Pembuktian tanpa Kata

1401 Words
"So, mau sparring dengan gue sebagai perkenalan?" Ia memilih menatap tangan kanan kak Bian yang terkepal - seolah ingin meninju sesuatu hingga remuk, ketimbang menatap langsung sorot mata ramah yang dirasa palsu. "Ok." "Gue saja, Bian." Erika langsung mengajukan diri saat mendengar Lista terkesiap sambil meremas tangannya. Takkan ia biarkan adik kecilnya melihat p*********n. Cukup. "Kak!" Bagiyang melihat dari jauh, senyum kak Erika saat menatapnya semanis madu. namun baginya yang mengetahui seklumit diri mereka, itu ancaman terselubung. "Gue gak terbiasa melawan  Wanita, kak Erika."" Ia menatap kak Bian yang lebih dari nafsu untuk menghajarnya - ini bagus karna dia juga merasakan hal yang sama, lalu menatap kak Erika yang menunggunya dengan kening berkerut, kemudian beralih ke arah Lista yang memilih memejamkan mata sambil menangkup kedua tangannya didepan d**a, bergumam tanpa suara dengan kening berkerut, serta wajah cemasnya yang membuatnya sedikit terganggu.  Bagaimana rasanya bergantung pada kekuatan kata untuk merayu Tuhan agar mengabulkan permintaan kita? Ah, sudah lama sekali ia tidak memohon sesuatu dengan amat sangat agar keinginannya terkabul, karna terakhir melakukannya, hatinya malah patah tak terkira. Membuatnya sejak saat itu,  tak percaya dengan kekuatan Doa.  Kak Bian meninju udara dengan wajah sumringah. "Pilihan yang super bijak, bro. Tunggu gue siap - siap dulu. Oh iya," Entah kenapa, tatapan puas kak Bian membuatnya waspada. "Gimana kalau kita mainnya gak usah pake skor atau apalah ala turnamen? Kita main sampai salah satunya menyerah saja. sounds great, rite?" Ia tak ada pilihan menolak, kan? Batinnya saat sorot mata menantang itu mengintimidasi. "Gue setuju, kak." "Bian!" "Loh, kenapa kak Erika? takut gue bonyok total?" Wajah pias kak Erika memberitahu segalanya. Namun ia bergeming, "Kan ada lo yang akan obatin luka - luka gue nanti."  Erika menatap kepergian kembarannya yang bersinandung riang, lalu beralih ke arahnya sambil menggeleng pelan. Ini gila. Benar - benar mengerikan! "Lo gak tau dengan konsekuensi akan pilihan lo, Ando." Tanpa sengaja ia bertatapan dengan Lista yang mengekor di belakang kak Bian, memilih melempar senyum untuk menghilangkan panik di sorot mata Lista yang membius. "Gue siap menerimanya, kak Erika." *** "Menyerah?" Ia mengerang saat tubuhnya terbanting cukup keras ke tanah karna tendangan berputar kak Bian mengenai sisi kanan kepalanya. Tendangan itu membuat otaknya serasa bergeser beberapa derajat dari posisi semula, telinga kanannya berdenging seolah ia sedang berada di dalam Pesawat, serta penglihatannya sedikit rabun. Memejamkan mata sebentar tidak apa - apa, kan? Ia menolak gagasan membahayakan itu dan memilih menatap Lista kini memeluk dirinya sendiri dengan wajah pucat pias dan bibir bawah yang digigit kuat. Perasaan Ironi menggesek hatinya karna berharap ekspresi itu untuk dirinya.   Ia  menggigit kuat lidahnya agar tak berteriak  saat perlahan bangkit , menatap sorot mata hijau toska yang berpendar menantang didepannya. Kalau rencana mulus kak Bian adalah membuatnya tewas hari ini juga, akan ia ladeni. Setidaknya ia sudah menulis surat Wasiat yang tersimpan rapi di brankas ruang kerja Kakaknya. Penampilan kak Bian juga tak kalah menggenaskan setelah dipikir - pikir. Dan itu membuatnya semangatnya bangkit. "Gue bukan tipikal mudah menyerah." Bian tersenyum sambil memegang dadanya  yang nyeri setiap ia mengambil napas setelah mendapat tendangan Ando hingga terjungkal di awal permainan. Baru kali ini ia bermain tanpa peraturan dan wasit yang mengikat, hanya bermodal siapa yang berteriak kalah, itulah yang pecundang. Dia menanti Ando yang melakukan itu.  Ia mengepalkan kedua tangannya sambil meremasnya, Kakinya mengambil ancang - ancang siap menendang titik terentan yang dilihatnya.  "Gue merasa tersanjung mendengar ucapan penuh percaya diri itu." Mari kita tuntaskan sekarang. *Visualisasi Elista Maharani Pradipta. *** "Kalau menggunakan aturan, mungkin mereka akan didiskualifikasi karna bertindak brutal dalam pertandingan." Ia mengangguk akan pendapat kak Erika, sambil menutup mata dengan kedua tangannya saat kak Bian terpental cukup jauh karena tendangan Ando mengenai d**a kanan kakaknya, berharap hanya khayalannya saja saat mendengar suara tulang berderak. Penasaran membuatnya terbunuh, Ia mengintip permainan dari sela jari kirinya yang sedikit terbuka, meringis saat kakaknya langsung membalas serangan Ando dengan menyerang perutnya hingga cowok itu mengerang kesakitan ketika terbanting ke tanah. Gila!  Ia langsung berlari kearah Ando tanpa berpikir apapun lagi saat cowok itu berusaha berdiri dengan bertumpu pada satu tangan, serta darah yang menetes di sisi bibir kirinya, dan berdiri tepat di depan Ando yang terlihat susah payah untuk berdiri tegak sambil memasang kuda - kuda. "Sudah cukup perkenalan antar lelaki, kak Bian!" Ando  menyentuh pundak Lista yang bergetar, dan berbisik. "Gue masih kuat Lista. Ini baru permulaan." "Gak!" Ia mengigit bibirnya sambil mendongkak agar tak memutar tubuhnya lalu   mencekik Ando - ketimbang membelanya. "Gue gak mau liat lagi! Bian berharap ini mimpi atau mengalami halusinasi parah karna otaknya mendadak kacau akibat terjatuh berulang kali. "Ini baru pemanasan dek." Ia memang sering dibuat kesal oleh arogansi Ando  dalam menginginkan sesuatu. Tapi bayangan bagaimana Ando terbanting serta erangan kesakitan cowok itu menghantuinya hingga ke sel terkecil, membuatnya menggigit lidahnya hingga mati rasa agar tak menangis. "Please, Kak." Sorot mata berjuang serta isyarat menolak Ando yang berdiri pun sudah terlihat sempoyongan, serta ekspresi menahan tangis Lista disertai suaranya yang bergetar membuatnya sangat terhibur ketimbang tersinggung. Setidaknya kali ini ia menyetujui pilihan adiknya. Batinnya sambil mendekati mereka berdua, lalu mengulurkan tangan kanannya pada Ando yang berkerut kening.  "Gue menyerah. Bukan karna Lista memohon, tapi karna perut gue gak kuat terima tendangan andalan lo lagi." Lista buru - buru mengusap setetes air mata yang tak tahu malu membasahi wajahnya, saat Ando memutuskan membalas uluran tangan kakaknya. "Senang berkenalan sungguh - sungguh dengan lo, kak Bian." "Gue juga. Kapan - kapan kita begini lagi, yah." "GAK!" Bian meringis geli mendengar teriakan kedua wanita yang dilindunginya mati - matian itu. Melirik kak Erika yang berdiri disampingnya dengan kotak obat dalam genggaman. Baru kali ini ia benar - benar melupakan kehadiran kembarannya.  "Gue bisa apa kalau mereka malah bilang sebaliknya?" *** "Pelan - pelan Lista!" "Terus aja sok jago sambil bilang pemanasan. Rasain nih rasain!"   "Lo gak ada niat ngobatin apa?!" Ia langsung meloncat dari kursi taman beranyam bambu saat Lista menekan memar di sudut kiri bibirnya tanpa ampun. Reaksi spontan itu membuat perutnya langsung nyeri luar biasa hingga ia berjongkok. Permainan tadi benar - benar brutal. "Gue kesel ama lo hingga pengen ikut kak Bian untuk gebukkin lo!" Bisiknya sambil mendekati Ando dan membantunya berdiri. "Lo masih kuat jalan? Gue punya kursi roda milik Papah dan masih bisa digunakan kok." "Gue bisa jalan dan pulang sendiri kok." Ia menepuk kepala Lista, tersenyum tanpa sadar bahwa cewek itu tak menjauh dari sentuhannya. "Makasih atas pengobatannya." "Lo kesini bawa mobil, kan? Yakin masih bisa nyetir? Atau gue aja yang nyetirin lo gapapa kok." "Gue jalan kaki tadi kesini." Detik berikutnya, Lista langsung berlari meninggalkannya di taman untuk menghampiri kakaknya. Terdengar tawa di salah satu ruangan serta suara menggoda yang membuat Lista merona saat menghampirinya. Jujur saja, perhatian sepele seperti itu membuatnya iri tak tertanggungkan. "Gue antar lo kerumah." Ando menggeleng. Sudah cukup Lista membantunya hari ini. "Gue bisa sendiri." "Gue gak mau lo berakhir dipinggir jalan." Lista bahkan mengamit lengannya dengan sangat mantap. "Gak papa, Ando. Lo bisa bergantung sama gue untuk hari ini." "Dan seterusnya?" Ucapan tanpa pikir panjang membuat cewek itu berkerut bingung, lalu tersenyum hingga sorot mata unik itu berbinar lembut. Untuk sepersekian detik, dia terpesona. "Tentu saja." *** "Apa yang lo dapatin hari ini selain babak belur sekujur tubuh, Bian?" Pertanyaan kak Erika saat ia mengintip dari balik jendela tentang drama pertengkaran receh didepan mobilnya, tertawa kecil saat Ando kalah argumen dengan Lista dan melampiaskannya dengan mengacak rambutnya. Adiknya sendiri malah bersinandung riang sambil masuk kedalam mobil. Baru kali ini ia melihat adiknya tersenyum lebar selain dirinya. "Harga dirinya lebih tinggi daripada gue. Kalau saja Lista gak melerai kami, mungkin Ando benar - benar berakhir jadi mayat hari ini." "Dia bisa saja menyerah, kan?" Bian mengangguk. "Untung dia gak lakuin itu, kak. Karna kalau iya, gue gak tau apa yang terjadi. Adik kita tak pantas bersama pecundang. Selain itu," Masih terbayang jelas ekspresi Lista saat membela Ando di tengah pertandingan, gesture penolakan Ando yang kentara, serta makna ucapan cowok itu menggelitik benaknya. "Gue tak menyangka Lista akan begitu. Gue malah mikirnya kakak yang maju." Erika menggeleng. "Sepanjang pertandingan yang dilakuin Lista cuman berdoa, dan sayangnya bukan nama lo yang dia sebut, dek." Kalau saja sekujur tubuhnya serasa tak dibanting dari ketinggian, mungkin ia akan terbahak - bahak sekarang. "Gue cuman bisa berdoa moga adek kita kembali menjadi Tata yang gue kenal, kak."  "Kalau sampai Ando nyakitin Lista lebih dari kemaren, gue rela masuk penjara asal cowok itu masuk ke liang lahat, kak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD