Pagi ini, Rara tengah mempersiapkan keberangkatannya ke Indonesia. Seperti yang ia pernah katakan kepada bundanya, mau berkunjung ke Indonesia.
Ya walaupun Rara akui, dirinya mulai melupakan tentang Indonesia. Melupakan pun Rara mempunyai alasannya. Dia benar-benar mau melupakan apapun yang menyangkut pria itu. Pria yang hingga kini seiring hinggap di fikirannya.
Memang benar, jika mau melupakan seseorang, diri kita harus memaafkan apa yang pernah orang itu lakukan. Nyatanya sampai detik ini, Rara masih belum bisa memaafkan pria itu. Di tambah, ibu dari pria itu sering kali menghubunginya.
Ketika mendapatkan telfon dari mamah Ira, ibu dari pria itu, dirinya bingung. Mau mengangkat atau tidak. Pernah dia membicarakan perihal ini dengan Aryo, tapi masnya itu malah langsung menutup seluruh akses mamah Ira untuk menghubunginya.
Terkadang jika melihat putranya, seperti ada rasa tidak tega. Tapi mau bagaimana lagi. Jika mamah Ira tahu anaknya dengan putranta sudah lahir, yang ada detik itu juga mamah Ira akan mendatanginya. Mungkin keluarga Frenklin sudah tahu jika Rara akan melahirkan. Tapi lagi-lagi Aryo pernah membuat berita palsu perihal kehamilannya. Aryo sengaja membayar salah satu stasiun televisi untuk mengabarkan perihal tersebut.
Seorang Almaira di Indonesia memang sudah terkenal menjadi calon menantu anak dari keluarga Frenklin. Tapi karena berita tersebut, perlahan surut berita yang menayangkan hilangnya calon menantu keluarga Frenklin.
"Ra, udah selesai?" tanyq Aryo seraya mengintip dari sela pintu Rara.
"Dikir lagi Mas." sahut Rara tanpa menolehkan kepalanya ke belakang.
Aryo masuk ke dalam kamar adiknya. Dan ikut duduk di hadapan Rara, "Bilang kali butuh bantuan." tanpa disuruh, Aryo langsung mengambil baju yang tengah Rara masukan ke dalam koper.
Rara awalnya kaget, tapi ketika tangan Aryo sudah meraih baju Nalen yang mau dia masukkan, Rara akhrinya membiarkan saja. Dia memilih bangkit dan mengambil baju untuk dirinya sendiri.
"Ini satu koper bajunya Nalen semua?" tanya Aryo melihat di dalam koper hanya ada baju keponakannya saja, tidak ada baju adiknya satupun.
"Heeh Mas. Baju Nalen satu koper sendiri, aku nanti sendiri kopernya."
"Baju Nalen kenapa banyak banget sih? Emang ngga bisa beli aja di Indo? Kan bisa, nanti baju yang beli di Indo di simpen di sana. Jadi kamu ngga usah bawa-bawa baju lagi Ra."
Rara menghela nafasnya sejenak, dia menolehkan kepalanya ke arah Aryo, "Masku yang ganteng, bayi itu gampang gedenya. Jadi percuma, kalo aku beli nih di Indo, kalo balik ke sana lagi juga udah ngga muat. Lagian baju Nalen tuh masih buanyak bangettt tauu. Pas aku 40 harian Nalen aja ya, kado dari rekan bisnisnya ayah tuh ngga terhitung deh. Belum di tambah sama tamu yang lain yang ngasih baju juga. Jadi, sampe Nalen umur 5 tahun pun, udah ada Mas. So, jangan suka buang-buang duit." Rara bangkit dari duduknya, "Mending tuh duit di simpen buat beli saham, yang nantinya bakalan di gunain buat ma'har." Rara meninggalkan Aryo yang terdiam di tengah-tengah kamar.
Rara membiarkan masnya itu. Salah satu sifat Aryo yang sangat tidak Rara suka adalah sangat suka menghambur-hamburkan uang. Ya Rara tahu, Aryo sangat menyayangi putranya. Tapi kan bisa uang yang akan Aryo belikan baju, belikan saja saham untuk anaknya. Toh, saham itu akan berguna kelak di kehidupan putranya.
"Anak Bunda seru banget kayaknya main sama Kakung ya." Rara lebih memilih menghampiri putranya yang tengah asik bercanda dengan ayahnya.
Nalen yang memang sudah mengenal bundanya, melihat Rara datang kedua tangannya dia rentangkan. Tanda meminta berpindah gendongan. Dengan senang hati Rara mengambil alih putranya.
"Wah, udah ngenal Bunda ya cucu Kakung." ujar Zein.
"Iya dong Kakung." sahut Rara dengan logat seperti anaj kecil.
"Masmu mana Ra?"
"Lagu beresin barang-barangnya Nalen Yah."
"Barang-barang kamu udah rapih?"
Rara menganggukkan kepalanya, "Udah. Buat aku pribadi ngga bawa banyak baju. Di rumah mamah Dita ada sebagian baju aku."
Mendengar nama Dita disebut Rara, Zein jadi ingat sesuatu. Tapi dia tidak mau mengatakan ini, bair saja nanti Rara tahu sendiru ketika sudah di Indonesia.
"Ayah bantuin Aryo dong." rengem Aryo sengaja dia membuat suaranya seperti merengek. Sesuai dugaannya, ayahnya hanya melirik saja tanpa ada niatan mau membantunya.
Zein sendiri tahu, putranya itu mampu untuk mengangkat semya tas itu. Hanya butuh belas kasihan saja putranya.
"Tas kamu mana Ra? Udah kamu siapin belum?"
"Rara ngga bawa banyak baju Yah. Di rumah mamah Dita ada sebagian baju Rara kok. Di rumah Dika sama Chika juga ada, baju Rara mah di Indo ada di mana-mana Yah." kekeh Rara di akhir kalimat. Benar memang, jadi Rara jika ke Indo sebenarnya hanya membawa diri saja juga bisa.
"Oh, ya sudah." Zein berbalik menatap putranya, "Udah selesau semua Yo? Barang-barang Nalen udah semua?"
"Udah." sahur Aryo singkat.
"Oke, Ayah telfon penjemput dulu." Zein memang sudah menyewa mobil yang akan membawanya ke bandara. Jadi nanti di Indonesia, dia dan anak-anaknya di jemput oleh supir pribadi istrinya. Dan Zein yakin, istrinya itu pasti ikut menjemput.
"Yuk, Rara ambil gendongan Nalen dulu." Rara bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar dengan Nalen yang sudah tertidur pulas di gendongannya.
Rara dan putranya memang sudah bersiap diri. Mandi pagi dan segala keperluan pagi Nalen sudah Rara siapkan setelah solat subuh. Dan dirinya pun sudah sangat rapih.
Sekeluarnya Rara dari kamar, Aryo memandangi adiknya itu dari bawah sampai atas. Jika tidak ada Nalen di gendongan adiknya itu, pasti orang-orang yang melihat Rara, menyangka adiknya masih single. Memang single, single mom.
"Mas, ini kok susunya Nalen ngga di bawa." Rara menunjukkan satu tas yang berisi keperluan s**u putranya.
Aryo melihat hal tersebut memutar bola matanya, "Ra, emang di Indo ngga ada s**u apa? Beli aja napa sih." sahut Aryo sedikit kesal.
"Ish, Mas tuh ya. Yaudah kalo ngga mau bawain, aku masih bisa bawa sendiri kok."
Mana tega Aryo membiarkan adiknya menderita. Apalagi keponakannya sedang terlelap di pelukan Rara.
"Kasih Mas satu alasan, kenapa kamu bawa s**u itu. Padahal kan di Indo banyak berbagai macam s**u baby. Mas deh yang beliin, mau sepabriknya pun Mas sanggup."
Rara sontak melototkan kedua matanya kearah Aryo, "Bukan masalah duit. ATM aku juga ada enam digit kali. Masalahnya, Nalen itu ngga bisa sembarang minum s**u. Sedangkan di Indo, s**u merek itu ngga ada. Cuman ada di Singapur Mas. Mau terbang ke sini lagi cumab beli s**u itu?"
Nah, jika penjelasan seperti ini kan Aryo paham maksud adiknya itu.
"Ngomong dong." Aryo langsung meraih tas yang Rara pegang.
"Udah debatnya?" tanya Zein yang dari tadi hanya melihat perdebatan kedua anaknya. Untungnya cucunya tidak terbangun.
"Udah Yah."
Rara lebih memilih keluar duluan dari apartemennya. Biarkan saja, toh ayah dan masnya hafal kode password apartnya.
"Yo, Nalen itu yang tau ya ibunya. Jadi, ayah mohon, cuma hal kecil kayak tadi jangan ajak adik kamu sampe debat. Nanti yang ada Rara fikir dia ngga becus ngurus anak." ujar Zein menasihati putranya.
"Iya Yah." Aryo baru teringat tentang hal itu. Adiknya itu mudah sekali terbawa perasaan.
Rara sendiri masih menunggu lift terbuka. Tapi nyatanya, daru tadi lift selalu penuh.
"Loh, Ayah kira kamu udah turun Ra."
Rara sontak membalik badannya, "Liftnya penuh mulu Yah." sahut Rara dengan tubuh yang sedikit dia gerakkan ke kanan dan ke kiri. Bukan tanpa alasan dia bergerak seperti itu. Anaknya sangat suka jika sedang terlelap, di gerakkan seperti ini.
"Pegel ngga Ra? Kalo pegel gantian Mas aja yang gendong." tawar Aryo kasihan melihat wajah lelah adiknya.
"Ngga Mas. Udah biasa aku. Nalen kalo tidur emang begini. Biar tambah pules, kalo ngga bisa bangun dia."
Ting,
Tepat lift terbuka. Dan mereka bertiga masuk seraya membawa koper milik Rara dan Nalen. Tapi hanya masnya dan ayahnya saja yang membawa, tidak dengan Rara.
****
Kurang lebih, satu jam setengah pesawat yang mereka gunakan sudah landing di Bandara Soekarno Hatta.
"Bunda jadi jemput Yah?" tanya Rara. Anaknya sudah berpindah gendongan di Aryo. Ketika perjalanan, Nalen terbangun. Dan Aryo dengan senang hati menawarkan diri untuk menggendong.
"Jadi. Tadi katanya lagi di jalan. Tunggu, Ayah telfon dulu." Zein langsung menelfon istrinya. Dia fikir, ketika landing istrinya sudah menunggu. Tapi ternyata tidak.
Rara memerhatikan interaksi antara putranya dengan Aryo. Dia senang, melihat interaksi keduanya. Nalen seperti mendapatkan figur seorang ayah ketika bersama Aryo. Dia berharap, semoga saja ketika masnya menikah, Nalen tidak akan di lupakan.
"Udah di parkiran katanya." ujar Zein yang baru saja selesai menelfon istrinya.
"Kita tunggu atau gimana Yah?" tanya Rara.
"Tunggu aja. Tadi bunda bilang, dia mau nyusul ke ruang tunggu. Jadi kita disuruh tunggu aja."
"Okey Yah."
Cukup lama mereka menanti kedatangan bunda Inggit. Dari kejauhan, Rara mendengar ada yang meneriakkan namanya.
Kedua matanya terbelalak begitu melihat siapa yang memanggil dirinya.
"Raraaaa..."