Aku tidak tidur semalaman menjaga Diana dan Erna. Tahu-tahu, matahari sudah terbit. Untungnya, walaupun aku belum terbiasa tidak tidur, tapi aku tetap bisa menjaga kesegaranku, walaupun agak sulit. Aku bisa merasakan adanya aura membunuh yang tersebar dimana-mana. Jaraknya cukup dekat. Hanya saja, aku tidak yakin karena bisa jadi aku sedang kacau karena kurang tidur. Aku membangunkan Diana untuk memastikan.
"Apa yang kamu rasain?" Tanyaku.
"Kehangatan pak. Tidurku juga nyenyak." Kata Diana sambil tersenyum manis.
"Bukan itu woi! Kamu ngerasa ga kalo banyak aura-aura membunuh yang tersebar dimana-mana?" Tanyaku.
Mendengar itu, Diana langsung terkesiap.
"Betul pak, nggak salah lagi." Kata Diana sambil melihat ke segala arah.
"Diana." Kataku.
"Iya pak?" Kata Diana sambil melihat kearahku.
"Apa kamu mau bertarung dengan telanjang begitu?" Tanyaku.
"Oh. Maaf pak." Kata Diana. Dengan santainya ia berjalan ke arah pakaiannya diletakkan, dan memakainya kembali dengan santai. Diana ini memang terkenal sangat kalem dan tenang. Aku sangat menyukai sifat kalem dan tenangnya itu. Dia tidak pernah panik dalam menghadapi situasi apapun, baik itu situasi yang menyangkut pekerjaan kantor, maupun situasi yang menyangkut urusan hidup dan mati.
Diana sudah selesai memakai pakaiannya dan merapikan dirinya sendiri. Kemudian ia membangunkan Erna dengan kakinya.
"Bangun bu! Kita diserang." Kata Diana sambil menendang pelan kakinya Erna.
Erna langsung bangun mendapat tendangan pelan dari Diana.
"Apaan sih kamu tendang-tendang? Nggak sopan." Kata Erna.
"Udah diem. Masih bagus aku bangunin. Kalo nggak mao ditendang, bangun sendiri makanya. Suami nggak tidur, bukannya ditemenin malah tidur dengan enaknya." Kata Diana.
"Udah-udah Din. Daripada berantem ga perlu, mending siapkan fisik dan mental." Kataku.
"Dengerin tuh!" Kata Erna.
"Kamu juga. Daripada ngompor, mendingan siap-siap." Kataku.
Aku memanjat pohon yang cukup tinggi, untuk mendapatkan gambaran tentang posisi kita sekarang, dan kemana kita harus maju. Hmmm, rupanya posisi kita sekarang jauh dari fasilitas utama. Pulau ini ternyata dikelilingi oleh tebing yang cukup tinggi. Ombak sekitar pulau ini pun sangat deras. Jika orang terjatuh dari pulau ini ke laut, walaupun mereka perenang yang handal aku ragu mereka bisa selamat. Dari atas, aku bisa melihat kumpulan prajurit berlari-larian. Hmmm, aku yakin mereka itu manusia, bukan robot. Kecuali jika Myth sudah menemukan teknologi untuk membuat robot yang fisiknya betul-betul mirip dengan manusia. Tunggu, arah mereka berlari-larian itu jelas sekali. Mereka tidak berlari secara menyebar, melainkan hanya menuju satu arah saja. Apakah mereka menemukan sesuatu untuk dikejar? Aku turun kebawah.
"Erna, buruan naik ke punggungku. Bawa juga pedang nodachi-ku itu. Diana, kita sembunyi dulu diatas pohon." Kataku.
Erna langsung naik ke punggungku, sementara Diana langsung memanjat pohon dengan lincahnya. Gerakan tubuhnya sangat lentur dan bagus sekali. Setelah ia sampai diatas, aku menyusulnya sambil menggendong Erna di punggungku. Dalam kurang dari semenit, kami berdua sudah sampai diatas pohon. Kami mengamati pergerakan para prajurit itu. Mereka berhenti di satu titik. Mereka seolah mengerumuni suatu area yang tertutup oleh dedaunan pohon sambil mengarahkan senapan mereka ke area itu. Oh tidak, jangan-jangan salah satu dari Abby, Fera, atau Yuna. Dua dari prajurit itu mulai maju ke area itu sampai akhirnya mereka menghilang dari pandanganku karena tertutup dedaunan. Tidak lama kemudian, mereka kembali, kali ini diikuti oleh seseorang yang ternyata adalah... Fera. Sial, aku tidak percaya mereka berhasil menangkap Fera. Bukannya mereka berhasil menangkap Fera, tapi sepertinya Fera sengaja menyerahkan diri. Tentu saja, dikeroyok oleh sekumpulan prajurit yang memakai senapan, dan dia hanya sendirian. Dia tidak mungkin menang menghadapi mereka. Mungkin menyerahkan diri adalah pilihan paling tepat. Tenang, tenang Jent. Aku tidak boleh panik. Lebih baik aku menyusun strategi untuk menyelamatkannya. Aku melihat serempak pasukan itu kembali bersama-sama kearah fasilitas utama. Aneh, kenapa mereka kembali secara serempak ya? Pasti penyebaran para prajurit itu ditujukan untuk menangkap kami. Kenapa tidak cukup beberapa orang saja yang membawa Fera ke fasilitas utama, sementara yang lainnya mencari kami? Selain itu, harusnya mereka mengerahkan para prajurit itu dari kemarin, disaat kami semua sedang lelah-lelahnya. Aku mulai berpikir dan mengingat-ingat kejadian-kejadian yang sudah terjadi. Saat kapal yang kami tumpangi kemarin itu mau "mendarat darurat", kami dikelilingi oleh pesawat-pesawat... Saat aku terjun parasut, ada dua robot yang langsung aku lumpuhkan... Berjalan sebentar, ada satu robot yang dilumpuhkan Diana... Saat Diana mencari makan di hutan, tidak ada satupun robot... Tidak ada binatang sama sekali di hutan ini... Pagi ini, prajurit manusia yang bukan robot dikerahkan untuk menangkap kami... Aih, dipikir-pikir, aku menjadi semakin bingung dengan semua ini. Baiklah, lebih baik aku fokus saja dengan apa yang ada didepanku, yaitu menolong Fera. Tunggu dulu... Mereka semua membawa Fera dengan berjalan. Artinya, dengan mengikuti mereka, aku akan bisa mencapai fasilitas utama dengan melewati jebakan seminimum mungkin, karena jalan yang mereka lewati pastilah jalan yang mulus. Baiklah, ini kesempatan untuk mencapai fasilitas utama dengan jalan yang cukup aman. Saat sudah sampai di fasilitas utama, aku tinggal membuat kekacauan bersama dengan Diana untuk menolong Fera. Aku cukup yakin melawan prajurit pasukan yang berjumlah puluhan itu jika aku bersama dengan Diana dan Fera. Kemudian, aku menjelaskan rencanaku kepada Diana dan Erna. Sepertinya mereka pun menyetujui. Kami segera menuruni pohon, dan mengikuti mereka dengan menjaga jarak sekitar dua ratus meter.
Sudah sekitar lima belas menit kami berjalan. Situasi kami tidak menguntungkan. Perjalanan ke fasilitas utama, kalau dari tempat tadi kutarik garis lurus, kutaksir sekitar dua belas kilometer, yang artinya sekitar tiga-empat jam jika ditempuh dengan jalan kaki. Tapi daritadi mereka tidak berjalan secara lurus, berarti lebih dari dua belas kilometer. Yah, dua belas kilometer aku hanya mengira-ngira sih. Semoga saja aku tidak salah. Aku dan Diana mungkin sudah terbiasa dengan berjalan kaki selama berjam-jam non-stop dengan tetap mempertahankan energi tubuh kami. Tetapi lain halnya dengan Erna. Aku lihat ia mulai tidak kuat berjalan kaki. Minumnya pun sangat banyak karena energinya terus terbuang untuk berjalan kaki, sehingga persediaan air kami semakin menipis. Untungnya, di tengah-tengah perjalanan kami, kami menemukan sumber air, sehingga aku bisa menggunakannya untuk mengisi persediaan air kami. Walaupun persediaan air kami kembali seperti semula, tetapi tidak mengurangi keletihan Erna. Sesekali, kami harus berhenti selama beberapa menit karena Erna harus istirahat. Ini gawat, jarak kami dan Fera semakin tertinggal jauh. Aku melihat sekeliling untuk mencari pohon yang besar. Ketika aku menemukannya, aku mengajak Erna ke tempat itu dan menyuruhnya bersandar di pohon.
"Kamu disini aja sama Diana. Aku harus ngikutin mereka." Kataku kepada Erna.
"Diana, kamu tolong jaga dia. Kalo kamu ga suka, kamu ga perlu ngomong sama dia, cukup liatin dia aja. Aku akan tinggalin jejak untuk kamu nanti ngikutin." Kataku kepada Diana.
"Kita tinggalin dia aja disini, pak. Aku khawatir sama bapak." Kata Diana.
"Diana. Aku mohon untuk sekali ini saja, kumohon tinggalah disini untuk menjaga dia. Dia tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, dia tetap istriku." Kataku kepada Diana.
"Kalo gitu mao bapak, aku akan lakuin pak. Aku akan jaga dia dengan nyawaku." Kata Diana kepadaku.
Aku terharu. Sampai segitukah Diana ingin melindunginya hanya karena aku menyebut Erna istriku. Aku jadi yakin bahwa Diana pun juga mencintaiku dengan sepenuh hatinya. Andai aku boleh berpoligami, dimana aku boleh mengambil Yuna, Fera, dan Diana sebagai istri-istriku, mungkin duniaku akan indah. Aaahh, sudah-sudah... Bukan saatnya memikirkan itu, toh itu tidak akan terjadi. Aku meninggalkan pedang nodachi-ku ke tempat Erna.
"Jaga dirimu." Kataku seraya menyerahkan pedang nodachi-ku kepada Erna.
Erna tersenyum dengan sangat lembut melihat perlakuanku. Ia memajukan bibirnya untuk mencium bibirku, tapi aku menghindar. Kemudian aku berjalan tanpa menoleh kebelakang sedikitpun, meninggalkan Diana dan Erna. Aku berjalan cukup cepat, dengan tujuan memperpendek jarak antara aku dan Fera. Tidak lupa juga, aku menggores pohon-pohon untuk meninggalkan jejak bagi Diana. Setelah sekitar lima belas menit aku berjalan cepat, akhirnya aku berhasil mengembalikan jarakku dan Fera seperti semula. Kulihat dari kejauhan, Fera masih berjalan dengan normal. Syukurlah, artinya Fera tidak mengalami dehidrasi atau letih yang berlebihan. Prajurit-prajurit yang mengawal Fera sepertinya mulai keletihan, terlihat dari irama jalan mereka yang lama-kelamaan mulai tidak teratur. Ternyata hanya prajurit kacangan saja yang diutus untuk menangkap kami. Eh tunggu, aku yakin Fera pasti menyadari bahwa mereka itu hanya prajurit kacangan. Kenapa dia tadi harus menyerah ya? Tunggu, mungkinkah Fera sengaja menyerah dengan harapan bahwa seseorang akan melihatnya, dan berpikiran sama sepertiku? Tidak, rasanya terlalu naif jika dia berpikiran begitu. Kemungkinan yang paling besar adalah, dia sudah tahu ada seseorang didekatnya. Kemudian, dia sengaja menyerahkan dirinya, agar orang itu bisa mengikutinya sampai fasilitas utama. Berarti, kemungkinan Abby atau Yuna ada didekat sini. Tapi percuma saja mencari mereka, karena aku yakin mereka pasti menyembunyikan hawa keberadaan mereka, seperti yang aku lakukan sekarang. Baiklah, semoga saja kita bertemu di tengah jalan. Setelah sekitar dua puluh menit berjalan, akhirnya salah satu prajurit itu tumbang juga karena terlalu letih. Yang lainnya pun juga ikut mendudukkan diri mereka di tanah. Aku bisa melihat Fera memutar badannya untuk melihat keadaan mereka, dan ia langsung memasang tampang tidak senang. Aku tahu Fera, kamu pasti berpikir,"Prajurit kacangan, bisa-bisanya aku menyerah pada kalian.". Kemudian, Fera pun ikut duduk guna mengistirahatkan tubuhnya. Dia terlihat berbicara kepada salah satu prajurit. Prajurit yang diajaknya berbicara itu langsung menodongkan senapan ke leher Fera. Ini pasti si Fera mengatakan yang aneh-aneh. Walau ditodong senapan di lehernya, Fera tidak terlihat gentar sama sekali. Malah beberapa detik kemudian, dia langsung menangkap ujung senapan itu dan menyingkirkannya dari lehernya, kemudian ia melompat salto kebelakang prajurit itu, lalu mencekik prajurit itu dengan rantai borgol yang mengikat kedua pergelangan tangannya. Aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan, tapi terlihat satu prajurit berdiri dari istirahatnya, dan pergi. Lalu, Fera melepaskan prajurit yang tadi dicekiknya. Beberapa menit kemudian, prajurit yang tadi pergi telah kembali dengan membawa sesuatu dan menyerahkannya kepada Fera. Fera mengambil benda itu, yang ternyata adalah daun yang dibentuk seperti piring, dan ia terlihat meminum isi dari daun itu. Ya ampun, aku tahu sekarang apa yang terjadi. Jadi, Fera menyuruh prajurit yang tadi dicekiknya itu untuk mengambilkan dia air. Tapi prajurit itu tidak mau. Merasa direndahkan harga dirinya, prajurit itu menodongkan senapan ke leher Fera. Lalu Fera melakukan perlawanan-perlawanan itu sampai akhirnya berhasil mencekik leher prajurit itu. Mungkin sambil mencekiknya, dia memberitahu prajurit lain bahwa dia akan mematahkan lehernya jika tidak ada yang mau mengambilkan dia minum. Mendengar itu, prajurit yang mengambilkan daun itu langsung pergi dan mengambilkan air untuk Fera. Heh heh heh, way to go, my dear Fera.
Setelah beberapa lama, prajurit itu mulai menyandarkan diri mereka di pohon dan tertidur. Hmmm, sepertinya para prajurit itu sangat kelelahan. Apakah sebaiknya aku menolong Fera sekarang? Tidak, lebih baik kutolong dia sewaktu sudah mendekati fasilitas utama. Mumpung mereka tertidur, lebih baik aku pun memulihkan tenaga dengan tidur sebentar, berhubung semalam aku tidak tidur sama sekali. Fera pun aku lihat juga merebahkan dirinya di tanah, dan sepertinya tidur juga. Aku menyandarkan diriku di salah satu pohon besar. Rasanya nikmat sekali. Tidak tidur semalaman membuatku cukup letih, sehingga pohon besar ini betul-betul menjadi sahabat baikku dalam mengurangi rasa letihku.
Aku tertidur selama satu jam. Aku dibangunkan oleh pergerakan aura Fera yang semakin menjauh. Jadi, mereka mulai bergerak lagi ya. Ketika aku membuka mataku, Diana dan Erna sudah ada didepanku. Aku hanya tersenyum kepada Diana, dan Diana pun juga tersenyum kepadaku. Aku sama sekali tidak menoleh ke Erna. Kami pun kembali berjalan mengikuti Fera. Kalau sudah kuhitung-hitung, sudah sekitar tiga jam total perjalanan yang sudah ditempuh. Harusnya tidak lama lagi, kami akan mencapai fasilitas utama. Fera dan para prajurit yang mengawalnya masih berjalan di depan. Saat kami sedang berjalan normal seperti biasa, tiba-tiba aku mendengar samar-samar suara. Suara seperti "Klik".
"Suara apa itu Diana?" Tanyaku.
"Suara apa pak? Aku tidak dengar suara apa-apa." Kata Diana.
Apakah cuma perasaanku saja? Lalu, samar-samar kudengar suara seperti sesuatu sedang melesat. Asal suara itu tepat diatas kami, dan sepertinya menuju kearah kami. Aku langsung refleks menghindar ke kiri, sementara Diana juga refleks menghindar ke kanan. JLEB... suara sesuatu menancap ke tanah. Aku segera melihat apa yang baru saja menancap ke tanah. Ya ampun... itu kan pisau lempar yang biasa digunakan oleh para ninja di jepang. Pisau yang bentuknya seperti belah ketupat, dengan gagang diujung salah satu sudutnya. Aku segera melihat keatas untuk melihat apa yang melontarkan pisau itu. Diatas pohon tepat diatas kami berdiri, aku melihat sebuah alat yang bermekanisme seperti ketapel. Dua batang besi yang dihubungkan dengan tali. Bagaimana mungkin ketapel itu bisa menembak sendiri tanpa ada yang mengoperasikannya? Memang terlalu aneh untuk disebut kebetulan, karena posisi pisau menancap di tanah itu pas dan rapi sekali. Hmm, perasaanku menjadi tidak enak. Tapi apa boleh buat. Aku tidak punya waktu untuk membongkar mekanisme dibalik itu karena Fera pun juga prioritas utamaku. Mau tidak mau, aku harus menganggap pisau yang terlontar itu sebagai kebetulan. Kami kembali berjalan mengikuti Fera dan para prajurit itu. Untungnya, sepanjang perjalanan menyusulku tadi, Diana dan Erna juga mencari dedaunan dan jamur yang bisa dimakan, dan mendapatkannya dalam jumlah yang cukup. Kami makan sambil berjalan mengikuti mereka. KLIK... Kembali kami mendengar suara yang sama seperti tadi. Aha, suara itu adalah suara pemicu pisau yang terlontar itu, tidak salah lagi. Aku melihat sekeliling dengan seksama untuk mengetahui arah pisau akan terlontar.
"Ada apa pak?" Diana pun juga ikut menjadi siaga.
"Kamu ga denger Din suara itu?" Tanyaku dengan heran.
"Nggak pak, ada suara apa?" Tanya Diana sambil melihat sekelilingnya dengan seksama.
Hmmm, apakah itu artinya indera pendengaranku lebih tajam dari Diana?
"Ss.. saayaangg... Diaanaa..." Kata Erna dengan terputus-putus.
Damn, apakah Erna terkena pisau. Aku menoleh kearahnya untuk melihat apa yang terjadi. Terlihat Erna sedang gemetar sambil menunjuk kearah belakangnya, yang memang luput dari pandanganku. Saat aku melihat kearah yang ditunjuk oleh jari telunjuk Erna... Ya ampun, aku melihat sebuah senapan berondong keluar dari salah satu pohon, hingga akhirnya memposisikan dirinya secara otomatis mengarahkan moncongnya kearah kami. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari sambil menarik Erna untuk menghindari moncong senapan berondong itu. Diana pun juga ikut berlari. TRRRTT TRRRRTTT TRRRRTTT TRRRTTT. Senapan berondong itu mulai menembak sendiri, mengikuti kearahku berlari. Sepertinya Diana menyadari bahwa senapan berondong itu mengincarku. Maka dia langsung berlari kearah senapan berondong itu, dan menendang senapan berondong itu hingga terlepas dari pohon. Senapan berondong itu berhenti menembak ketika sudah terlepas dari pohon. Setelah itu, aku mendekati pohon itu dengan seksama, sampai akhirnya aku sampai didepan pohon itu. Aku melihat senapan berondong di tanah itu, yang ternyata terhubung dengan pohon itu melalui suatu kabel, yang kini sudah putus akibat ditendang oleh Diana. Aku mencoba menelusuri ujung dari kabel yang tertanam di pohon itu. Tidak bisa kutarik. Kabel itu tertanam didalam pohon, dan sepertinya terhubung dengan sesuatu diatas pohon itu. Aku memanjat pohon itu, hingga akhirnya disuatu ranting yang besar dibagian atas pohon itu, aku melihat sebuah kabel yang sepertinya merupakan penghubung antara senapan berondong itu. Aku mendarat di ranting itu, dan mengikuti arah kabel itu. Kabel itu berujung pada sebuah IC dan kamera. Kameranya betul-betul sulit terlihat mata karena terkamuflase dengan warna ranting pohon. Aku mencabut IC dan kamera itu, dan menuruni kembali pohon besar itu.
Kini, aku sudah berada di tanah. Aku menunjukkan IC dan kamera itu kepada Diana.
"Apa ini menurut kamu, Din?" Tanyaku.
Diana mengambil kamera dan IC itu. Ia lalu membongkar kamera itu, dan menunjukkan sesuatu kepadaku, yang aku kenali adalah sensor pergerakan.
"Mekanismenya akan bekerja jika ada sesuatu yang bergerak, pak." Kata Diana.
"Kenapa tadi saat para prajurit dan Fera lewat, mekanisme nya tidak bekerja?" Tanyaku.
Diana hanya diam saja, sepertinya ia kebingungan menjawab pertanyaanku. Memang ini cukup membingungkan. Apakah para prajurit itu mempunyai alat untuk menghidupkan/mematikan mekanisme ini? Dibandingkan dengan hipotesa itu, aku lebih mencurigai dengan IC yang terhubung dengan kamera itu.
"Diana, masih aktif?" Tanyaku.
Diana berpikir sebentar, kemudian ia memahami maksudku. Ia mengeluarkan smartphone unik miliknya. Kenapa unik, karena smartphone itu sudah terinstal dengan kode assembly. Kode assembly adalah kode komputer yang cukup mendekati bahasa mesin yang dipahami oleh komputer. Aku dan Diana dulu pernah meng-handle proyek untuk Hacker Cina, yang memungkinkan untuk mengubah bahasa mesin menjadi kode assembly yang sudah dioptimalkan. Bahasa mesin sangat sulit dipahami, tetapi kode assembly lebih bisa dipahami, walaupun agak sulit juga. Diana segera menghubungkan IC tersebut ke smartphone nya. Ia langsung meretas sistem keamanan dari IC tersebut, dan mengakses bahasa mesin yang ditanamkan dalam IC tersebut. Setelah berhasil mengaksesnya, ia langsung mengaktifkan sistem yang dulu pernah kami buat untuk Hacker Cina itu, dan dalam sekejap, kode assembly itu sudah tertulis di layar smartphone milik Diana. Diana membaca kode assembly itu untuk memahami apa yang terkandung dalam IC tersebut. Tampaknya ia cukup kebingungan dalam membacanya.
"Gimana Din?" Tanyaku.
"Jadi IC ini membaca gambar yang ada di kamera, pak. Jika di kamera ada sesuatu yang bergerak, IC ini melakukan suatu proses scanning. Tapi aku nggak ngerti algoritma yang digunakan untuk scanning ini." Kata Diana sambil menyerahkah smartphone miliknya.
Aku mengambil smartphone miliknya dan mencoba membaca kode assembly yang tertera di layar smartphone-nya. Ya ampun, aku tidak percaya dengan apa yang kulihat.
"Gimana pak?" Tanya Diana.
"Ini adalah pengintegrasian dan penyempurnaan dari teori Hidden Markoff dan Kompleksitas Kolmogorov untuk mengenali seseorang berdasarkan kombinasi dari postur tubuh, cara berjalan, dan wajah. Jadi, apa yang k****a itu adalah IC itu menggunakan kamera untuk menangkap pergerakan. Jika pergerakan itu ditemukan di kamera, akan ada suatu algoritma khusus, yang aku duga sepertinya merupakan pembelajaran dari Jaringan Saraf Tiruan model Propagasi Balik, untuk menemukan sumber pergerakan itu. Menemukan sumber pergerakan dengan jaringan saraf tiruan, aku baru kali ini melihatnya. Setelah sumber pergerakan itu ditemukan, IC itu akan mengecek apakah yang bergerak itu makhluk hidup atau bukan. Jika bukan makhluk hidup, IC akan mengabaikan dan kembali ke mode scanning kamera. Jika makhluk hidup, IC akan menghubungkan dirinya dengan suatu tempat penyimpanan yang aku duga merupakan database utama dari pulau ini, dan melakukan identifikasi terhadap makhluk hidup itu. Jika makhluk hidup itu kawan atau tahanan, maka IC akan kembali ke mode scanning kamera. Jika makhluk hidup itu tidak dikenal, maka jebakan yang terhubung dengan IC ini akan aktif, dimana IC ini terhubung dengan jebakan senapan berondong yang tertanam didalam pohon tadi. Ya ampun, ini teknologi yang sangat canggih. Sekarang aku mengerti kenapa di pulau ini tidak ada satu pun makhluk hidup. Dan mengapa Myth mengutus prajurit yang merupakan manusia biasa untuk menangkap kami. Hebat sekali, teknologi ini berguna untuk menghindari penguntitan. Gila, kalau saja Peter masih disini mengawasi Erna, mungkin dia sudah terperangkap oleh salah satu jebakan yang ada di pulau ini. Kalau begini, mengikuti Fera adalah jalan yang cukup berbahaya." Kataku.
"Hmmm, tapi kita tidak punya jalan selain maju." Kata Diana.
"Betul sih. Apa boleh buat, tak ada jalan lain selain menghadapi jebakan ini satu per satu." Kataku setuju dengannya.
"Eemm, sayang." Kata Erna.
Aku menoleh kearahnya dengan siaga, siapa tau ia melihat sesuatu lagi.
"Sebetulnya, aku sampe sekarang nggak ngerti apa yang terjadi. Kamu sebetulnya itu bekerja dimana sih?" Tanya Erna.
Aaahh, pekerjaanku itu memang sangat rahasia, sampai Erna pun tidak tahu. Aku bingung harus menjelaskan darimana.
"Itu nanti saja, setelah kita pulang dengan selamat, akan aku ceritain semuanya." Kataku.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Jarak kami dan Fera semakin tertinggal jauh. Kami pun tidak bisa berjalan dengan cepat-cepat, karena kami harus mengantisipasi setiap jebakan yang mungkin datang. KLIK. Aku kembali mendengar suara itu.
"Diana! Kanan! Erna, fokus lihat belakang! Ada jebakan yang aktif lagi." Kataku.
Mendengar itu, Diana langsung bersiaga. Erna pun panik, tapi sepertinya masih bisa mendengar instruksiku. KREEK KREEK KREEK KREEK KREEK. Itulah suara yang kudengar, dan asalnya tepat dari arah depan kami, tempat Fera dan para prajurit berjalan. Perlahan-lahan, tanah didepan kami mulai turun, layaknya seperti elevator. Setelah kira-kira beberapa puluh detik, tanah itu sudah turun sangat dalam, dan kembali naik lagi. Ah, apakah yang akan muncul? Aku menduga sekumpulan pasukan robot. NGEEEEENG, begitulah suara tanah yang tadi turun, mulai naik lagi. Mulai terlihat sesuatu, yang makin lama makin jelas. Sial. Aku, Diana, dan Erna hanya bisa bengong melihat apa yang muncul di depan kami. Sebuah tank berwarna hitam berukuran sebesar tiga kali lipat dari tank besar pada umumnya. Tapi, aku langsung tenang.
"Tenang, tank jalannya lambat, dan arah tembakannya sudah diketahui. Kita hanya perlu menghindar sejauh mungkin dari arah moncongnya." Kataku.
Diana mengangguk dengan tenang. Erna hanya bisa berpegangan ke pundakku. Baru saja aku merasa sedikit lega, tiba-tiba seluruh isi tank itu terbuka, dan mulai membentuk-bentuk sesuatu. Aku seperti melihat Autobots atau Decepticon yang sedang berubah wujud dari mobil menjadi bentuk robotnya. Dan dalam beberapa puluh detik, transformasi tank itu sudah selesai. Sekarang yang ada didepan kami adalah Robot berbentuk manusia, dengan kaki roda tank, kedua tangannya adalah senapan berondong yang sangat besar. Moncong tank yang tadinya panjang, telah berubah menjadi meriam besar di d**a robot itu. Tingginya kira-kira dua kali lipat badanku.
"Tell me something. Am I dreaming? (Katakan kepadaku. Apakah aku bermimpi?)" Kataku.
"I'm afraid not, though I hope so. (Sepertinya tidak, walaupun aku berharap demikian.)" Kata Diana.
Sial, robot besar ini sih terlalu besar untuk pedang nodachiku. Jent, tenang. Sekuat apapun sesuatu, pasti ada kelemahannya. Meriam di dadanya kah? Terlalu besar untuk disumbat oleh sesuatu. Lagipula ada dua senapan berondong di tangannya. Ia pasti bisa bergerak bebas layaknya seperti manusia. Kakinya? Itu dia! Dengan kaki roda tank seperti itu, pastilah sulit baginya untuk melakukan manuver atau pengereman. Andai ada jurang yang dalam, harusnya jika memanfaatkan gaya gravitasi bumi, robot itu pasti hancur atau paling tidak rusak jika jatuh dari ketinggian sepuluh meter. Eh tunggu, pulau ini dikelilingi laut, kalau dia tercebur ke dalam laut, pastilah robot itu rusak. Robot itu menghadang kami menuju fasilitas utama, dimana fasilitas utama terletak di tengah pulau. Kalau begitu, ke kiri atau ke kanan, pastilah laut.
"Diana, lari ke kanan. Aku ke kiri. Aku mau memperhatikan pola penyerangan robot itu. Kalau dia mengejarku. Backup aku. Sebaliknya, aku akan mem-backup kamu." Kataku.
Diana hanya mengangguk. Kemudian ia berlari ke kanan, dan aku berlari ke kiri. Kaki robot itu langsung aktif mengejar Diana. Tadi Diana berlari satu per sekian detik lebih cepat dariku. Rupanya pola robot itu adalah siapa yang bergerak duluan adalah target utamanya ya? Aku mengejar robot itu.
"Erna, lari sekencang mungkin dibelakangku. Aku tidak punya waktu untuk menggendong atau nungguin kamu!" Kataku.
Aku berlari tanpa mempedulikan Erna. Robot itu pun mulai mengarahkan kedua tangannya, dan mulai menembaki Diana. Untungnya Diana sigap dengan melompat ke kiri dan kanan, sehingga tidak satupun tembakan itu mengenainya. Aku mulai membuka pedang nodachiku, mengaliri tenaga ki sekuat-kuatnya ke pedangku, berlari menyusul robot itu, dan mencoba memotong kaki kanannya. Aah, untungnya tenaga ki milikku cukup kuat untuk dapat memotong kaki kanannya. Tetapi hasilnya tidak seperti yang kuharapkan. Robot besar itu masih bisa menyeimbangkan dirinya, dan tetap bisa bergerak maju dengan satu kaki. Itu pasti karena telapak kakinya berupa roda tank, sehingga asal satu kakinya bisa menopang seluruh gaya berat tubuhnya, pastilah tetap bisa bergerak maju. Ini tidak bagus, aku yakin Diana tidak bisa terus-terusan berlari. Aku harus segera menghentikan robot ini. Aku harap robot ini tidak memiliki logika untuk menerjemahkan kata-kata dalam Bahasa Indonesia. Di depan Diana, ujung daratan sudah kelihatan. Baiklah.
"Diana! Berhenti di tepi tebing, lalu melompatlah ke samping ketika robot itu sudah dekat!" Teriakku.
"Oke pak." Teriak Diana tanpa menoleh kearahku.
Setelah sampai diujung tebing, Diana berhenti dan memutar tubuhnya sehingga ia kini menghadap kearah robot yang sedang mengejarnya. Ah sial, walau tidak berhenti mengejarnya, robot itu mengangkat tangan kanannya untuk menembak Diana dengan senapan berondong yang terintegrasi dengan tangan kanannya. Baiklah, semoga ini berhasil.
"Diana, lompat sekarang!" Teriakku.
Begitu mendengar perintahku, Diana langsung melompat ke kanan, bersamaan dengan tembakan senapan berondong di tangan kanan robot itu menembak. Betul-betul pas sekali timing Diana melompat, sehingga tembakan itu hanya mengenai udara kosong. Robot yang mengejarnya itu berusaha mengerem kakinya. Tapi sesuai dengan perkiraanku, robot yang tinggal memiliki satu kaki itu pasti kesulitan dalam mengerem. Saat dengan kecepatan tinggi bergerak, kemudian harus mengerem tiba-tiba, sesuai dengan hukum Newton dua yang berbunnyi Sigma F sama dengan m dikali a, pastilah badan robot itu tidak kuat menahannya hanya dengan satu kaki saja. Untunglah perhitunganku tidak meleset, sehingga robot itu mulai terjatuh. Karena tadinya berada dalam kecepatan tinggi, otomatis walau sudah terjatuh pun robot itu masih terkena momentum sehingga ia masih terus melaju ke depan. Sedikit lagi menuju tebing... sedikit lagi... dan akhirnya robot itu terjatuh ke tebing. Huff, mimpi buruk kami sudah berakhir. Dalam hati aku memuji diriku sendiri. Ternyata aku dan Diana bisa menghadapi robot yang kuterka selevel dengan autobot atau decepticon kroco. Aku berlari dan mendekati Diana untuk memeriksa keadaannya. Untungnya, dia baik-baik saja. Tidak ada satu tembakan pun mengenai bagian tubuhnya. Paling-paling tangannya hanya lecet-lecet karena ia tadi melompat dan mendarat di tanah.
"Kamu ga apa-apa, sayang?" Tanyaku.
"Hah? Sa... sayaang?" Tanya Diana.
"Iya, sayang. Kamu gak apa-apa?" Tanyaku sambil mengulurkan tanganku.
Mendengar hal itu, Diana tersenyum manis.
"Aku nggak apa-apa kok, sayang." Kata Diana.
Aduh, aku sendiri tidak mengerti kenapa aku malah bisa panggil-panggilan sayang begini sama Diana. BUUUMMM. Begitulah suara yang kudengar, dan asalnya dari tebing tempat robot itu jatuh. Seketika itu, aku menyadari suara apa itu. Aku lupa bahwa robot itu memiliki meriam besar di dadanya yang tadinya merupakan moncong meriam tank. Sial, dia pasti menembakan meriam itu sehingga bisa menghasilkan suara sebesar itu. Tapi percuma saja, ketika aku menyadari hal itu, tanah tempat aku dan Diana langsung hancur, dan kami pun terjatuh ke dalam tebing. Saat terjatuh, aku berpikir keras agar tidak jatuh kebawah, karena kalau jatuh kebawah, pastilah suatu akhir bagi kami. Aku melihat ke karang batu didepanku. Permukannya kasar dan berlubang. Tidak mustahil bagiku untuk memanjatnya. Tapi sialnya, tanganku tidak mampu menggapai permukaan dinding karang batu itu. Saat melihat kebawah, aku melihat ada dahan pohon yang tumbuh dari permukaan dinding tebing karang batu. Dilihat dari ukuran dahan pohonnya, seharusnya cukup kuat untuk menopang berat badanku dan Diana. Baiklah, aku terlebih dahulu menangkap Diana. Aku melingkarkan tanganku ke tangannya, kemudian bersiap-siap menangkap dahan pohon itu. Untunglah pedang nodachi-ku tadi tertinggal diatas, jadi tidak menghambat gerakanku.
"Sayang, siap-siap yaa! Aku mau jadiin pohon itu untuk pegangan." Kataku.
Diana hanya mengangguk. Aku mempersiapkan tanganku, dan kemudian menangkap dahan pohon itu. KRRKK... Ouucchh, betul-betul sakit sekali rasanya tanganku. Untungnya, tanganku masih kuat menggenggam dahan pohon itu. Aku melihat kearah Diana yang masih melingkarkan tangannya ke tanganku. Sepertinya dia tidak apa-apa. Baiklah, sekarang aku tinggal mengayunkan tubuhku ke arah permukaan dinding tebing karang itu dengan memanfaatkan dahan pohon yang kupegang ini. Jika sudah sampai di permukaan dinding tebing karang batu itu, aku bisa melepaskan Diana. Rock-climbing seperti ini harusnya sudah jadi makanan kami pada saat training. Aku mencoba mengayunkan tubuhku yang juga terikat dengan tubuh Diana melalui tangan kami. Gawat, disini aku salah perhitungan. Dengan menampung beban berat Diana, otomatis tenaga ayunan yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Sementara tanganku yang menggapai dahan pohon mulai gemetaran karena tidak kuat.
"Sayaang... Cepat sinii naiiikk!" Aku melihat keatas, dan rupanya Erna yang berteriak sambil menggapai tangannya berusaha menggapai tanganku. Jarak antara kami dan Erna kurang lebih sepuluh meter. Percuma saja, tangannya tidak akan sampai ke kami. Tapi ya itulah reaksi normal dari orang biasa.
"Ernaa! Ambil ranting pohon atau tali atau apapun!" Teriakku.
"Gak adaaa! Aku udah cariii." Teriak Erna sambil menangis. Aduuh, menangis tidak akan menyelesaikan apapun. Kalau begini caranya, aku tidak bisa bergantung pada Erna. Gawat. Tanganku semakin tidak kuat. Kalau begini caranya, aku dan Diana bisa sama-sama terjatuh. Jarak kami dan laut ada sekitar sepuluh meter. Dibawah kami menunggu ombak yang sangat deras. Jika kami jatuh ke laut, kecil sekali kemungkinan kita selamat.
"Sayang, aku mohon, tahan sebentar ya, sebentar saja." Kata Diana.
"Apa pun yang terjadi, aku ga akan ngelepasin kamu, Diana." Kataku.
"Tahan sebentar ya, aku mau naik ke pundak bapak." Kata Diana.
"Ngapain?" Tanyaku.
"Pokoknya, tahan aja! Kunci keselamatan." Kata Diana.
Baiklah, aku percaya saja kepada Diana. Aku menguatkan peganganku di dahan pohon yang menjadi penopang hidup kami sekarang ini. Diana mulai mengerahkan tangan kanannya, dan menaiki tubuhku, hingga akhirnya kini ia memeluk tubuhku. Wew, saat Diana menaiki tubuhku, betul-betul terasa sekali bagaimana tanganku yang memegang dahan pohon itu hampir lepas. Saat Diana sudah memeluk tubuhku, aku menggunakan tangan yang tadinya menopang Diana untuk membantu tanganku yang satunya lagi untuk menggenggam dahan pohon.
"Sayang, aku nggak pernah sebahagia ini dalam hidup aku." Kata Diana.
"Terjebak disini membuat kamu bahagia?" Tanyaku bingung.
"Tahukah kamu, sayang? Fera itu sayang banget sama kamu. Nggak, mungkin bukan sayang lagi, tapi cinta." Kata Diana.
"... Aku tahu." Kataku.
"Sering sekali Fera itu cerita sama aku, betapa dia mencintai kamu dengan sepenuh hatinya. Dan jujur, setiap kali Fera bercerita hal itu, aku ngerasain cemburu yang hebat. Aku sering berpikir, apakah aku bisa nyaingin cinta Fera yang begitu besar ke kamu." Kata Diana.
"Aku tahu masalah Fera. Aku pun juga tahu bahwa kamu cinta sama aku apa adanya, dengan sepenuh hati kamu juga. Jujur sayang, kalau aku harus mati asalkan kamu bisa hidup sekarang, aku ga nyesel sama sekali. Yang aku seselin adalah kalau kamu harus mati di tempat seperti ini." Kataku.
"Sayang, aku mohon. Jagalah Fera baik-baik. Dia orang yang baik dan setia." Kata Diana.
"Aku pasti jaga dia. Daripada itu, kamu ada ide gimana kita naik keatas?" Tanyaku.
"Nggak usah khawatir. Aku ada ide. Tapi sebelumnya, aku pengen ngomong sama kamu, sayang." Kata Diana.
"Ngomong apa?" Tanyaku.
"Sesedih apapun kamu, semarah apapun kamu, dan sedendam apapun kamu, pastilah selalu ada orang-orang yang mencintai kamu dengan tulus. Dan aku, walaupun suatu saat nanti kamu udah nggak sayang sama aku, aku akan selalu cinta sama kamu, apapun itu yang terjadi." Kata Diana sambil mencium bibirku.
Aku pun membalas ciumannya. Aku betul-betul merasakan sedalam apa perasaanku pada Diana, dan sedalam apa perasaan Diana padaku. Hanya dengan sebuah ciuman saja di bibir, seolah-olah aku dibanjiri oleh perasaan cinta Diana yang begitu meluap-luap.
"Tetaplah hidup sayang. Jaga diri kamu." Kata Diana sambil melepaskan ciuman di bibirku.