Bicara

1651 Words
"Pergi!" "Takkan ada yang dengar teriakan lo saat ini." Cowok itu menyentuh pergelangan tangannya yang terikat, kemudian menyentuh ujung dagunya dengan senyum mengerikan. "Kita akan bersenang - senang, hingga lo tak bisa melupakan gue sehari pun. Bahkan saat bersama cowok lain, Lo akan selalu ingat gue, sentuhana manis ini, serta kecupan Putri Salju yang selama ini lo idamkan." Ando menyentuh dahi Lista yang mengucurkan keringat dingin, dan mengelapnya dengan tisu sembari mengelus puncak kepalanya. "Hei.." Tak ada jawaban. Ia duduk disamping Lista yang terlihat gelisah, bahkan sampai meneteskan air mata. Membuatnya menggenggam tangan Lista yang terkepal dingin itu sembari mendekatkan kepala di sisi kanan Lista untuk berbisik, "Bangun, Lista. Gak ada yang menyakiti lo disini." Ia menghapus air mata yang membasahi wajah gadis itu, dan perlahan ingin mengecup keningnya sebagai penenang.  Namun saat menunduk, ia melihat perlahan kelopak mata Lista terbuka, membuatnya mundur.  "Hai..." Lista melihat sekeliling ruangan yang tak dikenalnya, kemudian merasakan adanya elusan di tangan kanannya, menoleh dan menyadari Ando duduk tepat disampingnya. Hal itu membuatnya langsung meloncat kesamping sambil menarik selimut hingga menutupi d**a. "Gue dimana?!" Baru kali ini ia melihat sorot mata ketakutan amat sangat yang terpancar pada sepasang bola mata unik itu. Ia tak siap berada di posisi ini. "Lo tadi pingsan di sekolah. Sempat sadar namun karena fisik lo terlalu lemah karena demam, akhirnya Guru UKS menyarankan lo untuk diantar pulang." "Gue gak ingat." "Coba minum dulu biar lo tenang." Melihat Lista menggeleng dengan wajah semakin ketakutan serta sorot mata waspada, ia mendesah. "Gue gak ngasih apapun dalam gelas ini." Ando meminum segelas air putih itu hingga tersisa setengah sebagai bukti akan ucapannya, dan tersenyum samar saat  Lista menerima gelas tersebut dan menghabiskan sisanya. "Ini bukan kamar gue." "Iya, lo lagi dikamar gue." "Kenapa?!" Ia berusaha tenang dari keterkejutannya, saat Lista mendadak meloncat bangun sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh badannya dan berdiri di sudut ruangan.  "Setelah selesai mengurus surat ijin pulang lo, gue menelpon Kak Erika menggunakan ponsel lo dan dia bilang gak berada dirumah karena berada diluar kota, begitupun dengan kak Bian dan baru bisa balik sore, pembantu lo ijin pulang setengah hari karena ada urusan. Saat itu lo sudah tertidur pulas di mobil, dan gue mikir bahwa mengantar lo kesini sampai kakak lo pulang adalah keputusan terbaik." "Dan lo gendong gue sampai sini?" "Yap. Lo berat juga ternyata." Lista menggeleng untuk sebagai pengalih akan air matanya yang siap mengalir. "Gue gak mau disini. Gue sudah sembuh, gue ingin pulang." "Gak ada orang yang rawat lo, Lista." "Gue gak aman disini!" Ia tak sadar bahwa sekujur tubuhnya bergetar dan berkeringat dingin. "Gue lebih baik menggigil sendirian dirumah ketimbang berada di wilayah kekuasaan lo!" "Kak Ando," Terdengar suara anak kecil dari balik pintu sebagai interupsi, disusul ketukan pelan dan bunyi pintu terbuka, menghadirkan sosok gadis kecil bersorot mata hitam kelam dengan rambut bergelombang. "Kata Bibi, Makan siang udah siap." Ando menatap Lista yang fokus memperhatikan Lily, "Ayo kita makan siang."  "Ini kak Lista yang kakak ceritain?" Lily mendekati Lista yang terlihat seperti kepompong. "Namaku Lily." Lista membalas uluran tangan kecil itu sambil tersenyum. Lupa akan kehadiran Ando sama sekali. "Lista." "Nama kakak bagus," Lily setengah menarik Lista untuk keluar dari lilitan selimut. "Ayo kak, Makan siang. Masakan Bibi enak semua loh, kak. Apalagi perkedel Udang serta sambal terasi, enak..." "Kakak juga suka banget dengan perkedel Udang, apalagi bila ditambah dengan Pete Bakar."  Ekspresi Lily yang aneh membuat Ando menahan tawa,  sambil mengikuti mereka dari belakang  menuruni tangga. Lista terlihat lebih rileks sambil melempar canda pada Lily, seolah lupa beberapa menit yang lalu baru saja ketakutan luar biasa akan sesuatu yang tak dijangkaunya. "Kalau nanti Lista sadar, usahakan jangan lo yang dia lihat pertama kali." Peringatan ka Erika via telepon membuat keningnya berkerut. "Dia cepat histeris." "Karena?" "Andai gue bisa cerita soal ini dengan lo." Terdengar nada sedih hingga ia mendadak tak tahu harus berkata apa. "Gimana bento nasi goreng bikinan gue? enak kan?" Rupanya sifat mengalihkan pembicaraan Lista didapat dari kakaknya. "Sudah, kak. Mungkin lo bisa buka restoran sebagai usaha sampingan." "Boleh juga. Ngomong - ngomong, gue end- call dulu, yah. Mau masuk kelas." Ia berharap salah dengar saat mendengar isakan kecil dan sangat pelan. "Makasih udah  mengerti tanpa bertanya apapun. Mungkin ini terlalu cepat, tapi gue selalu berharap semoga lo yang terbaik buat dia." Ando memperhatikan Lista yang duduk diseberangnya sambil mengobrol ringan dengan Bibi dan Lily, sesekali gadis itu tertawa hingga apa yang terjadi di kamarnya tadi  hanyalah ilusi. "Gimana? Lo suka berada disini?" Lista menatap Ando, lalu tersenyum. "Sangat." Senyum itu sudah lebih dari cukup untuknya melupakan hal tadi.  *** "Masih Demam."  Lista kaget saat selesai membantu Bibi membereskan meja makan dan mencuci piring bersama Lily walau dilarang habis - habisan, dan berakhir rebahan di sofa ruang tamu, Ando mendekatinya dengan segelas air putih hangat serta obat penurun panas, tanpa permisi menyentuh dahinya. "Coba minum ini. Biasanya gue minum ini kalau lagi demam. Gak ada Maag kan?" Melihat wajah ragu Lista, ia malah tersenyum kecil alih - alih merasa tertuduh. "Gue bisa saja minum obat ini sebagai bukti bahwa gak ada niat jahat sedikitpun sama lo. Tapi masalahnya gue gak sakit, dan takutnya tubuh gue kenapa - apa. Jadi," Ia memilih berlutut didepan Lista yang kini perlahan duduk di sofa. "Mau gak lo percaya sama gue sedikit saja, dan minum obat ini?" "Lo kayak mau lamar orang aja." Ia tak sadar menghela napas lega saat Lista mengambil gelas minum serta meminum obatnya. "Lo mau dilamar dengan cara tadi?" "Gak akan ada yang mau lakuin hal itu ke gue." Lista bersandar di sofa sambil menatap langit - langit ruang tamu Ando. "Itu hanyalah mimpi yang gak akan pernah terjangkau." "Kenapa lo bilang gitu?" "Tadi saat di sekolah, lo liat ada seseorang yang datang gak? "Sorot matanya tajam dan berwarna cokelat kehitaman , trus tubuhnya setinggi kak Bian atau lebih, wajahnya blasteran, terus..." Suaranya semakin menghilang karena gemetar hingga merasa suhu tubuhnya mendingin mendadak. "Pokoknya dia bukan murid di sekolah kita." "Gak ada siapapun yang datang, Lista." "Tapi gue liat saat hampir pingsan, dia berlari menghampiri gue dan menunduk, berusaha menggendong gue saat itu. Tapi gue gak ada tenaga untuk menolak dia." "Itu gue, Lista." Lista menggeleng lemah karena efek mengantuk karena obat yang ditelannya tadi. "Gak mungkin. Gue pasti mengenali kalau itu lo."  "Apa gue terlalu mengerikan selama ini, hingga lo melihatnya seperti orang lain yang lo takutin?"  Ia tak tahu kenapa merasa tersinggung akan hal sepele ini.  Memangnya ia melakukan apa? "Lo liat gue sebagai Dylan, kan?" "Lo tahu darimana nama itu?!" Ekspresi pucat pasi serta suhu tubuh yang mendadak sangat dingin saat tak sengaja bersentuhan dengan jemari Lista, membenarkan dugaannya. "Lo memanggil nama dia saat pingsan, Lista. Siapa cowok itu?" Jantungnya berdetak sangat cepat, hingga ia merasa sesaat pandangannya menggelap. Perlahan ia merebahkan diri di sofa sambil berpaling. "Gue mengantuk." "Lo akan pegal kalau tidur disini." "Bukan urusan lo, Ando." Ia tak tahu mengapa suaranya menjadi sangat serak, air mata menetes membasahi wajahnya, serta hatinya sakit tanpa alalsan. "Bukan urusan lo sama sekali." *** "Gue minta maaf." "Gak usah dibahas." Dia bersyukur kak Erika saat itu mengabarkan bahwa dia sudah ada dirumah bersama kak Bian, sehingga tak perlu lama - lama dirumah Ando dengan situasi mencekik. "Gue juga salah." Ando memperhatikan jalan raya dengan otak berpikir keras, sembari melirik Lista yang tak mau menoleh kearahnya sama sekali. "Masih demam?" "Kayaknya sudah mendingan." "Tidur lo pulas banget tadi. Sempat terpikir untuk gendong lo lagi ke mobil pas kak Erika minta lo diantar pulang." Lista melirik Ando yang menyengir. "Katanya berat." "Masih berat dosa gue kayaknya." Lista tertawa kecil. "Lily itu lucu banget. Sumpah. Apalagi curly hairnya itu. Gemes banget gue pengen punya rambut kayak gitu." "Tiap hari gue pusing mikir bagaimana caranya kuncir rambut dia, karena kalau bukan gue yang lakuin, Lily mogok sekolah." Lista tertawa memperhatikan ekspresi frustasi Ando yang baru kali ini dilihatnya. "Gue pikir lo anggap dia sebagai beban seumur hidup." "Lily keluarga satu - satunya buat gue, dan warisan paling berharga dari kak Rafa." Ia termenung saat berhenti di lampu merah. "Apapun akan gue berikan kalau menyangkut dia." "Gue iri dengan Lily." Ando memandang Lista yang kini mendumel pelan sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Sungguh sangat menggemaskan. "Lo iri karena setiap pagi gue  kuncir rambut Lily?" "Bukan begitu!" "Atau," Dia suka sisi malu Lista. "Lo pengen gue manjain lebih dari Lily?" "Ando!" Ia mencubit lengan cowok itu agar tawa bernada bass dengan sedikit serak itu berhenti. "Ngeselin banget, sumpah." "Duh ngambek.." Ia mencubit pipi kanan Lista dan menariknya pelan hingga gadis itu berteriak kesal. "Panjangin rambut lo sampai punggung, baru gue kuncir dengan gaya apapun." "Bodo amat!" "Gue serius loh." Ia mengedipkan mata kiri ketika Lista meliriknya garang. "Lo jangan turun dulu. Gue mau ambil payung, biar gak kena gerimis." Lista mengabaikan Ando dengan meloncat turun dari kursi penumpang, merasa pusing semakin hebat hingga pijakannya serasa tak stabil. Namun melihat pagar rumah semakin dekat dalam genggaman. Dia tetap berjalan, mengabaikan teriakan Ando yang semakin memelan dalam telinganya, hingga yang terakhir di ingatannya adalah seseorang menarik lengannya dari belakang sebelum pandangannya berubah menjadi gelap. *** "Gue serasa pernah liat lo sebelumnya." "Mungkin karena muka gue pasaran?"  "Karena wajah lo ingetin gue dengan seseorang." Bian menatap surat yang digenggam Karen, dan tersenyum. Pingsannya Lista kemaren didepan rumah membuatnya dengan hati riang ke sekolah Lista hari ini untuk mengantarkan surat sakit, sekalian tebar pesona juga kalau bisa. "Gue nitip surat sakit adek gue, yah." Ia tak menduga bahwa pria yang mencuri perhatiannya dari loket Piket, hingga membuatnya setengah berlari menuruni tangga agar bisa berakting tak sengaja berpapasan, adalah kakak Lista. "Oke." Bian mengulurkan tangan. "Boleh kenalan?" Sorot mata hijau toska berbinar jenaka itu memang menarik hati, ditambah lesung pipi saat tersenyum. Namun tetap saja Ando bergentayangan di kepalanya. "Karenina. Tapi lo bisa panggil gue Karen." Gue yakin pernah liat anak ini sebelumnya. Feelingnya tak pernah salah, namun agak susah mencari alasan dibaliknya,  "Nice to meet you, Karen."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD