Bab 4. Manusia Tanpa Hati

1009 Words
Atami tatap wajah Kahfi. "Saya sanggup melayani Bapak di ranjang." Kahfi menyeringai begitu mendengar Atami yang sanggup. Sebab, dia yakin betul jika mereka menikah nanti. Atami akan memohon pada Kahfi untuk berhenti. Kahfi semakin mendekat, dia meletakkan tangan di atas meja kerja. Lantas, jemari meraih dagu Atami. "Terakhir kali, lipstik kamu beraroma vanila. Apakah hari ini masih sama?" "Kenapa Bapak menanyakannya?" Pandangan Kahfi tertuju pada bibir Atami. "Aku ingin merasakannya dengan jelas, rasa vanila itu." Kahfi hanya perlu menggigit permukaan bibir Atami dengan gigi. Membalas perbuatan Atami malam itu. Rasa sakit berkepanjangan sampai Kahfi kesal tiap kali ingin makan. Atami langsung merogoh tasnya dan memberikan liptint berwarna merah miliknya. "Silakan, Pak!" "Apa yang kamu lakukan?" Atami menatap lip tint di tangannya. "Bukankah Bapak ingin mencium aromanya? Saya suka rela memberikan ini untuk Bapak." Kahfi langsung tersenyum sinis. "Jangan sok polos di depanku, Atami. Kamu tahu jelas apa yang aku inginkan." Atami menurunkan lip tint, lantas menyingkirkan jemari Kahfi dari wajahnya. Mata Kahfi menatap dengan tajam, membingkai ekspresi Atami serius. "Berani sekali kamu bicara soal anak padaku. Padahal dicium saja kamu sudah menolak begini," komen Kahfi. "Ini kantor, Pak. Tahu batasan sedikit." Pandangan Kahfi menjadi tertarik. "Jadi, kalau di luar kantor aku boleh cium kamu?" Atami menarik napas sembari tangan membereskan berkas di atas meja. "Bapak tidak ingin cium, tapi ingin membalas gigitan saya waktu itu, kan?" Mendengar tebakan dari Atami. Kahfi langsung membisu dengan mata menatap sedikit terkejut. "Salah," elak Kahfi, "aku benar-benar ingin cium kamu." Pandangan Atami terangkat. Kahfi bukanlah pria yang seperti itu saat memperlakukan wanita, Atami kenal betul. Sementara asisten Rian yang keluar dari pintu divisi sembari membawa tumpukan berkas, langsung menatap heran ke arah Kahfi dan Atami yang mau bicara. Atami sendiri langsung memberi jarak dengan memundurkan tubuh, ketika melihat Rian mendekat. "Selamat pagi, Pak Kahfi," sapa Rian membuat kepala Kahfi menoleh. "Hm." "Ini berkas yang kemarin Bapak inginkan." Kahfi hanya mengangguk kecil, kemudian berjalan pergi. Sepenuhnya memasuki ruang kerja dan tidak kembali lagi untuk mengganggu Atami. Rian sendiri mengikuti Kahfi, tapi sebelum itu Rian meletakkan sereal bar rasa coklat di meja kerjanya. "Isi perutmu dengan ini," ujar Rian pelan. Ekspresi Atami tidak seramah saat bicara dengan Kahfi. "Berikan saja pada orang lain." Atami terlihat tidak senang dengan Rian. Bahkan mengembalikan sereal bar tersebut pada Rian lagi. "Rian!" sebut Kahfi dari ruangan. Terburu Rian langsung meninggalkan Atami dan memasuki ruang kerja Kahfi. Pria tersebut meletakkan tumpukan berkas di atas meja. Mata sesekali melirik pada Kahfi yang mulai membongkar berkas. "Sejak kapan Bapak dekat dengan Atami?" Kahfi melirik sejenak. "Siapa juga yang akrab dengannya?" "Tapi yang saya lihat, Bapak justru dekat dengan Atami." Kahfi langsung menatap pada Rian. Tidak biasanya sang asisten bertanya soal Atami. "Kamu bahas Atami terus, kamu suka dengannya?" Rian tersenyum mendengar tebakan dari Kahfi. "Bukan seperti itu, Pak. Saya hanya heran saja, tidak biasanya Bapak bicara dengan Atami." "Dia sekretarisku." Mata Rian sepenuhnya menatap serius pada Kahfi. Pria ini tidak pernah mengakui Atami sebagai sekretaris, namun hari ini malah sebaliknya. *** "Jadwal pernikahan Kahfi dengan Atami sudah ditetapkan." Intan yang tengah bermain ponsel, langsung menatap pada ibu mertua yang sedang bicara dengan Sinta. Terburu Intan bangun dari duduk dan meletakkan ponsel. Wanita tersebut mencari keberadaan mertua dan kakak ipar. "Ibu ingin menikahkan mereka berdua, memangnya Atami sudah setuju?" tanya Intan penasaran. Maria menatap ke arah Intan dengan angkuh. "Tentu saja setuju, mana mungkin pernikahan diadakan jika kedua belah pihak tidak setuju." Intan langsung meremas tangan dengan kesal. "Apa yang Ibu tawarkan? Sampai Atami berubah pikiran dan mau menikahi mas Kahfi?" Maria membisu begitu mendapat pertanyaan dari Intan. Wanita tersebut tidak ingin memberi tahu, bahwa ada hal yang lebih krisis ketimbang membayar tagihan rumah sakit. Yakni, masalah di keluarga Atami sendiri. "Tawaran kamu terlalu sedikit," sahut Maria. Wanita tersebut tidak peduli jika Intan mengecap Atami matre. Karena Maria tidak akan memberi tahu Intan kebenarannya. Sinta menatap ke arah Intan dengan merendahkan. "Lagi pula, jika dibandingkan. Atami lebih baik dari pada kamu, Intan. Atami juga lebih cantik juga sehat." Intan menatap sengit ke arah kakak ipar yang berani menyinggung secara terang-terangan. Sewaktu ayah Kahfi masih hidup, semua orang di rumah tersebut begitu menghormati Intan. Suara mobil yang memasuki pekarangan rumah, membuat perbincangan mereka terhenti. Intan juga segera berjalan pergi untuk menyambut kepulangan suami. "Mas sudah pulang?" Tangan Intan bersiap mengambil alih tas kerja milik suami. Namun, Kahfi dengan santai melewati Intan begitu saja. Sinta langsung menunjukkan raut menertawakan saat Intan berbalik dan menatap kepergian suami. "Pernikahan kamu sama Atami sudah ditetapkan. Lusa kalian berdua harus libur untuk melakukan ijab kabul," ujar Maria memberi tahu dengan ekspresi senang. Berbeda dengan Kahfi yang langsung mengerutkan dahi. "Lusa? Bukankah itu terlalu cepat?" "Tidak cepat, Fi," sahut Sinta. "Bukankah butuh waktu untuk mendapatkan surat nikah setelah daftar?" Maria menatap sang putra yang terlihat bingung. Kemudian, wanita tersebut mendekat untuk menepuk lengan Kahfi. "Kalian hanya nikah siri, tidak butuh proses serumit itu." "Nikah siri?" tanya Kahfi dengan ekspresi sedikit tidak senang. "Kamu masih menjadi suami dari Intan, lagi pula pikirkan apa yang terjadi jika ayah Intan sampai tahu pernikahanmu dengan Atami?" Kahfi mulai menunjukkan ekspresi kesal. Dia hanyalah bidak catur yang menuruti pemainnya. Tidak bisa bergerak sesuai keinginan sendiri. Alasan Kahfi tetap mempertahankan Intan karena ayah wanita tersebut terlibat perjanjian konyol dengan sang ayah. "Kamu tidak ingin kita jatuh miskin, kan, Fi?" bisik Maria. Benar. Warisan yang sang ayah tinggalkan bukanlah milik Kahfi seutuhnya. Intan juga turut menerima sejumlah warisan yang mampu menopang perusahaan Kahfi agar tetap berdiri. "Lagi pula hanya satu anak, Mas. Setelah itu kalian akan bercerai," Intan ikut bicara. Kahfi tersenyum sinis dengan ekspresi kesal setengah mati. Mereka memperlakukan Atami seperti wanita yang tidak ada harganya sama sekali. "Lucu sekali, tidak ada manusia yang memiliki hati di sini," sindir Kahfi. "Mas, kamu mau ke mana?" tanya Intan heran dengan Kahfi yang keluar rumah. Sinta menarik napas. "Kahfi tentu saja pergi karena ada kamu di rumah ini." Intan melirik pada Sinta dengan kesal. Maria menghela napas dan menepuk lengan Sinta, meminta sang menantu untuk berhenti. "Hubungi pamannya Atami untuk datang ke pernikahan nanti sebagai wali." "Baik, Bu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD