. Peluh Naviza menetes deras dari rahang dan pelipisnya. Liur yang merah bercampur darah, muntah dua kali dalam batuk keringnya yang menyiksa. Ada nyeri yang merambat cepat ke seluruh rusuknya tiap kali napas dihela dengan keras. Dahinya mengerut, pun juga seluruh otot wajahnya mengkerut menahan nyeri hebat yang seakan telah meremukkan rusuk-rusuknya. Ada yang perih tiap kali paru-parunya mengembang kempis. Mungkin ada sobekan entah di sebelah mana dalam di luar paru-parunya yang barangkali tergores oleh tulang-tulang rusuk yang rengat. Membayangkan semua kemungkinan itu saja cukup untuk membuat Naviza tersenyum getir. Ia usap noda darah dari bibirnya. Matanya melihat tajam ke arah Buros yang kini berdiri santai menikmati pemandangan kesakitannya. Tak satupun bayangan yang pernah terlint