..**..
Rangga menuruti apapun yang diinginkan oleh Naswa. Bahkan bermain di Timezone sampai sepuas mungkin. Setelah itu, mereka berbelanja hingga kedua tangan Rangga tak cukup untuk membawa totebag lain yang kini dipegang oleh Naswa.
Dia tidak mengeluh sedikitpun. Apapun akan dia lakukan untuk Naswa. Dia tidak tahu kenapa ingin merubah sikap agar sedikit terbuka pada Naswa.
Mengingat pria bernama Pai selalu ada di hari-hari wanitanya ini. Dia tidak mau jika Pai sampai bisa menaklukan seutuhnya hati Naswa.
Namun, di sisia lain Rangga belum siap untuk kenyataan yang akan di hadapi nantinya. Karena bagi Rangga, kehilangan Naswa adalah hal paling terberat dalam hidupnya.
Dia tidak mau itu sampai terjadi. Naswa adalah wanita satu-satunya yang dia percayai untuk masa depannya. Harapannya akan hancur jika Naswa mulai tidak mempercayainya atau bahkan pergi dari hidupnya.
Dia tidak bisa membayangkan hal itu, dan dia sama sekali tidak mau membayangkannya untuk terjadi. Ketakutan kehilangan Naswa begitu besar, itu sebabnya dia masih mempersiapkan segalanya sebelum terbuka sepenuhnya terhadap Naswa.
Sudah beberapa jam berlalu, Rangga tidak lelah mengikuti langkah kaki Naswa ke toko yang dia sukai. Bahkan dirinya tidak sedikitpun mengeluh dan melarangnya untuk membeli barang yang sama di toko yang berbeda. Dia sangat tahu jika wanita memang hobi berbelanja.
Dia pikir, apakah Naswa mulai bosan. Sebab ekspresinya sangat tertekan. Seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
Ingin rasanya dia bertanya, tapi dia urungkan lagi tatkala melihat Naswa masih memiliki gairahh untuk berbelanja. Mungkin dia akan menanyakannya nanti setelah Naswa sendiri yang mengatakan lelah dan ingin menyudahi acara berbelanja mereka.
Sedangkan Naswa, dia memang menikmati waktu berdua mereka saat ini. Sejak masalah tadi pagi, dimana dirinya berkunjung ke Hotel tempat dimana Ayahnya menginap. Dia mencoba untuk mengalihkan pikiran, perasaan, dan kondisi hatinya dengan menyibukkan diri di tempat kerjanya.
Namun, setelah Miswa mengabari hal yang terjadi di rumah, justru membuat Naswa kembali diterpa amarah. Kabar Miswa memancing emosinya kembali.
Dan lagi-lagi, Naswa harus meredam emosinya di hadapan Rangga. Dia tetap menjaga harga diri dan sikapnya agar tidak membuat Rangga curiga mengenai apa yang tengah dia hadapi dan yang terjadi di dalam keluarganya.
Naswa tidak mau aib keluarganya diketahui oleh Rangga. Walaupun mereka tetap memegang teguh komitmen satu sama lain, tapi Naswa tetap menjaga privasi keluarganya sebelum ada ikatan resmi antara dirinya dengan Rangga.
Dia sudah mencoba mengalihkan pikirannya dari keadaan rumah saat ini. Mengelabui hatinya agar merasa bahagia bersama dengan Rangga dan waktu berkualitas mereka.
Namun, tetap saja tidak bisa. Bayangan tangisan dan air mata sang Mama terus menghantui pikirannya sejak tadi. Apalagi ada Kakek dan Nenek mereka di rumahnya.
Naswa tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh Papanya kepada Kakek dan Neneknya yang sudah pasti membela putri mereka, yaitu Mamanya sendiri. Dia tidak mau emosi yang sudah terbatas di ubun-ubun, tiba-tiba meledak saat mengetahui Kakek dan Neneknya juga ikut menangis.
Dia sangat lemah jika sudah berhubungan dengan keluarganya. Naswa bukan tipikal wanita yang suka mengusik dan ikut campur dengan urusan orang lain.
Ketika dia menghadapi masalah seperti ini dan keluarganya yang lain justu ikut campur. Naswa sangat tidak suka itu.
Dia pikir, dia harus meredam emosinya sekali lagi. Tidak mungkin dia menghancurkan waktu berkualitasnya bersama dengan Rangga saat ini.
Sebab kebersamaan seperti ini sangat jarang sekali mereka lalui bersama. Naswa pikir, dia harus bersabar dan menahan egonya kembali.
…
Malam hari.,
Masih di Mall yang sama, Rangga terus memperhatikan wajah Naswa yang masih memandang lurus ke depan dengan pandangan kosong.
“Sayang?” sapa Rangga sengaja membuyarkan lamunan Naswa.
Tiba-tiba Naswa terkejut dan mendongakkan kepalanya, membalas tatapan Rangga.
“Iya, Bang?” tanyanya bingung.
Rangga mengulum senyumannya saja. Dia melihat wanitanya sudah membawa barang yang cukup penuh di kanan dan kirinya.
“Kenapa Sayang melamun? Ada masalah?” tanya Rangga tanpa basa-basi, dan terus mengikuti langkah kaki Naswa yang tak tentu arah.
Deg!
Degup jantung Naswa berdetak tidak karuan. Bagaimana mungkin dia lengah dengan ekspresi yang sudah pasti bisa ditebak oleh pria dewasa seperti Rangga, pikirnya.
Kepalanya segera menggeleng pelan sebagai jawaban tidak.
“Gak ada, Bang. Naswa lagi mikir mau beli apa lagi,” jawabnya dengan kedua sudut bibir sedikit mengembang.
Rangga mengangguk kecil. Meski tangan kirinya juga sedikit penuh dengan barang-barang, tapi dia masih bisa merangkul pinggang ramping wanitanya.
“Benar gak ada masalah apa-apa?” tanya Rangga memastikan sekali lagi.
Naswa menyikut pelan perut Rangga.
“Abang ini ish! Orang gak ada apa-apa juga!” ketusnya dengan suara pelan.
Rangga mengulum senyumannya. Dia tahu jika Naswa mungkin tengah menghadapi masalah. Tapi wanitanya tidak mau berbagi dengannya.
Tidak masalah baginya. Karena dia pikir, dirinya juga tidak pernah berbagi masalah dengan Naswa.
Mungkin ini perlakuan yang setimpal untuknya. Tanpa Naswa mengetahui dan membalas apa yang telah dia lakukan, hukum alam justru mengambil alih.
“Jadi … kita mau kemana lagi, Sayang?” tanya Rangga lagi dan terus membiarkan Naswa melangkah ke arah yang dia mau.
Naswa sedikit berpikir, hari sudah malam. Dia tidak mungkin pulang lebih malam hari ini. Apalagi tadi sore sempat terjadi keributan yang membuat dia darah tinggi.
Dia mendongakkan kepalanya, melihat Rangga.
“Kita pulang aja ya, Bang?” tanya Naswa dan segera diangguki iya oleh Rangga.
Mereka keluar dari Mall dan berjalan menuju lift untuk sampai di basement. Tidak malu dengan barang belanjaan yang begitu banyak, Rangga dengan senang hati direpotkan oleh wanita yang sangat dia sayangi ini.
…
Dalam perjalanan.,
Hari sudah malam, awalnya Rangga hendak langsung mengantar Naswa sampai di rumahnya. Tentu saja Naswa menolaknya dengan alasan jam belum terlalu malam. Dan dia bisa pulang sendiri.
Namun, sebelum mereka sampai di Hotel tempat Rangga akan menginap sampai beberapa hari ke depan. Naswa mengatakan sesuatu yang membuat Rangga sedikit tidak menyetujuinya,
“Bang, nanti Naswa mau nyusun baju Abang dulu di lemari. Biar gak berantakan di tas,” ujarnya melirik ke kanan.
Rangga membalas tatapan Naswa sekilas.
“Tidak usah, Sayang. Sayang langsung pulang aja. Abang bisa susun sendiri,” jawabnya menolak halus penawaran Naswa.
Keningnya berkerut. Dia curiga, kenapa Rangga tidak mengizinkannya masuk ke dalam kamar hotelnya.
“Kenapa? Abang gak izin kalau Naswa tahu kamar Abang?” tanyanya dengan ekspresi datar.
Glek!
Dia menjadi serba salah sekarang. Bukan itu yang dia maksud. Entah lah bagaimana caranya dia menjelaskan pada wanita yang sangat teliti ini.
“Bukan begitu, Sayang. Nanti Sayang pulang malam kali, gimana coba?” balasnya berbalik tanya.
Naswa mengambil ponselnya yang masih tersambung daya disana. Dia menunjukkan angka di layar standby ponselnya ke arah Rangga.
“Abang lihat? Masih jam 7.25, Bang. Lagi pula gak mungkin Naswa disana sampai berjam-jam. Naswa juga capek mau pulang, mau mandi, mau istirahat.” Dia berbicara tanpa jeda.
Sembari fokus mengemudikan mobil, Rangga mengulum senyumannya. Sisi cerewet seorang wanita sudah pasti melekat di dalam diri Naswa yang memiliki notabene seorang wanita karir.
Selama ini, Naswa memang lebih sering berbicara banyak dari pada dirinya. Meskipun sesekali, Naswa akan diam dan bersikap dingin kalau dirinya tengah penat.
“Ya sudah. Nanti singgah ke kamar Abang dulu. Jangan berpikir kalau Abang bawa perempuan lain,” ujarnya lagi seraya bisa menebak isi kepala Naswa.
Benar saja, Naswa berdecih melirik Rangga.
“Dih! Siapa juga yang berpikiran begitu! Terlalu berlebihan!” ketusnya lalu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Rangga tertawa geli, lalu mengambil tangan kanan Naswa dan mengecupnya lama.
Naswa meliriknya dengan kuluman senyum sedikit terlihat di kedua sudut bibirnya.
***
Miyana Hotel, Medan, Indonesia.,
Kamar VIP.,
Rangga masih duduk di sofa yang ada disana sembari menyibukkan diri bermain ponsel. Sesekali dia melirik ke arah Naswa yang begitu rapi menyusun semua pakaiannya di lemari tiga pintu itu.
Dirinya berulang kali menghela nafas. Dia tidak bisa berada berdua seperti ini. Dia seorang pria normal yang bisa saja terpancing dengan wajah cantik kekasihnya.
Sejak awal, sekuat tenaga dia menahan sesuatu yang belum berhak untuk dia curahkan kepada Naswa. Dia terus memegang teguh komitmennya untuk tidak merusak Naswa dan mengambil sesuatu yang belum menjadi haknya.
Wanitanya selalu berpikiran positif. Yah, karena dia tahu Naswa masih lah gadis polos. Meski dia sudah cocok dianggap sebagai seorang wanita dewasa.
Tapi, lihatlah. Dalam situasi dan keadaan yang seperti ini saja, Naswa masih bersikap tenang. Bahkan Naswa tidak mempermasalahkan penampilannya yang kini hanya mengenakan celana pendek sebatas paha.
Rangga sangat gerah sejak tadi. Namun, gerakan Naswa begitu lambat menyusun pakaiannya. Yah, dia pikir begitu.
Dia tidak tahan. Mandi adalah jalan terbaik saat ini, pikirnya. Dia segera beranjak dari posisi duduknya, hendak berjalan menuju kamar mandi.
Naswa meliriknya sekilas dengan kening berkerut.
“Abang mau kemana?”
Rangga tersenyum dan menunjuk ke arah kamar mandi.
“Abang mandi dulu yah. Kalau Sayang sudah selesai, boleh pulang. Nanti tutup aja pintunya,” ujar Rangga yang bingung mau menjawab apa.
Deg!
Naswa terdiam sesaat. Selama beberapa detik dia mengedipkan kedua matanya, mencoba menelaah kalimat Rangga barusan.
Tapi setelah dia pikir-pikir, mungkin dia terlalu lama berada di kamar ini. Rangga pasti sudah tidak sabar mau beristirahat pikirnya.
“Oh iyauda. Ini pun sebentar lagi siap kok,” balasnya kembali melanjutkan kegiatannya dengan gerakan sedikit cepat. Tidak lupa dia menyiapkan pakaian untuk Rangga setelah mandi, agar pria itu tidak repot memilih piyamanya lagi.
Rangga memperhatikan ekspresi Naswa yang mulai berubah. Nada bicaranya juga aneh. Sepertinya, kalimatnya barusan benar-benar membuat hati Naswa terluka.
Dia segera mendekati Naswa yang mulai menutup pintu kamarnya.
“Sudah selesai, Bang. Naswa pamit pulang ya. Ini nanti Abang bisa pakai piyama ini,” ujarnya lalu meletakkan rapi ransel itu diatas nakas bulat disana.
Dia menjangkau tas miliknya yang terletak di ranjang, dan mendekati Rangga.
“Naswa pamit ya. Abang mandi gih,” ujarnya sekali lagi, lalu hendak berjalan menuju pintu.
Rangga menahan pinggang Naswa.
“Sayang—”
Naswa kembali berbalik badan, menghadap Rangga.
“Ada apa, Bang?”
Rangga tersenyum dan masih terus merangkul tubuh Naswa.
“Maaf, kalau tadi Abang buat Sayang sakit hati.” Dia menatap teduh Naswa.
Naswa menyembunyikan perasaan kecewanya saat ini. Kedua bahunya mengendik ke atas.
“Maaf untuk apa, Bang? Sakit hati apanya? Abang ini ada-ada aja,” ucapnya mengalihkan perasaannya sendiri.
Rangga memeluk Naswa dan mengecup puncak kepalanya. Dia tahu jika wanitanya menyembunyikan kekecewaan atas perkataannya beberapa menit lalu.
“Maaf, Abang tidak bermaksud mengusir Sayang. Tapi Sayang tahu Abang sangat normal. Kita berduaan seperti ini, Abang tidak mau Sayang kenapa-kenapa.” Rangga mengatakannya dengan jujur.
Deg!
Naswa tertegun mendengar pernyataan Rangga yang sangat menghormatinya. Tapi, menurut Naswa itu memang hal yang wajar. Apalagi keadaan malam seperti ini.
Perlahan, dia melepas pelukan mereka.
“Iya, Bang. Naswa paham,” ucap Naswa mendongakkan kepalanya ke atas, menatap Rangga. Dia hanya memakai flat shoes, hingga tingginya yang hanya sebatas d**a Rangga membuat Naswa sangat sulit menatap manik mata itu dengan jelas.
Rangga tersenyum dan merundukkan tubuhnya, mengecup kening Naswa.
“Sekali lagi, Abang minta maaf.”
Dia kembali meminta maaf dan direspon diam oleh Naswa. Tentu saja Rangga paham maksud dari ekspresi Naswa saat ini. Tapi dia ragu melakukannya, setelah apa yang terjadi tadi siang di rumahnya.
“Sayang—”
Naswa masih terus diam menatap lekat Rangga. Hingga kedua matanya mulai terpejam saat Rangga semakin merundukkan tubuhnya.
“Hhmmpphhtt …”
Dia tak kuasa menahan godaan di hadapannya. Sikap Naswa juga turut memancing hasratnya sebagai seorang pria.
Bagaimana mungkin dia bisa bertahan lama, sedangkan Naswa sendiri juga seakan menginginkan hal yang sama. Sebab mereka sudah terjebak di dalam keadaan yang sangat mendukung.
Naswa sedikit mengerang, saat kedua telapak tangan Rangga terus mengusap lembut punggungnya. Sesekali dia juga merasakan kedua bokongnya diremas lembut, bahkan membuatnya menggeliat.
Rangga tidak ingin posisi seperti ini. Dia tahu, ini tidak akan membuat mereka nyaman.
Tanpa melepas pangutan mereka, Rangga mengangkat tubuh mungil Naswa dengan menggendong bokongnya. Lalu membawa Naswa menuju sofa.
Dia duduk terlebih dulu di sofa, dan menuntun Naswa untuk duduk di pangkuannya. Ciuman itu sangat lembut hingga membuat Naswa mengeluarkan suara yang ia dambakan.
Naswa begitu menikmatinya. Gerakan bibir yang saling melumat, seketika membuat masalah di benak Naswa sekita menghilang.
Kepala mereka saling memutar ke kiri dan ke kanan, seiring dengan ciuman yang saling mendalam. Sentuhan lidah mencecap satu sama lain.
Perasaan menyatu lebih dalam, membuat Naswa tak mampu menolak gerakan liar kedua tangan Rangga yang mulai nakal menyusup ke dalam kemeja tipisnya.
Tubuhnya menggeliat. Sensasi geli itu seakan menjadi paduan yang sangat didamba oleh Naswa.
Erangan tipis keluar melalui sela bibir Naswa saat Rangga mencoba melepas ikatan tali penyangga gunung kembarnya. Otaknya tidak bisa diajak untuk menarik diri.
Sebab izin Naswa memikat daya tarik hasratnya untuk berbuat lebih malam ini. Setidaknya dia tidak berpikir ingin menggauli wanitanya.
Rangga mencoba memberikan sensasi baru untuknya. Ciuman itu turun ke bawah. Hingga Naswa sedikit tidak nyaman karena tidak terbiasa.
Ini adalah pengalaman pertama Naswa b******u dengan seorang pria. Dan entah bagaimana Naswa bisa seberani ini menikmati kegiatan mereka dengan sangat santai.
“Bang … aahhhh …”
Lagi-lagi erangan tipis Naswa membuat Rangga tak henti mengusap punggungmya, dan sedikit menyibak penyangga dari dalam sana. Hingga kedua tangannya mantap menyentuh gunung kembar itu secara langsung.
Perlahan, Rangga mulai meremasnya.
“A-bang, sssshhh …” Naswa sedikit membungkuk menahan perih.
Rangga kembali menyapa bibir Naswa untuk merangsang libidonya. Meski terus menggeliat dengan remasan lembutnya, tapi Naswa tidak menolaknya.
Jalan lurus ini menjadi senjata Rangga untuk melihat apa yang ada di balik kemeja tipis Naswa. Hal yang sebelumnya dia buang-buang jauh dari pikirannya, kini dia lakukan karena Naswa juga mengizinkannya.
“Sayang … Abang boleh buka ya?” tanya Rangga bergumam disela-sela pangutan mereka.
Naswa hanya diam saja dengan kedua mata terpejam. Dia terus menikmati lumatan demi lumatan dari bibir Rangga, menikmati liur mereka yang saling menyatu dan mencecap. Entah lah, Naswa sangat menggilai kegiatan mereka sekarang.
Tidak ada jawaban, tangan kiri Rangga keluar dari dalam sana dan membuka kancing kemeja Naswa satu persatu denga gerakan cepat.
Dia sedikit mengerang tidak sabar tanpa menghentikan pangutan mereka. Tangan kanannya terus membelai lembut gundukan kiri Naswa. Hingga kancing kemeja itu terbuka sempurna, dan Rangga sedikit melirik ke bawah sana.
“Aahh, Naswari …”
Rangga bergumam dan terus membiarkan Naswa menghisap kuat bibirnya.
Dia benar-benar melihat sisi yang berbeda dari dalam diri Naswa saat ini. Wanita benar-benar liar seakan ingin melampiaskan sesuatu yang tertahan.
Dia pikir, apakah wanitanya memiliki masalah yang berat.
“Sayang?” gumamnya seraya menyadarkan Naswa dari kegiatan mereka.
Namun, Naswa tak kunjung mendengarkannya. Responnya membuat Rangga mulai melepas kemeja Naswa dengan gerakan hati-hati.
Saat dirinya terus melakukannya, tiba-tiba saja Naswa melambatkan hisapannya dan menatapnya tak berjarak. Dia terdiam dan mencoba untuk menjernihkan pikirannya saat ini.
‘Apa yang aku lakukan?’ bathin Naswa seraya menyadarkan dirinya sendiri.
Rangga membuat jarak antar pandangan mereka. Dia kembali membenakan posisi kemeja Naswa dan sedikit menutup bagian depan tubuh wanitanya.
“Sudah malam, Sayang.” Rangga kembali bergumam pelan, namun direspon diam oleh Naswa.
Dia membalas tatapan begitu lekat dari Naswa. Tidak sedikitpun dia bisa menebak apa yang ada di pikiran Naswa saat ini.
Mungkinkah wanitanya berpikir jika dirinya adalah pria b******k yang mencoba untuk memanfaatkan keadaan malam ini. Atau mungkin, Naswa berpikir kenapa dirinya tidak mencegah naluri wanitanya yang tidak bisa mengontrol diri.
‘Kau harus tahan, Rangga. Kau tidak bisa merusaknya!’ bathinnya seraya mengingatkan dirinya sendiri.
Rangga tak sanggup melihat Naswa syok karena sikapnya yang terlihat sangat rendahan. Dia segera menutup rapat kemeja Naswa yang sudah terbuka, lalu membawanya ke dalam pelukan.
“Maaf, Sayang. Abang sudah diluar batas.” Dia terus mengecupi puncak kepala Naswa yang masih diam membeku.
Perasaan takut tak bisa dia hindari. Namun, balasan pelukan erat dari Naswa membuat Rangga sedikit bernafas lega.
“Sayang, Abang minta maaf.” Sekali lagi dia mengucapkan kata maaf itu dengan nada terdengar khawatir.
Naswa mengangguk lemah. Kedua mata terpejamnya tak mampu menggambarkan betapa kecewanya dia terhadap Rangga.
Tidak, bukan itu. Naswa juga kecewa terhadap dirinya sendiri yang tidak mampu mengontrol diri sehingga terlena dan larut dalam keadaan.
Naswa paham, jika apa yang terjadi malam ini adalah sebuah kesalahan yang akan berhujung kecelakaan jika saja dia tidak menjernihkan pikirannya dengan cepat. Dia sadar, jika dia juga tidak berhak menyalahkan Rangga sepenuhnya.
Ini adalah kesalahan berdua. Naswa harus segera memperbaiki ini. Sebab pelukan yang Rangga berikan saat ini benar-benar membuat hatinya teduh.
“Abang jangan minta maaf. Ini memang kita yang mau,” ujarnya lalu melepaskan pelukan mereka.
Rangga membelai lembut wajah Naswa, menyatukan kening mereka. Dia mengatur nafasnya yang sejak tadi memburu.
Naswa menahan senyum, membiarkan Rangga berada pada posisi saat ini. Tidak mengapa jika penampilannya masih berantakan, pikirnya.
Selama beberapa menit mereka saling berdiam diri, Rangga kembali memberikan kecupan hangatnya di kening Naswa. Dia begitu menyesali perbuatannya malam ini.
“Maaf, Sayang. Abang janji, ini tidak akan terjadi lagi.” Rangga kembali meminta maaf.
Naswa mengangguk kecil. Dia meraba rahang sedikit kasar, dan menyapu buliran keringat yang membasahi kulit Rangga disana.
“Jangan minta maaf lagi, Bang. Naswa juga tidak bisa menahan diri,” balasnya menyalahkan diri agar Rangga tidak meminta maaf padanya terus menerus.
Rangga mengerti bagaimana Naswa membuat keadaan agar tidak kacau. Sikap Naswa yang begitu mendinginkan hatinya, membuat hasrat Rangga padam seketika.
Tidak mungkin baginya merusak anak perempuan dari milik Ayahnya. Apalagi dia sangat mencintai wanita ini dan berniat menjadikannya sebagai istri.
“Abang antar pulang sekarang yah?” Rangga mengalihkan keadaan mereka saat ini.
Kedua bibir Naswa sedikit mengembang, dengan gelengan kepala pelan.
“Gak, Bang. Naswa bisa pulang sendiri. Abang mandi aja. Lagi pula Abang baru aja sampai Medan. Pasti capek di perjalanan,” pungkas Naswa dia mengeratkan kemejanya yang hampir terbuka, lalu beranjak turun dari pangkuan Rangga.
Rangga yang paham, dia berdiri dan berjalan ke lain arah. Dia membiarkan Naswa membenahi penampilannya.
Dia pikir, Naswa tidak bisa dipaksa. Dan dia tidak mungkin menawarkan bantuannya sekali lagi, atau Naswa akan kesal padanya.
“Abang antar sampai depan,” ujarnya seraya memutuskan lalu mengambil kunci mobil miliknya yang terletak di tas kerjanya.
“Sekalian Abang mau ambil barang di mobil.” Dia melirik Naswa yang sudah rapi dan membenahi kain yang menutupi kepalanya.
Naswa masih mendengar kalimat Rangga.
“Memangnya mobil Abang sudah disini?” tanyanya tanpa berbalik badan melihat Rangga.
Rangga berjalan mendekati Naswa, melihatnya tengah berkaca disana.
“Sudah tadi sore, Sayang.” Dia menjawabnya sembari memandang wajah cantik itu dari balik cermin kecil di hadapan mereka. Senyuman tertahannya, direspon gelengan kepala oleh Naswa.
“Pak Bagas nitipin kuncinya sama pihak Hotel?” tanyanya lagi.
Rangga menunjukkan ekspresi tidak, meski bibirnya terus saja mengulum senyuman.
“Tidak, Sayang. Abang selalu bawa kunci cadangan,” jawabnya lagi dan diangguki iya oleh Naswa.
Naswa memperhatikan bagaimana ekspresi Rangga melihatnya saat ini. Entah apa yang dia pandang sampai senyuman manis itu tak kunjung reda dari wajahnya.
“Jangan senyum-senyum terus, Bang. Ntar ayam tetangga pada mati,” ucapnya asal dan direspon geli oleh Rangga.
Setelah Naswa selesai merapikan penampilannya. Tidak lupa baginya memakai parfum yang sama, sebab parfum milik Rangga tertempel jelas di beberapa bagian tubuhnya.
Rangga tidak begitu risih saat tahu Naswa ingin mengalihkan aroma parfum dari pakaiannya. Sebab dia tahu Naswa tidak mau membuat orang di rumahnya merasa curiga dengan dua aroma parfum dari pakaian Naswa. Dan dia memahami itu.
..**..
Naswa merasa akan sangat beruntung jika sikap Rangga akan selalu manis seperti hari ini. Tapi sayangnya, perhatian dan waktu Rangga tidak bisa tersita banyak olehnya.
Meski dia tidak tahu apa alasannya, tapi bagi Naswa itu tidak masalah. Yang paling penting, Rangga tetap memegang komitmen mereka sampai Naswa merasa dirinya siap untuk dilamar oleh Rangga.
Rangga mengantarnya sampai dirinya keluar dari lingkungan Hotel. Dia memang tidak mau jika sampai Rangga benar-benar mengantarnya sampai rumah. Sebab dia masih menjaga privasinya dari Rangga.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)