“Keberadaanku di dunia ini lah … masalahku.”
Sandra terdiam menatap sosok pria di depannya. Lipatan mulai muncul di kening gadis itu sesaat kemudian. Otaknya berputar cepat. Mengedip, hembusan napas pelan keluar dari celah bibir yang sedikit terbuka.
“Kamu—” Sandra tidak melanjutkan kalimatnya. Pautan mata mereka sudah terputus. Bola mata wanita itu bergeser mengikuti pergerakan Rion yang kini berjalan kembali ke sofa. Menghempas kasar p*ntatnya ke atas sofa, kemudian meraih gelas kosong. Rion mengisinya.
Sandra menarik panjang napasnya. Menahan sesaat sebelum kemudian menghembus keluar. Sedikit pemahaman muncul dalam kepala Sandra. Ternyata Rion tidak jauh berbeda dengan dirinya. Ada kesakitan yang sempat dia lihat di sepasang mata Rion sebelum pemuda itu memutus lebih dulu pautan mata mereka.
Sandra mengikuti Rion kembali ke sofa.
“Kita bisa saling bantu.” Sandra masih mengikuti pergerakan Rion dengan sepasang matanya. “Berhenti minum, kamu bisa mabuk.” Sandra mengingatkan ketika melihat Rion kembali mengisi, kemudian meneguk isi dalam gelasnya. “Ayolah, Rion. Kita bisa bergandengan tangan mengatasi masalah kita,” bujuk Sandra.
“Kamu membantuku, dan aku membantumu.” Sandra menambahkan. Sementara orang yang dia ajak bicara terlihat sedang menikmati minuman. Sandra menggelengkan kepala melihat Rion mengulang kembali. Memasukkan cairan beralkohol itu ke dalam perutnya.
Rion menghentak gelas yang sudah kosong ke atas meja, sebelum kemudian berdiri.
“Astaga.” Baru juga menikmati sofa yang cukup empuk, Rion memaksanya untuk kembali berdiri, lalu melangkah mengikuti pria itu. Sandra melangkah cepat lalu menahan sebelah tangan Rion ketika tubuh pemuda tersebut terhuyung. “Kamu minum terlalu banyak. Pasti mabuk.”
“Aku tidak mabuk. Hanya sedikit pusing.”
Sandra mencebik mendengar jawaban Rion. Pusing itu tanda-tanda mulai mabuk. Meskipun begitu, sandra tidak membantah. Percuma membantah orang yang sudah mulai kehilangan kewarasan. Yang ada dia akan ikut gila.
“Lepaskan. Aku bisa jalan sendiri.”
Sambil mencebik, Sandra melepas tangannya dari lengan berotot Rion. Gadis itu membiarkan Rion menarik handel pintu kemudian meringis melihat Rion menabrak daun pintu yang belum benar-benar terbuka. Salah sendiri sok, batin Sandra.
“Sudah dibilang mabuk tidak percaya,” ujar pelan Sandra yang detik berikutnya mengalihkan pandangan mata ke tempat lain ketika melihat gelagat Rion akan memutar kepala ke arahnya. Sandra berdehem, berpura-pura tidak mengetahui apa yang baru saja terjadi.
Begitu Rion keluar dari ruangan yang mereka tempati, Sandra baru berani tertawa.
“Apa yang kamu tertawakan?”
Dengan sepasang mata membesar Sandra memutar kepala. Gadis itu segera berhenti tertawa melihat Rion berbalik. Pria itu berdiri di ambang pintu sambil menunjuk dirinya.
“Kamu menertawakanku?”
“Iya,” jawab santai Sandra, yang detik selanjutnya langsung merapatkan kedua belah bibirnya.
Terhuyung, Rion segera menjaga keseimbangan tubuhnya. Pemuda itu menghentak-hentakkan kepalanya. Berharap bisa menghilangkan rasa pusing yang menyerang. “Ah, sial.” Rion memukul kepalanya sendiri sambil berjalan terhuyung. Berapa gelas tadi yang ia minum? Kenapa kepalanya sepusing ini?
Sandra berjalan mengikuti tak jauh di belakang Rion. Begitu melihat tubuh di depannya terhuyung, gadis itu melangkah cepat—berniat untuk menahan agar tubuh tersebut tidak terjatuh. Namun, belum sampai ia menahan tubuh itu, sang pemilik tubuh sudah berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri.
Sandra menahan ringisan mendengar umpatan-umpatan Rion tentang kepalanya yang pusing. Salah siapa? Dia sudah mengingatkan Rion untuk berhenti minum. Akan tetapi Rion tidak mendengarnya. Satu botol minuman keras itu nyaris habis. Ah, dia juga ikut meneguknya, tapi, tidak lebih dari 3 gelas. Sisanya, semua berpindah ke dalam perut Rion.
“Oh, tidak.” Sandra berlari, berusaha meraih tangan Rion, namun berakhir gagal.
Suara keras benda terjatuh terdengar. Tubuh Rion berguling menuruni anak tangga.
“Astaga.” Sandra meringis sambil berderap menuruni tangga.
'BRUUKK!'
Suara gedebum keras terdengar begitu tubuh Rion menghantam lantai bawah club.
Lagi, Sandra hanya bisa meringis melihat Rion menggeliat kesakitan, lalu berusaha beranjak. Beberapa orang yang melihat kejadian tersebut berlari menghampiri, kemudian membantu pemuda tersebut berdiri. Sandra melanjutkan ayunan kaki yang menyisakan lima anak tangga sebelum akhirnya menapaki lantai satu.
“Kamu tidak apa-apa? Ada yang luka?” Margaret yang sudah berlari menghampiri Rion, bertanya dengan wajah cemas yang kentara. Wanita itu menyentuh tubuh Rion. “Mana yang sakit?” Layaknya seorang yang begitu peduli pada Rion, Margaret ingin memastikan tidak ada luka di tubuh Rion.
“Aku tidak apa-apa.” Rion menepis tangan Margaret. Membuat wanita yang semula terlihat cemas itu seketika cemberut.
“Apa yang terjadi denganmu? Bagaimana kamu bisa jatuh?” Lagi, Margaret bertanya. Beberapa pria yang semula membantu Rion sudah kembali ke tempat mereka masing-masing. Tersisa Rion, Margaret serta Sandra yang masih diam—hanya memperhatikan interaksi Rion dan Margaret.
Lipatan di kening Sandra muncul. Gadis itu menatap lekat sosok perempuan dengan pakaian mini di depannya. Apa hubungan mereka? Apa mungkin wanita itu salah satu keluarga Rion? Ah, tidak mungkin. Tidak ada kemiripan di wajah keduanya. Sandra menjawab pertanyaan dalam kepalanya sendiri. Sepasang mata Sandra menyipit. Apa mungkin … wanita itu sugar mommy Rion?
Lalu kedua mata Sandra terbelalak lebar. Apa karena itu Rion tidak mau menerima tawaran menikah dengannya? Hah … berapa uang yang Rion dapat dengan menjadi pemuas nafsu tante-tante seperti itu? Tanpa sadar Sandra berdecak hingga membuat perhatian Margaret teralih dari Rion.
“Kamu? Kamu yang mendorongnya?”
“Apa?” Sandra balik bertanya dengan cepat, mendengar pertanyaan dengan nada menuduh. Enak saja menuduhnya mendorong Rion.
“Jangan ganggu Rion, Sialan. Dia bukan untuk perempuan macam kamu.” Margaret memutar langkah lalu menarik lebar langkah kakinya.
Mulut Sandra setengah terbuka. “Apa-apaan kamu?” Sandra menahan tangan Margaret yang tiba-tiba saja mendorongnya. Kedua mata Sandra terbuka lebar. Tidak ingin kalah, Sandra ganti mendorong Margaret hingga kaki berbalut heels tersebut terhela ke belakang beberapa kali.
Tubuh Margaret terhuyung ke belakang. Nyaris saja wanita itu terjatuh. Beruntung Margaret masih bisa menegakkan kaki yang sempat tertekuk karena heels nya. Wanita itu meringis merasakan nyeri pada pergelangan kaki kiri.
“Sialan kamu.”
“Kamu yang sialan,” lawan Sandra. “Kamu yang mulai menuduhku, lalu mendorongku.”
“Itu karena kamu melukai Rion.”
“Siapa yang melukai Rion? Dasar,” kesal Sandra. Sandra melotot ke arah Margaret.
“Memangnya siapa lagi yang mendorong Rion kalau bukan kamu? Kamu pikir aku bodoh, hah? Kamu yang bersama dengan Rion.” Oh … kalau saja kakinya tidak sakit, Margaret sudah akan menerjang perempuan di depannya. Mendorong atau bahkan menjambak ikatan rambutnya itu. Margaret menatap marah Sandra.
“Sudah kukatakan aku tidak mendorongnya. Dia jatuh sendiri. Tanya saja padanya.”
Sementara Sandra dan margaret berdebat, orang yang mereka perdebatkan melangkah terhuyung menjauhi keduanya.
Sandra dan Margaret menoleh ke arah Rion. Keduanya menganga melihat Rion dengan santainya pergi, padahal mereka berdua sudah nyaris berkelahi.
Sandra berdecak sebelum berjalan menyusul Rion.
“Hei, kamu mau kemana? Kita belum selesai.” Dengan terpincang, Margaret mencoba menyusul. Wanita itu mengumpat berkali-kali. Kesal karena tidak bisa berjalan cepat lantaran kakinya sakit, Margaret membungkuk. Wanita itu melepas kedua heels lalu menenteng sepatu dengan hak lancip setinggi 12 cm tersebut.
“Jangan pergi. Bayar dulu minumannya.”
Sandra tidak peduli. Sandra berlari mendahului Rion lalu menghadang langkah pemuda tersebut.
Dengan sepasang mata yang sudah tidak bisa terbuka lebar, Rion mencoba menyingkirkan tubuh di depannya. “Pergi. Sudah kukatakan aku tidak tertarik dengan tawaranmu, Nona Sandra.”
“Oh … kamu tahu namaku?” Sandra tersenyum. Dia pikir Rion tidak tahu namanya. Sandra menarik langkah ke belakang, namun tidak menyingkir dari hadapan Rion. “Aku tetap akan menjadikanmu suamiku.”
“Aku tidak mau.”
“Dengan uang yang orang tuaku miliki, aku bisa membantumu menghilang dari orang-orang yang tidak ingin kamu temui, Rion. Bukankah itu yang kamu inginkan? Menghilang dari … keluargamu?”
Rion menghentak kembali kepalanya. Pandangan matanya mulai kabur. Sialan, umpat Rion dalam hati. Kapok. Lain kali dia tidak akan minum banyak lagi, janjinya dalam hati.
Meskipun sudah setengah mabuk, namun Rion masih bisa mengingat pembicaraannya dengan Sandra. Tentang tawaran gadis itu.
“Kamu bisa menghilang dari keluargamu, mendapatkan kekayaan berlimpah milik orang tuaku. Kamu tidak perlu lagi menjadi sugar baby perempuan club itu. Sebaliknya, kamu bisa memilikiku. Semua penawaran menguntungkanmu, Rion. Kamu bodoh kalau tidak mau menerimanya.”
Rion terhuyung ke kanan, lalu menegakkan tubuhnya kembali.
“Apa sekarang kita sudah sepakat, Rion?” Sandra tersenyum.
Sambil terhuyung, Rion menepikan tubuh Sandra. Sepasang kaki pemuda yang sudah setengah mabuk tersebut terayun. “Temani aku malam ini,” ujarnya sambil melanjutkan ayunan kaki yang tidak lagi lurus.