"I saw You,".
Liam berlari mengejar kekasihnya yang telah menghentikan taxi. Di berinya senyuman kepada kekasihnya itu.
Dian tidak percaya apa yang dilihatnya. Sepasang mata elang itu ternyata ada disini mengintainya. Laki-laki itu berlari ke arahnya. Senyum licik itu begitu menyeramkan menurutnya.
"Sial," umpat Dian.
Dian bersyukur bahwa taxi sudah berhenti. Ia membuka pintu taxi dengan sekali hentakkan. Ia tutup lagi pintu itu, tidak lupa ia menguncinya. Laki-laki itu semakin dekat dengan dirinya.
"Pak, cepat pak," Dian kalap melihat Liam semakin mendekati mobilnya.
"Pak cepat," Dian panik.
"Iya neng," sang supir lalu menghidupkan mesin mobil.
Sedetik kemudian laki-laki sudah ada di depan taxi yang ditumpanginya dan menghalangi jalannya mobil. Ia berdiri di depan mobil, sambil mengetok kap mobil. Menyuruh dua orang di dalam mobil itu keluar.
Sang supir bergidik ngeri, melihat laki-laki bertubuh bidang, lengan kokoh, dan berambut gondrong itu menghadang mobilnya. Laki-laki separuh baya itu lalu menoleh ke arah Dian. Ini merupakan kejadian heroik yang pernah ia alami. Terlebih ini adalah mobil perusahaan yang ia sewa. Ia tidak mau ada kejadian yang tidak ia inginkan.
"Pak, cepat jalan," ucap Dian, jantungnya bergemuruh hebat. Melihat Liam yang mengetok kaca mobil di sampingnya.
"Neng, bapak enggak ada uang neng. Mobil ini juga milik perusahaan. Neng ada uang kan neng, kasih aja neng dengan preman itu," ucapnya dengan suara bergetar, tidak kalah takutnya.
"Pak, kasih uang mah enggak mempan pak. Laki-laki itu tabrak saja pak,"
"Enggak bisa neng, nanti bapak malah di tuduh membunuh. Perkaranya nanti makin panjang,"
"Ya, ampun pak, tancap gas aja kenapa sih," Dian kesal.
Sang supir lalu menatap ke arah jendela, memandang laki-laki berkaos hitam itu. Terlihat jelas tato di lengan kiri. Ada perasaan takut teramat sangat. Ia pasrah, sebaiknya ia memberi uang kepada preman yang menghadangnya itu. Setelah memberi uang itu mungkin urusannya akan selesai.
Sang supir mengambil uang seratus ribu di dasbor. Ia tidak ingin terlibat tindak kan kriminal nantinya. Lebih baik ia kehilangan seratus ribu dari pada mendekam di bui, karena telah membunuh seorang. Baginya nyawanya lebih berharga dari apapun. Dengan berat hati, ia lalu membuka kaca jendela.
Dian tidak percaya apa yang di lakukan laki-laki separuh baya itu, ingin rasanya ia mencekikik leher laki-laki tua ini.
"Pak, ngapain bapak buka kaca jendelanya. Bapak gimana sih," Dian semakin kesal.
"Bapak, cuma mau kasih uang aja neng," ucap sang supir pelan.
Laki-laki separuh baya itu menatap Liam dengan perasaan takut. Uang seratus ribu itu masih digenggamannya. Ia siap mengahadapi apa yang terjadi. Jika disodorkan senjata tajam di lehernya.
Liam bersyukur kaca jendela itu terbuka, ia akan berterima kasih kepada sang supir yang telah menyelamatkan kekasihnya agar tetap aman. Liam memberikan tiga lembar uang berwarna merah itu kepada laki-laki separuh baya itu.
Sang supir sempat tidak percaya apa yang dilakukan oleh laki-laki itu. Laki-laki yang ia anggap brandal itu ternyata sangat baik hati, malah memberi uang kepadanya.
"Ini untuk bapak, terima kasih telah menjaga kekasih saya," ucap Liam, menyerahkan uang itu secara cuma-cuma.
"Ambilah bapak memerlukannya, ini rezeki untuk bapak. Bapak tenang saja, saya laki-laki baik kok,"
Laki-laki separuh baya itu mengambil uang dari tangan Liam. Dirinya memang tidak munafik, ia juga butuh uang. Rezeki tidak boleh di tolak.
"Terima kasih den,"
"Wanita yang di belakang bapak itu pacar saya,"
Sang supir lalu menoleh ke arah Dian, "Neng, kenapa enggak bilang ke bapak, bahwa itu pacarnya neng. Neng gimana sih,"
Sang supir malah balik marah mendukung si babon itu,
"Dia bukan pacar saya pak ! Sumpah !,"
"Pacarnya baik gitu neng, cepat neng keluar. Temuin dulu pacarnya,"
"Pak, dia bukan pacar saya, saya enggak pernah pacaran sama dia. Dia yang ngaku-ngaku jadi pacar saya,"
Liam menahan tawa melihat reaksi Dian. Sungguh reaksi itu sangat menggemaskan, betapa rindunya dirinya kepada kekasih barunya itu.
"biasa pak, pacar saya lagi ngambek. Justru saya kesini ingin bujuk dia," ucap Liam, meyakinkan sang supir.
"Pak, jangan percaya, dia bohong !. Ayo pak cabut,"
Laki-laki separuh baya itu menarik nafas panjang. Semakin bingung atas ucapan ke dua muda mudi itu. Anak jaman sekarang memang seperti itu.
"Pak, percaya saya. Kekasih saya memang begitu sifatnya, kalau udah ngambek maunya minta putus terus. Saya sayang banget loh pak, dengan pacar saya,"
Sang supir sepertinya percaya atas ucapan Liam, "Neng, sebaiknya neng keluar aja. Pacar neng baik kok, enggak seperti yang neng bayangin. Jangan lihat penampilannya neng tapi lihatlah hatinya,"
Dian ingin muntah mendengar ucapan laki-laki separuh baya itu, jelas saja laki-laki separuh baya itu mengatakan baik, karena telah di sogok tiga ratus ribu oleh oleh Liam.
"Susah loh Neng, cari laki-laki yang baik, sayang sama kita. Nanti neng malah dapat karma, dapat yang tukang selingkuh," laki-laki separuh baya itu malah beralih menasehatinya.
"Bapak, mau aja di bohongin. Kalau saya mati di tangan dia. Bapak yang akan tanggung jawab," Dian menggeram.
Liam seketika tertawa, dan ia senyum kemenangan, ternyata sang supir mendukung dirinya. Liam lalu berjalan menuju arah pintu, dan membuka hendel pintu. Ia memandang Dian, dan menarik pergelangan tangan itu, agar ikut bersamanya.
Mau tidak mau, Dian keluar dari mobil. Tangan kokoh itu menggenggam erat di pergelangannya. Hingga ia sulit sekali memberontak.
"Hati-hati ya pak,"
Sang supir tersenyum kepada Liam, dan mengangguk. "Semoga langgeng ya den,"
"Iya pak, Makasih atas dukungannya,"
Akhirnya taxi itu menghilang dari pandangannya. Liam menarik nafas, ia memandang iris mata bening itu. Liam memegang pundak Dian, agar sejajar dengan dirinya.
"Aku jauh-jauh dari New York, ke Jakarta. Hanya ingin ketemu kamu,"
Dian hanya diam, nyalinya ciut, melihat tato Tribal yang menjalar di lengan kiri itu. Jauh dari New York?, Ya, itu urusan dia, mau jauh hingga ke Afrika sana, ia tidak peduli dan enggak mau tau. Dian melirik mata elang itu, secara takut-takut.
"Jangan bilang kamu enggak pernah ke New York loh sayang. New York ke Jakarta iu jauh. Aku melewati perjalanan yang panjang sekali, melewati tiga benua dalam satu hari. Seharusnya kamu sebagai kekasih aku, jemput aku di bandara. Bukan seperti adegan kabur-kaburan tadi,"
Dian hanya diam, ia nelangsa dalam hati. Boro-boro mau jemput di bandara, mau ketemu saja dirinya sudah ketar ketir. Ia sudah seperti anak kecil yang sedang di nasehati oleh ibunya.
"Ayo, sekarang peluk aku,"
Dian hanya diam, ia sama sekali tidak berkutik. Ia tidak mungkin memeluk babon ini di tepi jalan, ratusan pasang mata akan menatapnya dan menjadi tontonan publik. Terlebih tepat di depan kantornya, ia tidak bisa membayangkan nanti para security akan menggodanya besok.
Alis Liam terangkat dan ia mulai mengerti bahwa kekasihnya ini enggan memeluknya. "Kalau kamu enggak mau peluk aku. Ya sudah biar aku saja yang peluk,"
Liam tersenyum dan lalu memeluk tubuh ramping kekasihnya ini. Ia hirup aroma vanila dari tubuh Dian. Di berinya kecupan di puncak kepala itu. Sedetik kemudian, dia lalu melepaskan pelukkanya. Mengelus wajah cantik Dian,
"Apakah kamu tahu, aku dari bandara langsung ke kantor kamu loh sayang. Aku bahkan tidak pulang ke rumah, saking rindunya sama kamu," Liam lalu meraih tangan kurus itu membawanya hingga ke mobil SUV hitam yang terparkir sempurna itu.
Dian menyeimbangi langkah Liam, dalam diam. Sungguh ia sudah seperti sapi yang sudah di cocok hidungnya.
Dian menatap Liam yang membuka hendel pintu untuknya, dan ia lalu menoleh ke arah Liam. Tadi laki-laki itu mengatakan bahwa dari bandara langsung ke kantornya, lihatlah dari mana laki-laki ini mendapat mobil mewah ini. Ah, ya mobil ini pasti dari hasil rampok Liam. Laki-laki inikan memang seperti bos nya bandit-bandit di bandara.
Liam mengerutkan dahi, karena Dian menatapnya, "Kenapa kamu lihatin aku? Kamu mau minta cium, ya sabar Honey. Kamu tahu kan kita ada di Jakarta, bukan di New York,"
Dian ingin sekali meninju otak songong Liam. Dari mana ia dapat pemikiran m***m seperti itu. Mencium dirinya yang benar aja, di peluk aja ogah.
********