Pagi ini tidak seperti pagi yang kemarin-kemarin. Pagi ini Rara disibukkan dengan kondisi Nalen yang badannya panas dari semalam.
"Anak Bunda yang ganteng, cepet sembuh ya sayang." Rara mengecup puncak kepala putranya. Dari tadi Nalen tidak berhenti menangis.
Ceklek,
Pintu kamar Rara terbuka dari luar dan munculah sosok ayahnya.
"Yuk, kita ke rumah sakit."
Zein memang tadi memanaskan mobilnya guna mengantarkan cucunya ke rumah sakit.
Rara segera keluar dari kamarnya dan langsung menuju garasi. Ternyata di sana Inggit sudah menunggu di sebelah mobil. Begitu melihat putrinya tiba, Inggit langsung membukakan pintu belakang dan dia segera masuk ke dalam mobil. Sedangkan suaminya sudah duduk di belakang kemudi.
"Yah, yang cepet ya bawa mobilnya." ujar Rara dengan rasa khawatirnya.
Inggit menoleh ke belakang, "Sabar ya sayang. Nalen anaknya kuat, pasti bisa sembuh."
Rara tidak membalas perkataan Inggit. Dia terus memperhatikan anaknya yang tengah menahan rasa sakit. Sangat kentara dari wajahnya.
"Sayangnya Bunda, yang kuat ya Nak."
Cup,
Rara mengecup dahi putranya. Ini yang dia takuti. Anaknya kalau sudah sakit, pasti akan memporak-porandakan hidupnya.
Akhirnya mobil yang di kendarai Zein tiba di rumah sakit. Rara langsung keluar dengan Nalen yang berada di pelukannya. Ternyata pelayanan di rumah sakit itu sangat baik, melihat Rara yang baru datang seorang perawat langsung mendekat seraya membawa brankar.
Rara langsung meniduri putranya di atas brankar itu. Dia tetap mengikuti brankar sampai tiba di salah satu bangsal yang ada. Rara tidak diperbolehkan masuk, hanya boleh menunggu di luar bangsal.
Inggit langsung memeluk Rara. Dia tidaj tega melihat raut wajah sedih putrinya. Walaupun Rara bukan putri kandungnya, tapi Inggit sangat menyayangi Rara sama seperti dia menyayangi Aryo.
"Sabar ya sayang, Nalen anak yang kuat. Pasti bisa sembuh." kalimat itu terus Inggit berikan kepada Rara.
"Mamah udah Bunda kabarin?" tanya Rara ketika tangisnya sudah mereda.
"Udah kayaknya. Ayah Zein yang ngasih kabar."
Rara menyandarkan punggungnya di kursi panjang yang tengah dia duduki.
Andaikan disampingnya saat ini ada suami, pasti Rara tidak akan seterpukul ini.
"Bun, Rara ke kamar mandi dulu ya."
"Mau Bunda temenin?"
"Ngga usah Bun. Rara sendiri aja."
Rara langsung mencari kamar mandi di dekat UGD. Dia tidak mau pergi jauh dari anaknya, takut terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Yah?" Rara melihat ayah Zein di depan meja administrasi.
"Mau ke mana Ra?"
"Mau ke kamar mandi. Ayah udah daftarin Nalen?"
"Sudah, setelah pemeriksaan Nalen akan dipindahkan di ruang VVIP rumah sakit ini ya. Walaupun kita belum tahu kabar dari dokter Nalen perlu dapet perawatan intensif apa ngga, dia pokoknya harus bermalam ya di sini. Ayah ngga mau hal buruk terjadi sama cucu Ayah kalo langsung di bawa pulang."
Terharu? Jelas Rara sangat terharu dengan apa yang ayahnya lakukan. Ayahnya tidak perduli Nalen anak di luar nikah atau bukan. Ayahnya tetap menganggap Nalen cucunya, tidak ada kebencian sedikitpun yang terpancar.
"Kamu mau ke mana Ra?"
"Rara mau ke kamar mandi bentar Yah."
"Ya sudah, nanti langsung balik ya ke UGD."
"Iya Yah."
Keduanya langsung berjalan beda arah. Rara yang mengarah ke kamar mandi, dan Zein kembali ke UGD.
Akhrinya kamar mandi yang Rara cari, sudah dia temukan setelah keluar dari pintu UGD. Lebih tepatnya berada di dalam rumah sakitnya. Karena UGD tempatnya terpisah.
"Alhamdulillah lega." gumam Rara setelah menyelesaikan buang airnya. Dia mencuci tangannya lebih dulu sebelum keluar dari kamar mandi. Baru setelah itu dia keluar dari sana.
"Ini semua salah Aldo Kak. Kalo Aldo ngga begini, mamah ngga akan masuk rumah sakit."
Deg,
Seketika jantung Rara berpacu sangat cepat. Suara itu, suara yang masih dia hafal. Tidak ada perubahan sama sekali.
Rara yang tadinya mau keluar kamar mandi, dia urungkan kembali. Dirinya lebih memilih menyembunyikan diri di balik tembok kamar mandi. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat sosok yang amat dia rindukan tengah menundukkan kepalanya dengan kedua tangannya yang dia jadikan sanggahan kepalanya.
"Do, jangan ngomong gitu. Kakak yakin, mamah ngga kenapa-napa. Mamah cuman kecapean aja."
Dan suara itu, suara perempuan yang kemarin baru saja bertemu dengannya.
Siapapun akan merasakan sakit jika melihat orang yang dia sayang tengah bersedih. Walaupun sudah bertahun-tahun lamanya Rara tidak melihat pria itu, tapi rasa yang dia miliki masih sama. Tidak ada yang berubah sedikit pun.
Ingin rasanya Rara berlari ke tempat di mana pria itu berada dan memberikan pelukan hangatnya. Tapi apa daya, Rara tidak mau bertingkah gegabah.
Tunggu, mamah? Rara baru menyadari perkataan pria itu. Orang yang di sebut mamah, itu artinya mamah Ira. Wanita yang baru saja kemarin bertemu dengannya.
Rara yang tengah menggenggam ponselnya, dia langsung menghidupkan. Dan mencari kontak mamah Ira di ponselnya. Dengan panggilan yang tersambung, Rara menatap ke tempat pria itu berada.
Dan ternyata ponsel mamah Ira tengah berada di genggaman pria itu. Rara melihatnya. Pria itu tengah menatap ponsel yang mana ada panggilan darinya.
[Halo.]
Baru mendengar suaranya saja, Rara sudah meneteskan air matanya. Dia langsung membekap mulutnya agar suara isakannya tidak terdengar dari seberang sana.
[Halo, Tante Ine? Ada apa ya? Mamah masuk rumah sakit, jadi HP nya aku yang pegang. Ada yang mau disampaikan Tante? Biar nanti Aldo yang bilang ke mamah.]
Tidak mau terlalu jauh, Rara langsung mematikan panggilannya. Setelah mematikan panggilannya, Rara buru-buru masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi.
Tangisnya benar-benar tumpah. Sesak, demi apapun dadanya sesak. Sesak menahan rindu yang dia pendam bertahun-tahun. Rara langsung membuka berkas pribadi di ponselnya. Di sana, ada satu folder yang berisikan foto-fotonya dengan pria itu. Ya, Rara memang masih menyimpan sebagian foto yang masih bisa dia selamatkan dari Aryo.
Pasalnya semua kenangan tentang pria itu, memang di hapus Aryo. Untungnya sebelum di hapus, Rara sudah menyimpan sebagian di brankas pribadi di ponselnya.
"Kak, Rara kangen... Hiks... Rara pengen peluk Kakak." ujar Rara seraya memandangi layar ponselnya.
Tangan Rara yang bebas menyentuh dadanya, "Di sini Kak, sesek rasanya." Rara memukul dadanya beberapa kali. Apa seperti ini rasanya menahan rindu yang tidak bisa disampaikan?
Jika iya, Rara hanya berharap Tuhan memberikan hidupnya lebih panjang agar rindunya bisa dia sampaikan suatu hari nanti. Ya, berharap tidak ada salahnya kan?
****
"Siapa Do?" tanya Rani yang baru datang dari bagian receptionis. Dia melihat adiknya seperti menerima panggilan di ponsel mamahnya.
"Tante Ine itu temennya mamah ya Kak?"
Rani buru-buru menyembunyikan keterkejutannya. Dia tahu, nomor itu bukanlah nomor teman mamahnya.
"Coba Kakak liat." Aldo tanpa menaruh rasa curiganya, langsung memberikan ponsel mamahnya.
Diam-diam Rani menyalin nomor itu ke ponselnya dan mengembalikan kembali ke adiknya, agar tidak ada rasa curiga.
"Tante Ine temen arisannya mamah."
"Oh." Aldo menerima kembali ponsel yang kakaknya sodorkan.
"Kakak ke kamar mandi dulu ya Do."
"Iya Kak."
Rani berjalan ke kamar mandi dengan niat mengehubungi seseorang. Dia takut, terjaid hal yang penting dengan perempuan yang baru saja menghubungi nomor mamahnya.
Tapi baru saja kakinya masuk ke dalam kamar mandi, dia mendengar suara tangisan. Dan Rani seperti mengenal suara ini.
Tidak mau asal tebak, Rani mencoba menelfon nomor yang tadi dia simpan. Untuk membuktikan apakah benar tebakannya.
Baru sambungan pertama, panggilannya sudah diangkat.
[Ha-halo.]
Hanya mendengar sapaan halo saja, Rani mendengar suaranya sangat dekat dengan dirinya. Kakinya perlahan berjalan, mencari sumber suara tersebut.
Ketika sampai di depan salah satu bilik kamar mandi, dia merasa dari sana lah sumbernya.
[Halo?]
Dengan memberanikan dirinya, Rani mengetuk pintu kamar mandi itu.
Ceklek,
Keduanya sama-sama terdiam. Rara terdiam karena rasa terkejutnya, begitupun dengan Rani. Dia tidak menyangka jika tebakannya benar.
"Hey? Kamu kenapa sayang?"
Rara tanpa menunggu lama lagi, dia langsung menubruk tubuh wanita yang ada di depannya. Dia tumpahkan tangisannya di pundak wanita yang tengah dia peluk.
"Kak, hiks.." Rani sendiri diam saja. Tangannya terangkat guna mengelus punggung Rara.
Melihat bagaimana sedihnya Rara, Rani bisa sampai merasakan rasa sedihnya. Dia juga bingung mau bawa Rara ke mana.
Ide cemerlang langsung muncul di otaknya. Rani langsung melepas jaket yang dia gunakan.
"Pakek ya? Kita cari tempat yang aman buat ngobrol." Rani paham, sepertinya Rara membutuhkan orang yang mengerti perasaannya saat ini.
Dengan jalan yang mengendap-endap, Rani mengintip situasi di depan kamar mandi. Ternyata adiknya tengah fokus dengan ponsel yang ada di tangannya.
"Kakak abis ini keluar duluan, kita jalan ke parkiran ya."
Rara menganggukkan kepalanya, dia menuruti apa yang Rani katakan.
Dengan keberaniannya, Rani keluar kamar mandi lebih dulu. Dan dia langsung bersembunyi di dekat pintu keluar. Untungnya letak pintu keluar tidak jauh dari kamar mandi.
Rara melakukan hal yang sama. Dia juga melirik tempat di mana pria itu berada. Tidak mau terlihat, Rara langsung menutupi kepalanya dengan jaket yang Rani berikan. Berhasil, dirinya sudah berada di pintu keluar.
Tanpa berlama lagi, Rani segera merangkul Rara menuju mobilnya.
"Bentar ya Kak." Rara menghubungi bundanya, dia tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Halo, Bun."
[.....]
"Rara lagi sama temen. Bun, Rara nitip Nalen sebentar boleh? Rara mau keluar sebentar aja Bun, ngga lama kok sama temen Rara."
Rani memperhatikan percakapan Rara dengan orang di seberang sana. Dari nada yang digunakan, Rani jadi kembali mengingat beberapa tahun yang lalu. Di mana Rara tengah bermanja dengan sang adik dan itu masih terekam jelas di fikiran Rani.
[.....]
"Iya, makasih ya Bun. Kalo udah selesai, Rara langsung balik ke rumah sakit."
[......]
"Syukurlah kalo Nalen udah pindah kamar. Berarti nanti Rara langsung ke sana ya Bun?"
Percakapan yang Rani dengar bukan seperti seorang ibu yang tengah mengkhawatirkan anaknya, melainkan seorang anak yang tengah izin mau pergi keluar dengan temannya. Lucu, ini yang adiknya rindukan dari seorang Rara, sifat manjanya.
[.....]
"Yaudah, Rara tutup ya Bun."
[.....]
Tut,
"Udah Ra?" tanya Rani.
"Udah Kak."
Rani langsung menjalankan mobilnya. Sepertinya pergi ke kafe adalah solusinya untuk saat ini.
"Kak, ini kita mau ke mana?"
"Ke kafe aja gimana? Ngga jauh kok dari sini."
"Eh, jangan kafe Kak. Kita ke apartemen temen aku aja, ngga jauh kok dari rumah sakit." tidak mungkin Rara menangis di kafe, yang ada nanti dirinya jadi tontonan publik.
"Oh, yaudah Ra gak papa."
Akhirnya mereka sampai di parkiran apartemen yang Rara maksud. Sebelum menuju ke sini, Rara sudah meminta izin kepada pemilik apartemennya. Siapa lagi jika bukan Dika. Rara juga menjelaskan maksud dan tujuannya meminjam apartemen. Bahkan nanti Dika dan Chika mau menyusul ke apartemen.
"Silakan Kak, masuk." Rara menganggap apartemen Dika seperti apartemen miliknya.
"Mau minum apa Kak?" tanya Rara.
Rani menunjukkan senyumannya, "Ngga usah. Sini," Rani menepuk sofa disebelahnya. Dia hanya mau mendengarkan keluh kesah perempuan itu.
Rara menurut dan duduk di sebelah Rani. Perlahan air mata yang tadi dia tahan, sudah runtuh kembali.
Rani langsung menggenggam tangan Rara, "Kamu boleh cerita ke Kakak. Apapun yang sekarang ganjal di hati kamu."
Ini yang Rara suka dari sosok Rani dari dulu. Rani sama sekali tidak membencinya, walaupun wanita itu tahu jika dulu dirinya tengah mengandung. Hanya ayah dari pria itu yang memang kurang menyukai dirinya.
"Kak, aku kangen.. Hiks.. Ka-ngen banget sama dia,"
Tanpa perlu dijabarkan, Rani tahu siapa yang di maksud Rara. Dia langsung mengambil ponselnya.
"Mau denger suaranya?"
Kepalanya yang tadinya dia tundukkan, ketika mendengar Rani berkata seperti itu, Rara sontak mengangkat kepalanya.
"Boleh Kak?"
"Ya boleh dong sayang. Bentar ya."
Cukup lama orang diseberang sana tidak mengangkat panggilannya. Entah dering ke berapa, panggilannya baru terjawab.
"Halo, assalamu'alaikum Do."
[Wa'alaikumsalam, kenapa Kak?]
Rara langsung membekap mulutnya. Lebay? Dia tidak perduli ada yang menganggapnya lebay. Tidak tahu saja bagaimana menahan rindu bertahun-tahun dan tidak bisa disampaikan sama sekali.
"Udah ada kabar dari dokter?"
[Belum Kak. Kakak lagi di mana? kok tadi di kamar mandi ngga ada? Kata ibu-ibu yang keluar dari sana, ngga ada siapa-siapa.]
"Maaf ya, Kakak lupa bilang sama kamu. Kakak keluar sebentar sama temen."
[Oh, aku kira ke mana. Yaudah Kak, ngga apa-apa.]
Rani menolehkan kepalanya ke samping. Dia bisa merasakan kesedihan seperti apa yang Rara rasakan. Bahkan Rara sampau memejamkan matanya dengan isak tangis yang dia tahan.
"Do,"
[Iya Kak?]
"Kamu kangen ngga sama perempuan itu?"
[Perempuan itu? Siapa? Aku cuman punya satu perempuan ya Kak, ya walaupun sampai detik ini aku ngga tahu kabarnya gimana.]
See? Ingin rasanya Rara teriak. Tapi dia menahan kembali. Rara ingin mendengar selanjutnya.
"Kalo misal ya Do, dia ada di sekitar kamu gimana?"
[Percuma Kak, akses aku udah di tutup semua.]
Dari nada bicaranya saja, Rani sudah bisa menebak jika adiknya juga merasakan hal yang sama dengan apa yang tengah Rara rasakan.
"Misal ya, ada Rara di depan kamu. Apa yang bakalan kamu sampein?"
[Apaan sih Kak, ngaco lu. Udah ah, makin ngelantur omongan Kakak.]
Baru saja Aldo mau menutup panggilannya, Rani langsung mencak-mencak.
"Tinggal ngomong aja apa susahnya sih Do?!" bentak Rani.
Terdengar helaan nafas dari seberangnya. Rara masih diam, mau mendengarkan kelanjutannya.
[Hay, gimana kabar kamu? Kangen ngga sama aku? Kalo aku jangan di tanya ya, sampe detik ini, menit ini, rasa yang aku milikin dari 4 tahun lalu ngga ada yang berubah sama sekali.]
Setelah mendengar kalimat itu, tidak ada lagi yang Aldo katakan.
Rani menatap ke sebelahnya. Senyumnya langsung terbit, seolah-olah dari matanya dia berkata 'lihat, kalian sama'.
Dan Rani juga tahu, adiknya di seberang sana tengah menangis.
"Do, Kakak tutup ya? Kamu langsung ke kamar mandi, jangan sampe mamah tahu kamu kembali lagi kayak kemarin."
[Iya Kak.]
Bahkan sahutan yang adiknya berikan juga terdengar serak, seperti tengah menangis.
"Kakak matiin ya, wassalamu'alaikum."
[Wa'alaikumsalam.]
Tut,
Setelah panggilan tertutup, Rara spontan memeluk tubuh Rani.
"Kamu dengar sendiri kan Ra? Bukan kamu aja, Aldo pun merasakan hal yang sama."
Ternyata, Rara fikir hanya dirinya saja yang merindukan pria itu. Tapi ternyata rindunya terbalaskan. Hanya saja, Tuhan belum menunjukkan cara agar mereka bisa bertemu. Tapi Rara yakin, sangat yakin. Jika memang dirinya dan pria itu berjodoh, mau sesulit apapun caranya pasti mereka akan bertemu. Mau sebanyak apapun rintangannya, pasti akan bertemu jika memang semesta sudah mengizinkan.
Rani merenggangkan pelukannya, "Kakak mau ceritain sesuatu sama kamu, mau denger?"
Rara menganggukkan kepalanya.
Sebelum menceritakan hal yang di alami adiknya, Rani menghirup oksigen di sekitarnya, lalu dia hembuskan perlahan.
"Jadi...."