Kantin akan selalu ramai ketika saat memasuki waktu istirahat. Hampir semua meja yang berada di sana terisi penuh oleh mereka yang sedang sibuk beradu dengan makanannya masing-masing.
Keributan mulai tercipta diantaranya, sambil menikmati makanannya ... mereka selingi dengan canda-gurau untuk membangkitkan suasana agar lebih nyaman lagi. Bagi sebagian mereka yang tidak menyukai keramaian maka akan menyisihkan diri ke tempat lain yang lebih sepi dari kantin seperti perpustakan, rooftop atau bahkan hanya akan berdiam diri saja di kelasnya berada.
Saat ini ... Avelyn tengah mencari tempat duduknya dengan makanan yang telah ia bawa. Ia terlihat begitu kebingungan untuk mencari tempat di mana ia akan duduk. Raeyhan sendiri, belum kunjung datang untuk menghampirinya.
Tidak ada satu-pun yang dapat Avelyn kenal selain Raeyhan dan Farlten. Ia sendiri dapat kenal dengan Farlten, karena memang sosok itu adalah target yang harus ia dapatkan. Sedangkan Raeyhan, ia sendiri kenal karena sosok itu lebih dulu memperkenalkan diri kepadanya. Selain itu juga Raeyhan tipikal orang yang Friendly, jadi Avelyn begitu mudah untuk akrab dengannya.
Mata Avelyn terus menjuru kesetiap sudut ruang kantin tersebut, dan ia-pun tersenyum. Dari arah yang cukup jauh, ia dapat melihat sosok Farlten yang tengah makan dengan sendirian. Tanpa menunggu lama lagi, Avelyn kini berjalan ke arah meja makan Farlten itu berada.
“Hai Farlten ...,” sapa Avelyn.
Merasa namanya terpanggil, Farlten sendiri mendongakkan kepalanya, dan melihat siapa orang yang telah memanggilnya. Disaat melihat Avelyn yang telah memanggilnya, ia-pun tidak membalaskan sapaannya, melainkan hanya menaikan alis sebelah kanannya saja.
Avelyn yang mengerti dari gelagat Farlten yang merasa terganggu olehnya, lantas ia-pun berujar, “Maaf telah mengganggu waktunya, karena semua meja makan telah terisi penuh, bolehkah jika aku duduk di sini?” tanya Avelyn dengan senyumnya yang tak pernah luntur ia buat.
Farlten hanya diam begitu saja, ketika Avelyn bertanya kepadanya, ia sendiri malah menyelusuri ruang kantin tersebut melalui tatapan matanya. Setelahnya ia mengangkat kedua bahu.
“Terimakasih telah mengijinkan,” ucap Avelyn, dengan segera mendudukkan dirinya di sana. Padahal Farlten sendiri belum mengiyakan pertayaan dari dirinya tersebut.
Farlten tidak begitu memperdulikan, disaat Avelyn mendudukkan diri di sampingnya berada. Karena meja makan itu punya umum, selagi bangku itu kosong, siapapun berhak untuk duduk di sana.
Sedangkan gelagat tadi yang Farlten berikan hanya ingin memastikan jika ucapan dari Avelyn itu, benar. Karena pada dasarnya juga, Farlten lebih suka makan dengan sendirian.
Awalnya Farlten tidak berniat untuk menuju kantin, tapi tiba-tiba cacing didalam perutnya meronta untuk segera dikasih makan. Alhasil Farlten berbelok masuk ke arah kantin. Farlten kini tengah menikmati tami capcay yang sedang ia kunyah didalam mulutnya saat ini.
Keadaan sekitar yang membuat dirinya merasa terganggu, ia-pun mengeluarkan sebuah ponsel miliknya serta headset yang selalu ia bawa di dalam saku celana seragamnya. Farlten sendiri, tipikal cowok yang tidak menyukai keramaian. Dan mendengarkan musik adalah salah satu caranya untuk sedikit meredakan kebisingan dari orang-orang yang berada di area sekitarnya.
Farlten meneguk minuman kaleng bersodanya, sedangkan Avelyn yang berada di samping kanan masih setia menatap dan menyimak setiap gerakan yang dilakukan oleh Farlten.
“Harusnya setelah makan itu, yang diminum air putih ataupun jus lainnya. Bukan soda!” tegur Avelyn, yang dengan santainya mengaduk bakmie ayam yang telah dipesannya, tapi arah pandangnya tertuju kepada Farlten.
Mendengar ucapan Avelyn yang menurut diri Farlten kini tengah menyindir dirinya. Sosok itu-pun menyampingkan tubuhnya untuk dapat membalas tatapan dari Avelyn.
“Aku tidak butuh komentarmu!” Farlten menatap Avelyn dengan tatapan intimidasinya.
Avelyn meneguk salivanya, “Aku hanya mengingatkan, agar makanan yang kamu makan dapat melansirnya dengan lancar.”
“Aku lebih paham daripada kamu. Jadi jangan so' tau!” Setelah mengucapkan itu, Farlten kembali menghadap pada makanannya. Ia-pun menggeser bangkunya untuk sedikit manjauh dari Avelyn. Tidak lupa juga ia pasang headset pada kedua telinganya, yang tadi sempat tertunda karena teguran dari Avelyn. Sambil mendengarkan musik yang mulai melantun, Farlten kini melanjutkan kembali acara makannya.
Avelyn memanyunkan bibirnya, lantas ia-pun memutarkan bola matanya dengan sedikit mengedikan bahu. Berusaha untuk tidak mengambil hati atas ucapan tajam dari Farlten, kini Avelyn memulai menyantap makanannya.
Ditengah-tengah asiknya, mereka berdua menyantap makanannya masing-masing, seorang cowok berlari menghampiri meja itu dengan napasnya yang memburu.
Cowok itu adalah Raeyhan. Dengan gesitnya Raeyhan menyambar minuman Avelyn dan meneguknya hingga tandas dan tak tersisa. Avelyn hanya bisa cengo di tempatnya, menyaksikan minuman yang malang miliknya, telah habis diminum oleh Raeyhan.
Avelyn merasa dongkol terhadap Raeyhan karena telah menerobos mengambil minumannya dengan lancang, wanita itu terus menggerutu tidak jelas dan itu hanya dapat didengarkan oleh dirinya sendiri. Saking kesalnya ia terhadap Raeyhan, Ia-pun mencubit pundak Raeyhan karena tidak terima minumannya direnggut paksa seperti itu.
“Awww ... sakit! Avelyn kamu apa-apaan sih, main cubit segala. Sakit tau!” ujar Raeyhan.
“Biarkan saja, itu balasan dari aku karena kamu telah merenggut minumanku,” ucap Avelyn.
“Baru saja minumanmu yang aku renggut, bagaimana jika keprawananmu yang aku renggut, bisa-bisa aku langsung dibunuh olehmu.”
Plakk ... Avelyn melayangkan pukulannya pada lengan kanan Raeyhan.
“Bisa tidak! Kamu jaga ucapanmu, jangan mengasal saja kalau bicara.” Avelyn memberikan tatapan tidak sukanya kepada Raeyhan.
“Iya, iya aku minta maaf.”
Otak Raeyhan selalu m***m, memang tidak berbeda jauh dengan Avelyn. Hanya saja, Avelyn lebih tau mana keadaan yang mendukung atau tidak untuk membahas hal semacam itu. Sedangkan Raeyhan, ia akan mengucapkan dengan gaya santainya tanpa memperdulikan keadaan di sekitar.
“Gantikan minuman aku! Kamu pikir aku akan makan tanpa minum, jelas itu tidak akan bisa. Cepat sana, pesankan minumanku.” Avelyn menyuruh Raeyhan.
“Iya, iya nanti. Makan saja dulu, nanti juga akan aku gantikan minumannya. Tapi, ijinkan aku rehat sebentar. Kamu tidak lihat! Aku begitu keringatan habis lari.”
“Memangnya kamu habis darimana? Aku tungguin kamu dari tadi, tapi tidak muncul-muncul.”
“Aku habis jadi sasarannya Pak Ikhsan, aku disuruh mengangkat buku-buku di perpustakan dan membereskannya,” tukas Raeyhan.
“Hahaaa ... terus kenapa kamu tidak tolak saja?”
“Tidak mungkin aku tolak, nanti nilaiku dalam mata pelajarannya akan mendapat nilai C, dan bisa-bisa, aku akan dimarahin habis-habisan oleh orang tuaku.” Seburuk-buruknya Raeyhan dalam berperilaku, ia tidak akan mungkin menyia-nyiakan nilainya. Karena kedua orang tuanya selalu mengecap dirinya harus mendapatkan nilai yang perfeksionis.
Avelyn berganti menjadi mengelus puncak kepala Raeyhan layaknya seperti anak kecil. “Utu ... utuuu ... sabar ya sayang,” ujar Avelyn meledek.
Raeyhan menganggukan kepalanya memperagakan seperti anak kecil, “Nenen dulu dong Mah,” balas Raeyhan dengan puppy eyes-nya. Dan itu langsung mendapatkan jitakan dari Avelyn.
“Jijik banget!” Avelyn mengusapkan tangannya keseluruh tubuh, mengapresiasikan bahwa dirinya tengah geli dengan lontaran yang dikeluarkan dari mulut Raeyhan.
“Hahaaa ....” Raeyhan hanya bisa tertawa melihat raut wajah Avelyn yang tiba-tiba berubah menjadi ketakutan dan waspada, tapi menurut Raeyhan itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Ingin rasanya Raeyhan memasuki dan mengecap Avelyn sebagai miliknya.
“Sudahlah ... berhentilah untuk tertawa. Dan cepat pesankan aku minuman. Karena aku ingin makan sebelum makanannya ini dingin,” ungkap Avelyn.
“Iya, iya ... baiklah aku akan pesankan.”
“Sekarang!” tegas Avelyn.
“Iya ... ini juga aku akan bangkit.” Raeyhan-pun pergi meninggalkan Avelyn untuk mengganti minuman Avelyn yang telah ia tandas, begitupun ia juga akan memesan makanan untuk dirinya sendiri makan.
Setelah Raeyhan pergi dari meja itu, Avelyn kembali mengaduk bakmienya, rasanya sebentar lagi mungkin akan dingin. Avelyn kembali menuangkan sambalnya ke dalam mangkok tersebut.
Saat Avelyn akan memasukan bakmienya ke dalam mulut, ia sempat melirik Farlten yang begitu anteng memakan tami capcaynya dengan headset yang terpasang lengkap pada kedua telinganya.
Avelyn menguyah makanan sambil terus tersenyum dengan arah pandang yang selalu tertuju pada Farlten. Hingga ia tidak sadar jika Raeyhan sudah berada dihadapannya dengan makanan dan minuman yang telah ia bawa.
Merasa tidak mendapat respon baik dari Avelyn, Raeyhan-pun mendekatkan gelas minuman itu ke wajah Avelyn dengan menekankan pada bagian jidatnya.
“Haduh ...,” ujar Avelyn.
“Makanya jangan bengong lihatin cowok lain, aku cemburu loh,” ungkap Raeyhan.
“Kenapa mesti begitu?” tanya Avelyn.
“Sudahlah! Cepat makan dan habiskan makananmu, bentar lagi waktu jam istirahat akan habis,” Raeyhan berusaha mengalihkan pembicaraan.
Avelyn mengangkat kedua bahunya dengan menghela napasnya, lalu ia-pun kembali menyantap makanannya tersebut.
Dalam pribadi Raeyhan, ia tidak tau apakah dirinya telah mulai jatuh cinta atau tidak, kepada sosok yang ada dihadapannya saat ini, padahal ia baru saja kemarin mengenalnya. Dimata Raeyhan, Avelyn sedikit berbeda dengan para cewek yang ia temuinya selama ini.
Awalnya, ia-pun beranggapan bahwa Avelyn hanya cewek yang pada umumnya hanya ingin memamerkan kecantikan dengan body-nya yang mumpuni, dan ia mendekati Avelyn juga hanya sekedar untuk menggoda dan mempermainkannya saja. Tapi setelah waktu yang telah dilewati dengan banyak obrolan dan candaan dengan Avelyn, ia jadi merasa nyaman dan ingin selalu berada dekat dengannya.
°°°°°
Ditengah waktu istirahat yang akan segera berakhir, diambang pintu kantin sekumpulan siswi yang terdiri dari empat orang itu, yang Avelyn sendiri tidak tau namanya siapa. Mereka berjalan dengan gaya angkuhnya menuju sebuah meja makan seorang siswi berkacamata, yang tengah menyantap makanan bersama dengan temannya.
Brakkk ... seorang siswi dengan makeup-nya yang begitu tebal melempar buku-buku itu dengan keras ke arah meja tersebut, tempat di mana sosok siswi yang berkacamata itu makan. Hingga kuah yang berada didalam mangkuk tersebut seperempatnya tumpah pada meja.
Kedua siswi yang sedang makan di meja itu tersentak, seorang siswi yang berkacamata mengangkatkan wajahnya untuk melihat siapa gerangan yang telah melakukan hal itu kepadanya. Setelah dilihat, dan mengetahui siapa orangnya, ia-pun langsung menundukkan kembali wajahnya dengan membenarkan kacamatanya yang mungkin ... miring.
Kedua penghuni meja makan itu tidak ada yang berani menegur sosok angkuh yang telah mengganggu acara makannya.
“Kamu dengar! Apa kesalahanmu saat ini?” ujar siswi angkuh itu dengan menyilangkan tangan di depan dadanya.
Siswi berkacamata itu hanya menggelengkan kepalanya saja, tanpa ada suara apapun.
“Lihat ini!” Siswi angkuh itu menarik rambut siswi berkacamata untuk melihat sebuah buku dengan banyak coretan salah dengan warna merah di dalamnya. “Kamu lihat! Kenapa nilaiku jadi angka lima seperti ini? Kamu ingin aku dimarahi oleh kedua orang tuaku, karena hanya mendapatkan nilai yang seperti ini?!” Siswi angkuh berucap dengan penuh penekanan disetiap katanya.
“Ti-ti tidaak,” balas siswi berkacamata seperti ketakutan.
“Halahh ... bohong kamu, saya tau kamu mengerjakannya hanya asal-asalan saja. Jika tidak, mana mungkin nilai yang aku dapatkan seperti ini.”
“Aku tidak berbohong, aku benar-benar mengerjakannya dengan sungguh-sunguh, tanpa ada yang disalahkan ataupun dilewatkan,” ungkap siswi berkacamata.
“Sudahlah Lev, langsung beri pelajaran saja,” ujar teman dari siswi angkuh.
Siswi yang dipanggil Lev itu, langsung menarik rambut dari siswi berkacamata hingga ke arah belakang, lalu sosok Lev itu, menekan tengkuk leher dan mendorongnya kepalanya hingga menangkup sebuah mangkuk bakso dihadapannya, alhasil wajah dari sosok siswi berkacamata itu tenggelam sempurna di dalam mangkuk tersebut.
Panas dan perih menjalar keseluruh wajah dari siswi berkacamata itu. Tapi, ia sendiri tidak dapat melawan sosok Lev yang kini tengah menganiaya dirinya. Siswi berkacamata itu hanya bisa menangis dalam diam begitu saja. Banyak orang yang berada di kantin tersebut, tapi tidak ada satupun yang berani menolongnya, begitupun dengan teman akrabnya yang tadi tengah makan bersama dengannya.
“Ini hukuman buat kamu, karena telah bermain-main denganku!” ujar Lev.
Lev, mengangkat kembali wajah siswi yang berkacamata itu. Lalu jus jeruk yang mungkin milik dari siswi berkacamata, ia tuangkan dengan begitu saja ke-wajah siswi berkacamata. Lev, menghilangkan kuah bakso yang menempel pada siswi berkacamata, lalu membenamkan kembali wajah itu, ke-dalam kuah mangkuk tersebut, dan ditarik kembali. Lantas-berakhir dengan sebuah tamparan keras pada pipi, hingga menciptakan bekas memar merah yang luar biasa pada wajah cewek berkacamata tersebut.
Seusai Lev menampar siswi berkacamata, ia beralih mengambil air mineral milik teman dari siswi berkacamata. Lev membuka tutup dari botolnya, sang pemilik air mineral tersebut menutup kedua matanya, karena merasa takut jika dirinya ikut terseret dalam aksi mereka.
Sudut bibir kanan Lev tersungging, ia tersenyum kecut melihat teman dari siswi berkacamata itu, ia berniat mengambil minuman tersebut hanya untuk mencuci tangannya, karena bekas menempel wajah siswi berkacamata dalam aksi menamparnya tadi.
Lev mengeluarkan semua isi air mineral itu untuk mencuci tangannya. Botol itu telah kosong, lalu Lev kembali mendekati siswi berkacamata itu, lantas Lev-pun memukulnya dengan botol yang sudah kosong itu berkali-kali.
Siswi berkacamata itu hanya bisa meratapi nasibnya yang tidak beruntung hari itu. Ingin rasanya ia melawan tapi ia tidak punya kelebihan, selain kepintarannya. Ia bisa masuk ke sekolahnya saat ini hanya karena dengan bermodalkan beasiswa, sedangkan lawan yang ada dihadapannya itu adalah anak dari donatur utama beasiswa tersebut, bisa saja ... jika ia melawan maka bisa dipastikan beasiswanya akan terancam.
Avelyn tidak bisa berlama-lama lagi menyaksikan kesengsaraan itu lebih lama lagi. Ia tidak tega melihat orang lain yang tidak bersalah harus dianiaya seperti itu. Avelyn sudah mengepalkan tangannya, ia-pun berdiri dari bangkunya dan akan beranjak dari tempatnya berada, tapi tangannya ditahan oleh Raeyhan.
“Ada apa? Kenapa kamu menahanku? Lepaskan aku!” ujar Avelyn.
“Jangan ke sana, karena itu akan membahayakanmu, dan kehidupanmu sekolah ini akan terancam. Bukankah kamu bilang ingin hidup dengan tenang di sekolah ini?”
Avelyn mencerna baik-baik omongan dari Raeyhan, apa yang cowok itu katakan ada benarnya. Tapi, ia sendiri tidak bisa melihat orang lain yang tidak bersalah diperlakukan seperti itu.
Meskipun ia sering melihat penganiayaan yang dilakukan oleh Theodor kepada para targetnya, tapi konfliknya saat ini berbeda.
Avelyn menarik napas dalamnya, “Siswi itu benar-benar bodoh, kenapa tidak membalasnya, ohh astaga ... aku tidak bisa diam lagi. Lepaskan aku!” Avelyn menarik paksa tangannya sendiri dari genggaman Raeyhan.
“Avelyn! Tolong mengertilah keadaan ini!” tegas Raeyhan.
“Kalau bukan aku siapa lagi? Semua orang di sini hanya diam dan menyaksikan begitu saja.”
Brakkkk ....
Farlten memukul mejanya dengan keras, ia sudah muak dengan keadaan yang sudah seperti itu. Dengan rahang tegas, tangannya yang sudah mengepal, dengan kasar ia-pun mencabut headset yang terpasang lengkap di kedua telinganya dan menyimpannya didalam saku celana seragam bersamaan dengan ponselnya.
Farlten bangkit dari tempat duduknya dan menggeser bangkunya dengan kaki kiri, ia melakukan hal itu dengan begitu keras hingga bangku tak berdosa itu terpelanting jauh ke lantai. Kini Farlten berjalan lurus dengan sorot mata yang begitu tajam, didalam diri Farlten seperti ada sesuatu yang ingin diluapkan.
Semua penghuni yang ada di kantin tersebut waspada, sesuatu hal besar mungkin akan terjadi selanjutnya. Suasana kini mulai menjadi runyam dan lebih menegangkan.