Luka

1155 Words
Kaki jenjang menapaki jalanan tanpa sinar bulan maupun bintang. Di bawah bangunan yang menjulang tinggi, ia terus saja menundukkan kepala dan mengikuti jalan yang biasa dilewati. Tidak ada yang ia pikirkan saat ini. Sementara sang bodyguard terus saja mengiringi gemulai kaki Luna yang tampak tidak lelah, setelah berjalan kurang lebih 55 menit tanpa henti. Sepatu high heel dengan tinggi 9 cm dan berwarna merah hati, menjadi saksi kegalauan hati wanita pemilik harga tertinggi sepanjang sejarah ini. Meskipun raganya terus menjauhi seorang Felix Vincent, tetapi jiwanya tertinggal dan membentuk sarang abadi di sana. "Nona, sebentar!" ucap laki-laki yang memiliki tato ular di lehernya. Luna menghentikan langkahnya, tanpa menatap ke belakang. "Ada apa?" "Mami bilang, kita harus tiba sebelum pukul 00.00 WIB. Jika tidak, Anda tau sendiri kan akibatnya!?" Luna menghela napas panjang, lalu membalik tubuhnya. "Aku hanya ingin menikmati udara malam yang segar. Apa itu menjadi masalah?" tatap gadis cantik itu penuh penekanan. "Jawab! Apa aku melakukan kesalahan atau mencoba lari? Aku bahkan tidak memiliki tempat lain, selain istana mami," sambung Luna terdengar emosional. "Saya hanya mengingatkan Anda saja. Jangan sampai, apa yang terjadi pada Meli, terulang kepada diri Anda juga. Mami jauh lebih kejam daripada kami." "Hah ... baiklah. Terima kasih sudah perduli." Luna menggigit lidahnya sendiri demi menahan amarah. "Di mana mobilnya?" "Silakan!" jawab laki-laki kekar yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam tersebut. Ternyata, seorang sopir terus saja mengikuti langkah mereka berdua, sejak dari hotel bintang lima, tempat di mana Luna dan Felix bertemu dan berpisah. Dengan perasaan kesal dan mata berkaca-kaca, Luna masuk ke dalam mobil. Di kursi belakang, ia menyeka air mata yang sudah tidak tertahankan lagi. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 40 menit, dengan kecepatan tinggi, Luna tiba di istana mami. Saat itu, wajah bahagia menyambutnya bersama suara tepuk tangan kepuasan. "Bagus, kerja yang bagus. Mami suka sekali, Luna. Sekarang, kamu istirahat dan akan kembali melayani tamu, tiga hari berikutnya! Anggap saja, dua hari ini adalah bonus untuk mengistirahatkan tubuhmu." Tanpa menjawab, tanpa senyuman, maupun anggukan, Luna meninggalkan perempuan yang selalu mengenakan pakaian terbuka itu. Wajah tak bersahabat dari Luna, menimbulkan kekesalan di dalam hati mami. "Tunggu!" perintahnya sambil berdiri. Kemudian mami berjalan gemulai ke arah Luna. Ketika tiba di hadapan gadis jelita tersebut, ia melayang kan tamparan sebanyak dua kali tepat di wajah Luna. Mami mencengkram kedua sisi rahang Luna dengan keras, lalu mengangkat ke atas dengan kasar, "Kamu bisa saja melakukan hal seperti itu kepada orang lain, tapi tidak dengan saya!" Mami melepas tangan kanannya sambil mendorong kuat, hingga kukunya menancap dalam, pada sisi bibir kanan bawah Luna. Gadis itu pun terluka dan ia hampir menangis. "Bawa dia ke kamar dan kurung saja!" "Baik, Bos," jawab yang lainnya dan langsung bergerak sangat cepat. "Satu lagi, jangan beri dia makanan maupun minuman!" "Siap, Bos." Setibanya di dalam kamar, tubuh Luna di lempar kasar ke atas tempat tidur. "Aku sudah memperingatkan kamu, bukan? Sekarang, terimalah kemarahannya!" kata bodyguard yang selalu membayangi langkah Luna. Sesaat setelah anak buah mami keluar dari dalam kamar, Luna menangis sejadi-jadinya. Bukan luka itu yang membuatnya iba, melainkan kenyataan pahit bahwa dirinya adalah makanan hangat bagi siapa saja yang menginginkannya. Asalkan ada uang, maka Luna harus bersedia. Entah berapa banyak air mata yang menetes di atas tempat tidur miliknya yang tergolong empuk. Yang jelas, Luna sampai lupa mengobati luka dan mengganti pakaiannya. *** Pagi hari, ketika sinar matahari berhasil menembus pori-pori kamar dan menyapa wajah tampan milik Felix. Laki-laki pemilik dadaa bidang itu pun bangkit dari tidurnya yang nyenyak. Saat ini, yang ia ingin lihat adalah Luna. Tapi, Felix tidak mendapatkannya dan berpikir bahwa gadisnya tengah membersihkan diri di kamar mandi, seperti sebelumnya. Tidak ada pikiran lain, selain hal itu. Dengan gaya malas, laki-laki berkumis tipis itu pun mendekati pintu kamar mandi dan membukanya. Hal tak terduga terjadi. Luna tidak berada di dalamnya, seperti yang ia pikirkan. Tiba-tiba saja, jantungnya memompa lebih kuat, seperti pintu yang didobrak paksa. "Luna?" gumamnya dalam tanya, lalu menutup pintu kamar mandi dengan cepat. Tanpa busana, Felix bergerak cepat ke arah pintu kamar. Namun ketika ia menggenggam gagang yang memiliki bentuk bulat berwarna silver, suara Luna memenuhi rongga telinga Felix. 'Felix, celananya!' Itu adalah kalimat yang pernah Luna ucapkan sebelumnya dan ternyata terngiang kembali di telinga seorang Felix. Yakin sudah mendengar suara gadisnya, Felix tersenyum sambil memutar tubuh. Tapi, ketika ia menatap ke belakang, ia tidak menemukan Luna. Senyumnya pun langsung memudar dan Felix semakin kehilangan. Dengan langkah cepat, ia mengenakan busana dan keluar dari kamar guna mencari Luna. Beberapa pelayan yang ia temui pun tak luput dari pusat pertanyaannya. Namun sayang, tak ada satu pun dari mereka yang mampu menjawab. Felix tidak melihat jalan, ia hanya memperhatikan orang-orang di sekitar. Tak lama, ia menabrak tubuh pelayan yang pernah membersihkan kamar tidur, di mana Felix menginap. "Tuan, maaf. Anda baik-baik saja?" tanya pelayan tersebut sambil mengibas (Membersihkan) pakaian Felix yang sudah kotor, akibat terkena saos steak barbeque. "Kamu?" "Tuan muda," jawab laki-laki tersebut dengan wajah tertunduk. "Apa kamu melihat wanita yang bersamaku sejak kemarin?" "Maaf, Tuan. Apa yang sudah ia lakukan? Apa ada barang berharga milik Anda yang dicuri?" "Apa maksud kamu?" tanya Felix seraya menekuk dahi. Sebab, ia tidak suka dengan kalimat pelayanan tersebut. "Maaf, Tuan. Tapi, Anda seperti sudah kehilangan sesuatu yang bernilai." Felix menatap tajam, "Tidak," jawabnya dengan raut wajah serius. "Dompet, uang, ponsel, kartu kredit dan sebagainya masih utuh," sambung Felix tampak serius. "Apa mungkin gadis itu mencuri hati Anda, Tuan?" "A-apa?" "Maaf, Tuan. Jika benar, sebaiknya Anda harus bergerak cepat sebelum terlambat!" sarannya tampak paham akan situasi Felix. "Perempuan seperti itu, pasti banyak peminatnya. Permisi!" "Apa?" Felix kembali melipat dahi dan berpikir keras. "Apa mungkin pelayan itu benar? Agh, tidak mungkin!" Felix menggelengkan kepala dan memutuskan untuk kembali ke dalam kamar. Bersama langkah cepat, setengah berlari, Felix tiba di dalam kamar dan langsung menelepon Leo. Dengan nada tinggi dan terdengar emosional, ia memerintahkan kepada asistennya tersebut untuk membawa Luna ke hadapannya dalam hitungan menit. "Leo!" bentaknya. "Aku tidak tahu menahu. Pokoknya, Luna harus ada malam ini juga!" "Ta-tapi, Tuan. Saya masih di Prancis. Bukankah Anda yang mengutus saya ke negara ini untuk menggantikan pekerjaan Anda?" jawab Leo hampir menangis. "Jangan bunuh saya dengan cara seperti ini, Tuan. Saya mohon!" ungkapnya sambil menahan air mata. Laki-laki kemayu yang satu ini, memang sering sekali meneteskan air mata karena sikap dan tutur kasar Felix. Namun anehnya, ia tidak berniat untuk meninggalkan Felix Vincent. "Bawa dia untukku, Leo!" pinta Felix sekali lagi, tetapi kali ini terdengar lebih seperti memohon, bukan memerintah. "Tu-tuan ... ?" ucap Leo yang baru kali ini melihat tuannya lemah. "Saya akan segera pulang untuk Anda, Tuan. Tenanglah! Saya akan mencarinya untuk Anda." Sesaat setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Leo, Felix pun memutuskan untuk menutup ponselnya. Ia sadar, semua ini bukanlah hal yang mudah bagi Leo. Tetapi, lagi-lagi, asistennya tersebut tidak menyerah dan siap untuk mewujudkan permintaannya. "Luna, kenapa?" tanya Felix pada dirinya sendiri, seraya terduduk di tembok putih di dalam kamar hotel bintang lima. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD