Retak

1435 Words
"Nih buat lo." Ando bingung saat Lista masuk ke dalam mobil,  langsung mengeluarkan kotak bekal berbahan kayu dari dalam goody bag berwarna peach, lalu mengeluarkan kotak bekal berbahan kayu dan meletakkannya di pangkuannya yang sedang menyetir. "Tumben." "Kak Erika kebanyakan bikin nasi goreng, jadi dia buat bento buat  lo ama gue biar gak jajan sembarangan." Lista memejamkan mata sambil menurunkan sun visor di atas kepalanya, untuk menghalangi sinar matahari yang menembus langsung ke wajah. "Tumben silau banget hari ini." Ando mengernyit mendengar celetukan sambil lalu tersebut, lalu melirik Lista yang kini memjit kepalanya sambil bersandar. Spontan, ia langsung menyentuh kening cewek itu, dan mengernyit. "Lo demam." "Masa?" Lista menahan napas saat tangannya yang kini menyentuh kening, digenggam Ando. "Lo yang demam kayaknya, karena tangan lo hangat banget." Ando menatap Lista yang kini terlihat sibuk sendiri mengambil jaket. "Gue antar pulang aja." "JANGAN!" Lista langsung memegang stir mobil Ando sambil menggeleng panik. "Gue cuman demam biasa. Beneran ini, minum teh hangat juga sembuh." "Wajah lo pucat banget." "Gue cuman demam dan sedang berhalangan. Bukan masalah besar." Lista memeluk dirinya sendiri dengan bibir sedikit gemeletuk. "Gue gak mau nyusul ujian soalnya. Jadi kita ke sekolah aja."    "Lo bukan Murid Teladan panutan Sekolah kita, Sayang."   Ia menyalahkan demam yang membuat pipinya semakin memanas. "Gue gak mau dengar." Lista bahkan menutup kedua kupingnya sendiri sambil menggeleng. "Nanti kedua kakak gue tambah panik. Mana Ortu gue lagi pergi keluar kota pula." "Mereka akan lebih panik lagi kalau lo sampai pingsan di sekolah." "Berdoa saja gue kuat sampai pulang kalau begitu." Lista memilih memejamkan mata sambil berusaha mencari posisi yang nyaman. "Keberatan gak kalau gue kayak gini?" "Gue lebih suka lo tidur dikamar sendiri dengan segelas teh hangat impian lo, Lista." "Gak mau dengar." Ando menggeleng sambil mengacak rambut pendek Lista,  mengelus keningnya pelan saat terdengar suara dengkuran halus Lista. Hal itu membuatnya tersenyum kecil sambil beralih ke tangan Lista, dan menggenggamnya.  "Tidur saja kalau gitu, kepala batu." *** "Nih." Cindy menyodorkan plastik minuman berisi teh hangat pesanan Lista, yang kini bersandar di bawah pohon dengan wajah pucat disertai tatapan cukup menyedihkan. "Cepet abisin, terus ijin ke Guru Piket dan pulang kerumah." "Gaya lo kayak Ibu Tiri jahat, yang mau musnahin anak tirinya dari rumah." "Emang. Gue mau ngusir lo dari sekolah biar bisa istirahat dirumah." "Gak mau." Saat ini ia mengenakan Jaket cukup tebal sambil memeluk dirinya sendiri, menatap teman - teman sekelasnya kini pemanasan ringan sebelum ujian olahraga ditengah lapangan. "Gue pulang kerumah juga percuma. Kedua kakak gue gak ada karena kuliah dan berencana pengen tidur di kost masing - masing, ortu lagi bulan madu keseratus kalinya, dirumah cuma sama Bi Inah. mending gue disini." "Banyak alasan." Cindy mengikuti arah tatapan Lista yang tak berkedip. "Bilang aja lo mau ngawasin Ando yang sekarang dipepet murid baru." "Gak.." Lista menggeleng sambil berpaling ketika Karen, anak baru itu menatapnya, sebelum berbicara lagi dengan Ando sambil merangkul lengannya. "Gue cuman males dirumah." "Lo boleh bohong ama seluruh dunia, tapi lo gak pernah bisa bohongin sahabat lo sendiri." "Lo kan tau gue sama Ando itu gak kayak pasangan pada umumnya." Dia menatap Ando kini tertawa oleh sesuatu yang dikatakan Karen, menyadari bahwa baru kali ini ia melihat Ando tertawa sampai matanya terpejam. Dia tak pernah melakukan hal itu. "Jadi dia mau lakuin apapun, gue gak berhak marah kayak pasangan normal, kan?" Mungkin, dia malah tak pernah membuat Ando tertawa. "Lo selalu menggunakan kebohongan sebagai sugesti diri. Apa gak capek?" "Itu bukan sugesti apalagi kebohongan, tapi emang faktanya gitu, kok." "Kalau gitu, kenapa lo mendadak manja minta dibelikan Air Mineral sama Ando, disaat dia ngomong dengan Karen?" Ia tersenyum saat Lista memilih menyeruput minumannya sambil bersinandung. Salah satu cara mengelak paling menjengkelkan.  "Terus lo setengah menyeret Ando untuk menjauh dari Karen, dan memamerkan kotak bekal couple itu. " Ia sendiri juga baru tahu akan fakta tersebut. "Itu bukan gue rencanain seperti analisa cemerlang lo barusan." "Mengaku sajalah kalau benar adanya. Gak ada yan menertawakan lo. kok." "Apa yang harus gue akuin kalau memang salah?" Tepat saat ia ingin menambahkan, terdengar namanya dipanggil untuk giliran selanjutnya. Dia melepas jaket dan merasa hawa dingin langsung memeluk dirinya. Sembari mengusap kedua lengannya dengan posisi memeluk, dia menatap Cindy yang menggeleng. "Gue sehat seperti biasanya, oke?" **** Karen memperhatikan Lista. Salah satu teman sekelasnya yang memiliki sorot mata unik itu  sudah mengobarkan aura permusuhan, sejak merebut Ando dengan alasan receh.  Makan siang bersama untuk memamerkan kotak bekal couple sebagai tanda kepemilikan.  Sumpah, mengingat ekspresi sakit yang dipaksakan demi perhatian Ando, kemudian merangkul cowok itu tepat didepan matanya seolah dia baru saja menang sudah membuatnya geli ketimbang jengkel seperti dihadapkan. Amatir sekali. Ia membalas tatapan Ando dengan senyum, ketika sudut mata kirinya menangkap Lista memperhatikan mereka dengan tangan mengepal. "Sorry, tadi lo ngomong apa?" Ando memperhatikan gesture Karen yang semakin menempel. "Gue gak ada ngomong apa - apa, kok." "Oh.." Ia menguncir rambutnya keatas dengan posisi miring, untuk memamerkan jenjang lehernya pada Ando. "Gue pikir lo ada ngajak ngomong. Mungkin karena terbiasa dengar suara lo kali, yah." Melihat Ando fokus memperhatikan Lista, dia sedikit manyun karena diabaikan. "Gue pikir lo pacaran sama dia." Ia menunjuk Lista yang kini tertawa sambil memijit kakinya di pinggir lapangan,  Istirahat sejenak sebelum pertandingan Volli sebagai nilai kekompakan. "Tapi terkadang gak yakin juga kalau liat lo cuek begini." "Lo emang suka jujur tak terkendali, atau gimana?" "Gue suka tak menutupi sesuatu pada hal yang menarik perhatian." Ia melirik Ando sambil tersenyum. "Karna menurut gue, gak ada satupun yang suka bila melihat orang lain menyembunyikan sesuatu, kan?" "Tergantung topiknya apa." "Itu artinya dia gak percaya sama lo. Karna kalau kebalikannya, lo akan tahu semuanya dalam sekali lihat. " Ia berjinjit disamping Ando, sambil membisikkan sesuatu saat merasa ditatap lama oleh separo kelas. Ia suka memancing spekulasi. "Kalau gue jadi pasangan lo, lo akan melihat isi kepala dan hati gue seperti apa. Tanpa perlu kode - kode rumit.  Menyenangkan, bukan?" "Masalahnya, lo bukan pasangan gue, Karen." "Kata siapa?" Ia memasang wajah pura - pura terkejut sambil mengedipkan mata, saat Ando memegang kedua lengannya. "Kita sudah menjadi pasangan kok dikelas, karna berbagi meja yang sama selama 7 jam setiap harinya. Sama saja, kan?" *** Apa lo gak capek sugesti diri dengan kebohongan? Ucapan Cindy berbisik penuh racun di telinganya,  menghasut benaknya yang lebih rapuh dari rambut dibelah tujuh untuk bertanya, membuat hatinya goyah seperti jembatan kayu yang  lapuk dimakan rayap. Benarkah? Ia menggeleng sambil tersenyum kecut. Tentu saja tidak, Bukan? Itu pertanyaan bodoh. Iya, itu bodoh. Sangat. "Elista Maharani Pradipta, karena dulu saya pernah dengar kamu adalah atlit lari sewaktu SMP, maka keliling lapangan sebanyak 5x dalam waktu 7 menit bukan masalah, kan?" Cindy berkicau panik disampingnya. "Lo bilang gak bisa deh. Gue bantuin lo ngerjain tugas makalah beliau deh, jadi tameng lo kalau diomelin,  asal lo gak ikut yang ini." Nada meremehkan Pak Guru Killer membuatnya mendengus. Hanya keluarga Incredibles saja yang bisa melakukan hal tersebut, bahkan lebih. "Siap pak." "Jangan keras kepala, Lista." "Gue kuat kok. Kecil ini." Ia memperhatikan sekelilingnya sambil mengerjap, merasa tanah tempatnya berpijak serasa bergoyang, bahkan sampai merentangkan tangan demi menjaga keseimbangan, seolah sedang berjalan diatas tali. Namun, hal itu tak ada apa - apanya saat melihat Ando berbisik dengan Karen di seberang sana, disambut tawa oleh anak baru itu sambil menepuk pundak kanan cowok itu, seolah  dunia milik berdua sisanya kontrak hingga  akhir bulan. Gue gak cemburu , gak cemburu, gak cemburu, gak akan pernah cemburu. Titik. Emang gue punya hak lakuin itu?  Batinnya bertanya dengan nada nyinyir. Membuatnya angkat bahu sambil menunduk menatap kedua ujung sepatunya.  Jangankan memiliki hak, memikirkannya pun sudah tak pantas.  " Lo tau, tak ada cowok yang sudi dengan lo kalau tau kebenarannya bagaimana." Dylan menyentuh ujung dagunya, lalu membuatnya mendongkak dengan sangat kasar hingga ia meringis. "Bahkan disaat tak berdaya pun, lo terlihat menggoda, sayang." Ia hanya menoleh ke arah lain karena tak sanggup menatap sorot bengis yang terpancar kuat pada sepasang bola mata cokelat kehitaman sayu itu.  Dirinya hancur. Dylan memandang sobekan kain yang tersebar diantara mereka, mengelus  luka dan gigitan di tubuh Lista yang diantaranya meneteskan darah kecil. "Bekas luka ini akan hilang dalam beberapa hari, tapi debu  ruangan yang menempel, tetesan keringat yang bercampur dengan lo, serta teriakan kita akan menjadi hadiah ulang tahun lo yang takkan pernah dilupakan, Tata." "Gue jamin, lo bahkan tak pernah bisa melupakan gue sehari pun." Ando langsung berlari secepat mungkin, saat tubuh Lista kehilangan kekuatannya,mengucap syukur  saat tubuh lembut namun terlihat rapuh dan semakin hangat karena demam itu,  tak sempat menyentuh tanah karena dirinya. Keningnya berkerut saat air mata perlahan jatuh membasahi lengannya. "Hey, wake up, sayang." "Pergi, Dylan. Jangan ganggu gue."  Dylan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD