Punggung Naviza basah. Bahunya setengah kram dan jantungnya berdetak terlalu kencang. Ia ingin merintih tapi situasi melarangnya. Ia ingin mengerjapkan mata, tapi Derav tak boleh diabaikan. Tangan kanannya menggenggam erat pedang kayu yang menghunus ke depan, sementara tangan kirinya bebas di samping pinggangnya. Ia coba genggam-buka telapak kirinya pelan-pelan. Tak ada kekuatan, jemarinya tak mampu menggulung. Ia coba tekuk sikunya ke dalam, pelan, beberapa kali. Meski lemas sekali, ia tak menyerah. Keringat menetes dari dagunya, turun dari pelipis menyusuri pipi hingga terjun ke lantai kayu kelas itu. “Kau baik-baik saja?” tanya Derav terdengar tulus. Tak ada intonasi mengejek dalam pertanyaan itu. Perempuan itu bahkan sedikit menurunkan pedangnya dan mendekati Naviza pelan