EPISODE 8 : Pertemuan

3706 Words
Aku terbangun pagi itu. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 08.02 waktu Shanghai pagi. Lama sekali aku tertidur. Aku juga masih dalam keadaan telanjang... Apa? Kenapa aku bisa telanjang?? Aku mulai panik sambil mengingat-ingat. Oh iya, semalam aku habis you know what dengan Yuna. Lalu dimana dia sekarang, dia tidak ada di dekatku atau dimanapun. Ketika aku bangun, aku melihat sesosok wanita, sedang berbuat sesuatu di mini-bar. Wanita itu pun menoleh. "Pagi pak, sudah bangun toh. Ini aku lagi buatin teh." Kata Yuna sambil tersenyum manis. Astaga, baik sekali wanita ini. Bangun duluan, dan membuatkan teh untukku. Tidak lama kemudian, Yuna datang kearahku, sudah membawa satu stel pakaianku yang diambil dari koperku, dan dua cangkir teh di pergelangan tangan kirinya. Setelah itu, aku mengenakan pakaianku, dan mulai menyeruput teh yang dibuat oleh Yuna. Yuna pun ikut minum teh bersamaku. Aku bangun dan menyeruput teh buatannya. Gulanya pas dengan rasa tehnya. Aku, yang bukan penggemar teh, bisa mengatakan bahwa teh ini sangat enak. Artinya tidak begitu enak yah kalo bagi penggemar teh? Hahaha. Aku yakin tidak begitu sih. Aku jadi ingat sepenuhnya detail-detail permainan kami semalam. "Yun. Sorry ya yang semalam." Kataku. "Sorry kenapa ya pak?" Tanya Yuna. "Sorry, karena aku main sergap kamu aja, dan akhirnya malah menyetubuhi kamu." Kataku dengan tulus. "Kirain sorry kenapa pak. Itu gak apa-apa kok pak." Kata Yuna sambil sedikit tersenyum. Buset, kenapa nih anak malah tersenyum sih? Emang penuh dengan misteri, seperti yang pernah kukatakan kepada Bu Novi. "Bapak mau nemuin orang yang ada di recorder itu?" Tanya Yuna. Aku hanya mengangguk pelan. Aku ingin tahu apa yang sebetulnya sedang terjadi. Memang, Bu Novi sudah memberitahuku bahwa aku memang terkenal di kalangan pebisnis underground. Akan tetapi, entah kenapa aku merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu. Karena itu, aku mengambil keputusan untuk menemuinya, siapa tahu dia mengetahui sesuatu tentang permasalahan ini. "Kalau ini jebakan gimana pak?" Tanya Yuna. "Yah, diem disini pun ga akan membuat kita maju selangkah pun. Lebih baik maju saja menghadapi bahaya. Memang beresiko, tapi paling tidak ada kemungkinan untuk maju." Kataku. "Baik pak. Saya akan nemenin bapak kemanapun bapak pergi." Kata Yuna. "Kamu yakin? Kita bahkan belum tentu bisa pulang hidup-hidup lho." Kataku. "Tugasku adalah maju duluan, melindungi bapak. Yang penting bapak bisa pulang dengan selamat. Aku mati pun gak apa-apa." Kata Yuna. "Mantap amat resolusi kamu. Apakah karena kerjaan kamu sebagai sekretaris elit saya?" Tanyaku. Yuna tidak menjawab. Terlihat ia sedang berpikir keras, entah apa itu yang dipikirkan. Melihatnya pusing begitu, aku langsung mendekat dan mencium bibirnya. "Yuna, kita akan pulang dengan selamat. Aku akan usahain yang terbaik untuk ngelindungin kamu." Kataku. "Nggak pak, yang harusnya dilindungi itu adalah-" Kata Yuna, langsung kupotong dengan menutup mulutnya. "Udah-udah, cukup. Kita saling melindungi satu sama lain ya, kita ini kan partner." Kataku. Yuna terlihat ragu-ragu, dan kemudian ia mengangguk dengan tersenyum. Tiba-tiba saja, aku penasaran dengan apa yang sedang dilakukan si Erna b*****t itu sekarang. Tapi, aku tidak boleh menyalakan smartphone-ku atas perintah orang tua di recorder player itu. Sebetulnya kenapa ya aku tidak boleh menyalakan smartphoneku? Aku yakin smartphone-ku tidak dilacak. Tunggu-tunggu, aku ingat bahwa begitu sampai ke bandara Shanghai, ada sms masuk mengenai sinyalku yang dapat digunakan karena kerjasama antar provider. Dari situkah mereka bisa melacak smartphone-ku? Aku melihat-lihat sekitarku. Ada komputer yang tersambung dengan jaringan. Tunggu? Alamat email yang biasa kugunakan untuk berkomunikasi dengan Peter sudah terintegrasi dengan sistem keamanan yang ketat, yang tidak bisa ditembus bahkan oleh skala internasional sekalipun. Baiklah, asalkan aku bisa menginstall suatu program di komputer kamar hotel ini, harusnya aku tetap bisa melihat email. Tidak ada salahnya dicoba. Aku membuka komputer yang ada di kamar hotel, dan mulai mengunduh installer program yang aku ingin gunakan. Diluar dugaan, aku tidak perlu meretas sistem keamanan apapun di komputer hotel ini. Bagaimana ya jika aku ingin menginstall virus di komputer ini? Tembus dong komputer hotel? Tapi ya sudah lah, aku harus bergerak cepat. Setelah selesai meng-install program yang aku inginkan di komputer ini, aku mengatur setelan program, memasukkan beberapa kode C di level sistem operasi, dan kemudian mengintegrasikan dengan emailku. Betul saja, ada banyak sekali email yang memiliki tanda penting dari Peter. Email terakhir yang penting adalah tadi pagi subuh, sedangkan sebelum terakhir adalah kemarin malam jam 22.13. Aku membuka email terakhir yang jam 22.13 kemarin malam dan mengunduh video rekaman dalam email itu. "Hmmm, Yuna. Bisakah kamu pergi sebentar? Ini video yang gak pantes untuk kamu lihat. Aku mohon. Aku ingin melihatnya sendiri saja." Kataku. "Baik pak, nggak apa-apa kok." Kata Yuna seraya menjauh dari meja komputer. Aku lihat ia kembali ke ranjang, dan menonton TV. Video rekaman dari Peter dimulai dengan adegan si Erna b*****t dan si Adi b*****t masuk ke kamar hotel. Kamar hotel apa ya ini? Sepertinya aku pernah lihat. Astaga, aku ingat, ini adalah kamar hotel tempat aku menikah dengan Erna. Aku tidak menyangka, bahkan si Erna b*****t itu tega mengotori kenangan pernikahan kita. Tapi, aku pun sudah menjadi b*****t yang sama dengan si Erna b*****t itu. Sudah dua wanita diluar istriku yang kusetubuhi, Bu Novi dan Yuna. Setelah itu, kedua b*****t itu membuka seluruh pakaian mereka sampai mereka betul-betul telanjang, dan masuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, mereka saling berciuman dan mengulum bibir satu sama lain, sambil membilas tubuh mereka dengan shower. Sangat panas, tetapi lembut, begitulah permainan mereka. Tangan si Adi b*****t itu mulai menggerayangi kedua buah d**a istriku. Lalu, tubuh istriku diputar oleh si Adi b*****t itu, sehingga kini tubuh istriku membelakangi tubuh si Adi b*****t itu. Aku dapat melihat dengan jelas kedua tangan si Adi b*****t itu sedang meremas-remas buah d**a istriku. Istriku tampak menggelinjang kenikmatan, langsung disusul dengan ciuman dan kuluman bibir si Adi b*****t itu. Salah satu tangan si Adi b*****t mulai meraba-raba ke daerah kemaluan istriku. Aku melihat ekspresi istriku semakin seperti kesetanan saja. Setelah itu, si Adi b*****t itu melepaskan istriku, kembali memutar tubuh istriku sehingga kini ia kembali berhadapan dengan si Adi b*****t, dan mendorong kedua pundak istriku sehingga kini istriku berjongkok di hadapan selangkangannya. Kali ini, istriku mengocok-ngocok batang kemaluan si Adi b*****t itu, sementara si Adi b*****t hanya keenakan sambil mengusap-usap rambut istriku. Setelah itu, istriku berdiri dengan cepat, dan mengambil handuk untuknya dan untuk si Adi b*****t itu, lalu mengeringkan tubuh mereka masing-masing dengan terburu-buru. Lalu, si Adi b*****t kembali mencium dan mengulum bibir istriku dengan terburu-buru, sambil kemudian mengangkat tubuh istriku dan keluar dari kamar mandi. Si Adi b*****t itu berjalan sambil mengangkat tubuh istriku menuju ranjang. Sebelum sampai ke ranjang, si Adi b*****t itu menurunkan istriku di sebelah ranjang, sementara ia berbaring duluan di ranjang. Si Erna b*****t itu ikut naik ke ranjang, dan memposisikan dirinya di depan batang kemaluan si Adi b*****t itu, sementara lubang k*********a ia moncongkan ke muka si Adi b*****t itu. Si Adi b*****t mulai mengulum kemaluan istriku, sementara istriku mulai mengocok-ngocok dan menjilat-jilat batang kemaluan si Adi b*****t. Istriku tampak sangat menikmatinya, terlihat dari matanya yang merem melek, sementara tubuhnya cukup bergetar. Jujur, pikiranku sangat panas melihat adegan ini, ingin rasanya aku memecahkan layar komputer didepanku ini. Cukup lama mereka dalam posisi ini, sekitar lima menit. Setelahnya, istriku lebih dulu melepaskan kocokan dan jilatannya di batang kemaluan si b*****t, kemudian mencabut k*********a dari kuluman bibir si Adi b*****t itu. Kemudian, istriku merangkak, dengan agak mencondongkan pantatnya kebelakang. Si Adi b*****t itu pun berdiri dan memegang pinggul istriku. Kemudian, ia menusuk-nusukkan selangkangannya ke kemaluan istriku. Aku melihat kearah Yuna, memastikan bahwa ia tidak sedang melihat kearahku, dan memang ia sedang asyik menonton televisi. Aku mengambil headset yang terpasang di komputer ini, lalu mengenakannya sehingga aku bisa mendengar suara mereka. "Uuuuhhh... Teerruuusss Diiiii... akuu gaakk kuaaatt..." Erang istriku, sambil mengimbangi genjotan si Adi b*****t dengan menggoyang pantatnya. Makin lama, si Adi b*****t itu menggenjot istriku dengan semakin cepat. Ia mulai membungkukkan badannya, sehingga kedua tangannya bisa meraih kedua buah dadaku dari belakang, sementara bibirnya juga meraih bibir istriku dan mengulumnya. Istriku melepaskan kuluman bibirnya, dan memeluk kepala si Adi b*****t itu ke lehernya, sementara si Adi b*****t mulai menjilati leher istriku. Tidak lama kemudian, istriku mulai merem-melek hebat, sementara goyangan pantatnya semakin gila, bibirnya terus mengulum bibir si Adi b*****t itu. "Diiii... akuuu maaooo orgaassmeee sayaaangg... terusss..." Erang istriku. Melihat istriku hampir o*****e, si Adi b*****t itu makin seperti kesetanan menggenjot kemaluan istriku. Seluruh tubuh istriku bergetar, pantatnya dia dorong sekuat-kuatnya kebelakang, bibirnya terus mengulum bibir si Adi b*****t itu. "Eeeggghhhh.... uuuugggghhhh..." Engah istriku, yang langsung melepaskan kuluman bibirnya dari si Adi b*****t itu. "Ouuhhhh... Akuu orgaasmeee sayaaannggg... uuuuhhhh..." Erang istriku yang kini dapat mengerang bebas karena mulutnya sudah tidak dihalangi oleh mulut si Adi b*****t. Setelah istriku sepertinya melemas karena orgasmenya sudah selesai, si Adi b*****t itu melepaskan batang k*********a dari kemaluan istriku, dan ia berbaring diatas ranjang. Ia menarik kedua kaki istriku, dan memutar tubuhnya, sehingga kini istriku ada didalam pelukan si Adi b*****t itu. Sambil memeluk tubuh istriku, ia mengelus-elus rambut istriku. "Pernah gak dapet yang kaya gini sama suami?" Tanya si Adi b*****t sambil mengecup kening istriku. Kurang ajar! Berani-berani nya si Adi b*****t itu mengintimidasi istriku dengan membawa-bawa aku. Aku sudah bertekad, begitu pulang kembali ke Jakarta, akan kusiksa si Adi b*****t itu, dan kubuat dia merasakan neraka hidup. Dia tidak akan kubunuh, karena kematian adalah peristirahatan yang tenang, begitulah pikirku. Akan kubuat dia tetap hidup, tetapi menderita selamanya. Tapi yang membuatku lebih marah lagi adalah, istriku menjawabnya dengan gelengan kepala. Sejauh itukah kamu jatuh, istriku? Apakah aku masih bisa menolongnya bangkit dari jurang dosa itu? Entahlah, aku juga tidak tahu. Saat ini rasanya aku betul-betul marah sekali. "Yuk lanjut." Kata si Adi b*****t itu sambil mencium bibir istriku, dan kemudian membangunkan tubuh istriku, dan mendudukkan tubuhnya diatas s**********n si Adi b*****t yang sudah terduduk juga itu. Kali ini, si Adi b*****t sudah dalam posisi duduk, sementara istriku yang sepertinya masih cukup lemas, berjongkok diatas batang kemaluan si Adi b*****t itu sambil membelakanginya untuk mengambil posisi. Ia menggenggam batang kemaluan si Adi b*****t itu untuk diarahkan ke lubang k*********a, dan kemudian mendorong pantatnya kebawah. Setelah batang kemaluan si b*****t itu dilahap sepenuhnya oleh kemaluan istriku, istriku mengambil posisi yang membuat dirinya lebih nyaman, dan kemudian membimbing tangan si b*****t itu untuk memegang kedua buah dadanya. Setelah itu, istriku menaik-turunkan pantatnya, sementara bibir mereka saling berpagutan. Sesekali, p****t istriku berputar-putar, sehingga makin membuat si Adi b*****t itu merem melek. Sesekali juga, si Adi b*****t itu juga menggoyang pantatnya, sehingga makin membuat istriku merem melek. Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit, genjotan si Erna b*****t itu semakin gila. Si Adi b*****t juga semakin gila dalam meremas-remas buah d**a istriku, dan juga memainkan lidahnya didalam mulut istriku. "Oooohhhh... Adii sayaaangg... aku maoo orgaassmmee lagii..." Erang si Erna b*****t. "B..buuu... bareeenngg...." Erang si Adi b*****t. "Iyaaahh... Keluariinn di daleemm yaaahh..." Erang si Erna b*****t. "Ooooohhhhh... uaaaaahhhhhhh... Aku keluaarr buu..." Erang si Adi b*****t. "Akuu jugaa orgassmeee sayaanngg..." Erang si Erna b*****t. Mereka sama-sama mengerang panjang, hingga akhirnya mereka berhenti mengerang dan mengatur napasnya. Aku bisa melihat dari lubang kemaluan Erna b*****t yang masih melahap batang kemaluan si Adi b*****t itu keluar cairan putih yang adalah s****a milik si Adi b*****t itu. Masih dalam posisi yang sama, mereka saling bermain bibir dan lidah satu sama lain. Setelah itu, aku mematikan video rekamannya, melepaskan headset yang kupakai dan membantingnya. Hatiku betul-betul dipenuhi amarah. Tetapi, belum sempat aku melepaskan amarahku, tiba-tiba ada sesuatu yang memukul-mukul pundakku dengan pelan. Setelah kulihat kebelakang, ternyata Yuna sedang memijat pundakku. "Kamu kenapa Yun? Kok tiba-tiba maen pijit aja?" Tanyaku. "Aku tadi nonton TV udah ngerasa, aura membunuh bapak tuh menuhin seluruh ruangan ini tau. Dan setelah itu, aku denger bapak ngebanting headset, jadi aku berasumsi kalo bapak udah selesai nonton video. Yah siapa tau ini bisa ngebantu nenangin bapak." Kata Yuna sambil memijat-mijat pundakku. Aku akui, amarahku memang jauh mereda diperlakukan Yuna seperti ini. Aku sungguh sangat bersyukur, ada Yuna yang menemaniku. Disaat aku harus mempertaruhkan nyawa di negara orang seperti ini, dan juga disaat aku harus menghadapi kenyataan bahwa istriku sudah selingkuh dengan sangat parah, ada Yuna seperti sekarang ini disisiku membuatku sangat tenang. Aku merasa memiliki sahabat yang sangat setia sekaligus bisa kuandalkan. "Yun, semalem aku udah jahat sama kamu. Kenapa kamu tetep baik sama saya, seolah-olah gak ada perasaan... benci terhadapku." Tanyaku. "Bapak selalu baik sama aku kok, nggak pernah jahat sama aku." Kata Yuna. "Oke. Aku rubah pertanyaannya. Kamu tahu aku udah beristri, kenapa kamu tetep mao nyerahin tubuh kamu ke aku. Apakah kamu gak jijik, bermain dengan aku yang udah punya istri begini?" Tanyaku. "Sama sekali nggak pak." Kata Yuna. "Are you really dying to know why? (Apakah kamu sebegitu ingin tahunya)" Tanya Yuna. "Yes, I do. (Ya. Aku ingin tahu)" Kataku. Kemudian Yuna tersenyum, sangat manis. Kemudian menghentikan pijatannya, dan pergi ke kamar mandi. Lah, ditanya malah pergi ke kamar mandi. Maunya apa ya? Kemudian dia keluar, dan membawa handuk kecil. Setelah membuka lipatan handuk kecil itu, ia menempelkannya dikepalaku seperti layaknya mengompres orang sakit. Hangat sekali handuknya, membuat pikiranku lebih rileks. "Ditanya kenapa, malah berbuat gak jelas gini." Ketusku. "Hehehehe." Tawa Yuna dengan senyumnya yang manis. "Tapi makasih ya Yun. Aku mungkin udah gak bernyawa seandainya gak ada kamu disini." Kataku. "Ah merendah si bapak ini. Aku yakin kok bapak pasti bisa tetep hidup walaupun nggak ada aku disini. Dari cara bapak menghabisi dua orang pembunuh itu, aku bisa lihat bapak lebih jago dari saya." Kata Yuna. "Oh, bukan mati dibunuh Yun. Tapi mati gila. Ada hal yang membuatku lebih gila dibandingkan harus menghadapi para pembunuh itu." Kataku. "Apa itu pak?" Tanya Yuna. "Yaah, urusan pribadi sih Yun. Makasih karena kamu begitu peduli, tapi aku gak mao nyeret kamu ke dalam masalah pribadiku. Kasihan kamunya." Kataku. "Ah, nggak apa-apa pak kalo itu alasannya. Kecuali, kalo alasannya adalah bapak gak pingin ngasihtau aku, itu baru bapak jangan ngomong deh." Kata Yuna. Aku hanya tersenyum. Bisa saja si Yuna ini. Tapi sungguh, aku betul-betul tidak ingin menyeret orang sebaik dia ke dalam masalahku. Tidak terasa, waktu pertemuanku dengan si profesor dalam rekaman itu semakin dekat. Sekitar tiga jam lagi. Aku segera bersiap-siap. Ganti baju, siapkan pedang samurai kesayanganku, makan siang, dan mandi. Setelah selesai mandi, aku membungkus pedang samuraiku yang berukuran delapan puluh sentimeter itu dengan kain berwarna hitam, dan mengikatkannya di punggungku. Aku mengenakan celana pendek tiga-perempat berwarna hitam, dan juga kaos polo berwarna hitam juga. Yuna pun juga mengenakan baju serba hitam, yaitu kaos berbuntut belakang panjang dan celana pendek selutut. Kami membawa juga passport, dompet, dan smartphone kami. Kami segera menuju kamar 1831, dan sudah sampai hanya dalam waktu beberapa menit. Hmmm, tidak terasa ada tanda-tanda kehidupan didalam. Aku mengetuk pintu kamar 1831 itu. Akhirnya, pintu terbuka setelah kira-kira semenit lamanya, dan muncullah orang yang betul-betul sama dengan orang yang ada di rekaman itu. Wah, bukan orang sembarangan dia, mampu menyembunyikan tanda-tanda keberadaannya. Ia tersenyum, dan mempersilakan kami berdua masuk. Kamar yang dimilikinya kurang lebih sama seperti kamar kami. Lalu, ia mempersilakan kami duduk setelah menutup pintu dan menguncinya dengan rantai. "Wang." Katanya sambil mengajakku bersalaman. "Jent." Kataku sambil bersalaman. "Wang." Katanya sambil mengajak Yuna bersalaman. "Yuna." Kata Yuna sambil bersalaman. "At last (akhirnya), harapan terakhir, atau bahkan kehancuran umat manusia telah datang." Kata Profesor Wang. "Secara garis besarnya saya sudah tahu pak. Ini menyangkut riset saya waktu saya mengambil gelar PhD. Saya masih ingat betul pak. Advanced Reinforcement Learning for Highly Intelligent Universal Agent." Kataku. "Ya, memang penelitian itu yang sedang diincar oleh mereka." Kata Profesor Wang. "Tapi, penelitian itu dihentikan prof di tengah jalan. Computer Science Council memutuskan bahwa penelitian saya itu sangat berbahaya untuk dilanjutkan, sehingga penelitian dihentikan." Kataku. "Sudah berapa persen?" Tanya Profesor Wang. "Mungkin sekitar empat puluh persen?" Kataku. "Yak, that's a big problem (itu masalah besar). Karena mereka sudah tahu bahwa penelitianmu itu sudah berjalan, dan angka empat puluh persen itu adalah titik terang yang lumayan terang." Kata Profesor Wang. "Siapa mereka itu prof?" Tanyaku. "Hmmm. Jika kamu tidak tahu siapa mereka, apa tujuanmu datang kemari?" Tanya Profesor Wang. "Berbasis apa yang saya tahu, saya datang ke Shanghai untuk menemui calon client perusahaan saya, yang adalah mafia Cina." Kataku. Profesor Wang menatapku tajam, cukup lama. Kemudian, beliau mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Organisasi rahasia dunia bawah. Bahkan diantara para pebisnis dan organisasi tinggi dunia bawah, mereka tetap rahasia. Organisasi yang keberadaannya hanya diketahui oleh para petinggi organisasi tersebut. Bahkan anggota-anggota eselon menengah pun mempertanyakan keberadaan organisasi ini. Jika kamu percaya dengan adanya organisasi seperti Illuminati, mungkin organisasi ini selevel dengan mereka, kalau tidak lebih tinggi. Hanya saja nama mereka betul-betul tidak pernah terdengar di kalangan masyarakat. Aku pun ragu bahkan orang sepertimu pernah mendengar tentang mereka." Kata Profesor Wang. Haah, pernyataan klasik yang biasa kudengar dari film-film action sekelas James Bond dan Mission Impossible, ya... organisasi rahasia. Dan kali ini, aku bukan sedang menonton film action itu, melainkan aku actor utama dari film action itu. Sial, jika aku sebagai penonton merasakan keseruan yang dipertontonkan oleh actor film action itu, kali ini akulah penghibur para penonton karena posisiku disini layaknya sebagai actor film action. "Ada informasi mengenai organisasi itu?" Tanyaku. "Nama organisasi itu adalah Myth. Ya, mitos. Karena saking rahasia nya, sampai-sampai anggota nya sendiri menganggap bahwa organisasi itu hanyalah mitos. Organisasi itu memiliki teknologi yang sangat maju dalam hal apapun. Perang, IT, militer, teknik, dan ilmu pengetahuan. Mereka sangat maju dalam seluruh hal itu, lebih maju dari teknologi yang dapat dikembangkan oleh manusia sekarang. Saranku..." Kata Profesor Wang, yang tiba-tiba berhenti berbicara. Tiba-tiba, Profesor Wang sudah terjatuh dan memegangi d**a kirinya. "A...aaa...." Erang Profesor Wang kesakitan. "Profesor, kenapa?" Tanyaku sambil berdiri dari posisi dudukku dan membantu Profesor Wang. Yuna pun juga berdiri dan ikut membantu. "(cang cing cung ceeng congg)..." Kata Profesor Wang menggunakan bahasa mandarin dengan cepat. Setelah itu, Profesor Wang berhenti bergerak. Detak jantungnya berhenti, dan beliau tidak lagi bernyawa. Sakit jantungkah? "Tidak ada tempat yang aman. Jangan percaya siapapun. Itulah kata-kata terakhirnya." Kata Yuna. Haduh, makin runyam saja situasinya. DRUK... DRUK... DRUK... "(Cang cing coongg sung sing song)!" Kata seseorang di depan pintu kamar kita, sambil menggedor-gedor pintu kamar ini. "Gawat pak. Polisi Shanghai. Mereka mencurigai adanya pembunuhan di kamar ini." Kata Yuna. Gila, secepat itukah mereka bergerak? Bagaimana caranya? Aku sangat bingung. Tapi, tidak ada waktu banyak untuk berpikir. Kami harus segera lari dari kamar ini. Aku melihat sekeliling. Bersembunyi sama dengan tertangkap. Baiklah, satu-satunya jalan adalah jendela. Untungnya, kamar ini memiliki beranda. Aku segera membuka jendela, dan... Oh sial, tidak mungkin aku selamat jika melompat. Dengan sigap, Yuna langsung menempelkan suatu alat, yang aku tidak tahu itu apa, ke tembok diluar jendela. "(Cang cing sung sang cong cang)!" Teriak suara didepan pintu kamar. "Berpegangan erat pak sama aku." Kata Yuna sambil mengulurkan tangannya. Yah, aku ikuti saja kemauannya. Aku menggenggam erat tangannya, kemudian Yuna menarikku serta melompat keluar jendela. Dari alat yang ditempelkan Yuna ke tembok itu, keluarlah tali tambang berwarna hitam yang cukup kuat untuk menyokong berat badan kami berdua. Dalam waktu beberapa puluh detik, kami sudah mendarat dibawah, dan yang menunggu didepan kami adalah... segerombolan polisi yang sudah mengepung dan mengarahkan senjatanya kearah kami. Saat aku melihat keatas, beberapa polisi sudah mulai turun dengan menggunakan alat yang serupa dengan yang Yuna gunakan untuk turun. "(Cang cing pong pang ping pong)!" Teriak salah satu dari polisi itu. Walau aku tidak mengerti bahasa Mandarin, tapi entah kenapa aku tahu mereka menyuruh kami meletakkan barang kami, dan mengangkat tangan. Dalam situasi seperti ini, tidak ada jalan lain. Aku meletakkan pedang samuraiku di tanah, dan mengangkat tangan. Yuna pun melakukan hal yang sama. Dua dari segerombolan polisi itu mendekat kearah kami, dan memborgol tangan kami. Kemudian, kami dinaikkan ke suatu kendaraan, dan kendaraan itupun membawa kami. Sudah sekitar setengah jam kami dibawa pergi oleh kendaraan itu. Paling-paling mereka mau membawa kami ke kantor polisi. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang tidak kuduga. Polisi yang tadinya memegang setir kendaraan itu, tiba-tiba mengeluarkan pistol berperedamnya, dan menembak kepala teman yang ada disampingnya. Kemudian menembak kedua polisi yang menjaga kami tanpa melihat kebelakang. Tentu saja ketiga polisi itu langsung tidak bernyawa, karena ditembak tepat mengenai kepala. Hmm, rupanya ada anggota organisasi bernama Myth itu yang menyusup ke kepolisian Shanghai. Tidak heran mereka langsung tahu posisi kami begitu Profesor Wang meninggal, walaupun sampai sekarang belum terpikir bagaimana mereka bisa mengetahui posisi kami. Dari caranya menembak yang bisa betul-betul tepat hanya dengan melihat kaca spion saja, aku tahu bahwa orang yang menyamar sebagai polisi ini bukan orang sembarangan. Wah, peperangan dengan organisasi bernama Myth ini sudah dimulai ya. "Member of Myth, aren't you? (Anggota Myth, iya kan?)" Tanyaku. "A question that needs no answer. (Pertanyaan yang tidak perlu dijawab)" Kata polisi itu sambil membuka penutup kepalanya. Dari spion, aku bisa melihat orang dengan kulit gelap dan rambut keriting. Sepertinya orang India. Dalam sepuluh menit, kami telah sampai di pelabuhan. Si orang India ini berjalan menyusuri pelabuhan, hingga akhirnya sampai di dermaga yang dijaga oleh tiga orang berjas seperti mafia. Saat mobil sudah berhenti, si orang India itu mematikan mesin mobil, dan turun dari mobil. Ia membukakan pintu bagi kami, memberi aba-aba kepada kami untuk turun. Orang India itu, yang langsung bergabung dengan tiga orang berjas itu, langsung mengawal kami menuju speedboat yang sudah terparkir di dermaga itu. Aku dan Yuna naik ke speedboat itu, masih dalam keadaan terborgol. Sementara keempat orang itu mengikuti kami dan menaiki speedboat itu juga. Tidak lama kemudian, speedboat itu berjalan. Empat orang yang mengawalku tidak menodong pistol sama sekali. Akan tetapi, mereka juga tidak lengah. Aku segera menoleh kearah Yuna, kemudian menggeleng sekali, memberi tanda untuk jangan coba-coba kabur. Yuna mengetahui maksudku, dan mengangguk sekali. Sudah satu jam speedboat ini berlabuh. Perlahan-lahan, mulai kelihatan suatu pulau. Speedboat yang kami naiki mulai mendekati pulau tersebut. Pulau yang cukup besar, dan sepertinya ditinggalkan oleh para penghuninya. Aku jadi teringat dengan film James Bond 007 Skyfall yang dulu kutonton. Dibawa ke suatu pulau, dan bertemu dengan penjahat yang psycho, walaupun harus kuakui bahwa aku menyukai karakter dari si penjahat itu. Setelah kami sampai di pulau tersebut, keempat orang yang menjaga kami itu menyuruh kami turun duluan dengan memberi aba-aba tangan. Aku turun, disusul oleh Yuna, dan baru kemudian keempat orang itu. Kalau di film Skyfall itu, begitu si James Bond turun, ia langsung dipisahkan dengan wanitanya. Tapi untunglah aku tidak bernasib sama, karena Yuna masih terus mengikutiku dibelakang. Kami menuju suatu bangunan yang besar, seperti sebuah gedung pertemuan. Markas orgasnisasi mereka, sepertinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD