EPISODE 7 : Yuna

4347 Words
"Mungkin kamu tidak mengenal saya, tapi percayalah, saya mengenal kamu. Saya salah satu dari sebagian kecil profesor yang menolak ide thesis-mu dulu. Dari awal kamu mengajukan ide thesis-mu itu, saya tahu bahwa perkembangan dari thesis-mu itu adalah apa yang disebut dengan kepunahan umat manusia. Sekarang, aku memanggilmu ke Shanghai dengan tujuan mau melindungimu. Aku harus melindungimu karena sekarang namamu sudah terkenal sekali di dunia bisnis dunia bawah, atau sebut saja underground business. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa mendapatkannya, ada suatu kelompok yang bisa menembus arsip universitas tempat kamu menjalankan gelar doktoral kamu dulu, sampai ke histori detil tiap mahasiswa. Dari arsip itu, mereka bisa mendapatkan proyek-proyek penilitian tiap mahasiswa. Kebetulan, apa yang kamu teliti itu memang sesuatu yang berbahaya. Ya, Universal Artificial Intelligence, kecerdasan buatan yang dirancang untuk dapat memahami segala konsep keadaan, dan mengaplikasikan reaksi dari suatu aksi dalam segala konsep keadaan tersebut. Suatu gebrakan yang sangat hebat apabila kamu mampu menyelesaikannya. Tapi, kamu tentunya menyadari bukan, bahwa penelitianmu itu akan menjadi batu sandungan bagi umat manusia. Jika jatuh ke tangan yang salah, akan sama seperti Skynet di film seri Terminator. Bisa bayangkan? Tidak akan ada lagi manusia, karena bangsa mesin akan menggantikan kebudayaan kita. Kelompok yang mengejarmu adalah kelompok yang ingin merealisasikan itu, bukan kelompok sembarangan. Mereka tidak mengincar nama, bukan juga uang, melainkan mereka mengincar yang lebih berbahaya dari keduanya, yaitu idealisme. Kalau sampai aku berbicara sekarang ini, berarti kamulah yang mendengar suaraku, Jent Zeinal Widoyo. Rekaman ini dirancang khusus untuk membaca gambar wajahmu dan retina matamu. Jika tidak cocok, recorder player ini akan hancur. Bersembunyilah dulu untuk sementara. JW Marriott Shanghai, hotel yang aman untuk bersembunyi. Tidak harus disitu, kalau kamu mempunyai preferensi yang menurutmu aman, ikutilah kata hatimu. Matikan semua smartphone milikmu, dan milik rekanmu jika kamu memiliki rekan. Jangan berpikir untuk melihat email atau apapun, matikan saja demi keselamatanmu. Aku mohon, temuilah aku di JW Mariott Shanghai, kamar nomor 1831 pukul 15.00 sehari setelah kamu menemukan pesan ini. Banyak yang harus kubicarakan secara langsung. Bawa juga bodyguard-mu, karena aku hanyalah orang lemah, tidak akan bisa melindungimu jika ada apa-apa. Ingatlah, nyawaku sendiri tidak berharga, tidak perlu memikirkan keselamatanku. Aku tunggu, Jent." Suara seseorang berkebangsaan Cina dengan menggunakan Bahasa Indonesia, yang gambarnya tampil dengan menggunakan suatu alat yang tidak kukenal, sepertinya menggunakan teknologi Augmented Reality, hanya saja sedikit lebih maju. JW Mariott Shanghai, disinilah aku dan Yuna berakhir setelah lari dari kejaran para pasukan tidak jelas itu dari Park Hyatt Shanghai. Sekarang sudah larut malam sekali, sudah jam 23.42, dua jam lebih setelah aku menemukan kotak berisi alat pemutar rekaman ini. Aku dan Yuna merasa cukup lelah, bukan saja karena kami berlari selama lebih dari satu jam, tetapi juga karena tekanan mental akibat selalu siap-siaga sepanjang waktu untuk mengantisipasi serangan mendadak. Koperku dan koper Yuna masih tertinggal di kamar kami di Park Hyatt Shanghai. Walaupun demikian, aku sudah meminta tolong teman kuliahku dulu untuk mengambilkannya, teman yang sangat kupercaya sejak kuliah dulu. Sebelum kesini, aku menuliskan secarik kertas dan menyempatkan diri ke rumahnya, dan melempar kertas itu ke dalam rumahnya. Aku tahu yang mana kamarnya, walaupun aku belum pernah ke rumahnya, tetapi dengan melihat kebiasaannya dulu sejak kuliah, aku bisa menerka dimana letak kamarnya. Aku percaya bahwa ia akan menjalankan tugasnya dengan baik, aku selalu mengandalkannya dari dulu. Dan tidak lama kemudian, ada suara ketukan kecil di jendela kamar. Aku membuka jendela dan melihat kebawah. Aku melihat Ling, sahabatku itu, mengacungkan jempol dan langsung meninggalkan tempatnya. Dasar, sudah kubilang lari saja setelah mengabariku, masih tetap saja dia menyempatkan diri untuk melihatku. Sahabat yang baik memang. Aku segera keluar dari hotel, dan menuju ke jalan di belakang hotel. Aku menemukan koperku dan koper Yuna tergeletak di pinggir jalan. Setelah memastikan bahwa tidak ada aura membunuh ataupun pandangan mata disekitarku, aku langsung lari dan mengambil koperku dan koper Yuna, lalu lari kembali ke hotel. Sesampainya di kamar, aku memberikan koperku dan koper Yuna kepada Yuna, yang kemudian dia periksa dengan menggunakan signal detector, yang aku tidak tahu dapat darimana dia, apakah ada penyadap atau tidak. "Aman." Jawab Yuna. Setelah itu, aku membuka koperku untuk mengambil baju yang akan kugunakan untuk tidur. Kamarku tempat menginap ini boleh juga, cukup nyaman seperti layaknya hotel bintang lima, tetapi tidak sebagus kamar suite di Park Hyatt, karena kamarku sekarang ini hanyalah kamar biasa. Aku melihat isi koperku, dan berpikir. Aku sudah menyangka tidak akan semulus ini perjalanan kami di Shanghai. Tiba-tiba, Yuna menyodorkan gelas berisi air hangat kepadaku. "Minum dulu pak. Rileks dulu untuk malem ini." Kata Yuna sambil tersenyum manis. Betul kata Yuna. Sekarang ini aku sudah lumayan lelah, lebih baik beristirahat dulu agar bisa berpikir lebih jernih keesokan harinya. Aku meminum gelas air hangat itu. Terasa sangat nikmat dan membuat rileks. Setelah itu, aku segera menuju kamar mandi, untuk berendam di bathtube yang tadi sudah sempat kuisi dengan air hangat. Aku segera membuka seluruh pakaianku, dan berendam di bathtube yang sudah penuh dengan air hangat. Aaahh, enak sekali rasanya. Setelah kira-kira lima menit aku berendam, tiba-tiba pintu terbuka dan Yuna melongokkan kepalanya kedalam kamar mandi. "Kenapa Yun?" Tanyaku. "Mao sekalian dipijit pak?" Tanya Yuna. "Halah, emangnya kamu pembantu, pake pijit-pijit segala." Kataku. "Siapa yang mao jadi pembantu bapak? Aku nawarin sebagai partner aja kok, siapa tau bapak pegel dan butuh dipijit." Kata Yuna. "Gak usahlah Yun. Kasihan kamu nya juga capek." Kataku. Yuna tersenyum dengan manis, dan masuk ke kamar mandi, kemudian mengambil posisi di belakangku, dan mulai memijat pundakku. "Weh, udah dibilangin gak usah." Kataku sambil mengibaskan tanganku untuk menepis tangannya. "Kata bapak tadi kan kasihan karena aku capek. Tapi aku gak capek kok, jadi boleh dong aku mijit bapak." Kata Yuna sambil memasang kuda-kuda memijat pundak. Ya ampun, padahal aku yakin dia juga capek, tetap saja dia maksain buat memijatku. Jarang aku melihat teman yang begitu tulus dan setia. Andai saja aku mengenalnya dari dulu, mungkin dialah yang kupilih jadi istriku, bukan si Erna b*****t itu. Akan tetapi, itulah takdir. Mungkin takdir yang mempertemukanku dengan Erna bermaksud lain, karena apa yang kita inginkan dan kita butuhkan seringkali selalu berkebalikan, bukan? "Yaudah, tapi nanti gantian ya." Kataku. "Eh, gak boleh pak. Masa sekretaris dipijit sama bosnya." Kata Yuna. "Kapan lagi bisa begitu? Mumpung bos nya aku." Kataku. "Gak usah pak, makasih banget. Aku seneng banget bapak mau merendahkan diri kaya gitu cuma buat orang kayak aku. Tapi, bapak harus istirahat habis ini." Kata Yuna. "Paling gak kamu lebih hebat Yun, karena kamu mau merendahkan diri kaya gini cuma buat orang kayak aku. Gimana? Kalau gak mau gantian nantinya, kamu mending keluar dan istirahat." Kataku. Yuna hanya diam saja. "Udah mao aja. Aku juga lagi pengen dipijit nih." Kataku. Yah, mungkin hati kecilku mau mengambil kesempatan, tapi yang aku pikirkan adalah dia ini pastinya juga capek, mungkin pijitan akan sedikit berguna. Yuna tersenyum manis, lalu mengangguk. Ia mulai memijat pundakku. Wuih, jago mijit juga dia. Tubuh dan pikiranku semakin rileks saja dipijit oleh Yuna. Setiap jari-jarinya yang menekan tubuhku sangat pas, mengenai titik-titik darah yang membuat badan lebih rileks. "Kamu belajar mijit dimana Yun?" Tanyaku. "Suka mijit ibuku dulu. Sama baca dari buku mengenai titik darah tubuh manusia." Kata Yuna. "Otodidak yah berarti?" Tanyaku. "Iya pak." Kata Yuna. Ia pun mendorong punggungku dengan pelan, sehingga posisi dudukku tidak lagi bersandar di bathtube. Kemudian pijitan jarinya mulai menuruni punggungku. Wuusshh, makin rileks saja tubuhku ini. Yuna memijitku dengan sangat telaten, tidak satupun pijitannya yang membuatku tubuhku sakit. Setelah selesai dengan punggungku, Yuna kembali menyandarkan tubuhku kembali ke bathtube, dan kini ia beralih kesampingku dan mengambil tanganku yang terendam didalam bathtube. Kali ini aku bisa melihat cara Yuna memijat. Tangannya yang begitu lentik sedang menggerakan jari-jemarinya dengan telaten. Wajahnya pun tampak senang selagi ia memijatku. "Kenapa kamu kayaknya seneng banget Yun?" Tanyaku. "Seneng sih pak. Bisa ngelakuin sesuatu yang bikin bapak seneng, itu aku udah seneng kok." Kata Yuna. "Kenapa gitu Yun?" Tanyaku. "Nggak tahu aku pak." Jawab Yuna. Setelah Yuna selesai dengan kedua tanganku, ia masuk ke bathtube di hadapanku. Ia berjongkok disebelah pangkal pahaku, sehingga membuat setengah bajunya basah, yah memang bukan baju miliknya sih. Kemudian dia berdiri, dan berpikir sejenak. "Kenapa Yun?" Tanyaku. "Aku lagi mikir gimana caranya mijit kaki bapak." Kata Yuna. "Udah, gak usah kalo emang repot. Ini aja udah berasa banget kok Yun." Kataku. "Percuma pak kalo kaki bapak gak dipijit. Kaki kan pusat yang menyimbangin badan manusia. Nanti cepet capek lagi." Kata Yuna. Hmmm? Begitu yah? Aku kurang paham sih. "Pak, bapak risih gak kalo aku buka baju? Aku masih pake daleman sih. Pake baju terusan begini susah geraknya, lagian jadi berat kalo basah bajunya." Tanya Yuna. Buset? Siapa yang akan menjawab tidak jika orang secantik dan seseksi Yuna bertanya seperti itu? Buset, dia ini lagi menggoda iman, atau memang bertujuan murni untuk memijat aku sih? "Harusnya aku yang tanya gitu Yun." Kataku. "Aku sih gak risih, di depan bapak gini." Kata Yuna. "Lah, kenapa didepanku gak risih? Aku laki-laki lho in case kamu gak tau." Kataku. Yuna tertawa geli mendengar perkataanku itu. Ya iyalah, apa sih maksudnya anak ini bilang gak risih di depan aku, membuatku berpikir jangan-jangan dia merasa bahwa aku ini wanita. "Bukan itu pak maksudku. Jadi bapak risih gak?" Tanya Yuna. Dengan yakin, aku menggeleng. Mendapat tanggapanku, Yuna langsung membuka baju terusannya, serta melepaskan ikatan pistol di paha kirinya. Damn, kali ini aku melihatnya dari depan, walaupun belum sepenuhnya telanjang. Buah dadanya betul-betul bulat, aku bisa melihat putingnya sedikit menerawang dari BH putih tanpa busa yang ia kenakan. Pahanya begitu indah, membuat jantungku berdebar dengan sangat kencang. Ia pun duduk disebelah pangkal pahaku, dan mulai memijat pahaku dan turun kebawah sampai ujung dan telapak kakiku. Kemudian ia berpindah ke ujung dan telapak kaki kananku, dan mulai memijat naik keatas hingga ke pangkal paha kananku. Saat memijat pangkal paha kananku, Yuna berposisi merangkak kearahku, sehingga aku bisa melihat buah dadanya dengan jelas. Memang tidak seindah milik Erna b*****t atau Bu Novi, tapi tetap saja buah d**a itu sangat indah. Napasku mulai tidak beraturan, bahkan aku merasakan batang kemaluanku mulai mengeras, hingga akhirnya sedikit muncul ke permukaan air, membuat Yuna tersentak. "Kok tiba-tiba berdiri pak?" Tanya Yuna dengan bingung. Pertanyaan itu membuatku ingin sekali menampol dan menjitaknya. Apa dia saking polosnya ya, sampai tidak tahu kenapa batang kemaluanku bisa berdiri begitu. "Ya iyalah Yun. Kamu cuma pake daleman gitu daritadi keliling-keliling sambil jongkok dan merangkak. Belum lagi tadi kamu pas mijit pangkal paha kananku, kamu merangkak gitu. Itu buah dadamu kelihatan tahu. Gimana batang kemaluanku ga berdiri. Kamu aneh-aneh aja pertanyaannya." Jawabku, dengan aku tidak tahu marah atau bingung. "Lho, emangnya badanku begitu bagus ya pak?" Tanya Yuna sambil bingung. Et dah, rupanya dia benar-benar polos tidak tahu apa yang terjadi toh. "Iya Yun. Badan kamu tuh bagus banget, diatas rata-rata wanita pada umumnya tau." Kataku. Yuna hanya mengangguk sambil tersenyum. Apa pula artinya itu? "Kamu emangnya gak malu ya kalo cuma pake daleman di depan laki-laki?" Tanyaku. "Di depan laki-laki sih pasti malu." Kata Yuna. "Terus aku?? Aku bukan laki-laki menurut kamu?" Kataku dengan nada tinggi. Yuna tertawa terbahak-bahak melihat aku yang berbicara dengan nada tinggi begitu. "Bukan gitu pak. Cuma, kalo di depan bapak, entah kenapa aku gak malu sama sekali." Kata Yuna. "Hmm. Ya sudahlah. Makasih banget Yun udah mijitin aku. Pijitan kamu bener-bener maknyus. Yaudah sesuai janji kita tadi ya, ayo gantian. Kamu yang nyender ke bathtube sekarang." Kataku sambil keluar dari bathtube memperlihatkan tubuh telanjang dan batang kemaluanku yang masih berdiri kepadanya. Yuna pun terlihat masih ragu-ragu dan tidak beranjak dari tempatnya. "Udah, kapan lagi sih bisa dipijit ama bos?" Kataku. Yuna melihat mataku selama beberapa detik, kemudian mengangguk dan akhirnya ia mulai bersandar di bathtube. Aku berjalan kebelakangnya untuk mengambil posisi untuk memijat pundaknya. "Yun, kalo geli ato sakit kasihtau ya. Aku gak pernah mijitin orang loh seumur-umur." Kataku. "Gak pernah mijit orang, tadi bersikeras nawarin mijit." Kata Yuna. "Makanya kamu jadi kelinci percobaanku." Kataku. Yuna tertawa kecil mendengar ucapanku. Aku mulai memijit pundak Yuna. Halus sekali. Jantungku semakin berdebar-debar, batang kemaluanku semakin mengeras. "Jago juga kok bapak mijitnya. Titik darahnya pas semua." Kata Yuna. Aku memang tahu titik-titik darah mana saja untuk dipijat, cuma aku memang belum pernah praktek saja. Aku merasakan rambutnya begitu halus. Pijatanku mulai beralih ke punggungnya. Ya ampun, punggungnya pun begitu halus, membuatku makin tidak konsentrasi. Yuna pun kelihatannya semakin rileks, terlihat dari ekspresi mukanya yang memejamkan matanya dan rileks. Mukanya begitu cantik, cantik sekali. Aku akui kecantikannya berbeda dari Bu Novi maupun Erna b*****t. Bu Novi maupun Erna b*****t memiliki kecantikan model yang membuat orang lain tergoda dan terangsang. Sedangkan Yuna memiliki kecantikan yang menurutku sangat murni, apa adanya, dan tidak dibuat-buat. Karena makin tidak konsentrasi, aku pun salah menekan titik darah, sehingga Yuna pun kaget. Kemudian, aku melihat air mata keluar dari matanya. "Eh Yun, maaf Yun. Aku gak sengaja. Maaf ya, sakit ya?" Tanyaku dengan terbata-bata. "Gak pak. Maaf pak aku jadi nangis. Aku gak bisa ngelukisin apa yang aku rasain." Kata Yuna. "Hah? Kenapa kamu?" Tanyaku dengan heran. "Baru kali ini aku dipijit orang lain pak. Biasanya mah aku yang mijit, aku yang pasang badan, aku yang selalu dimarah-marahin. Tapi beda halnya dengan bapak. Bapak selalu menganggap kita semua sama, termasuk aku. Bahkan bapak sampe mau mijitin aku yang notabene nya cuma sekretaris bapak. Padahal aku katanya sekretaris elit, tapi aku gak ada elit-elitnya sama sekali." Kata Yuna. "Masa sih gak elit? Kalo gak ada kamu, belom tentu loh aku selamat dari hujanan jarum bius di gedung pertunjukkan tadi." Kataku. "Bapak merendah itu. Bapak tuh lebih hebat dari aku, gak mungkin bapak gak selamat." Kata Yuna. "Gak juga Yun, aku bisa sampai sini salah satunya berkat kamu. Coba kalau kamu gak ada, belum tentu aku masih dalam keadaan sehat gini. Lagian aku ya aku, kamu ya kamu, mana yang lebih hebat, itu cerita membosankan." Kataku sambil mengutip kata-kata yang sangat kusuka dari tokoh kartun suatu anime Jepang. "Makasih pak. Ga pernah aku ngerasa sebahagia ini." Kata Yuna, sambil keluar dari bathtube dan merapikan rambutnya. "Bilasan dulu yuk pak." Kata Yuna. Aku mengangguk dan menuju ruang shower. Aku segera menyalakan shower, dan mengatur mode air hangat. Fuuh, semua rasa lelahku seolah-olah hilang sepenuhnya akibat pijatan dari Yuna. Tiba-tiba, aku merasakan ada yang mengusap punggungku. Ternyata si Yuna. Ya ampun, dia sampai mandiin aku. Dia tidak peduli dengan dirinya sendiri, sampai-sampai memandikan aku dulu sebelum mengurusi dirinya sendiri. Andai saja istriku seperti ini, pastilah aku sangat bahagia setiap hari. Setelah selesai menyabuni seluruh tubuhku, ia kembali membilas seluruh tubuhku. Buset, makin lama aku makin terangsang karena seluruh tubuhku dibilas oleh tangannya yang sangat lembut. Setelah selesai membilas seluruh tubuhku, Yuna mengangguk sambil tersenyum manis, ya... senyumnya yang paling manis yang pernah diperlihatkan padaku. Kemudian, ia membuka seluruh dalamannya, dan mulai membilas dirinya sendiri. Heh? Apa?? Dia dengan santainya membuka seluruh dalamannya, padahal aku masih ada disini juga. Aku lihat ia membilas dirinya dengan sangat lembut. Baru kali ini aku melihat seorang wanita mandi selain si Erna b*****t itu. Aku cukup kagum dengan caranya memandikan diri sendiri, menyabuni seluruh tubuhnya, dan kemudian membilas lagi. Setelah selesai, ia mematikan shower dan berbalik badan. Aku melihat salah satu pemandangan yang paling indah dalam hidupku. Kali ini, aku betul-betul melihat tubuhnya dari depan. Buah d**a yang bulat dan padat sempurna, dengan p****g s**u yang indah berwarna merah muda, dan juga rambut kemaluan yang tidak terlalu lebat dan tertata rapi, serta gundukkan daging yang begitu sempurna di pertemuan kedua pahanya. "Lho? Bapak masih disini?" Tanya Yuna sambil mendekat kearahku. Mukanya begitu cantik dan indah. Aku langsung memeluknya, dan mencium bibirnya. Awalnya, Yuna tampak bingung, apalagi ketika lidahku mulai masuk ke dalam mulutnya. Aku bisa merasakan napasnya mulai tidak beraturan, begitu juga napasku. Yuna pun memejamkan matanya mendapatkan kenikmatan yang kuberikan. Lidahnya pun mulai menyambut permainan lidahku. Tangannya mulai memeluk tubuhku. Dalam sekejap saja, kami sudah saling melumat bibir dan lidah masing-masing dengan hebatnya. Kemudian, aku memutar tubuh Yuna, sehingga kini aku memeluknya dari belakang, dan kepalaku kumajukan sehingga kami masih bisa saling melumat bibir dan lidah satu sama lain. Perlahan-lahan, tanganku mulai turun dari d**a bagian atasnya, menuju buah dadanya. Buah dadanya betul-betul pas sekali digenggamanku. Aku mulai bermain-main dengan buah d**a dan putingnya, sementara ciumanku mulai turun ke lehernya. Yuna tampak menggelinjang kegelian. "Yuun..." Desahku. "Ya pak..." Desah Yuna. "Apa yang kamu rasaain?..." Desahku. "Geli pak. Tapi aku gak mao berhenti..." Desah Yuna. "Gimana kalo gini?..." Desahku, sambil menurunkan tangan kiriku ke selangkangannya, dan bermain-main di rambut dan lubang k*********a. "Eeeggghhh..." Yuna tampak menggelinjang kenikmatan. Tangan kiriku terus bermain-main di lubang kemaluan dan klitorisnya, sementara tangan kananku meremas-remas buah d**a dan memuntir-mungir p****g susunya. Bibir dan lidahku sudah kembali melumat bibir dan lidahnya. Aku merasakan napasnya makin tidak beraturan. Aku pun makin terangsang. Buah d**a kanannya begitu pas di tangan kananku, putingnya pun sempurna dan aku rasakan mulai mengeras, permainan lidahnya membuatku semakin terangsang, sementara lubang k*********a sangat licin. Yuna makin lama makin terengah-engah. Tiba-tiba, Yuna melepaskan diri dariku. "Gantian pak." Kata Yuna sambil tersenyum dan mulai berjongkok dihadapan selangkanganku. Tangan kanannya mulai mengocok pelan batang kemaluanku, sementara tangan kirinya mengelus-elus rambut kemaluanku. Kocokannya sangat telaten, aku benar-benar menyukainya. Pelan, tapi pasti, tidak asal mengocok, ada tekniknya sendiri. Setelah beberapa lama mengocok batang kemaluanku, ia mulai mengulum batang kemaluanku. Awalnya diujung kepalanya saja. Dijilat, diemut, dijilat, diemut lagi, diemut dan diemut seperti layaknya sedang mengemut lolipop. Aish, ini sih tidak salah kalau di formulir pendaftarannya ternilai 10 untuk handjob dan blowjob. Aku meragukan apakah ada yang bisa memainkan handjob dan blowjob lebih dari ini, bahkan si Erna b*****t pun kalah jauh dari Yuna dalam hal ini. Akhirnya, seluruh batang kemaluanku mulai terbenam di dalam mulutnya. Diemut, dilepas, dimasukkan lagi, diemut, diputar-putar lidahnya di dalam, dilepas, dimasukkan lagi. Begitulah kira-kira polanya. Nikmat, sangat nikmat. Lalu aku mengelus rambut Yuna. "Yun, lanjut di ranjang aja yuk." Kataku, sambil melepaskan kepalanya dari selangkanganku, dan mengambil handuk untuk diriku dan dirinya. Kami segera mengeringkan tubuh kami, karena tadi basah habis mandi. Setelah kering, kami berdua keluar. Aku mengangkat tubuhnya dengan lembut, dan membawanya ke ranjang. Aku langsung menuju selangkangannya, membuka kedua pahanya, dan memajukkan kepalaku di tengah-tengah kedua pahanya. "Ssss... aahhh... sshhh" Desis Yuna. Tangannya mulai menjambak-jambak rambut di kepalaku bagian belakang. Lubang k*********a tidak mengeluarkan bau yang tidak sedap, malah cenderung memiliki bau dan rasa yang tidak bikin eneg, sehingga aku betah-betah saja berlama-lama mengulum k*********a. Kemudian, aku melepaskan k*********a, dan kali ini aku menindih tubuhnya, dan mencium bibirnya. Yuna pun membalas ciuman dibibirku dengan mesra. Lidah kami pun mulai bermain satu sama lain. Keringat kami pun mulai mengalir, dan berbaur di tubuh kami masing-masing. Kemudian, kepalaku beralih ke buah dadanya. Kuciumi dan kulumat p****g s**u buah d**a kanannya, dan kuremas-remas buah d**a kirinya dengan tangan kananku. "Uugghh... aahhh..." Desah Yuna. Buah dadanya memang nikmat. Kuakui, rasa p****g dan bentuknya tidak senikmat milik Erna b*****t ataupun Bu Novi. Tapi, tetap saja buah dadanya terasa sangat indah dan nikmat, sangat pas dan serasi dengan tubuhnya. Yuna pun semakin menggelinjang kenikmatan, tangan kirinya menjambak rambutku dengan pelan, ia menggigit jari telunjuk tangan kanannya untuk menahan kenikmatan yang kuberikan, sementara tubuhnya terus menggeliat kenikmatan. Aku teringat, apa yang sudah kulalui bersama. Pertama kali bertemu dalam wawancara, proses wawancara itu sendiri, hari pertama dia masuk, keluar makan bersama, menemaniku ke rumah Bu Novi, berangkat bersama menuju bandara, bersama-sama di pesawat, serta saling bahu membahu dalam menghadapi pasukan yang berusaha menyergap kami. Tiba-tiba saja, hati nuraniku muncul. Aku melepaskan Yuna, dan terduduk disebelahnya. Yuna pun bangun dan memegang pundakku. "Ada apa pak?" Tanya Yuna. "Sorry Yun. Gak seharusnya aku melakukan ini ke kamu. Gak pantes aku tuh buat kamu. Aku udah beristri. Lebih baik kamu lakukan nanti dengan orang yang sangat kamu cintai." Kataku. Yuna langsung menepuk pundakku. Aku langsung menoleh kearahnya. Ia memajukan kepalanya, dan mencium bibirku. Tidak hanya mencium, ia bahkan juga melumat bibirku. Kemudian, ia menjatuhkan dirinya ke ranjang, serta menarik juga tubuhku bersamanya sedemikian rupa, sehingga kini posisinya aku sedang menindih tubuhnya, sementara selangkanganku sudah berada diantara kedua pahanya. Birahiku yang tadinya mulai turun sendikit, langsung naik lagi. Sehingga aku pun langsung melumat bibir Yuna, dan memainkan lidahku didalam mulutnya. Setelah selesai berciuman, Yuna menganggukkan kepalanya kepadaku dan tersenyum, sepertinya tanda bahwa aku boleh masuk. Entah apa yang mendorongku, aku mulai memasang posisi batang kemaluanku untuk masuk ke k*********a. Pertama, kugesek-gesekkan dulu batang kemaluanku di bibir lubang k*********a. Yuna pun menggeliat makin hebat, sementara bibir dan lidah kami kembali berpagutan satu sama lain. Aku merasakan bibir k*********a semakin licin oleh cairan pelumasnya, hingga pada akhirnya, kudorong pantatku sepenuhnya, sehingga batang kemaluanku sudah terbenam sepenuhnya kedalam lubang k*********a. Bleess... Sempit sekali lubang kemaluan Yuna. Apakah dia masih perawan? Ah sudah lah tidak ada gunanya memikirkan itu. Aku mulai memaju mundurkan pantatku, sehingga batang kemaluanku kini keluar masuk ke dalam lubang kemaluan Yuna. "Haaahhh... haaaahhh.. haaaahhh.." Desah Yuna mendapat kenikmatan yang kuberikan. Saat batang kemaluanku terbenam di dalamnya, seolah-olah rongga lubang kemaluan Yuna memijit-mijit batang kemaluanku. Betul-betul nikmat sekali yang kurasakan sekarang ini. Lama-kelamaan, p****t Yuna pun ikut bergoyang menyeimbangi genjotanku. Saat aku maju, pantatnya ikut maju, saat aku mundur, pantatnya bergoyang ke kiri atau kanan. Irama permainan kami sangat teratur. "Haaahhh... Huuuhhh... Hooohhh..." Desahku yang sangat menikmati permainan ini. Yuna mulai memeluk tubuhku dengan erat, sementara ciumannya juga semakin liar, begitu juga dengan goyangan pantatnya. Tapi itu semua dilakukan tetap dengan irama yang stabil. "Yuunn... mao keluaarr?..." Desahku. "Ss... soorry paakk. Akuu gaak kuaat.. Aku keluaarr duluaan boleeh?..." Erang Yuna. Aku mengecup pipinya dengan lembut, menambah irama genjotanku, serta memuntir-muntir p****g susunya. "Ayo yun, keluarin..." Kataku terengah-engah. "Sssshhhhhh.... Nggghhhhhhh..." Erang Yuna. Saat itu juga kurasakan pijitan rongga lubang k*********a semakin kuat. Tubuhnya menjadi kejang-kejang. Dan kurasakan ada semprotan cairan yang hangat. Aku menghentikan genjotanku, dan mengulum bibirnya untuk membiarkan dia menikmati orgasmenya. Lama-kelamaan, pijitan di rongga lubang k*********a mulai hilang, semprotan cairan hangat itu pun juga mulai berkurang, tubuhnya melemas, dan ia berusaha mengatur napasnya. Aku pun tidak bergerak, untuk membiarkan dia mengatur napasnya. Kemudian dia mulai membuka matanya, dan mencium bibirku dengan lembut. "Aku masih kuat pak, bapak lanjutin aja. Bapak kan belum keluar." Kata Yuna dengan lembut sambil tersenyum manis. Aku membalas mencium bibirnya dengan lembut. Jujur, bukan hanya birahi yang kurasakan disini. Entah, ada sesuatu yang lain yang kurasakan, dan aku kurang mengerti apa itu. Rasanya tidak seperti gelora waktu bercinta dengan Bu Novi. Melainkan, seperti gelora waktu bercinta dengan istriku. Sudah sejak kejadian perselingkuhan istriku itu, aku tidak pernah merasakan gelora seperti itu lagi. Hidup pernikahanku terasa hampa tanpa gelora itu. Tapi kini, Yuna mengingatkanku akan gelora itu. Walaupun aku sudah melupakan nama dari gelora itu, tapi aku ingat aku pernah merasakannya. Kini, aku mulai mencium dan mengulum bibir Yuna dengan lembut. Tanganku bermain-main di buah d**a dan perutnya, sementara batang kemaluanku melakukan gerakan-gerakan kecil dalam lubang kemaluan Yuna. Sesekali, aku memutar pantatku, agar batang kemaluanku ikut berputar didalamnya. Yuna memejamkan matanya, napasnya sungguh teratur, kedua tangannya memeluk tubuhku dengan lembut. Aku bisa merasakan bahwa ia sangat rileks, karena entah kenapa seolah-olah pikiran dan perasaan kami betul-betul menyatu. Bermenit-menit kami ada dalam posisi ini, hingga pada akhirnya aku merasakan napasnya mulai terengah-engah. Pelukannya semakin erat, sementara lidahnya semakin liar bermain dengan lidahku. Aku yang merasakan bahwa birahinya mulai akan naik lagi, aku mulai menggenjot batang kemaluanku dengan cepat. Yuna pun kembali menggoyang-goyang pantatnya. Kemudian, aku menghentikan genjotanku, dan mencabut batang kemaluanku dari lubang k*********a. Yuna langsung bangun dari posisi tidurnya, dia mengerti apa yang kuinginkan. Kini aku tidur telentang di ranjang, sementara Yuna merangkak untuk menindih tubuhku. Ia memasang posisi batang kemaluanku, dan mendorong lubang k*********a kebawah sehingga lubang k*********a sudah melahap seluruh batang kemaluanku. Kini aku berada dibawah, sedangkan Yuna diatas. Yuna terus memutar-mutar pantatnya dengan irama yang teratur. Sungguh, aku hanya bisa merem-melek mendapatkan kenikmatan yang ia berikan. Kepalanya ia majukan untuk mencium dan melumat bibirku. Sungguh kenikmatan yang tiada tara yang Yuna berikan kepadaku. Aku pun bisa melihat buah d**a Yuna ikut berputar naik turun mengikuti irama pantatnya. Meskipun begitu, buah dadanya tetap berputar naik turun sambil mempertahankan posisi indahnya, tidak menjuntai-juntai kemana-mana, tetap mempertahankan bentuk bulatnya. Aku jadi gemas sendiri, ingin meremas-remas buah d**a yang indah itu. Maka tanganku pun mulai bergerilya di kedua buah d**a Yuna. Cukup beberapa menit saja kami berada di posisi ini, sampai irama p****t Yuna kini hanya naik-turun teratur saja. Badannya mulai mengejang, sementara kedua tangannya memeluk leherku, ciumannya juga semakin liar. "Yuunn... keluariin lagi ajaahh..." Erangku. Kali ini, irama genjotan pantatnya sangat cepat. Dan tidak lama kemudian, kembali kurasakan pijitan yang luar biasa di batang kemaluanku dan juga semprotan cairan yang hangat. Otomatis, aku merasakan nikmat yang semakin tinggi, membuat spermaku hendak meledak. Gawat, ini tidak bisa kutahan, spermaku sebentar lagi akan menyemprot. "Yuunnn... cabuutt pantaatmuuhh.. aku maoo keluaarrr..." Erangku. Yuna tidak mencabut pantatnya, malah menggoyang-goyangkan pantatnya sambil mencium bibirku. Kedua tanganku diarahkan untuk memegang kedua buah dadanya. Akhirnya spermaku meledak, tidak terhindarkan lagi. Croott.. croott.. croottt... Spermaku menyembur deras, dan semakin deras lagi diakibatkan goyangan p****t Yuna yang tidak berhenti-berhenti. Aku merasakan kenikmatan yang tiada tara sekali. Memang menyemburkan s****a di dalam lubang kemaluan itu beda sekali sensasinya dengan menyemburkan s****a diluar. Aku merasakan spermaku sudah membasahi seluruh dalam lubang kemaluan Yuna. Kami masih tetap berpelukan satu sama lain, dan saling mencium bibir masing-masing, sambil mengatur pernapasan kami. Setelah kira-kira dua menit, akhirnya pernapasan kami sudah normal. Tetapi, pelukanku di tubuh Yuna masih belum juga lepas. Aku tidak ingin melepas pelukanku ini, seolah-olah ingin aku memeluk tubuhnya selamanya. Yuna yang masih berada diatasku pun membuka matanya. Ia tersenyum dengan sangat lembut, dan mulai membelai-belai rambutku. Aku pun tersenyum sambil memejamkan mataku. Kali ini, aku mendorong kepala Yuna kearah dadaku, dan kini aku yang mengelus-elus rambutnya. Batang kemaluanku masih terbenam didalam lubang k*********a. Setelah kira-kira sepuluh menit, Yuna pun tertidur didalam pelukanku. Aku masih mengelus-elus rambutnya. Malam yang betul-betul panjang. Banyak yang telah terjadi, hingga akhirnya aku dan Yuna menjalin hubungan badan seperti ini. Entah kenapa, aku tidak menyesali perbuatanku sama sekali, aku tidak menyesal sudah menjadi monster yang sama seperti Erna b*****t itu. Entahlah, waktu bercinta dengan Bu Novi, ada sedikit perasaan bersalah di dalam hatiku. Tapi dengan Yuna, hanya rileks dan kebahagiaan yang kurasakan setelahnya. Entahlah, aku sendiri juga bingung mengapa demikian. Tidak lama kemudian, aku pun tertidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD