EPISODE 11 : Fera

4407 Words
Sudah sejam berlalu, sejak aku berbicara dengan Yuna. Aku sudah sempat tidur siang, karena pikiranku sebelumnya menemui jalan buntu. Bagaimanapun juga, aku sendirian menghadapi organisasi seperti mereka. Hanya aku dan pedang samuraiku. Sekuat apapun diriku, jika ada dua atau tiga orang saja anggota selevel Satyr atau Bu Novi, sepertinya aku bisa kesulitan. Yang menambah masalah lagi adalah, medan pertempuran nanti adalah medan mereka, bukan medanku ataupun medan yang sama-sama tidak kita ketahui. Pastilah mereka sudah menyelidiki medan yang nantinya mereka rencanakan untuk pertempuran, dengan begini mereka mempunyai keuntungan yang lebih. Aaahh, terlalu naif-kah aku untuk masuk ke dalam perangkap mereka demi mendapatkan informasi yang lebih sekalian meringkus mereka? Tapi ini kesempatan yang cukup baik, karena kalau aku lari, mereka akan lebih bisa melancarkan serangan gerilya dengan strategi yang lebih matang. Kalau sekarang ini, mungkin mereka tidak mengantisipasi bahwa aku sengaja masuk ke dalam perangkap mereka, yaah atau mungkin juga sudah? Kulihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sebelum makan begini, enaknya berbuat sesuatu yang bikin badan rileks. Setahuku, hotel ini memiliki fasilitas spa, yang ada sauna dan jacuzzi gratisnya. Boleh deh, mending aku sauna dan jacuzzi saja. Saat aku keluar kamar, aku bertemu dengan Fera. Ia mengenakan baju kaos putih dan celana pendek kuning hari ini. "Hai Fer." Sapaku. "Halo pak. Mao kemana pak?" Tanya Fera. "Ada deh." Kataku sambil senyum sok misterius. "Iiihh bapak nih. Nyebelin." Kata Fera. "Mao ke sela-sela, Fer." Kataku. "Jorok." Kata Fera. "Jorok apanya ya? Kamu mikir s**********n lagi?" Tanyaku sambil menggoda. "Iiihhh bapak emang nyebelin deh." Kata Fera. "Lah. Kok saya yang nyebelin? Jelas-jelas kamu yang mulai, kaya waktu itu." Kataku. "Hmmm, betul juga ya pak." Kata Fera. Ampun nih anak polosnya kelewatan. Tiba-tiba, Fera hanya diam saja, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Hoi." Kataku sambil mengibaskan tangan didepan wajahnya untuk membuyarkan lamunannya. "Eehh... sorry pak. Kenapa ya?" Kata Fera sambil tersadar dari lamunannya. "Jah, aku yang tanya kenapa. Kamu tiba-tiba ngelamun." Kataku. "Nggak pak. Aku tiba-tiba mikir lagi aja. Emang bener ya istri bapak itu selingkuh?" Tanya Fera. "Aku lg ga ingin bahas itu Fer. Aku mao sauna ama jacuzzi nih, mao ikutan?" Tanyaku. Kemudian Fera menatap mataku selama beberapa detik. Kemudian ia mengangguk sambil tersenyum, senyum yang ceria. Ia pun mengikutiku jalan kearah spa. Saat kami sudah berada di udara terbuka, aku bisa melihat Erna dan Yuna sedang berbicara berhadapan di depan kolam renang, yang jaraknya kira-kira lima puluh meter dari tempatku berada. Hmmm, apa yang sedang mereka bicarakan. Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu. Maka aku berjalan memutar menuju pepohonan yang ada di dekat mereka, dengan berusaha untuk tidak terlihat oleh mereka. Aku memberitahu Fera bahwa jangan sampai kita terlihat oleh mereka. Dalam beberapa menit, aku telah sampai di pepohonan yang jaraknya cuma sepuluh meter dari tempat Yuna dan Erna berbicara empat mata. Fera menepuk pundakku. "Kita nggak sendirian pak." Bisik Fera. Aku hanya mengangguk, menyadari hal itu. "Because today is sunny, a vacation is needed." Kataku. "So, you had enough? (Jadi, sudah cukup?)" Suara Peter, yang keberadaannya tidak diketahui dimana. "Yes, please. Well done, Peter. (Ya. Pekerjaan bagus, Peter.)" Kataku. "Okay then. I shall take my leave then. (Oke. Aku akan pergi kalau begitu.)" Kata Peter. Dalam sekejap saja, tanda keberadaan Peter sudah menghilang sepenuhnya. "Itu, Pak Alan kan ya pak?" Bisik Fera. "Iya betul, Fer. Kita pergi dari sini. Urusan kita sudah selesai disini." Kataku. "Yuk pak." Kata Fera. Kami berdua segera menuju ke spa yang jaraknya tidak jauh dari tempat kami ini. Spa-nya sangat bagus. Ruang sauna dan kolam panas dingin laki-laki dan perempuan dipisah. Laki-laki di kiri, dan perempuan di kanan. Sedangkan jacuzzi nya ada di tengah, campur antara laki-laki dan wanita. Aku segera berganti baju mengenakan celana renang yang sudah disediakan oleh spa, membilas tubuhku, dan langsung masuk ke sauna. Cukup menyenangkan, paling tidak bersenang-senang dulu sebelum menghadapi badai besar. Selesai sauna, aku langsung ke jacuzzi. Fera sudah ada disitu. Ternyata, pakaian spa yang diberikan oleh hotel berbentuk bikini, sehingga kini aku bisa melihat tampak lebih detail tubuh Fera. Kulitnya berwarna coklat, wajahnya cukup cantik, buah dadanya yang sebelumnya kutaksir sekitar 34B ternyata tampaknya benar. Perutnya pun cukup indah, tidak terlalu ramping, tapi tidak berlemak juga. Pahanya juga cukup menggoda. Waduh, pikiranku mulai gak bener nih. Sudah-sudah, lupakan. Aku pun segera masuk ke jacuzzi, dan duduk di depan Fera. "Fer, kalo boleh tau, emangnya kamu diiming-imingi apa sama Bu Novi?" Tanyaku. "Bonus, promosi, kenaikan gaji, dan tunjangan pak." Kata Fera. Hmmm, sepertinya cukup menggiurkan sih. Aku tak heran si Lina itu begitu tergiur. "Lalu, kenapa kamu ga tergiur?" Tanyaku. "Aku ngerasa itu salah aja pak." Kata Fera. "Hmmm, hanya itu?" Tanyaku. Fera tidak menjawab. Ia juga mengalihkan pandangannya dariku. Kemudian aku mendekat, dan mengelus-elus rambutnya. "Fer, makasih ya. Disaat aku ngerasa gak punya siapa-siapa, kamu, Yuna, Diana, sama Abby tetap setia sama aku. Aku betul-betul menghargai itu." Kataku. "Aku tadinya nggak tau pak kalo Diana sama Abby itu ada di sisi bapak. Tadinya kupikir aku sendirian doang." Kata Fera. "Lho? Kalian bukannya kerjasama?" Tanyaku. "Nggak pak. Aku sendirian doang kok. Aku sengaja nunggu Bu Novi lengah, baru aku tembak dia. Bapak kan pernah ngajarin aku, saat orang menjadi lengah adalah saat orang itu mau menerkam mangsanya. Eh tapi ternyata Diana dan Abby ternyata memihak bapak juga." Kataku. "Iya, aku juga ga nyangka. Aku pikir aku bakal kehilangan Yuna waktu itu." Kataku. "Eeemmm... Bapak... suka sama... Yuna ya?" Tanya Fera. Ya ampun, kenapa dua kali aku mendapatkan pertanyaan yang sama hari ini? "Hmmm, aku sendiri juga belum bisa jawab dan yakin sih Fer. Karena takutnya, aku cuma menjadikan Yuna itu tempat pelarian, karena istriku." Kataku. "Kalo kasusnya seperti itu, harusnya bapak nggak mungkin sebingung itu." Kata Fera. "Jadi, kamu berpendapat bahwa aku suka sama dia?" Tanyaku. Fera hanya menunduk. Entah kenapa, wajahnya terlihat kecewa. Selama bermenit-menit, tidak ada satupun suara yang keluar dari mulut kami. "Makan siang yuk Fer." Kataku sambil berdiri dari jacuzzi. "Oh, iya ayo pak." Kata Fera juga sambil berdiri dari jacuzzi. Kami menuju ruang ganti pakaian kami masing-masing untuk berganti baju. Setelah selesai berganti baju, kami keluar dari spa untuk menuju restoran di hotel. Sesampainya di restoran hotel, terlebih dahulu aku melihat menu makanannya. Jujur, saat ini aku sedang tidak ingin makan masakan cina. Aku ingin menu barat. Tapi tidak enak karena sudah terlanjur mengajak Fera. "Mau Fer?" Tanyaku. "Hmmm, tapi kayanya gak ada menu makanan barat ya pak?" Tanya Fera. "Kamu lagi mau makanan barat?" Tanyaku. "Iya sih, tapi gak harus ada juga. Kalo bapak mao disini, aku ikut." Kata Fera. "Kebetulan. Gimana kalo kita makan di kamar aja pake menu room-dining? Aku juga lagi kepengen barat nih." Kataku. "Wah, gitu aja yuk pak." Kata Fera. Karena sependapat, maka kami meninggalkan restoran itu, dan langsung menuju kamarku. Sesampainya dikamar, kami langsung menelpon room-service dan memesan makanan. Aku memesan chicken cordon bleu, sedangkan Fera memesan spaghetti bolognaise. Kami langsung saja makan begitu makanan kami datang ke kamar. Yah, hotel bintang lima memang beda sih. Makanannya enak sekali, yah walaupun cita rasanya sedikit berbeda dari yang biasanya di Indonesia. Setelah makan, kami meletakkan dua piring kami di meja. "Fer, tadi kan kamu tanya ya apa betul istriku selingkuh ato ga. Kenapa kamu pengen tau hal itu?" Tanyaku. "Oh, nggak sih pak. Habisnya aku ingat, bapak kan selalu membanggakan istri bapak di kantor. Jujur pas waktu kita di aula pulau itu, aku kaget pas tahu istri bapak selingkuh." Kata Fera. "Yah, begitulah pernikahan Fer. Aku sih tadinya ga mao mengumbar aib ya. Tapi menurutku ini sudah keterlaluan. Aku sendiri sudah bingung apa yang harus dipertahankan lagi." Kataku. "Bapak ingin menceraikan istri bapak?" Tanya Fera. "Ga." Kataku singkat. Fera seperti bingung dengan jawabanku. "Bapak nggak tahu apa yang harus dipertahankan, tapi bapak nggak mao cerai juga. Jadi gimana dong?" Tanya Fera. "Yah yang namanya pernikahan itu mutlak Fer. Kalo nikah hanya untuk cerai saja, lebih baik dari awal ga usah nikah. Kita itu nikah dengan menanggung semua resiko yang ada, yah termasuk apa yang sedang aku alami ini. Mungkin sekarang ini aku susah sekali memaafkan, tapi aku berharap suatu saat nanti aku bisa maafin dia. Kalau kamu mengambil jalan cerai sebagai solusi, itu ga menyelesaikan masalah, tapi cuma lari doang. Itu sih menurutku." Kataku. "Bapak kepikiran nggak untuk... selingkuh balik?" Tanya Fera. "Jujur, kalo selingkuh, aku pun pernah. Walaupun itu setelah istriku selingkuh. Tapi yang kurasakan waktu itu, aku bukan ingin membalas kelakuan istriku. Aku ga tega kalau harus menggunakan orang lain sebagai alat balas dendamku. Waktu itu aku selingkuh, memang didorong oleh keinginan pribadiku." Kataku. "Inilah Pak Jent yang aku kenal dan kagumin dari dulu. Tidak mendendam, selalu menyayangi orang lain, baik kasta atas maupun bawah sama saja, tidak ada pembedaan." Kata Fera. "Aku ga sehebat itu, Fer." Kataku. "Gak. Bapak sehebat itu, malah lebih hebat lagi." Kata Fera. "Aku bahkan ga mampu menjaga istriku sendiri, hingga akhirnya dia selingkuh dengan orang lain. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin hal ini ga akan terjadi." Kataku. "Hmmm, mungkin itu ada benarnya juga pak. Tapi, bukankah kesetiaan dalam pernikahan itu adalah tanggung jawab bersama? Tentunya gak cuma bapak yang salah, tentunya istri bapak juga salah. Kalau sudah nikah, harusnya kan segala sesuatunya ditanggung bersama. Baik buruknya, suka dukanya, untung malangnya, dan kaya miskinnya. Aku belum pernah nikah sih, tapi aku yakin bahwa pendapatku itu benar." Kata Fera. Ya ampun, wanita yang sifatnya seperti anak kecil begini, bisa mengatakan hal seperti itu. Ya, hal yang tidak pernah disadari oleh Erna, dan mungkin olehku juga. Andai Erna memiliki pemahaman yang demikian, mungkin kehidupan pernikahan kami tidak akan serusak ini. Tetapi, semuanya sudah berlalu. Mungkin ini adalah pelajaran bagi kami. Mungkin setelah ini, Erna akan berubah. "Makasih Fera. Semoga suatu saat nanti kamu dapet suami yang baik ya." Kataku. Fera hanya diam saja mendengar perkataanku. Wajahnya ditundukkan kebawah. "Eh kenapa? Apa aku salah ngomong?" Tanyaku bingung. Fera menutup matanya, kemudian air mata mengalir dari mata kanannya. "Nggak akan dalam waktu dekat ini, pak." Kata Fera. "Oh, gitu ya. Maaf-maaf, Fer. Kayanya aku salah ngomong nih. Aku betul-betul minta maaf ya. Aku ga akan singgung ini lagi." Kataku, sambil memeluk Fera ke dadaku untuk menenangkannya. "Tahu nggak pak? Baru kali ini aku merasakan pelukan sungguhan dari laki-laki." Kata Fera. "Oh gitu. Semoga cukup buat nenangin kamu." Kataku. "Lebih dari cukup, pak. Karena selama ini, aku cuma memimpikannya. Kali ini, aku betul-betul merasakannya." Kata Fera. "Yah, sayang amat Fer. Harusnya kamu bisa merasakan yang lebih baik. Aku ini cuma orang biasa, ga punya apa-apa. Aku pun gagal menyadarkan Bu Novi, hingga akhirnya ia harus bernasib malang. Memberikan kasih sayang kepada istri sendiri pun gagal, sampai akhirnya ia mencarinya dari orang lain." Kataku. "Walaupun aku merasa bapak bukan orang biasa, dan lebih banyak yang bapak punya dibandingkan yang tidak punya, tetapi jika bapak berpikiran demikian, aku yakin pak bahwa bapak selalu melakukan yang terbaik." Kata Fera. "Maksud kamu?" Tanyaku. Kali ini Fera mengangkat wajahnya dari dadaku dan menghadap kewajahku. "Bapak selalu melakukan yang terbaik untuk menyayangi, melindungi, dan membela kami. Dalam situasi serumit dan sesulit apapun. Ketika kami jatuh, bapak lah yang selalu mengangkat kami, dan membuat kami berjalan kembali. Buatku, hal itu sudah lebih dari kelebihan-kelebihan apapun. Karena itulah... aku mencintai bapak, dengan sepenuh hatiku." Kata Fera. Apa? Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan. Fera mencintaiku? Mencintaiku yang menurutku hanya orang biasa ini. "You should love another, Fer. (Kamu seharusnya cinta sama orang lain saja, Fer.)" Kataku. "And why should I? (Dan kenapa begitu?)" Tanya Fera. "Yah, aku udah beristri." Kataku. "Apa aku bilang bahwa bapak juga harus mencintaiku?" Tanya Fera. "Jika ga gitu, apa kamu puas dengan itu?" Tanyaku. Fera hanya mengangguk sambil tersenyum, air matanya masih terus mengalir. "I don't need anything from you, as long as I can keep this love for you, and you're here for me, then it will be more than enough. (Aku tidak memerlukan apapun dari bapak, selama aku bisa menjaga perasaan cinta ini untuk bapak, dan bapak ada didekatku, maka itu lebih dari cukup.)" Kata Fera. Perkataannya membuatku terharu. Kupikir, aku ini begitu payah ketika istriku berselingkuh. Ternyata, diluar sana pun masih ada yang begitu mencintaiku, bahkan dengan sepenuh hatinya dan tidak peduli walaupun cintanya tidak akan pernah terbalas. Aku berpikir, apakah Yuna pun mencintaiku dengan perlakuan yang sama? Kedua air mataku pun mengalir, ini adalah tangis bahagia, bukan tangis sedih. "Makasih Fer. Makasih." Kataku sambil mengelus rambutnya. Fera kemudian memajukan wajahnya, tepatnya memajukan bibirnya, dan mencium bibirku. Walau aku cukup kaget dengan perlakuannya itu, tetapi tetap saja aku membalas mencium bibirnya. Lama-kelamaan, kami mulai mengulum bibir masing-masing. Ya ampun, aku tidak betul-betul menyangka akan berciuman dengan Fera seperti ini. Jantungku berdegup dengan keras. Birahiku pun mulai naik sedikit demi sedikit, seiring permainan bibir kami masing-masing. Namun, tiba-tiba kesadaranku menguat. Aku langsung menghentikan permainan kami. "Fer, sorry Fer, kayanya aku kejauhan nih. Kita ga sepatutnya melakukan hal ini." Kataku. Fera memegang pipi kiriku dengan tangan kanannya. "Tadi aku udah bilang, pak. Aku nggak ngarepin balesan apapun dari bapak. Aku hanya ingin di deket sisi bapak aja. Yang aku butuhin itu bapak, bukan status." Kata Fera. Aku tidak percaya kata-kata yang biasa dijadikan gombalan para lelaki, keluar dari mulut wanita tulen seperti Fera. Atau jangan-jangan aku yang sedang kena gombal yah? Aku melihat matanya, tidak ada kepalsuan sama sekali, hanya ada ketulusan. Kemudian, bibir kami saling beradu lagi. Malah kali ini, lidah kami saling kami julurkan untuk diadu dengan lidah lawan kami. Sensasi yang kurasakan ketika lidahku beradu dengan lidah Fera benar-benar tidak bisa kugambarkan. Mungkin karena semuanya terjadi dengan begitu tiba-tiba, tanpa persiapan apapun. Lama-lama, irama lidahnya semakin cepat, kurasakan nafasnya pun mulai memburu. Aku sendiripun juga sama, birahiku juga sudah semakin naik lagi. Kedua tanganku mulai memeluk pinggangnya, sementara kakinya mulai ia gerakan menaiki tubuhku, dan duduk di pangkuanku. Kini, Fera terduduk di pangkuanku. Bibir kami masih saling bertemu, lidah kami masih saling beradu, kedua tanganku memeluk pinggangnya, sementara kedua tangannya memeluk leherku. Aku sangat nyaman dalam posisi ini. Nafas Fera yang masuk melalui mulutku, ditambah dengan serangan lidahnya, membuat birahiku semakin naik. Tangan kananku mulai meraba-raba daerah dadanya. Aku bisa merasakan bentuk buah dadanya yang bulat, kenyal, dan cukup pas di genggaman. Fera pun sepertinya semakin terengah-engah mendapat seranganku ini. Ini betul-betul gawat, kesadaranku semakin menghilang, sementara birahiku semakin naik. Aku makin tidak tahan. Kini, kuangkat tubuh Fera, dan kubaringkan di ranjang. Aku pun ikut berbaring di ranjang, disebelah Fera. Fera berinisiatif duluan bergerak keatasku, memeluk leherku, dan mencium bibirku. Aku pun mulai membuka kaos putih milik Fera, yang ia permudah dengan mengangkat tangannya sehingga jalannya kaos miliknya yang kubuka berjalan mulus. Setelah kaosnya terbuka sepenuhnya, kubuka juga BH putih miliknya, sehingga memperlihatkan buah dadanya yang cukup bulat, berwarna sama dengan kulitnya, dan p****g buah d**a yang berwarna merah kecoklatan. Kini jari-jariku mulai memainkan p****g s**u kedua buah d**a Fera. Kurasakan Fera mulai mendesis-desis, napasnya pun semakin tidak karuan, bisa kurasakan dari panasnya udara yang berhembus ke dalam mulutku melalui mulutnya yang masih berpagutan dengan mulutku. Kemudian, aku berguling, membalik tubuh Fera, sehingga kini aku diatas, dan Fera dibawah. Dengan posisi itu, aku mengulum p****g buah d**a kanan Fera, sementara tangan kananku meremas-remas dan memuntir p****g s**u buah d**a kiri Fera. "Ssshhhh... uuummmm... eeeehhhhh..." Desah Fera. Entahlah, sepertinya iblis mulai merasuki diriku, sehingga aku tidak peduli lagi apa yang sedang kulakukan kepada Fera. Setelah itu, ciumanku mulai berpindah ke perut dan pusarnya. Seluruh tubuhnya menggeliat, sementara tangan kanannya menjambak rambutku. Sepertinya perut ini adalah kelemahannya yang cukup vital. "Uuuhhhh.... Eeeehhhhhh... Uuuummmmmm..." Desah Fera sambil menggeliutkan badannya. Tanpa sadar, mataku melihat kearah bawah perutnya. Satu-satunya yang menutupi tubuhnya sekarang adalah celana pendek kuning yang ia kenakan. Aku menjadi sangat penasaran apa yang ada dibalik celana pendek kuning itu. Maka, kubuka seleting celana pendek kuning miliknya itu, dan kutarik kebawah beserta celana dalam putihnya. Fera pun hanya meluruskan kakinya, sehingga jalan celana pendek dan celana dalam yang sedang kulepas itu menjadi mudah. Dari yang tadinya dilindungi oleh celana pendek kuning itu, aku bisa melihat gundukan lubang k*********a yang indah. Daerah sekitar lubang k*********a ditumbuhi rambut yang menggoda. Tanganku mulai menjamah ke daerah lubang k*********a, untuk mengelus rambut k*********a. Mendapat rangsangan seperti itu, badannya menggeliat makin hebat, sementara tangannya makin keras menjambakku. Tiba-tiba, ada yang memegang pergelangan tanganku. Tetapi, tidak menghentikan tanganku yang sedang mengelus rambut k*********a, melainkan mengarahkan tanganku meraba area lubang k*********a. Aku ikuti saja permainannya. Aku mulai menggesek-gesekkan jari telunjukku di bibir lubang k*********a. "Eeegghhhhh... Uuuummmmm..." Desah Fera makin tidak karuan. Lama-kelamaan, aku menggesek-gesekkan jariku semakin kuat diluaran lubang k*********a. Napasnya kurasakan semakin tidak teratur, desahannya juga semakin kuat, dan tubuhnya mulai mengejang. "Uuu...uuaaaahhhhhh..." Erang Fera, disertai dengan semprotan cairan dari lubang k*********a. Aku juga merasakan daerah lubang k*********a berkedut-kedut. Fera tampak sangat menikmati o*****e-nya. Kubiarkan dulu ia beberapa saat untuk menikmati o*****e-nya. Kemudian, aku melepaskannya, dan tanganku kembali mengusap-usap rambut kepalanya. Aku betul-betul sayang kepadanya, sampai memanjakannya seperti ini. Fera pun hanya menutup matanya, dan tersenyum, senyum yang sangat puas. Tidak lama kemudian, ia memeluk tubuhku, dan kembali mencium bibirku. Lidah kami pun mulai kembali berpagutan. Kedua tangannya mulai menggenggam pangkal bajuku, dan menariknya keatas, sehingga dalam sekejap saja bajuku sudah terlepas. Belum selesai, kedua tangannya mulai meraih pangkal celana dan celana dalamku dipinggangku, dan menariknya kebawah, sehingga kini aku pun ikut telanjang juga sama sepertinya. Dalam posisi lidah kami masih berpagutan, tangan kanannya mulai meraih batang kemaluanku, dan mengelus-elusnya. Geli sekali rasanya, sehingga dalam sekejap saja, batang kemaluanku sudah tegang sepenuhnya. Tangannya tidak asal mengelus saja, melainkan ada iramanya. Dari ujung, turun kebawah, sampai ke kantong buah zakarku, berpindah ke rambut kemaluanku. Belaian tangannya sangat lembut, sehingga aku sangat menikmatinya. Harus kuakui, dalam urusan membelai, Fera ini lebih lembut dari siapapun, bahkan dari Yuna sekalipun. Gerakan belaian tangannya lama kelamaan berubah menjadi mengocok batang kemaluanku. Kocokannya pun tidak asal saja. Fera ternyata cukup telaten dalam mengocok batang kemaluanku. Bibirnya mulai melepaskan bibirku, dan kini ia menelusupkan kepalanya ke selangkanganku, dan mulai memainkan lidahnya di batang kemaluanku. Saking terkejutnya aku, aku semakin tidak bisa menahan birahi yang makin lama makin menguasaiku ini. "Ssshhh... Feerr..." Desisku yang makin lama makin tak tahan akan rangsangan ini. Kini, ia mulai mengulum batang kemaluanku, layaknya seperti sedang makan permen lolipop. Mataku hanya bisa merem melek mendapatkan kenikmatan ini. Aku yang kini mulai dikuasai oleh nafsu birahi, meraih kedua kaki Fera untuk kuputar, sehingga kini aku menghadap selangkangannya, sedangkan Fera masih sibuk mengulum batang kemaluanku. Dalam posisi itu, aku pun ikut mengulum lubang k*********a. Kulihat masih sangat rapat sekali lubang k*********a, apakah ia masih perawan? Mendapat rangsangan yang kuberikan, Fera pun makin sadis mengulum batang kemaluanku. Mendapat kuluman yang semakin cepat dari Fera, aku juga semakin giat memainkan lidahku di lubang k*********a. Setelah puas berada pada posisi 69 itu, aku melepaskan s**********n Fera. Aku memposisikan tubuh Fera untuk berbaring di ranjang. Kemudian, aku menindih tubuhnya, dan mulai mencium bibirnya dengan lembut sambil mengusap-usap rambutnya. "Fer... kamu cantik banget sekarang." Kataku. Bukan menggombal atau apa, tapi aku memang merasa bahwa dia sekarang ini sangat cantik. "Makasih bapak. Aku cinta bapak, nggak ada lagi di bumi ini orang yang lebih kucintai dari bapak." Katanya sambil mengecup bibirku dengan lembut. Kami terus berciuman bibir satu sama lain, tanpa memainkan lidah kami sedikitpun. Entah kenapa, tapi aku merasa pada momen ini, ada gelora lain yang lebih menguasai diriku selain birahi. Gelora yang betul-betul kurasakan saat aku sedang bercinta dengan Erna dan Yuna. Cinta, itulah nama gelora itu, tidak salah lagi. Aku merasakan Fera mulai membuka kedua pahanya, sehingga kini selangkanganku berhadapan dengan selangkangannya. "Pak, aku persembahkan virginity ku ini untuk bapak, enjoy please." Kata Fera sambil tersenyum lembut. Ya ampun, ternyata betul ia masih perawan. Kini, aku malah tidak tega untuk berbuat sesuatu yang lebih jauh lagi. Ia pun ternyata sama seperti Yuna, rela menyerahkan apapun demi aku. Tapi aku tidak mau membiarkan nafsu menguasaiku. "Fer, untuk yang satu ini sebaiknya jangan. Aku ga ingin merenggut keperawanan kamu. Untuk yang ini sebaiknya kamu persembahkan ke calon suami kamu nanti." Kataku. "Sekalipun nanti suamiku bukan bapak, aku yakin cintaku padanya tidak akan sebesar cintaku sama bapak. Jangan bapak ngerasa bersalah kalo harus ngerenggut virginity aku, anggaplah ini sebagai keinginanku seumur hidupku, yang kalau tidak dipenuhi, aku akan menyesal seumur hidup." Kata Fera. Ya ampun, sebegitukah Fera mencintaiku? Disaat aku kehilangan cinta Erna, aku mendapatkan cinta yang sangat tulus dari Yuna dan Fera. Mungkin, seperti inikah jalan yang ditunjukkan oleh takdir kepadaku? Apakah takdir sengaja menempatkan Erna di jalan yang membuatnya tersandung, sehingga aku bisa melihat adanya cinta yang begitu tulus dari dua orang wanita lain? Yah, takdir memang tidak terbaca. Fera kembali memeluk tubuhku, dan menggulung tubuhnya sehingga kini aku ada dibawah dan dia diatas. Wew, tenaganya kuat juga ya, mampu menggulung tubuh seorang laki-kaki. Ia yang kini berada diatas, mulai mengarahkan lubang k*********a ke batang kemaluanku yang sedang tegak mengacung. Ia tersenyum kepadaku, tanda untuk memintaku agar rileks saja. Kini, selangkangannya sudah menempel dengan selangkanganku. Karena masih rapat, ia tampak kesulitan melahap batang kemaluanku dengan lubang k*********a. Ekspresi wajahnya pun mulai meringis, sepertinya ia sedikit kesakitan. Aku mulai mengecup bibirnya dan mengelus rambutnya untuk membuatnya lebih rileks. Selain juga memang mau, aku ingin memberikan yang ia inginkan, kepadanya yang mencintaiku dengan begitu tulus. Akhirnya, Fera sedikit memaksa untuk mendorong pantatnya sehingga kini lubang k*********a telah berhasil melahap batang kemaluanku. Uuh, saking masih rapatnya, aku merasakan rongga kemaluan Fera yang kini telah melahap batang kemaluanku seolah-olah seperti menekan batang kemaluanku kuat-kuat. Kini, Fera mulai menggoyang-goyangkan pantatnya. Naik, turun, berputar ke kiri menuju kanan, naik, turun, berputar ke kanan menuju kiri. Bukan main nikmatnya, aku hanya bisa merem-melek dan megap-megap saja. Fera pun tampak mulai menikmatinya. Genjotannya lama-kelamaan semakin cepat. Kedua tangannya mulai mendekap tubuhku, sementara bibirnya tidak henti-hentinya menciumi bibirku. Tangan kiriku pun ikut memeluk tubuhnya, sementara tangan kananku bergantian membelai dan meremas buah d**a kiri dan kanannya. "Ssshhh... uummmm... aauuhhhhh..." Desahnya sambil menggenjot batang kemaluanku. Sangat terasa sekali gesekan batang kemaluanku dengan rongga kemaluan Fera. Ditambah dengan goyangan p****t dan genjotan Fera, rasa yang kudapat menjadi benar-benar nikmat. Setiap kali kumainkan p****g s**u buah d**a Fera, genjotannya menjadi semakin kencang, tanda bahwa dia semakin terangsang. Hingga akhirnya, kurasakan napas Fera menjadi betul-betul tidak beraturan. Irama genjotan pantatnya pun juga semakin kencang dan tidak beraturan. Aku yang menjadi semakin terangsang juga makin liar menciumi bibir Fera. Tanganku pun juga semakin liar meremas-remas buah d**a Fera kiri dan kanan bergantian. "Oooohhhh.... oouuuuhhhhhh..." Hingga akhirnya terdengar lenguhan panjang dari Fera. Aku merasa batang kemaluanku seperti dipijat-pijat dengan kuat. Cairan kenikmatannya yang hangat pun menyemprot ujung batang kemaluanku. "Ayoohhh... lepaassiin semuaaa Feerr..." Erangku sambil meremas-remas buah d**a Fera yang semakin kenyal itu. Beberapa belas detik setelahnya, tubuh Fera menjadi sangat lemas. Ia pun tergulai lemas diatas tubuhku, sementara aku memeluk tubuhnya. "Bapak belum keluar yah... Sebentar ya pak, aku istirahat sebentar..." Kata Fera dengan napas yang terengah-engah. "Udah, kamu santai aja Fer... Yang penting kamu nya puas..." Kataku sambil mengecup pipi kanan Fera. Sementara Fera tergulai lemas diatas tubuhku. Tanganku mengelus-elus rambutnya. Seluruh wajahnya yang terlihat sangat cantik itu kuciumi. "Aku cinta bapak." Kata Fera. "Aku juga cinta sama kamu, Fer." Kataku. Mendengar hal itu, Fera memeluk tubuhku dengan sangat erat, seolah-olah tidak ingin melepas pelukannya. Batang kemaluanku masih tegak mengacung didalam lubang kemaluan Fera. Kemudian, aku bergulung kekanan, sehingga kini Fera dibawahku dan aku diatas. Dengan posisi diatas, kuciumi dan kuraba-raba sekujur tubuh Fera. Kulitnya yang coklat ini sangat halus, rambutnya yang pendek sebahu dan bergelombang tetap bisa mempertahankan bentuknya walaupun daritadi kamu sudah berguling-guling. Mendapat rangsangan yang kuberikan ini, aku bisa merasakan napasnya kembali memburu, sementara pantatnya mulai kembali berputar-putar. Aku yang menyadari bahwa nafsunya mulai bangkit kembali, kini mulai memaju-mundurkan pantatku. Fera pun ikut aktif menggoyang pantatnya. Setiap kali batang kemaluanku menekan lubang k*********a, pantatnya ia dorong menyambut batang kemaluanku. Setiap kali aku memundurkan batang kemaluanku, pantatnya ia putar kebelakang. Kejadian itu terus berulang-ulang, sehingga memberikan kenikmatan yang lebih bagiku dan Fera. "Teeruuss paak... Fera cintaa banggeett sama bapaakkk..." Desah Fera. "Iya sayaangg... aku jugaa cintaa sama kamu Feerrr..." Desahku. Kami terus memompa birahi masing-masing menggunakan kemaluan dan p****t kami masing-masing. Hingga akhirnya aku merasakan sensasi yang sangat nikmat di batang kemaluanku. Ini sensasi yang sama seperti yang waktu kualami pada saat aku bercinta dengan Bu Novi ataupun Yuna. Ya, aku merasakan bahwa spermaku sudah hendak menyemprot keluar dengan derasnya. "Feerr... akuu mao keluaarrr niih... akuu cabutt yaahhh..." Erangku. Fera makin liar lagi menggoyang pantatnya. Ciumannya dibibirku semakin gila, sementara pelukannya menjadi semakin erat. "Akuu jugaa mao keluaar paakk... Ga usaahh dicabuutt, kitaa keluaar.. bareng-barengg ajaaahh..." Erang Fera. Ya ampun, mendapat rangsangan seperti ini dari Fera, aku makin tidak bisa mencabut batang kemaluanku. Aku pun sudah tidak tahan lagi, hingga akhirnya aku keluar. "Ooooohhhhh.... Uuaaaahhhhhh..." Erangku. Croott.. croott.. croottt... Spermaku menyemprot dengan derasnya didalam lubang kemaluan Fera. Seiring dengan kontraksi batang kemaluanku yang menyemprotkan s****a, aku juga merasakan rongga dalam k*********a berkontraksi memijat-mijat batang kemaluanku. o*****e bareng begini memang momen klimaks yang paling menyenangkan, dimana batang kemaluanku sibuk menyemprotkan spermanya, sambil juga dipijit-pijit oleh lubang kemaluan Fera. Aku bisa merasakan didalam lubang kemaluan Fera, spermaku dan cairan kenikmatan milik Fera bercampur menjadi satu. Untuk beberapa waktu, aku masih dalam posisi menindih tubuh Fera, berusaha untuk meredakan kenikmatan yang begitu meluap-luap. Setelah kesadaranku mulai timbul, aku mencabut batang kemaluanku. Masih dalam posisi menindih tubuh Fera, aku mengusap-usap rambutnya. Entah kenapa, aku suka sekali mengusap-usap rambutnya, mungkin karena menganggap Fera itu masih anak-anak. "Maaf Fer, ujung-ujungnya jadi begini." Kataku. Mendengar perkataanku, Fera hanya tersenyum, sambil memeluk tubuhku kemudian. "Sampai sekarang, perasaanku nggak berubah pak. Aku nggak ada penyesalan sama sekali, malah aku bahagia sekali bisa memuaskan bapak. Aku cinta bapak, cinta sekali." Kata Fera. Aku sangat bahagia dan terharu mendengarnya. "Makasih Fer, aku juga cinta kamu." Kataku. Kemudian, aku berguling kesamping, lalu menarik tubuh Fera kedalam pelukanku. Kami pun tertidur setelahnya. Ketika aku bangun, sudah jam 16.30 waktu Shanghai. Rupanya hampir dua jam aku tertidur. Aku pun kemudian membangunkan Fera, dan ia pun bangun setelah kubangunkan. "Fer, besok aku masih ada urusan disini, karena urusan kantor belum terselesaikan. Dan juga ada urusan dari Bu Novi yang belum aku selesaikan. Besok kamu tolong pulang duluan. Bareng Abby, Diana, dan istriku. Yuna juga akan nemenin kamu semua dan ngejagain kamu." Kataku. "Aku nggak bisa ikut bapak besok?" Tanya Fera. "Ga Fer, jangan. Kamu tunggu aku aja ya di Jakarta." Kataku. Aku tidak mau melibatkan Fera ke dalam misi yang berbahaya ini. Fera tidak berkata apapun. Setelah itu, ia mulai memakai kembali pakaiannya. Dari BH dan celana dalam nya, kemudian celana pendek kuningnya, hingga kaos putihnya. Setelah itu, ia mencium bibirku, kemudian ia keluar kamar. Nah, tinggal perencanaan untuk perang besok nih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD