertinya dia benar benar menyukai tempat ini. "Kalau suatu saat nanti aku mengajakmu pindah ke sini, kamu mau?" tanyaku. "Haaa, maksudnya gimana? Kenapa Bang Ibra mengajakku pindah ke sini?" Aku menggeleng dan menghela nafas panjang. Kadar ketidakpekaan wanita yang satu ini memang sudah tidak tertolong lagi. Lihat saja wajahnya yang masih tampak kebingungan itu, membuatku gemas ingin sekali menciumnya. "Freya ..." "Ya ..." "Kamu cantik, tapi sayangnya lemot." Freya mendengus kesal, dia menyambar bantal kecil di sampingnya dan melemparnya ke arahku. Tawaku semakin meledak melihat matanya yang sipit itu melotot marah padaku. "Matamu sipit Frey, kalau lagi melotot begitu bukannya kelihatan seram, tapi kamu malah semakin unyu." ledekku yang membuat jengkelnya makin menjadi. Tanpa mengatakan apapun Freya kembali menyambar satu bantal kecil dan menghambur ke arahku. Dengan tatapan dongkol dia memukulku dengan bantal di tangannya. "Aku ... tidak ... lemot!" Sumpah demi apa perutku sampai sakit karena terus tertawa. Dia baru berhenti memukulku saat aku berhasil menangkap tangannya dan menariknya duduk di sampingku. "Iya maaf, kamu tidak lemot, cuma agak telat mikir." "Abang ...." teriaknya keras. "Apa Sayang?" godaku. "Dasar sinting!" Sial! Melihat bibir mungilnya yang mencebik lucu itu, semakin membuatku begitu ingin mencicipinya. Dia terus saja meronta berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari cekalanku. "Lepas!" "Kalau aku tidak mau, kamu bisa apa?!" "Ada tamu Bang, aku mau buka pintu." Aku mendecak keras dan melepaskan tangan Freya. Sialan! Mengganggu saja. Tapi kalau diingat ingat, seumur umur mungkin baru kali ini aku bisa dekat dan tertawa lepas dengan seorang wanita. Wira muncul dari balik pintu yang baru saja dibuka oleh Freya. Sepasang matanya menatap Freya lekat, membuat wanita itu berdiri salah tingkah. "Jadi tamu yang sopan, mau aku colok mata kamu!" Laki laki kurang ajar itu tertawa terkekeh, lalu melangkah masuk dan duduk di sofa seberangku. "Jadi karena ini kamu tidak bisa keluar?" cibirnya sambil melirik Freya. "Kamu tidak melihat itu!" Daguku mengedik ke arah tumpukan berkas di atas meja. "Alasan, itu bisa besok kamu kerjakan. Urusan Mirror jauh lebih penting sekarang." "Temannya Bang Ibra mau minum kopi atau teh?" tanya Freya. "s**u," sahut Wira cepat. Lemparan bantalku tepat mengenai wajah pria keranjingan itu, tapi dia justru tersenyum menjijikkan. "Cari mati kamu!" bentakku. "Jadi benar yang dikatakan Naresh, sekarang kamu sudah insaf dan kembali ke jalan yang benar." sindirnya. "Sialan! Memangnya sejak kapan aku belok? Mamaku bisa membunuhku kalau aku seperti Naresh." Baru saja aku akan menyuruh Freya untuk istirahat dulu, dia sudah datang dan meletakkan segelas s**u di atas meja depannya Wira. Laki laki b******k itu langsung tertawa terpingkal, sedang aku hanya mengulum senyum melihat Freya yang kebingungan. "Kok tertawa? Benar kan tadi minta s**u?" tanya Freya dengan polosnya. "Benar kok, tapi aku cuma doyan s**u cap Nona." kata Wira sambil menatap Freya lucu. "Tapi adanya cuma s**u segar biasa di kulkas." ucap Freya yang semakin membuat Wira tertawa terbahak. Dia bahkan sampai memegangi perutnya saat melihat wajah cengo Freya. Aku meraih tangannya dan menariknya duduk di sampingku. "Jangan kaget Frey, dia memang orangnya agak kurang waras." "Kamu Freya yang diceritakan Naresh itu kan? Maaf, aku cuma bercanda kok. Nanti susunya pasti akan aku habiskan, terima kasih ya." ucap Wira. "Dia ini temanku, Wira. Mirror yang di Bali, dia yang pegang." Freya tersenyum dan mengangguk mengerti. Aku melotot ke arah Wira yang masih saja tersenyum tak jelas sambil menatap Freya. "Kalian teruskan ngobrolnya, aku mau mempersiapkan peralatanku buat besok." Pamitnya, lalu beranjak masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku. Wira tersenyum geli melihat segelas s**u di depannya, bisa bisanya dia melempar candaan seperti itu. Untung saja Freya orangnya lemot, kalau tidak pasti dia akan mengamuk lagi. "Pantas saja kamu bertekuk lutut. Sudah cantik, lugunya tidak ketulungan." "Lemotnya amit amit," tambahku. Wira mengangguk dan tersenyum lebar, lucunya lagi dia benar benar menghabiskan s**u itu. "Nemu dimana kamu? Sepertinya hidupmu lebih bahagia sekarang, tadi dari luar saja aku bisa mendengar suara tawamu." "Sahabat kecilnya Johan, sudah seperti adiknya malahan." "Jadi kapan nikah?" tanya Wira. "Tidak tahu, didekati saja sulitnya minta ampun apalagi diajak nikah!" "Kejar sampai dapat! Pakai rok saja sana, kalau kamu tidak bisa menikahinya!" cibir Wira. Aku mendengus. Wira yang terbiasa berganti teman tidur seperti berganti baju tiap hari, mana mungkin paham soal begini. "Jadi ada masalah apa lagi di Mirror?" tanyaku yang langsung membuat wajah Wira berubah serius. "Kemarin malam seorang pegawai memergoki ada lagi yang melakukan transaksi obat di Mirror, tapi kali ini aku bisa membekuknya." "Sialan! Siapa lagi yang berani menyentuh tempatku?!" aku mengumpat keras. "Masih sama, anak buah nya Hans." jawab Wira. "Bukankah aku sudah menyuruhmu menemuinya dan memperingatkan agar tidak macam macam di tempatku!" ucapku kesal. "Anak buahnya bilang dia masih di Batam, Ib. Sampai sekarang aku belum berhasil menemuinya." "Bodoh! Pantas saja dia ngelunjak, kamu terlalu lembek." Sudah jadi aturan mutlak di Mirror, tidak ada toleransi bagi pengunjung yang tertangkap tangan membawa masuk obat terlarang. Apalagi sampai melakukan transaksi di dalam nightclubku. Bukan urusanku kalau mereka masuk setelah mengkonsumsi barang haram itu, tapi beda urusannya kalau ada yang sengaja datang dengan membawanya. Bukan hanya karena resiko yang harus Mirror tanggung jika sampai kena razia pihak berwajib, namun aku sendiri juga tidak ingin bersentuhan dengan barang haram itu. "Lalu bagaimana sekarang Ib?" "Dimana anak buah Hans yang kamu tangkap kemarin?" tanyaku. "Ada di markas." "Paksa dia buka mulut dimana gudang penyimpanan Hans atau pun markas utama mereka! Kalau begitu saja kalian tidak becus, biar aku sendiri yang akan membuatnya bicara." Wira hanya diam dan mengangguk mengerti. Kalau saja Freya tidak di sini, sudah pasti sekarang juga akan aku urus tuntas masalah ini. k*****t sialan! Berani sekali mereka mengacak acak tempatku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD