Episode 4 : Novi ( Part. 1 )

3803 Words
Dering telpon membangunkanku di pagi itu. Aku segera menangkat telpon itu, tanpa melihat siapa yang menghubungiku. "The fog is never red." Suara seorang laki-laki di telpon. "Because it does not carry a red hair dye." Jawabku. Aku langsung tahu itu Peter. "So, can I commence today? (Jadi, bisakah aku mulai hari ini?)" Tanya Peter. "Yes, please. (Ya.)" Jawabku ditelpon. "What would be the tag for my recording? (Tanda apakah yang harus kubuat di rekamanku?)" Tanya Peter. "Well, whenever they interact each other, directly or indirectly. (Setiap kali mereka berinteraksi, langsung maupun tidak)" Kataku. "Copy that." Kata Peter sambil menutup telponnya. Si Erna b*****t itu sudah pergi ke kantornya. Dia memang bilang semalam bahwa ia ada rapat dengan para petinggi di kantornya. Biar sajalah, aku tidak peduli. Rapat direksi atau bukan, nanti juga ketahuan. Aku segera bersiap-siap sarapan dan mandi, kemudian berangkat ke kantor setelah selesai. Jalan raya lebih macet dari biasanya pada hari ini, sehingga aku hampir terlambat sampai di kantor. Jam telah menunjukkan pukul 8.26, 4 menit sebelum aku betul-betul terlambat. Aku memasuki ruanganku, dan cukup bingung mendapati komputerku sudah terbuka dengan daftar pekerjaan yang belum selesai. "Pagi pak." Kata seorang wanita yang duduk di meja kerjanya, disamping meja kerjaku. "Oh, selamat pagi. Terima kasih sudah memenuhi undanganku untuk bekerja di kantor ini. Saya, atas nama perusahaan ini, mengucapkan banyak terima kasih dan selamat bergabung. Mari, saya kenalkan kepada divisi Technology ini, kemudian ke divisi lain." Kataku. "Terima kasih pak." Kata wanita itu sambil berdiri dan keluar ruangan. Sesampainya diluar, aku melihat seluruh anggota divisiku sudah datang, termasuk juga Bu Novi yang kebetulan sepertinya sedang menungguku. Saat ia melihat ke arah wanita dibelakangku, ia agar mengernyitkan keningnya, dan mukanya terlihat sedikit terkejut. "Semuanya, kita memiliki rekan baru. Untuk waktu dan tempat, saya persilakan." Kataku sambil memberi kesempatan kepada wanita itu. "Salam kenal semuanya. Nama saya Saiyuna Wijaya, biasa dipanggil Yuna. Mulai hari ini, saya bekerja sebagai sekretaris pribadi Pak Jent." Kata Yuna sambil membungkukan badannya. Perkenalan yang bagus. Sepertinya Bu Novi cukup lega dengan kata-kata perkenalan yang diucapkan Yuna. Tentu saja, karena hanya aku saja yang boleh meminta tolong kepadanya. Orang lain, bahkan Bu Novi sekalipun, tidak berhak untuk meminta bantuan kepadanya tanpa izinku terlebih dahulu. Gile, aku serasa memiliki otoritas lebih dibandingkan Bu Novi, yah paling tidak satu diantara belasan otoritas yang ada hahaha. Aku melihat Yuna berkeliling, dan bersalaman dengan orang-orang sambil berkenalan. Aku melihat jelas tampang para bawahanku yang laki-laki, menunjukkan sifat iri terhadapku yang memiliki sekretaris cantik seperti dia. Yah kalau dipikir-pikir, wajah Yuna itu sangat mirip dengan seseorang, tapi aku tidak bisa mengingat siapa seseorang itu. Setelah itu, Bu Novi hendak kembali ke ruangannya, melewatiku karena memang ruangannya itu melewati ruanganku. "Jadi, dia yang paling mirip dengan saya?" Bisik Bu Novi. Aku hanya mengangguk. "Dalam hal apa?" Bisik Bu Novi. "Kemisteriusan." Bisikku pelan. Bu Novi hanya tersenyum, yang tidak kupahami apa arti dari senyuman itu, dan berjalan menuju ruangannya. Setelah itu, aku melanjutkan dengan meeting bersama keempat manager-ku. Meetingnya berlangsung seperti biasa, masing-masing melaporkan proyek yang mereka tangani, dan hasil riset yang dijalani khusus untuk Abby. Aku melihat ada yang aneh, daritadi Diana dan Fera sepertinya terus melihat kearah Yuna, yang sibuk mencatat berita acara meeting ini. Sementara Lina terus melihat kearahku, dengan sedikit senyum. Ketika kulihat balik kearahnya, senyumnya melebar sedikit. Ah emang ngebet si Lina ini sih. Tapi ngapain ya Diana dan Fera ini terus melihat kearah Yuna, dengan tatapan yang... kurasa sedikit membunuh. Masa bodo deh, bukan urusanku. Setelah selesai meeting, aku dan Yuna kembali ke ruanganku, yang sekarang adalah ruangan dia juga. Aku tetap penasaran, si Yuna ini mirip dengan siapa ya. Akhirnya kutanyakan saja. "Yuna, muka kamu itu sepertinya familiar sekali ya. Aku pernah lihat kamu dimana ya?" Tanyaku. Yuna tersenyum manis mendengar pertanyaanku sebelum akhirnya ia angkat bicara. "Penyanyi Korea bukan pak?" Tanya Yuna. Aku tiba-tiba teringat. Ya... dia mirip dengan penyanyi Korea yang dulu tahun 2013 pernah datang untuk konser di Gelora Bung Karno. Aku dulu ikut konser itu karena menemani Erna yang ingin melihat penyanyi favoritnya tampil di panggung. Tapi tentu saja aku lupa siapa namanya, ketemu juga sekali saja waktu itu. "Iya betul Yun. Betul. Betul. Aduh, siapa itu namanya ya, yang tergabung dalam girl-band bersembilan itu." Kataku. "Sekarang tinggal delapan, pak." Kata Yuna. "Oh, aku tidak tahu. Tidak mengikuti sih." Kataku. Kemudian Yuna melihat komputernya, dan mengetik sesuatu, dan menunggu sebentar. "Yang ini bukan pak?" Tanya Yuna, sambil memutar layar LCD komputernya kearahku. Aku melihat sebuah wajah yang... sangat mirip dengan Yuna, bahkan mungkin aku akan menyangka mereka itu saudara kembar jika aku tidak tahu bahwa satu orang Korea sedangkan yang satunya orang Indonesia. "Nah iya betul yang itu." Kataku. "Yang ini itu personnel termuda pak di grupnya, namanya Seohyun." Kata Yuna. "Haah, I don't care about her name. (Saya tidak peduli dengan namanya.). Saya daritadi hanya berpikir, saya pernah melihatmu di suatu tempat. Eh ternyata seseorang yang mencontek wajah penyanyi Korea." Kataku. "Dia yang meniru saya pak." Kata Yuna sambil tersenyum manis. "Kenapa kamu bisa bilang begitu?" Tanyaku. "Artis Korea kan biasanya operasi plastik pak. Pasti dia pakai model wajah saya ketika mau operasi." Kata Yuna. "Artis Korea biasanya operasi. Dia artis Korea. Bisa disimpulkan dia itu biasanya operasi plastik, tapi belum tentu dia operasi plastik." Kataku. "Betul sih pak. Hanya dia dan orang-orang tertentu yang tahu." Kata Yuna. "Bukan hal yang perlu kita pedulikan. Dia ya dia, kamu ya kamu." Kataku. Yuna hanya tertawa pelan mendengar pernyataanku. Tiba-tiba, telpon ruanganku berdering. Aku melihat dari extension 200 – Novi. "Bos." Kataku di telpon. "Kita makan siang diluar sekarang, ajak Yuna juga." Kata Bu Novi. "Siap." Kataku. Telpon pun ditutup. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 tepat. "Yuna, Bu Novi mengajak kita makan siang diluar. Yuk." Kataku seraya berdiri. Yuna segera berdiri tanpa berkata apapun. Dia berjalan kebelakang kursiku, mengambil jaket hitamku yang kuletakkan di punggung kursi, dan memasangkan jaketku ke pundakku. "Tidak perlu sampai seperti itu, Yuna. Kamu bukan pelayan." Kataku. "Kalau itu bukan pekerjaan saya, anggaplah sebagai tindakan hati saya untuk melayani bapak." Jawab Yuna. "Do as you see fit, then. (Lakukan sesukamu kalau begitu)" Kataku. Aku keluar dari ruanganku, dan berjalan menelusuri ruangan divisi Technology untuk keluar. Sepanjang aku berjalan, aku merasa bahwa ada tiga pasang mata yang mengikutiku. Aku menoleh kebelakang, dan mendapati bahwa tiga pasang mata itu adalah milik Lina, Diana, dan Fera. Apa sih mereka ini? Di depan elevator menuju permukaan tanah, Bu Novi sudah menungguku. Setelah berkumpul, kami bertiga langsung menaiki elevator itu, dan sampai ke dalam gedung perusahaan utama. Kami keluar dari gedung, dan menuju ke sebuah restoran, yang sudah ditentukan oleh Bu Novi. Ternyata Bu Novi sudah melakukan reservasi ruangan privat di restoran tersebut. Kami langsung memasuki ruangan privat itu, dan memesan makanan. Setelah selesai memesan makanan, waiter pun segera keluar. Kemudian Bu Novi melipat tangannya diatas meja, dan melihat kearah kami berdua. "Bagaimana kesan dan pesan kamu, Yuna?" Tanya Bu Novi. "Sejauh ini baik, bu. Hanya saja, banyak mata yang memandangiku. Sebagian besar diantaranya sepertinya tatapan kagum dan nafsu, sedangkan sebagian kecilnya tatapan yang menyeramkan." Kata Yuna. Aha! Rupanya dia menyadari juga tatapan menyeramkan dari Lina, Diana, dan Fera. "Aku bisa menebak. Tatapan yang menyeramkan itu pasti datang dari tiga manager itu kan?" Tanya Bu Novi. Yuna tidak menjawab. Aku langsung angkat bicara. "Sebetulnya ada apa sih bu?" Tanyaku. "Kamu laki-laki itu memang tidak pernah peka. Mereka bertiga itu menaruh hati padamu, Jent." Kata Bu Novi. "Saya ngerasa sih bu. Tapi palingan main-main saja kan? Lina sih memang pada dasarnya kegenitan, Diana hanya melihat saya sebagai figur seorang atasan, sedangkan Fera hanya melihat saya sebagai figur kakak laki-laki. Begitu saja kan?" Tanyaku. "Betulkah begitu?" Tanya Bu Novi. "Saya melihatnya seperti itu." Kataku. Bu Novi hanya tertawa sedikit, diikuti dengan tawa kecil dari Yuna. "Jent... Jent... Yuna yang baru masuk sehari saja tahu, kamu lagi yang sudah bertahun-tahun disini bisa tidak sadar begitu. Yuna, tolong bantu wakil saya yang tidak punya kepekaan ini ya." Kata Bu Novi sambil tertawa kecil. Yuna hanya tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, yang tadi itu hanya makanan pembuka. Sekarang kita masuk ke menu utamanya. Jent, Yuna, kalian akan berangkat ke Cina. Ada isu mengenai hal ini?" Tanya Bu Novi. "Saya tidak ada bu." Kataku dan Yuna bersamaan. "Terima kasih atas kesediaan kalian berdua. Kapan kamu siap, Jent?" Tanya Bu Novi. "Saya besok besok juga siap bu." Kataku. Aku sih tenang saja, toh aku sudah menempatkan mata-mata, kalau si Erna b*****t itu berbuat tidak senonoh lagi, buktiku semakin banyak deh. "Kamu gimana Yuna?" Tanyaku. "Baik sekali kamu menanyakan hal itu ke Yuna. Tapi tugasnya adalah mengikuti kamu kemanapun dan kapanpun, Jent. Jadi kalau kamu siap besok, maka dia harus siap." Tanya Bu Novi. "Bu, ingat bu, Yuna ini sekretaris elit saya. Hanya saya yang berhak memutuskan kearah mana jalannya." Kataku dengan tegas. "Aku suka sifatmu yang terkadang ceroboh itu, menantang bahaya." Kata Bu Novi sambil tersenyum. "I'll take that as compliment (Kuanggap itu sebagai suatu pujian)." Kataku. "Very well (baiklah). Yuna, Jent bertanya pada kamu." Kata Bu Novi. "Kapanpun dan kemanapun Bapak Jent pergi, saya akan setia mengikuti, bu." Kata Yuna. Bu Novi kemudian mengeluarkan smartphonenya, dan mengetik-ngetik sesuatu, cukup lama. Bahkan sampai makanan datang, ia pun tetap mengetik-ngetik sesuatu sambil makan. Sekitar 10 menit setelah kami selesai makan, barulah ia berhenti, dan kembali menatap kita berdua. "Flight kalian lusa jam 00.20. Kalian akan sampai di Shanghai besok lusa pada pagi harinya. Jent, gunakan baju merah, dasi hitam, jas hitam, dan celana bahan hitam. Yuna, gunakanlah baju terusan berwarna merah. Nanti akan ada orang yang mendatangi kalian, dan mengatakan suatu kode kepada kalian. Jawablah orang itu dengan kode yang akan diberikan nanti kepada kalian melalui email, dan orang itu akan tahu bahwa kalianlah yang dia cari. Kalian akan diantar ke hotel Park Hyatt Shanghai. Disitulah kalian akan menginap. Masalah kamar, kalian tinggal check-in saja." Kata Bu Novi. "Siapa sebetulnya customer kita, bu?" Tanyaku. "Mafia Cina. Lusa malam, akan diadakan suatu acara orkestra di ballroom hotel itu. Kalian hadirilah acara itu. Masalah undangan, pasti akan disiapkan. Ikuti acara tersebut sampai selesai, dan setelah selesai acara itu, datangilah kursi C-4, dan periksa dibawah bantalan kursi itu. Kalian akan menerima instruksi selanjutnya." Kata Bu Novi. Buset, ini sih seperti misi rahasia di film James Bond 007 saja. Kenapa aku yang diutus ya? Aku merasa tidak cocok untuk urusan ini. "Wajahmu seperti wajah yang ingin menanyakan sesuatu, Jent." Kata Bu Novi. "Kenapa saya, bu?" Tanyaku. "Wakil direktur lain sudah diutus ke berbagai negara. Are you suggesting that we send an office boy? (Apakah kamu mau bilang sebaiknya kita utus office boy saja?)" Kata Bu Novi. Hmmm, oke. Tapi kenapa tidak Bu Novi saja ya? Bu Novi tersenyum melihat mimik wajahku. "Jent, kamu itu memiliki otak yang lebih jenius daripada saya. Semua orang tahu itu. Saya di perusahaan ini hanya bertindak sebagai pengambil keputusan, penjadwalan proyek, konsultan, dan quality control, tidak lebih dari itu. Sedangkan kamu, kamu memiliki kejeniusan yang luar biasa. Semua sistem yang dimiliki oleh customer kita berjalan dengan baik, itu semua berkat kamu." Kata Bu Novi. Okelah... okelah... Aku tidak peduli apakah aku sehebat itu atau tidak. Yah bolehlah sesekali sambil refreshing pergi keluar negeri. "Yuna, selama disana, ikuti Jent kemanapun dia pergi, jangan lepaskan pandanganmu dari dia." Kata Bu Novi. "Saya mengerti, bu. Untuk itulah saya ditugaskan menjadi seorang sekretaris elit." Kata Yuna. "Hati-hati, Jent. Banyak yang mengincar kamu, lebih tepatnya otakmu. Kemampuanmu sudah terkenal di dunia underground business. Banyak yang mengincar otakmu untuk meluaskan sayap mereka." Kata Bu Novi. "Baik bu." Jawabku. "Satu hal lagi. Aku tidak bisa bicarakan disini, karena hanya kita berdua yang boleh mendengarnya. Datanglah kerumahku nanti malam jam delapan. Yuna, kamu istirahatlah yang cukup, karena besok flight malam ke Shanghai. Selama dirumahku, Jent pasti baik-baik saja. Kemampuan bela diriku diatas Jent, kamu tidak perlu khawatir." Kata Bu Novi. "Baik bu." Kata Yuna. "Dengan demikian, cukup sudah pembicaraan kita. Jent, Yuna, kalian boleh pulang ke rumah untuk istirahat. Jent, jangan lupa datang nanti jam delapan malam." Kata Bu Novi. "Pulang ke rumah? Maksudnya ke kantor mungkin bu?" Tanyaku dengan heran. "Tidak. Ini dispensasi khusus untuk kalian. Siapkan apa yang kalian butuhkan untuk besok." Kata Bu Novi. Ya sudahlah, kalau sudah diperintahkan begini, aku menurut saja. Aku dan Yuna pulang naik transjakarta setelah berpamitan kepada Bu Novi. Enaknya pulang jam segini, transjakarta tidak ramai, aku lihat jalanan pun tidak macet. Seperti surga dunia saja jika anda sudah terbiasa bekerja di Jakarta, dan pulang di jam keluar kantor yang macetnya tidak tertahankan. Yuna turun di tempat pemberhentian yang sama denganku. "Rumahmu dimana emangnya?" Tanyaku. "Hang Lekir, pak." Kata Yuna. Oh, pantas saja. Itu sih lumayan dekat denganku. Setelah turun dari pemberhentian, aku berjalan kaki, karena rumahku tidak begitu jauh dari situ. Yuna hanya berjalan mengikutiku dari belakang. Akhirnya, aku sampai dirumahku. Yuna pun berhenti, dan hendak berpamitan pulang kepadaku. Ya ampun, aku baru sadar, rumahnya kan bukan di daerah sini, walaupun tidak terlalu jauh denganku. "Kamu kenapa mengikuti saya sampai sini? Rumahmu kan di Hang Lekir, harusnya kita sudah pisah dari kapan-kapan." Kataku. "Gak apa-apa pak. Saya nganterin bapak sampai rumah." Kata Yuna. "Weleh, ngapain? Ngerepotin diri kamu sendiri aja. Masuk dulu, deh. Paling tidak kamu istirahat dulu." Kataku. "Saya tunggu diluar aja, pak. Saya nggak mau merepotkan bapak." Kata Yuna. "Daripada nunggu diluar, mending pulang Yun. Aneh amat kamu ini." Bentakku. Yuna hanya tertawa lepas mendengar bentakanku. "Udah gak apa-apa, pak. Kan nanti bapak mau ke rumah Bu Novi, nanti sepanjang perjalanan gak ada yang nemenin kan kasihan bapak." Kata Yuna. Ya ampun, kupikir kenapa dia mau menunggu diluar, ternyata karena nanti malam dia masih mau menemaniku ke rumah Bu Novi. Setia sekali dia. "Gak apa-apa Yun, kamu pulang aja. Saya sendiri aja bisa kok." Kataku. "Masa? Aura bapak mengatakan bahwa bapak ingin ditemani." Kata Yuna. Yah memang, setelah si Erna b*****t itu berselingkuh, aku merasa sendirian, aku merasa tidak bisa mempercayai siapapun, aku butuh seorang teman, lebih tepatnya seorang sahabat yang rela menemaniku dalam situasi sesulit apapun, karena aku tidak bisa mendapatkannya dari si Erna b*****t itu. Dari awal wawancara sekretaris elit, aku merasa bahwa Yuna ini memang paling tidak berbakat untuk pekerjaan ini, tapi entah kenapa aku merasa dia ini memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang pada umumnya. "Kamu ini, polos-polos begini ternyata cermat juga. Gak apa-apa Yun, kamu pulang aja, persiapin buat besok. Terima kasih udah mikirin saya, tapi saya jadi kepikiran kalo kamu harus nemenin saya sampe malem." Kataku. "Terima kasih juga pak sudah mikirin saya. Tapi saya juga jadi kepikiran pak kalo saya nggak nemenin bapak sampai malem." Kata Yuna. "Haaahh.. Capek saya berdebat. Sudahlah terserah kamu aja. Masuk deh paling nggak kalo kamu mao nemenin saya sampe malem. Saya kabulin permintaan kamu, paling nggak kamu kabulin permintaan saya." Kataku. "Oke pak, saya masuk ya pak." Kata Yuna, seraya membukakan pintu pagar untukku dan mempersilakan aku masuk duluan. Sesampainya di teras, Yuna langsung berjongkok dan membukakan sepatuku, baru kemudian membuka sepatunya sendiri, mencuci kakinya, dan membukakan pintu utama untukku. Aku betul-betul heran dengan kelakuannya. Ya sudahlah, aku sedang tidak mau berpikir yang sulit-sulit. Aku menyuruhnya untuk tidur di kamar tamu, sedangkan aku berbaring di kamarku sendiri. Aku mengambil smartphone milikku, dan membuka ruang chat dengan Peter. "Is the mist already gone?" Tanyaku. "The mist is never gone, it simply disperses away." Jawabnya. Begitulah, dengan orang macam ini, kita selalu memulai percakapan dengan kode, karena kita tidak tahu kapan smartphone kita dicuri orang. "So far so good? (Sejauh ini baik-baik saja?)" Tanyaku. "Nothing suspicious. What she does up until now is sitting in her chair in the conference room. That boy is quite the problem. He m*********d while looking at your wife's photograph. (Tidak ada yang mencurigakan. Yang istrimu lakukan sampai saat ini hanya duduk di kursinya di ruang meeting. Anak laki-laki itu yang cukup bermasalah. Dia sempat m********i sambil melihat foto istrimu.)." Jawab Peter. "Okay. Inform me and send me the recording if they interact each other. (Oke. Kabari aku dan kirimkan video rekamannya jika mereka berinteraksi satu sama lain)" Kataku. "Understood. (mengerti)" Kata Peter. Aku segera meletakkan smartphone-ku di meja nakas disamping tempat tidurku. Aku memejamkan mataku, hendak tidur sebentar. Tok... tok... tok... Aku terbangun oleh suara ketukan pintu. Aku bangun dan melihat jam. Ya ampun, dua jam lamanya aku tertidur. Aku segera bangun dan membuka pintu. Rupanya Yuna. "Sorry pak ngebangunin jadinya. Ini aku bawain air dan cemilan." Kata Yuna sambil menyodorkan baki berisi gelas air dan piring berisi cemilan. "Darimana kamu dapetin benda-benda ini?" Tanyaku dengan heran. "Air putih sih aku tinggal ambil. Cemilan aku ambil dari toples yang bertuliskan "Punya Jent". Piring, gelas, dan nampan aku ambil dari dapur." Jawab Yuna sambil tersenyum manis. Dasar, ada-ada saja si Yuna ini. "Taro diluar aja, yuk kita makan bareng." Kataku. Yuna membawa baki itu ke ruang tamu, dan meletakkannya diatas meja. Kita pun makan bareng sambil ngobrol. Akibat ngobrol itu, kami menjadi akrab satu sama lain. Tak terasa pun jam sudah menunjukkan pukul 18.30. "Mau aku masakin, atau mau kubeliin makan malam pak?" Tanya Yuna. "Masak aja Yun kalo kamu bisa. Bahan-bahan ada di kulkas, beras di dapur." Kataku. "Baik pak." Kata Yuna seraya menuju ke dapur. Tidak sampai 30 menit, Yuna sudah keluar membawa masakan satu demi satu, mulai dari nasi, hingga sayur dan lauk pauk. Mari lihat apa yang dimasak, tumis sawi dan ayam potong. Aku dan Yuna makan malam dengan masakan yang dimasak oleh Yuna. Hmmm, enak juga ternyata. Kemampuan memasaknya hampir mendekati Erna, aku cukup kagum. Aku makan dengan cepat, begitu juga dengan Yuna. Setelah selesai makan, dengan sigapnya ia mengambil semua piring bekas makan, termasuk piringku, dan membawanya ke dapur untuk mencucinya. Wah, ibu rumah tangga yang baik. Setelah selesai mencuci piring, kami bersiap-siap untuk menuju ke kediaman bos besar. Yuna menelpon taksi, dan tidak lama kemudian taksi tersebut telah datang. Rumah Bu Novi cukup jauh, di kawasan Jakarta Utara. Apalagi kami harus menembus kemacetan yang tidak main-main. Aku tidur saja. Akhirnya, jam 19.48 kami tiba di rumah Bu Novi. Di depan rumah Bu Novi, aku segera membunyikan bel, yang tidak lama kemudian disambut oleh Bu Novi. Bu Novi hanya mengenakan kimono berwarna hijau muda bermotif bunga putih. Cantik sekali, harus kuakui ia sangat cantik malam ini. "Wah, kelihatannya udah akrab nih kalian. Kamu setia banget Yuna nemenin Jent kemana-mana." Kata Bu Novi. Aku kaget, gaya bicaranya mendadak sangat informal, berbeda sekali dengan di kantor. "Ah, masa sih bu?" Jawab Yuna sambil senyum tersipu-sipu. "Kalau begitu, aku permisi dulu. Pak Jent. Bu Novi." Kata Yuna dengan sopan. "Oke. Terima kasih ya Yun udah nemenin aku. Kamu istirahat yang cukup, simpan tenaga untuk besok." Kataku. Yuna membungkukkan badannya kearahku, kemudian kearah Bu Novi, lalu menaiki taksi yang masih menunggu di depan rumah Bu Novi. Tidak lama kemudian, taksi itu segera jalan. Bu Novi mempersilakan aku masuk ke rumahnya. Ya ampun, rumahnya bagus sekali. Cukup besar, dari tempatku berdiri aku melihat ada tangga ke lantai dua, dan terlihat mewah model rumah istana. Ruang tamunya begitu besar. Sampai di ruang tamu, Bu Novi mempersilakan aku duduk. Kemudian ia menuangkan teh di kedua cangkir yang telah disediakan. "Minum Jent, kalau kamu suka teh aja ya." Kata Bu Novi. "Kalau tidak suka gimana bu?" Tanyaku sambil mesem-mesem. "Berarti kamu akan mati kehausan." Kata Bu Novi sambil mesem-mesem juga. Aku suka jawabannya, nancep. Aku menyeruput teh itu. Rasanya sangat enak, rasa teh nya pun begitu terasa. Aku mengenalinya sebagai teh hijau. "Teh hijau langsung dari petani." Kata Bu Novi. "Impor?" Tanyaku. "Tentu saja lokal. Kamu tahu kan aku nggak suka merek impor?" Kata Bu Novi. "Kali aja gitu bu, sekali-sekali pengen nyobain yang beda." Kataku. "Jadi apa yang mau dibicarakan bu?" Tanyaku. "Bukan urusan kantor, Jent. Lebih tepatnya masalah filosofi." Kata Bu Novi. Wah, aku cukup suka sih pembicaraan ke arah filosofi. "Apa yang kamu rasakan sekarang, Jent?" Tanya Bu Novi. "Baik-baik saja bu. Palingan sedikit excited karena besok mau ke Shanghai." Jawabku. "Bukan itu yang aku tanyakan." Kata Bu Novi. Aku sejenak melihat mata Bu Novi. Yah, bagi kita yang dilatih kemampuan bela diri sampai tingkat ekstrim, kita dipaksa harus bisa membaca pikiran lawan hanya melalui tatapan mata dan gestur tubuh, serta pergerakan kulit maupun otot sesedikit apapun, sehingga kita bisa bereaksi tepat waktu. Ternyata keahlian ini berguna. "Yah, kacau bu. Setelah dia berkhianat seperti itu, saya merasa tidak punya teman seperjuangan hidup. Yah, hidup saya seperti dulu waktu masih lajang, tidak jelas. Datang ke kantor, kerja, berinteraksi dengan teman, dan lain-lain." Kataku. "Setelah ada Yuna, bagaimana?" Kata Bu Novi. "Jujur aja bu. Aku memang nemuin sesuatu yang berarti dari dirinya, mungkin seperti sahabat yang begitu setia. Tapi, aku mikir di dunia ini ga ada yang abadi. Sahabat sebaik apapun, suatu saat akan sirna juga. Jadi yah ini mungkin hanya sementara saja. Yah begitulah, kesalahpahaman, ketidakmampuan seseorang untuk memahami satu sama lain, itulah yang menjadikan konflik." Jawabku. "Konflik... that's my point (itu utamanya). Menurut kamu, jika konflik tiba-tiba lenyap gitu aja dari dunia ini, apa bagus ato tidak?" Tanya Bu Novi. "Sebetulnya konflik itu menjadikan kita lebih baik, yah kalau kita bisa ngatasin sih. Tapi emang dunia ini harus seimbang bu, antara kebaikan dan kejahatan. Karena kalau sudah tidak seimbang, berarti sudah spritualitas yang bermain. Surga, Neraka, Tuhan, Iblis." Kataku. Bu Novi tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku. Tawanya begitu lucu, seperti ada sisi lain yang baru pertama kali kulihat dari Bu Novi. Setelah berhenti tertawa, mukanya begitu serius, dan sepertinya terlihat sedih. "Kata-kata itu sudah pernah masuk ke kupingku, Jent." Kata Bu Novi. "Siapa bu?" Tanyaku. "Orang yang paling kucintai seumur hidupku. Orang yang menyelamatkanku dari suatu keterpurukan bernama pernikahan." Kata Bu Novi. "Suami ibu?" Tanyaku. "Bukan. Suamiku adalah orang yang membawaku pada keterpurukan dalam pernikahan. Mungkin sama kayak yang istri kamu lakukan, cuma kasusku beda saja. Di saat itu, aku hanya punya dua orang teman di kantor, waktu aku masih menjabat sebagai manager HRD." Kata Bu Novi. "Hah? Ibu dulunya manager HRD? Kok ga nyambung yah bisa jadi Direktur Teknologi?" Tanyaku heran. "Nah, pada itulah, suatu kesempatan dimana aku pergi biasanya dengan kedua temanku. Waktu itu, tiba-tiba ada seorang pria yang ikut, berkat keusilan salah satu temanku itu. Namanya James Arendra Sanjaya. Pernah dengar?" Tanya Bu Novi. Astaga. Mana mungkin aku tidak pernah mendengar nama itu. Direktur Teknologi yang begitu legendaris, sebelum Bu Novi menjabat. Beliau adalah inspirasi bagi kami semua. Cerdas, brilian, dan begitu menyayangi kita semua tanpa mempedulikan status dan jabatan. Sampai sekarang, pesan dari beliau tetap melekat pada diriku, dan itulah yang menjadikan diriku seperti sekarang ini. "Mana mungkin aku ga pernah dengar nama itu bu. Saat aku pertama kali masuk, beliau adalah Direktur Teknologi, dan Bu Novi masih menjadi Manager Sistem Eksternal." Kataku. "Dialah orang yang membuatku bercerai dari suamiku, serta yang mengajariku teknologi, hingga aku bisa menjabat sebagai wakil direktur teknologi. Bagiku, dia itu penyelamat." Kata Bu Novi. "Maaf bu kalau aku lancang. Tapi apakah bercerai itu adalah solusi yang menyelamatkan?" Tanyaku. "Tergantung perspektif orang Jent. Berbeda-beda tentunya." Kata Bu Novi. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD