Demi uang dan uang, mami menyetujui usulan dari bodyguard yang sudah bekerja sama lebih dari sepuluh tahun dengannya. Ia berusaha untuk bersikap manis dan membiarkan polisi hanya sedikit menyentuh Luna.
Kebetulan sekali malam itu laki-laki yang memiliki tato di lehernya, juga masuk ke dalam kamar hotel. Sehingga ia lah yang maju sebagai saksi atas kematian laki-laki yang sudah membayar kemolekan Luna sejumlah 25 juta.
"Mala!" pekik mami setelah makan siang, kepada salah seorang anak asuh yang cukup ia percaya.
Mala bergerak cepat menuruni anak tangga. Ia memang tidak suka membuat mami marah. Baginya, dapat tinggal di tempat ini tanpa siksaan adalah hal yang paling utama, "Iya, Mam?"
"Malam ini, kamu ajak Luna ke luar untuk menikmati panggung hiburan (Konser yang diadakan di alun-alun) atau sekedar jalan-jalan!
"Asiiik!" jawab wanita berambut keriting sosis tersebut sambil tepuk tangan dan tertawa girang.
"Ingat! ini bukan untukmu. Jadi, sepulangnya nanti, bukan hanya kamu saja yang bahagia dan tersenyum, tetapi juga Luna. Paham?"
"Iya, Mam," sahutnya yang terlebih dahulu menundukkan kepala. "Tapi, Mom. Apa Luna bersedia? Soalnya, dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya."
"Kamu nyuruh Mami yang cari tahu soal itu?" ucapnya marah sambil membuka mata lebar-lebar.
Mala tersenyum tidak enak, "Bukan begitu, Mi," sambungnya seraya memegang tengkuk dan leher. "Mala cuma bingung aja."
"Ya sudah kalau begitu. Mami bisa cari orang lain saja!"
"Jangan-jangan dong, Mi. Please!" pintanya seraya melipat tangan di depan wajah. "Please ... , Mi!" mohonnya sekali lagi karena begitu ingin keluar malam ini, untuk bersenang-senang.
Mami memilih Mala untuk menemani dan menghibur Luna hanya karena satu alasan. Mami tahu bahwa malah tidak berniat untuk pergi dari istana ini karena ia sudah kehilangan seluruh anggota keluarga dalam kecelakaan.
Mala merupakan anak yang manja, sementara di dalam istana ini, semua kebutuhannya tercukupi bahkan berlebihan.
Berdasarkan hal itu, mami yakin bahwa Mala tidak akan lari darinya. Berbeda dengan beberapa wanita lain yang bekerja di sana.
Begitu juga dengan Lun. Dia sama sekali tidak mengetahui daerah ini karena hilang ingatan. Sehingga satu-satunya tepat untuk pulang adalah istana mami.
Sejak siang, Mala sudah berusaha untuk membujuk Luna agar menemaninya menikmati malam ini demi bersenang-senang. Ia mengatakan sangat ingin melihat secara langsung artis ibu kota yang merupakan idolanya.
Selama ini, menurut Luna, Mala adalah teman yang baik dan sering mengajaknya bercanda. Semua itu membuatnya tidak dapat menolak keinginan teman seprofesi tersebut.
"Please, Luna!" pintanya manja. Padahal, usia Mala jauh lebih tua daripada Luna. Tapi sikap manja, kental terasa dari dirinya. "Luna! Dengerin nggak sih?" tanyanya sekali lagi, sembari menggoyangkan tubuh Luna.
"Iya-iya, baiklah. Tapi, jangan memaksaku untuk berteriak, bernyayi, dan berjoget! Aku benar-benar tidak selera."
"Baiklah, aku mengerti. Nanti malam, aku jemput kamu ya? Kita pakai celana jeans dan baju manja aja!" katanya dengan gaya centil yang khas.
"Terserah kamu mau pakai apa!" jawab Luna yang tidak berniat untuk mengikuti jejak langkah teman bicaranya saat ini. Sebab bagi Luna, stylenya adalah kesederhanaan dan ia tidak terlalu suka menonjolkan bentuk tubuh molek miliknya di luar sana.
"Oke, aku kembali ke kamar dulu buat persiapan. Mana tahu dapat ciuman nakal dari vokalis band itu. Oooh ... senangnya," kata Mala sambil berlari kecil, seperti tidak memiliki beban.
***
Di kantor, Felix masih saja belum mampu bekerja dengan baik. Suara, canda, dan tawa Luna terus saja menggetarkan rongga telinganya.
Baru kali ini Felix menggila karena wanita. Biasanya, mereka yang datang akan pergi begitu saja tanpa meninggalkan bekas. Tetapi Luna, ia malah menjerat hati Felix hingga membuatnya tersesat di dalam kerinduan.
"Tuan ... ." Leo menyapa dengan kepala tertunduk. "Maaf, saya butuh waktu lebih lama lagi! Gadis itu, ia seperti hilang di telan alam," ucap Leo memberi alasan dan kali ini, Felix berusaha untuk menerima, serta tidak membentaknya.
Felix menghela napas panjang, seolah ia baru saja kehilangan satu berkas berharga milik almarhum mamanya. "Aku juga akan ikut mencari Luna, mulai detik ini," jawab Felix dan itu membuat Leo terkejut.
"Tuan ...?"
"Apa kamu pernah jatuh cinta, Leo?" tanyanya dengan suara bersahabat, seraya menatap hangat dengan mata yang memerah. Sudah sejak kemarin, tuan muda sulit untuk terlelap. Ia sangat merindukan Luna dan dekapan gadisnya yang hangat.
"Saya-saya ... ."Leo terlihat gugup dan tiba-tiba saja wajahnya yang pucat, jadi memerah.
Tampilan itu membuat tanya di dalam hati Felix. 'Apa yang terjadi kepada Leo?'
"Kamu boleh tidak menjawabnya!" Lagi-lagi, Felix tidak memaksakan kehendaknya. Ia seperti layu dan kurang bersemangat, termasuk untuk marah dan menarik gas pita suaranya.
"Kalau sedang jatuh cinta, biasanya dunia terasa ramai, Tuan. Kita juga sulit untuk menutup bibir seperti saat sekarang ini, Tuan. Yang ada hanya kebahagiaan, sehingga kita selalu tersenyum," tutur Leo penuh penghayatan.
"Kemudian, dunia ini terasa indah dan semua masalah sirna. Kita juga jadi begitu bersemangat untuk melakukan apa pun, agar waktu cepat berlalu hanya untuk menemuinya di saat malam tiba," sambungnya dengan mata yang berbinar-binar.
Felix menaikkan kaki kanan ke atas kaki kirinya dan menimpa dengan tangan kanan.
"Berarti aku tidak sedang jatuh cinta," kata Felix kaku. "Sebab, aku tidak merasakan apa yang kamu katakan. Yang ada malah rasa sepi, sulit tersenyum, malas bekerja, bahkan tidur, dan olah raga. Mungkin, saya hanya sedang sakit."
"Tidak, Tuan. Bukan begitu." Leo menampik pikiran tuan mudanya tersebut.
"Lalu?" Felix terlihat semakin ingin tahu.
"Apa yang Anda alami saat ini adalah bentuk kerinduan atas cinta, Tuan."
Felix kembali menatap Leo, "Benarkah?" tanyanya seraya melipat dahi.
Leo mengangguk dalam senyum. "Itu sebabnya banyak sekali orang yang bersedia mati karena cinta. Anda sudah terkena penyakit langka, Tuan." Leo terkekeh kecil karena tidak menyangka bahwa Felix bisa jatuh cinta.
"Leo?"
"Saya akan mencari gadis itu, Tuan. Permisi!" Leo melanjutkan pencariannya, tanpa diperintah. Sementara tawanya masih saja terdengar oleh Felix.
"Hah ... ," keluh Felix yang sadar akan melakukan asisten pribadinya tersebut. "Bisa-bisanya, baru kali ini ia berani menertawakanku. Dasar Leo."
Setelah Leo meninggalkan ruangan khusus tersebut, Felix kembali mendapatkan seorang tamu wanita yang cantik dan modis.
Sayangnya, ia tidak lagi bisa melihat wanita sempurna di hadapannya. Yang ada, hanya Luna dan Luna.
Bersambung.