“Cepat turun,” perintah Rion setelah menurunkan standar motornya. Pria itu melepas helm full face yang menutupi seluruh kepala.
Sandra dengan cepat turun dari boncengan motor. Gadis itu menoleh ke belakang. Khawatir para polisi itu berhasil mengejar mereka. Sandra tersentak ketika merasakan tarikan pada pergelangan tangan kirinya. Gadis 19 tahun itu kemudian berlari mengikuti tarikan pria yang baru dikenalnya, masuk ke dalam sebuah club malam.
Rion mengedarkan mata sebelum melanjutkan langkah kakinya. Kali ini Rion sudah tidak lagi berlari. Pria itu melangkah lebar menghampiri seseorang yang dikenalnya.
“Margaret.”
Yang Rion panggil langsung menoleh dengan senyum lebar, sebelum detik berikutnya senyum itu langsung menghilang saat melihat Rion datang tidak sendirian. Wanita dengan dandanan tebal tersebut melirik sosok perempuan yang berdiri di samping Rion dengan tatapan tidak suka.
“Ada apa?” ketus Margaret yang kini mengembalikan pandangan mata pada sosok pria muda tampan yang dikenalnya tiga minggu lalu.
“Apa masih ada tempat kosong?” tanya Rion seraya menoleh ke belakang. Pria itu menarik pelan napasnya.
“Kenapa? Polisi mengejarmu lagi?” tanya Margaret masih dengan nada ketus. Wanita itu berdecak saat yang ditanya tidak menjawab. Pria muda di depannya ini hanya menatapnya, tanpa membuka sepasang bibirnya. Kesal, wanita itu kembali berdecak, sebelum memutar langkah.
“Ikut denganku.”
Sepasang bibir Rion bergerak mengerut, sementara kedua mata pria muda itu mengecil. Rion menoleh ke samping. “Ayo,” ajak Rion pada sosok perempuan yang ia tatap tidak lebih dari dua detik. Rion kemudian melangkah menyusul Margaret yang sudah berada beberapa langkah di depannya.
Sandra menoleh ke belakang sebelum melangkah mengikuti Rion. Tarikan napas dalam gadis itu lakukan. Club malam bukan tempat yang asing baginya. Dia sering menyambangi tempat seperti ini setiap kali merasa kalut. Saat berada di dalam rumah terasa seperti di dalam neraka.
Langkah Sandra terayun lebih lebar. Menaiki tangga menuju lantai dua bangunan tersebut. Gadis itu menoleh—menatap perempuan dengan dandanan menor dan pakaian mini, sebelum melanjutkan ayunan kaki masuk ke dalam sebuah ruangan.
“Akan kuambilkan minuman,” ujar Margaret sambil menatap Rion yang sudah duduk di sofa panjang. Dengan bibir cemberut, Margaret memutar langkah kemudian berjalan meninggalkan ruangan yang dihuni oleh Rion.
“Siapa dia? Kenapa dia terlihat tidak menyukaiku? Dia menatapku seperti aku ini ancaman baginya.” Sandra yang masih menatap ke arah pintu yang kini sudah tertutup, mendesah. Apa salahnya? Kening gadis itu mengernyit. Seingatnya, ini pertama kali dia bertemu dengan wanita itu. Lipatan di kening Sandra bertambah ketika menyadari orang yang dia tanya tidak menyahut sedikitpun.
Sandra memutar kepala. Gadis yang masih berdiri di depan meja kaca itu menurunkan pandangan mata. Menatap pria yang duduk dengan punggung melengkung ke depan. Sepasang mata Sandra mengerjap.
“Rion.” Sandra menatap lekat pria yang masih belum mengangkat kepala dari benda pipih persegi di tangannya.
Menghembus karbondioksida dari lubang hidung, Rion mengangkat kepala. Bola mata pria itu bergulir. Dan itulah saat pertama kali tatapannya bertemu dengan sepasang netra bulat bening dengan manik berwarna hitam selama lebih dari lima detik. Dua alis Rion bergerak hingga nyaris bertabrakan. Pria muda itu meneleng, mengamati sosok perempuan yang masih berdiri di depannya terpisah meja kaca.
Sandra berdehem ditatap oleh Rion seperti itu. Beberapa detik terlewat dan yang Rion lakukan hanya menatapnya, terlihat sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang dia lempar sebelumnya. Akhirnya, Sandra berdecak sambil mengalihkan pandangan mata.
Tarikan napas dalam dan panjang gadis itu lakukan. Untuk pertama kalinya dia merasa tidak menjadi pusat perhatian seorang pria. Dia merasa diabaikan. Padahal, selama ini tidak ada pria yang sanggup mengabaikan dirinya.
“Setelah kondisi aman, kamu bisa kembali ke rumahmu.” Setelah mengucapkan satu kalimat itu, Rion kembali menundukkan kepala. Jari-jari tangan pria itu bergerak—memainkan benda persegi pipih di tangannya.
Sandra menggelengkan kepala. “Seharusnya kamu berkata, “kalau kondisi sudah aman, aku akan mengantarmu pulang,’’” ujar Sandra tidak habis pikir. Jam berapa sekarang? Sandra mengangkat tangan kiri hanya untuk memastikan waktu. Jam 2 dini hari. Dan pria di depannya ini terlihat sama sekali tidak peduli padanya. Dia perempuan yang butuh perlindungan dari pria.
“Apa kamu tidak punya saudara perempuan? Kamu tidak khawatir padaku? Bagaimana kalau hal yang sama terjadi pada saudara perempuanmu? Pria macam apa yang membiarkan seorang gadis, dini hari, pulang sendirian?”
“Apa kamu tidak lelah dari tadi bicara terus?” tanya Rion tanpa mengalihkan pandangan mata dari ponsel di tangannya.
“A-apa?”
“Berhentilah bicara. Aku yang mendengar saja lelah. Lagi pula aku tidak mengajakmu. Kamu sendiri yang ikut denganku.” Rion menghembus napas sebelum mengangkat kepala sekali lagi. “Jangan minta aku bertanggung jawab pada kesalahanmu.”
“Oh, God. Kamu benar-benar pria paling menyebalkan yang pernah kukenal.”
“Kamu tidak mengenalku. Aku juga tidak mengenalmu. Kita orang asing.”
Mengangkat kedua tangan, Sandra menekan kepalanya frustasi. “Dasar songong. Percuma tampan kalau kepribadianmu enol.”
Rion tidak peduli pada apa yang Sandra ucapkan. Rion menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Sepasang bola mata pria tersebut mengikuti pergerakan Margaret yang berjalan masuk dengan membawa nampan berisi botol minuman dan dua gelas kosong.
“Mereka ada di bawah.” Margaret berujar. Wanita itu berhenti melangkah di depan Rion kemudian meletakkan nampan ke atas meja, tanpa peduli pada sosok yang berdiri di sebelahnya.
“Terima kasih,” ucap Rion yang langsung meletakkan ponsel ke atas meja, lalu beralih pada botol minuman. Menuang isi botol ke dalam gelas. “Kamu boleh pergi.”
“Kamu mengusirku?”
“Mereka pasti akan mencarimu.” Rion mengangkat gelas. Menoleh ke arah Margaret, sebelum meneguk isi gelas beberapa kali.
Margaret berdecak. “Jangan keluar dari tempat ini sebelum aku memberimu kabar.”
Rion tersenyum kecil seraya mengangguk. Dengan sepasang matanya, Rion mengikuti pergerakan Margaret yang sudah berbalik kemudian berjalan cepat ke arah satu-satunya akses keluar masuk ruangan tersebut.
Mendesah, Rion kembali membawa tepi gelas ke sela bibirnya, kemudian meneguk sisa cairan di dalam gelas.
Sandra menelan ludah melihat Rion menikmati minumannya. Dengan wajah kesal, Sandra melangkah memutari setengah meja, lalu menjatuhkan p*ntat di sebelah Rion. Tanpa lagi mengeluarkan suara, Sandra mengisi sendiri satu gelas kosong di atas meja.
Sandra baru saja meneguk isi dalam gelasnya ketika terdengar suara berisik dari luar ruangan. “Ada apa?” gumam Sandra dengan kening mengernyit. Gadis itu menatap ke arah pintu yang masih tertutup, sementara tangannya bergerak meletakkan gelas ke atas meja.
Pintu terjeblak keras. Sandra tersentak ketika merasakan tarikan pada tubuhnya. Dan sepasang mata gadis 19 tahun itu seketika membesar begitu merasakan sesuatu yang kenyal, namun lembut menyentuh sepasang bibirnya. Tak sampai di situ. Sesaat kemudian Sandra merasa melayang. Dua tangan gadis itu terangkat merengkuh leher seseorang, kemudian membalas tarian bibir pria tersebut.