Hari baru bagi Sandra dan juga Rion. Mereka berdua sudah berganti status. Sekarang mereka adalah pasangan suami istri. Setelah dari gereja, Sandra dan Rion langsung kembali ke flat yang Rion tempati. Tidak ada perayaan. Sandra pun tidak membiarkan Frida mengikutinya.
“Jangan mengikuti kami, Frida. Kamu hanya akan mengganggu aktivitas suami istri kami.” Dan begitu Sandra mengatakan hal tersebut, dengan sendirinya Frida pergi. Sandra jelas tidak ingin Frida tahu jika pernikahannya dengan Rion hanya sebatas kontrak, atau permainan semata.
“Ah … akhirnya sampai juga,” ujar Sandra lega setelah masuk ke dalam flat yang Rion tempati. Gadis itu langsung melepas heels, lalu melangkah dengan cepat menuju ke sofa. Sandra menghempas tubuh ke atas sofa yang cukup empuk.
Rion melangkah masuk seraya mendorong daun pintu hingga kembali tertutup, lalu bunyi ‘Klik’ terdengar. Pria itu menarik lepas dasi kupu-kupu yang membelit lehernya kemudian melepas jas.
“Apa rencanamu sekarang, Rion?” tanya Sandra seraya mendongak menatap pemuda yang sudah menjadi suaminya.
“Rencana?” tanya balik Rion dengan sepasang alis berkerut. Pria itu menyampirkan jas ke punggung sofa begitu saja.
Sandra dengan cepat mengangguk. “Iya. Pengawal papa pasti akan mencari kita.”
“Oh … itu?” Rion melangkah ke depan sofa single kemudian menurunkan p*ntatnya. Rion menarik punggung ke belakang, lalu meletakkan kedua tangan di lengan kursi.
“Begitu saja?” tanya Sandra dengan kedua mata mengecil.
“Memangnya harus bagaimana? Aku tidak punya rencana. Bukankah sekarang orang tuamu pasti sedang marah besar? Itu kan, yang kamu inginkan?” tanya Rion santai.
Sandra menganga dengan sepasang mata mengerjap. “Kamu tidak punya rencana?” tanya Sandra ingin memastikan. “Wah ….” Sandra berdecak melihat Rion mengangguk dengan santai. Sandra mendorong punggu ke depan. “Kamu harus pikirkan rencanamu sekarang, Rion.”
“Ayolah, San. Kamu sudah berhasil membuat kedua orang tuamu naik pitam. Aku yakin saat ini mereka berdua benar-benar sedang marah besar.”
Sandra berdecak. “Jangan berpikir tugasmu sekarang sudah selesai, Rion.” Sandra menghentak keras karbondioksida keluar dari mulutnya. “Aku mau mereka benar-benar marah sampai putus asa karena tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai mereka menyerah padaku. Sampai mereka menuruti semua yang kuinginkan.”
Rion meneleng memperhatikan Sandra yang sedang bicara berapi-api. Kedua alis pemuda itu menukik. Dia bisa melihat begitu besar kemarahan yang Sandra miliki untuk kedua orang tuanya. Perlahan Rion menghembus keluar karbondioksida keluar dari celah bibir. Dia bisa mengerti perasaan itu. Tidak jauh berbeda dengan dirinya.
Jika dirinya menyimpan kemarahan yang sangat besar karena sudah dibohongi dan tidak dianggap oleh papa kandungnya sendiri, Sandra menyimpan kemarahan besar karena tidak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Mereka berdua memiliki luka yang sama.
Perasaan senasib itulah yang sedikit banyak membuat Rion memutuskan untuk membantu Sandra.
“Aku ingin mereka merasakan seperti apa yang kurasakan selama ini, Rion. Marah, bingung, kesepian, putus asa. Aku ingin mereka merasakan itu semua. Sebelum mereka merasakannya, aku tidak akan berhenti. Saat ini, iya mereka pasti marah. Tapi, itu belum seberapa dibanding kemarahan yang kusimpan selama ini.” D*da Sandra bergerak naik turun dengan cepat.
Sandra merasakan di dalam d*danya bergejolak saat mengingat seperti apa hidupnya selama ini. Kulit wajah gadis itu memerah. Kedua tangannya terkepal tanpa gadis itu sadari.
Rion yang melihat, menghembus pelan napasnya. “Baiklah. Aku akan memikirkannya,” kata Rion sebelum beranjak. Pria itu menatap Sandra beberapa saat sebelum meraih jas yang tersampir, kemudian melangkah meninggalkan Sandra.
“Istirahatlah. Nanti malam ikut denganku ke suatu tempat,” kata Rion tanpa menoleh ke arah Sandra.
Sandra menatap punggung Rion yang semakin menjauh. Tarikan napas panjang gadis itu lakukan. Sandra mengangkat tangan, menyusut air mata yang sudah menggantung di sudut mata dan siap terjatuh.
Sandra membuka mulut. Meraup sebanyak mungkin oksigen masuk ke dalam paru-paru, kemudian menahan beberapa saat sebelum menghembus keluar. Sandra mengedarkan pandangan matanya. Beberapa saat kemudian, gadis itu membaringkan tubuh di sofa panjang yang ia tempati. Masih dengan memakai gaun pengantinnya, Sandra menatap langit-langit ruangan.
Sementara itu, Rion mengisi gelas dengan air dingin kemudian meneguknya hingga tandas. Pemuda itu mendesah nikmat. Memutar kepala, tangan kiri pria itu bergerak menggulir layar ponsel. Beberapa saat yang Rion lakukan adalah memeriksa sosial media seseorang.
Tarikan napas dalam Rion lakukan ketika melihat postingan tanpa gambar, hanya warna hitam. Dan status yang tertulis pun sama. Gelap. Sepasang mata pemuda itu menatap tanpa kedip, sebelum hembusan napas kasar keluar, lalu Rion meletakkan ponsel itu ke atas meja dengan setengah membanting.
Rion kembali mengisi gelas lalu meneguknya. Pria itu menekan-nekan katupan rahangnya, sebelum kemudian mendorong kursi di sebelahnya hingga terjatuh dan menimbulkan suara yang cukup keras. Tidak berhenti sampai di situ, Rion menghentak gelas yang masih ia pegang ke atas meja. Dia perlu melampiaskan emosinya.
Sandra mendesis kesal. Dia merasa baru saja memejamkan mata saat suara keras terdengar dan membuatnya terkejut. D*danya berdebar kencang. Dia yakin baru akan masuk ke dalam alam mimpi saat diseret lagi ke dunia nyata.
Sandra dengan terpaksa mengangkat tubuhnya sambil meringis. Memijat sesaat pelipisnya, lalu beberapa saat kemudian beranjak. Sandra mengayun langkah ke arah suara keras terdengar. Tidak perlu bertanya siapa pelakunya. Saat ini hanya ada mereka berdua di flat. Dirinya dan Rion. Jadi, sudah bisa dipastikan pelaku pembuat suara menyebalkan itu adalah suaminya. Ya … suaminya. Sandra meringis kala mengingat status mereka saat ini.
Tiba di ambang pintu ruang makan, Sandra terdiam melihat sosok yang duduk dengan punggung melengkung ke depan. Bukan karena posisi duduk Rion, ataupun kursi yang sudah tergeletak di lantai, yang membuat Sandra terpaku. Namun, punggung dan bahu Rion yang bergerak naik turun dengan cepat.
Sepasang mata Sandra mengerjap. Apa yang terjadi dengan Rion?
Sandra berjingkat saat tiba-tiba saja Rion memukulkan kepalan tangan kanan ke atas meja dengan keras.
'BRAK!’
Tidak hanya sekali, Rion kembali memukul meja sekuat tenaganya.
‘BRAK! BRAK! BRAK!’
Lalu Rion mengumpat. “Sialan! b******k kalian!”
Sandra masih berdiri di ambang pintu dengan sepasang mata memperhatikan pria yang sudah berstatus sebagai suaminya.
“Mama … maaf. Maafkan aku.”
Di tempatnya, Sandra semakin terhenyak mendengar gumaman Rion yang jelas tertangkap indera pendengarannya. ‘Mama?’ batin Sandra. Apa yang terjadi dengan mama Rion, sampai Rion terlihat begitu sedih? Bahkan dia yakin Rion menangis, sekalipun dia tidak mendengar suara isak tangisnya.
“Maaf, Ma. Aku minta maaf. Jangan benci aku. Tolong … jangan membenciku.” Rion tidak bisa menahan air matanya. Dia sangat merindukan perempuan itu. Mamanya.
Rion mengusap kedua matanya, saat air mata itu meluncur begitu saja. Ingin sekali dia menghubungi wanita itu. Mendengar suaranya. Memastikan wanita itu baik-baik saja. Tapi, dia takut. Sungguh dia takut.
Rion tersentak ketika tiba-tiba merasakan pelukan. Pemuda itu menoleh. Sepasang matanya bertemu tatap dengan netra Sandra.
Sandra tidak mengatakan apapun. Entah mengapa kesakitan yang Rion rasakan bisa dengan begitu mudah sampai padanya. Hatinya sakit, dan sepasang matanya memanas tanpa ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sandra mengeratkan pelukannya. Seolah dengan melakukannya, dia bisa memberikan ketenangan pada Rion yang benar seperti tebakannya--Rion sedang menangis.
Rion menekan-nekan katupan rahangnya. Pemuda itu berusaha keras untuk menekan gejolak emosi yang meluap saat memikirkan mamanya. Rion mengatur tarikan dan hembusan napasnya.
"Lepas, San."
Sandra mengerjap. Gadis itu memeluk masih memeluk erat Rion.
"Aku bilang lepas, Sandra." Rion mengulang dengan menekan setiap kata yang ia ucapkan.
"Kenapa?" tanya Sandra yang akhirnya menuruti permintaan Rion. Melepas pelukannya. Sandra menatap bertanya Rion.
Rion tidak menjawab. Rion justru langsung berdiri. Mendorong tubuh Sandra hingga gadis itu melangkah ke belakang beberapa hela kaki, lalu berjalan menjauh.
"Rion ... aku sudah pernah berjanji akan membantumu. Katakan padaku, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu."
"Aku juga sudah pernah bilang kamu tidak akan bisa membantuku Sandra."
"Bisa. pasti ada cara untuk membantumu. Dan aku akan melakukannya. Aku berjanji Rion. Jangan khawatir. Kamu tidak sendiri lagi. Ada aku bersamamu."
"Kalau begitu ... apa kamu bisa membunuhku?" tanya Rion yang sudah menghentikan langkah kemudian menoleh ke arah Sandra. "Bisa?" tanya Rion dengan sepasang mata merah yang memperlihatkan kesakitan.