BAB 4

354 Words
"Bukan itu maksud aku, kamu kan dari bandara, enggak mungkin tiba-tiba mobil ini, langsung nongol di hadapan kamu. Jangan bilang ini mobil curian kamu di bandara," "Kalau aku bilang iya, nanti kamu malah jantungan," ucap Liam. Liam memandang Dian dengan intens. Dian tahu dengan tatapan tajam itu, menyuruhnya masuk, "Tapi jawab dulu pertanyaan aku," Dian memegang sisi pintu mobil, ia menahan diri agar tidak masuk, bersama singa ini. Jika sudah masuk ke dalam mobil, ia pastikan tidak bisa keluar lagi. "Jawaban yang mana," "Jawaban yang tadi," Liam menarik nafas, ia menepis rambut Dian yang menjuntai di sebagian wajahnya. Wanitanya ini meminta penjelasan dari mana ia mendapatkan mobil ini. "Dengar sayang, ini mobilnya teman aku. Tadi dia jemput aku di bandara. Setelah itu aku pinjam mobilnya, buat ketemu kamu," "Memangnya temannya kamu percaya gitu aja," Alis Liam terangkat satu, "percayalah, aku kan sahabatnya," "Aku enggak yakin, bahwa teman kamu sampe berani, minjamin mobil ini secara cuma-cuma," dengus Dian. "Kenapa mesti enggak yakin," "Ya, mana ada yang percaya, kamu aja sudah mirip bos nya para berandal," "Kok enggak sopan ngomongnya," "Ya emang seperti itu kenyataanya," "Sekali lagi kamu ngomong kayak gitu. Aku enggak segan-segan cium kamu loh sayang," Dian lalu bergegas masuk ke dalam mobil, dan duduk mengikuti perintah. Gila aja, si babon itu mau cium dirinya di tepi jalan seperti ini. ********** Dian menyandarkan punggungnya di kursi, ia melirik Liam. Laki-laki itu masih fokus dengan setirnya. Jantungnya maraton, ketika mata elang itu meliriknya. Oke Fik's saat ini situasi begitu mencekam. Tidak ada musik yang memecahkan kesunyian, hanya deru nafas terdengar, di sepanjang perjalan. Perasaan gelisah masih menyelimuti hatinya. "Kenapa kamu selalu ini, mengabaikan panggilan aku, hemm," gumam Liam, ia akan berbicara cukup serius dengan kekasihnya ini. Ia hanya ingin tahu alasannya. Dian tidak berani menjawab pertanyaan Liam, ia mengalihkan tatapannya ke arah jendela. Ia tidak tahu akan menjawab apa. Inginnya sih bilang sejujur-jujurnya bahwa dirinya memang tidak pernah mau berhubungan lagi dengan laki-laki ini. Tapi tidak ada keberanian, untuk ia ungkapkan. "Kenapa?" Tanya Liam sekali lagi. Entah kenapa pertanyaan itu membuat keringat dinginnnya keluar. Sungguh inilah yang ia takutkan. Dian meremas buku-buku tangannya hingga memutih. Liam memandang Dian, wanita cantik itu sudah sepucat pasi. Sama sekali enggan menjawab pertanyaannya. "Yasudah, kalau enggak jawab, enggak apa-apa," "Kamu sudah makan?" Tanya Liam, ia mengalihkan pertanyaanya. "Belum," ucap Dian pelan. "Ya, sudah kita makan dulu," Liam mengarahkan mobilnya di salah satu restoran yang berada di tepi jalan. ****** Beberapa menit kemudian, Liam dan Dian sudah duduk di salah satu kursi di dekat pojok ruangan. Ruangan restoran ini begitu nyaman dan sangat tenang. Ruangan restoran ini terasa hangat karena di lapisi kayu mahoni. Restoran ini sangat transparan, pengunjung bisa melihat para chef yang sedang memasak di meja counter. Ia suka dengan konsep restoran seperti ini. Liam memang tidak salah memilihnya. Dian melihat, ada beberapa pengunjung yang mulai berdatangan, mengisi kursi kosong yang tidak jauh darinya. Dian memandang waitres mencatat pesanan Liam, sedetik kemudian, waitres itu hilang dari pandangannya. "Besok berdandanlah yang cantik," "Kenapa?" "Mau ngajakin kamu ke KUA, kita nikah," Dian terperangah, bola matanya hampir keluar mendengar pernyataan itu. Liam tersenyum melihat reaksi Dian. "Besok ada reuni, jadi kamu dampingi aku," ucapnya lagi. Dian merasa lega ketika Liam mengatakan itu kepadanya. Ia tidak bisa membayangkan Liam akan menikahinya. Sudah ia pastikan dirinya akan menderita, manangisi penyesalan sepanjang hari. "Aku," Dian menunjuk d**a kirinya. "Ya, kamu," "Tapi aku enggak kenal teman-teman kamu," "Kamu enggak perlu mengenal mereka," "Oke," Dian tidak bisa membantah ucapan Liam. Ia tidak kuasa untuk berdebat dengan laki-laki itu. Tidak lama kemudian, waitres datang membawa pesananya. Liam makan dalam diam, ia melirik wanita cantik di hadapannya ini. Ternyata bermain-main wanita cantik di hadapannya ini, begitu menyenangkan. Ia tersenyum penuh arti, ******** Liam menyudahi makannya, begitu juga Dian. Liam meraih gelas di hadapannya, ia meneguk air mineral itu. Ia meletakkan gelas itu kembali di atas meja. "Kamu kapan pulang ke New York," ucap Dian memecahkan kesunyian. Liam melipat tangannya di d**a, ia mengerutkan dahi, "Aku baru saja mendarat di Jakarta. Kamu malah nanya kapan aku pulang. Kamu nyuruh aku pulang secepat gitu," Dian ingin sekali membenturkan kepalanya, karena telah menyuruh Liam, pulang secara terang-terangan seperti tadi. Laki-laki terlihat tidak suka. "Bukan begitu maksud aku, Kamu kan punya kerjaan di New York, takutnya kerjaan kamu terbengkalai. Aku kan enggak mau kamu di pecat, " Dian mencoba menjelaskan. Padahal dalam hati ia ingin segera Liam pulang ke New York. Menjauh darinya, dan dirinya akan bebas. "Terima kasih telah mengkhawatirkan aku. Tapi dalam waktu dekat, aku belum berniat untuk pulang ke New York," Dian seketika tersedak ketika mendengar Liam tidak berniat untuk pulang. Berarti Liam cukup lama di Jakarta. Dian dengan cepat meraih gelas di hadapannya. Ia teguk air mineral itu, meredakan batuknya. "Atasan aku sudah memberi ijin, jadi kamu tenang aja," Liam memicingkan matanya ke arah Dian, memperhatikan cukup intens, "Kamu enggak suka, aku lama di Jakarta?" Tanya Liam, ia sengaja menekankan pertanyaan nya. Dian meraih tisu, ia lap tisu itu di permukaan bibirnya. "Suka kok," ucap Dian pelan. Liam tersenyum memandang Dian. Betapa lucunya kekasih barunya ini. Ia tahu bahwa Dian, mengucapkan itu dengan terpaksa. ********* "Kamu besok pulang kerja jam berapa?" Tanya Liam. Ini merupakan pertama kalinya ia mengantar kekasihnya pulang. Ia juga ingin tahu dimana kekasihnya di besar kan, hingga tumbuh secantik ini. "Jam empat," "Kamu bisa ambil cuti?" "Bisa," jawab Dian pelan. Dian lalu menutup mulutnya, ia menoleh ke arah Liam. Oh Tuhan, tidak seharusnya ia menjawab itu, seharusnya ia mengatakan tidak. Bodoh, bodoh sekali dirinya menjawab pertanyaan itu. "Ambillah cuti beberapa hari, kita akan ke Bali," "Bali?" "Iya Bali, jangan bilang kamu belum pernah ke Bali," Liam melirik Dian, "Ya pernah lah, tapi ngapain kita ke Bali," "Mau ngabisin uang gaji aku," "Serius jawabnya," Liam menghentikan mobil, karena lampu merah menyala, ia menatap Dian dan menyandarkan punggungnya. Ia raih jemari lentik, lalu di kecupnya punggung tangan Itu. Dian merinding ketika Liam mengecup punggung tangannya. Tangan kasar dan hangat itu meremas jemarinya. "Tabungan aku sudah gendut, bahkan aku tidak tahu nominalnya seberapa banyak," "Sombong," dangus Dian. "Aku kerja sudah sebelas tahun lamanya, hitung saja berapa banyak gaji, yang aku terima setiap bulannya. Krus kan saja dalam rupiah. Sangat di sayangkan jika tidak di habiskan, " "Tapi itu pemborosan, lebih baik uangnya di deposito kan, atau buat buka usaha, atau apalah gitu, agar uang kamu tidak habis sia-sia," ucap Dian asal. Jujur sebenarnya ia tidak ingin ikut babon ini ke Bali. Itu hanya akal-akalannya saja agar tidak jadi pergi. Jika ia ikut ke Bali, Itu namanya ia sudah ikut laki-laki itu ke kandang singa. Alis Liam terangkat dan ia lalu tersenyum penuh arti, ia menoel hidung Dian, di berinya kecupan di puncak hidung itu. "Wow, aku bahkan tidak pernah kepikiran sampai ke situ loh sayang. Kamu tenang saja, ke Bali tidak membuat tabungan aku habis. Biasanya aku malah liburannya ke Dubai," "Tapi aku enggak yakin, orang tua aku ijinin," timpal Dian lagi, ini alasan yang ke dua. "Kamu pergi jauh sampe ke New York saja diijinin. Apalagi hanya Bali sedekat ini," Dian nelangsa dalam hati, oke sepertinya alasannya tidak mempan. "Ya," ucap Dian pada akhrinya. *********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD