Bab.10 Cemburunya Ibra

1962 Words
Pintu kamar kembali terbuka, mereka menoleh dan mengulum senyum melihat Freya keluar dari sana dengan wajah kikuk menahan malu. Ibra segera berdiri dari duduknya dan menggandeng tangan Freya ke meja makan. "Kamu makan saja dulu, biar aku hangatkan lagi makanannya." Ucap sang tuan rumah sambil membuka beberapa kotak makanan di atas meja. Dia memindahkan isinya ke piring, lalu memanaskan dengan microwave. Freya yang sedang duduk menunggu terlihat semakin serba salah. Sesekali ekor matanya melirik ke arah empat laki laki di sofa yang diam menonton. "Ibib, aku kan juga lapar. Kenapa hanya Freya yang disuruh makan?" tanya Johan dengan suara memelas. "Kalau lapar kalian pulang saja sana! Makanannya tidak cukup untuk makan berenam," jawab Ibra tanpa sedikitpun perasaan. "Bang Ibra tidak sopan! Mereka kan juga tamu di sini, kenapa malah mengusirnya?!" protes Freya. "Tamu tak diundang," sahut Ibra enteng. "Kalau begitu bagianku buat Bang Jo saja, dia bilang sudah lapar." "Tidak boleh! Dia yang biasa makannya paling banyak, nanti kamu tidak bisa tidur karena lapar." tolak Ibra. Tapi Freya tidak peduli, dia melambaikan tangannya dan mereka berempat segera beranjak menyusul duduk di meja makan. Ibra mendengus kesal melihat senyum mengejek di wajah mereka. "Biarkan Freya makan dulu, tadi aku sudah memesan makanan untuk kalian, paling sebentar lagi juga sampai." Mana mungkin Ibra membiarkan teman temannya kelaparan di apartemennya. Sudah sejak tadi dia memesan makanan untuk mereka berempat. Bel pintu berbunyi, Ibra mendelik penuh peringatan ke arah Johan sebelum pergi membuka pintu. Dalam hati mereka bersorak senang, akhirnya tiba juga kesempatan untuk mengerjai teman kulkasnya yang satu itu. "Ini buat kalian, jangan merecoki Freya makan!" Ibra kembali dan meletakkan dua plastik makanan berlogo rumah makan Jepang. "Sushi, thank you Ibib." Ibra mendecih keras, sedang Freya tertawa terbahak mendengar panggilan lucu Johan pada Ibra. "Segera habiskan makanan kalian, lalu pulang sana! Aku sibuk, tidak punya waktu meladeni kalian." Usir Ibra terang terangan. Mereka mulai makan. Bedanya Freya dan Ibra makan masakan seafood, sedang mereka berempat makan sushi. "Kamu kalau masih sibuk ya sibuk saja sana! Kami bisa ngobrol sama Freya. Kebetulan seminggu ini aku dan Freya sama sama sibuk, jadi tidak sempat ketemuan. Iya kan Frey?" kata Johan. "Iya," jawab Freya dengan polosnya. Ibra melirik lagi ke arah Johan, sudah dari tadi temannya yang satu itu selalu sengaja mencari gara gara dengannya. "Frey, aaaa ...." Freya membuka mulutnya menerima suapan sushi udang dari Johan. Pemandangan seperti ini sebenarnya sudah biasa mereka lihat sejak dulu. Tapi tentu saja beda urusannya sekarang, setelah Ibra terang terangan mengakui perasaannya di hadapan mereka semua tadi. Diam diam mereka mengulum senyum saat Ibra menatap sengit ke arah Johan. Bukannya takut, kakak ipar Bian itu justru makin menjadi. "Cumi cumi kamu kayaknya enak Frey?" "Enak kok, pedasnya pas banget. Bang Jo mau?" Johan mengangguk, Freya menyuapi Johan sepotong cumi cumi yang ada di piringnya. Laki laki itu tampak manggut manggut sambil mengangkat jempolnya. Saat Freya akan menyuapi Johan lagi, tiba tiba terdengar suara dentingan keras. Ibra yang sudah tidak tahan lagi menahan kesal membanting sendoknya ke piring makannya. Mati matian mereka berempat menahan tawanya. "Aku bilang jangan merecoki Freya makan, dia juga lapar! Tanganmu tidak patah kan? Bisa makan sendiri tidak?!" Bentak Ibra yang tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahannya. "Tidak apa apa, Bang Jo memang begitu suka sekali merecoki aku makan." bela Freya. Dari belakang punggung Freya, Johan tersenyum menang. Sedang Bian, Aksa dan Raka meneruskan makannya, pura pura tidak mendengar perdebatan mereka. "Kamu sengaja kan Jo?!" ucap Ibra tak terima. "Lho, bukannya dari dulu juga biasa begini? Bahkan kita sering kok makan sepiring berdua, tanya saja Bian dan Raka?" Ibra semakin jengkel ketika Bian dan Raka mengangguk membenarkan ucapan Johan. Dia tentu saja juga tahu itu, tapi tidak bisakah Johan sedikit menjaga sikapnya setelah tahu dia menyukai Freya. "Kalian teruskan saja makannya, aku sudah kenyang." Dan Ibra beranjak dari duduknya dengan wajah masam. Laki laki itu bergegas masuk ke kamar dan membanting keras pintunya. Mereka berempat tertawa terbahak bahak, puas sekali mengerjai Ibra yang memilih pergi karena terbakar cemburu. Freya menghela nafas, kenyang apanya? Bahkan Ibra baru makan beberapa suap. Dia juga bingung, kenapa laki laki itu tiba tiba marah dan pergi begitu saja. "Bang Ibra kenapa sih?" tanya Freya dengan setengah bergumam. "Tidak apa apa, biasa lagi pms." sahut Bian. Setelah selesai makan, mereka pindah duduk ke sofa dan mengobrol di sana. Ibra tidak keluar lagi dari kamarnya, entah sedang menyelesaikan pekerjaannya atau memang benar benar marah karena ulah Johan tadi. "Frey, kamu kenapa tidak bilang Reza datang lagi mengusikmu? Sejak kapan dia mulai mengganggumu?" tanya Johan yang terlihat begitu khawatir. "Sejak beberapa bulan yang lalu, kami tidak sengaja bertemu di restoran saat aku putus dengan Ega." "Tante Aida tahu?" tanya Johan lagi. Freya menggeleng, "tidak. Bang Jo jangan sampai bilang ke mama nanti dia khawatir." "Mulai sekarang kamu harus hati hati, Frey. Reza jelas bukan pria baik baik." Freya mengangguk mendengar peringatan dari Bian. Dia sangat tahu seperti apa watak seorang Reza, karena itulah dia selalu ketakutan bertemu dengannya. "Ayo pulang! Besok pagi aku harus berangkat lebih awal untuk menjemput Cello dulu sebelum ke bandara," ajak Aksa segera pamit. "Bang Aksa," panggil Freya ke papanya Cello itu "Ya," sahut Aksa sambil mengalihkan pandangannya ke Freya. "Foto preweddingnya nanti gratis lho!" ucap Freya mengingatkan tentang tawarannya tempo hari. Mereka tertawa melihat Aksa yang meringis sambil menggeleng pelan. "Kamu salah orang, Frey. Kayaknya malah Ibra yang bakal menikah lebih dulu," kata Aksa. "Bang Ibra?! Kok aku tidak pernah lihat dia bawa pacarnya?" tanya Freya penasaran. Johan mencubit gemas pipi Freya. Mereka tidak habis pikir, Freya ini benar benar tidak tahu Ibra menyukainya atau memang sengaja tidak mau tahu. Melihat sikap Ibra yang selama ini begitu pendiam dan dingin, seharusnya Freya bisa merasakan laki laki itu beda saat memperlakukan dirinya. Kalau orang lain saja bisa melihat sejelas itu, bagaimana bisa Freya tidak merasa. "Kalau Reza datang mengganggumu, segera hubungi kami! Paham?" Jo mewanti wanti Freya, meski tahu teman sejak kecilnya itu tidak mungkin menurut. Dia sangat hafal sifat Freya yang tertutup dan tidak pernah mau merepotkan orang lain. "Iya, terima kasih." Mereka akhirnya pulang, Freya menghela nafas menatap pintu kamar Ibra yang masih tertutup rapat. Dia melangkah menuju dapur, masih ada sisa nasi putih dari makanan yang mereka beli tadi. Ibra bilang masih banyak pekerjaan yang belum selesai, setidaknya Freya bisa membantunya agar tidak kelaparan. Seperti dugaannya, di kulkas tidak ada bahan makanan segar. Laki laki sibuk seperti Ibra jelas tidak mungkin memasak sendiri, bahkan mungkin juga dia pulang hanya sekedar untuk tidur. Sepiring nasi goreng sudah selesai Freya siapkan, beruntung dia masih menemukan daging beku di dalam kulkas. Pelan dia mengetuk pintu kamar Ibra, tak lama kemudian wajah jutek laki laki itu muncul dari balik pintu yang dibuka dari dalam. "Apa?" tanyanya galak. "Ayo makan! Bang Ibra tadi kan cuma makan sedikit." "Tidak usah, kamu tidur saja sana!" sahut Ibra masih dengan tampang judesnya. "Di kulkas tidak ada apa apa buat dimasak, jadi aku cuma bisa bikin nasi goreng. Lumayan daripada Bang Ibra kelaparan." Seketika senyum tipis mengambang di bibir Ibra saat tahu Freya sendiri yang memasak nasi goreng untuknya. "Kamu sendiri kan yang memasaknya?" tanya Ibra sambil melangkah keluar dari kamarnya. "Iya, tapi jangan protes kalau rasanya tidak enak!" Freya mengikuti Ibra menuju meja makan. Senyum laki laki itu semakin lebar melihat sepiring nasi goreng dan segelas jus jeruk di atas meja. "Bang Ibra makan saja dulu, nanti biar aku yang cuci piring kotornya." "Mau kemana kamu? Temani aku makan!" Itu bukan permintaan, tapi perintah. Freya yang hendak kembali ke kamarnya mendengus pelan, semakin hari semakin banyak hal baru yang dia ketahui tentang Ibra. Selain arogan, pemaksa dan gampang marah, nyatanya laki laki yang biasanya pendiam dan sedingin kulkas ini juga manja. Mau tidak mau dia duduk di seberang meja Ibra, menatap laki laki yang sedang makan begitu lahap nasi goreng buatannya. "Enak, masakanmu tidak kalah dari mamamu." puji Ibra setelah menyelesaikan makannya. "Aku pikir Bang Ibra tidak akan menyukainya." "Kamu sering masak?" "Kalau lagi tidak sibuk biasanya aku masak sendiri." "Freya ...." "Ya...." "Lain kali jangan begitu lagi sama Johan!" kata Ibra sambil menatap Freya yang tampak mengernyit. "Kenapa? Bukankah dari dulu Bang Jo memang suka begitu ke aku dan Via?" "Pokoknya tidak boleh, aku tidak suka melihatnya." ucap Ibra semakin membuat Freya bingung dengan sikap anehnya. "Bang Ibra kenapa sih? Sekarang suka ngomong yang aneh aneh." "Ck, dasar kamunya saja yang tidak peka! Tidur sana, biar aku cuci piring piringnya!" Tetap saja Freya meraih piring dan gelas kotor di depan Ibra, lalu mencucinya. Sedang laki laki itu tersenyum geli melihat wajah Freya yang merengut. "Pekerjaan Bang Ibra belum selesai ya?" "Belum." Freya menoleh saat mencium aroma kopi, Ibra sedang berdiri di depan coffee maker menunggu secangkir kopi yang belum selesai dibuat. "Besok kita berangkat jam berapa?" "Jam sepuluh, kamu tidak perlu bangun terlalu pagi." Ibra mengambil cangkir kopinya, Freya menyusul laki laki itu berjalan ke arah sofa setelah mematikan lampu dapur. Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara, Ibra diam menatap Freya yang sedang mengotak atik ponselnya. Tapi wajah cantiknya berubah gusar saat ponsel di tangannya mulai bergetar. "Dia menerormu lagi?" tebak Ibra. Freya mengangguk dan membiarkan ponselnya terus bergetar, tanpa berniat mengangkatnya. "Mau aku bantu mengangkatnya?" tawar Ibra. "Tidak usah, itu hanya akan membuatnya semakin marah. Abaikan saja, nanti juga dia berhenti sendiri." "Frey, bagaimana kalau untuk sementara Dini tinggal bersamamu di Seven?" Freya mendongak, dia mengernyit bingung dengan maksud pertanyaan Ibra. "Dini sedang cari kontrakan ya?" Hampir saja kopi yang baru Ibra minum menyembur keluar. Siapa sangka wanita cantik di hadapannya ini ternyata selain tidak peka, juga lemotnya kebangetan. "Buat jaga kamu Frey. Cantik cantik kok lemot!" cibir Ibra. Freya melirik Ibra sinis, bibirnya sudah gatal ingin membalas laki laki bermulut pedas itu. "Tidak usah!!" "Kamu tidak akan menolak secepat itu tawaranku, kalau tahu siapa Reza?" ucap Ibra yang duduk menyandar dan menatap Freya dalam. "Sejahat apapun Reza, dia tidak akan menyakitiku." "Mama Aksa sekarang mendekam di penjara karena kasus obat obatan terlarang. Dia terpaksa menjadi pengedar karena terjerat utang di tempat judi. Reza adalah pemilik tempat perjudian itu," jelas Ibra yang sontak membuat Freya melongo tidak percaya. Dia tahu Reza orang seperti apa, tapi ternyata laki laki itu jauh lebih berbahaya dari yang dia kira. "Aku tidak tahu apakah Reza juga ada hubungannya dengan barang terlarang itu, tapi setelah tahu semua aku harap kamu tidak lagi memandang remeh laki laki itu." Freya masih bungkam, jantungnya berdebar kencang mendengar apa yang baru saja Ibra sampaikan. Apa masih kurang sulit jalan hidup yang dia harus jalani selama ini, hingga Reza harus kembali lagi mengusik kehidupannya yang sudah mulai tenang. "Aku hanya tidak ingin melibatkan orang lain dalam kerumitan hidupku. Kalau Reza seberbahaya itu, aku mana mungkin membiarkan Dini terseret ke dalamnya." ucap Freya. "Kamu bukannya tahu kalau dulu Dini juga yang menjaga Lovia saat berurusan dengan Arifin Sutarja dan anaknya? Aku tidak akan memintanya menemanimu kalau dia selemah itu." Freya menatap Ibra gamang, dia terlihat ragu untuk menerima tawaran laki laki ini. "Nanti akan aku pikirkan lagi tawaran Bang Ibra. Terima kasih sudah berusaha memikirkan cara untuk melindungiku." Ibra mengangguk dan tersenyum lega. Dia tahu Freya itu tertutup dan keras kepala, tidak akan semudah itu membuatnya menerima orang lain masuk begitu saja dalam hidupnya. "Sudah malam, kamu tidur sana! Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu." "Oke. Selamat malam!" Freya beranjak dari duduknya dan masuk ke kamar. Ibra menghela nafas, menempatkan Dini di samping Freya adalah cara paling mudah untuk melindunginya. Reza diam saat Ega bersama Freya, karena dia tahu keluarga Mahesa tidak akan mungkin merestui hubungan keduanya. Tapi setelah cekcok mereka hari ini di Seven, Reza tidak mungkin lagi setenang itu. Entah cara kotor apalagi yang akan Reza lakukan untuk membuat Freya menyerah dan bertekuk lutut di hadapannya. Inilah yang Ibra takutkan sekarang, Freya terlalu lugu untuk bisa memahami manusia seperti apa yang sedang mengincarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD