Lupita, Leni, Alex

1027 Words
Ruang rawat itu terasa begitu menyesakkan. Jika melihat kedua orang tua Fardi, alias mertua dari Lupita sendiri, mereka begitu terpukul. Mereka bahkan tak menyangka jika mereka menerima kabar dari Fardi sendiri jika Lupita yang hendak menginginkan pernikahan putranya untuk kedua kalinya, seakan mereka akan kehilangan menantu tercintanya. "Lu, apa kamu yakin akan melakukan semua ini terhadap suamimu? Jika Fardi tidak bisa adil kepada kalian berdua bagaimana?" Rusmi, ibu Fardi ingin kembali memastikan keputusan menantu kesayangannya. Lupita hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan. Sepertinya ia sudah tak bisa mengeluarkan suaranya lagi. Rusmi hanya bisa memeluk suaminya sambil menangis. Masalahnya, ia juga pernah merasakan bagaimana rasanya dimadu. Sakit, sangat menyakitkan. "Bagaimana? Apa kita akan mulai ijab kobul nya sekarang?" tanya Pak Penghulu yang sudah siap dan duduk tepat di samping ranjang pasien Lupita. Fardi merasa terkejut dengan ucapan Pak Penghulu itu, pasalnya, dirinya sedang melamun dan pikirannya entah kemana. Tapi yang pasti, ia begitu putus asa dengan semua ini. "Far, cepatlah, kita tak punya banyak waktu. Lupita harus secepatnya sampai di Singapura," ucap Rey. Rey benar, keadaan Lupita lebih penting saat ini. Soal perjalanan rumah tangganya dengan Leni itu bisa dipikirkan nanti setelahnya. "Sebentar, saya tanyakan dulu kepada istri saya yang pertama," kata Fardi yang langsung menghampiri Lupita. "Sayang, hari ini, mas meminta ijin untuk memenuhi keinginanmu. Mas janji akan bersikap adil terhadap kalian berdua dan mas janji akan selalu mengunjungimu." Fardi mengecup punggung tangan Lupita kala air mata yang menetes diantara keduanya. Sungguh, jika bisa dikatakan, Fardi tidak sanggup melakukannya. Tapi, ini semua demi keinginan istrinya. Lupita kembali mengangguk pelan. Namun, anggukannya berpindah ke kedua matanya yang berkedip lama. Fardi mengerti, ia melepas genggaman itu dan segera duduk tepat di sebrang Pak Penghulu. "Baiklah, kita mulai." Tak lama, Leni masuk mengenakan kebaya putih dengan riasan cantik di wajahnya. Samanta menuntun anaknya untuk duduk di samping calon suaminya. Leni menggenggam erat tangan Lupita sepanjang akad nikah berlangsung. Setelah semua mengatakan 'SAH' itu artinya Fardi dan Leni resmi menjadi suami istri. Saat itu juga, keadaan Lupita sudah tidak bisa dikatakan lagi. Monitor hanya menggambarkan tulisan lurus tanpa detak jantung, hingga mengeluarkan bunyi melengking panjang yang membuat semua orang tercengang. "Sayang, tolong jangan begini. Aku sudah melakukan apa yang kamu inginkan." Fardi tak kuasa, ia menangis dengan menggenggam tangan istrinya erat. "Rey, cepatlah ..." teriak Fardi tak sabar. Sementara Rey sejak tadi sudah sedia. Ia bahkan sudah menyiapkan alatnya. Seketika, alat itu mulai menyetrum, ada sedikit hambatan di sana. Namun, Rey mampu menanganinya. Semua khawatir akan keadaan Lupita yang tersiksa dengan alat itu. Sepertinya itu terasa begitu menyakitkan. "Bertahanlah, Nak." Rusmi terus mengatakan itu agar Lupita tetap bertahan untuk mereka. Ia tak rela jika menantunya pergi begitu saja. Rey dan tim lainnya telah berusaha, berkat mereka juga detak jantung Lupita telah kembali. Namun, keadaannya masih sama, Lupita terlihat sangat pucat dan masib tak sadarkan diri. "Kita harus cepat membawanya," tegas Rey. Fardi mengangguk, mereka telah menggusur kasur itu dan rupanya semua telah siap. Bahkan Fardi menemani istrinya hingga ke Singapura. *** "Mas, bagaimana keadaan Mbak di sana?" Leni bertanya kepada Fardi lewat sambungan telpon. Ini sudah merupakan hari ke tujuh keberangkatan Lupita untuk berobat di luar Negeri. Namun, saat ini Lupita masih belum membuka matanya. Leni sedikit mengkhawatirkan Lupita. Bukan. Lebih tepatnya, Leni sangat rindu akan lelaki yang baru saja menjadi suaminya satu minggu lalu. Sudah satu minggu ini Fardi menemani Lupita di sana. Walaupun setiap hari memberi kabar, tapi kabar itu bukan untuk Leni, melainkan hanya menanyakan Alex saja. "Lupita belum sadar, bagaimana dengan Alex, anakku? Apa kau menjaganya dengan baik?" tanya Fardi memastikan. "Tentu saja, Mas. Kamu tidak usah khawatir, Alex selalu aku jaga dengan baik." Leni tersenyum getir. "Kenapa kamu hanya menanyakan anakmu saja? Apa gunanya aku? Sial," umpatnya dalam hati. "Syukurlah, lebih baik begitu." "Iya, Mas. Kalau begitu aku tutup ya, sepertinya Alex sudah bangun." "Iya." Leni menutup sambungan telpon itu dengan hati kesal. Sebenarnya bukan itu alasannya, tapi Leni begitu tak nyaman jika dirinya memang benar-benar sebagai pengasuh Alex saja. Menyebalkan. "Aku harus secepatnya membuatmu tetap berada di sampingku, Mas. Aku nggak rela kamu terus-terusan di sana hanya demi wanita calon mayat itu." Leni memukul handphone yang ia genggam di tangannya karena kesal. Ia memang tidak ikut karena itu juga sudah perintah dari Fardi sendiri. Tak selang beberapa lama, terdengar suara Alex yang menangis dari arah luar. Alex sedang bermain dengan banyak mainan yang sengaja Leni beli agar Alex tidak selalu tergantung dengannya. Dengan begitu, Leni tidak akan menggendong maupun mengajak main, toh, sudah banyak mainan untuk anak itu. Ia tak perlu repot-repot menemaninya setiap saat. "Ada apa lagi dengan bocah itu? Setiap hari kerjaannya cuma nangis aja. Bikin pusing." Leni lantas mendekati Alex yang masih menangis dengan keras, botol s**u yang ada di sampingnya terlihat kosong. Leni melirik botol itu sekilas lalu mendelik kesal. "Cepatlah besar agar kamu tidak selalu menyusahkan ku lagi, bocah." Leni mengambil botol itu untuk segera mengisinya lagi, meninggalkan Alex yang masih menangis dan merangkak di sana. Bukan itu kemauan Alex, tiap kali menangis, pasti akan diberikan s**u dalam botol atau makanan yang harus Alex suapi sendiri. Untungnya Alex sudah bisa makan dan minum s**u botol sendiri. Yang Alex inginkan sekarang ialah kasih sayang. Bocah seusia Alex masih harus mendapatkan banyak kasih sayang terutama kedua orang tuanya, paling tidak, dari orang yang sering bersamanya setiap hari. Misalnya, sebuah pelukan, ciuman, ataupun kelembutan hati seseorang. "Minum dan makanlah yang banyak, agar ayahmu percaya kalau aku mengurus mu dengan baik." Leni memberikan botol s**u yang sudah terisi dan semangkuk kecil makan siang untuk Alex. Namun, sepertinya Alex tidak bisa berhenti dari tangisnya. Bahkan tangisan itu semakin keras, sampai Leni menutup kedua telinganya kuat. "Berisik ... bisakah kau diam?" teriaknya. Brak ... "Diamlah." Kesabaran Leni sudah habis, ia sengaja melempar mainan itu sampai hancur tepat di depan Alex. Bocah malang itu akhirnya diam karena terkejut dengan sikap kasar ibu tirinya. Sementara Leni masih memanas, ingin rasanya ia kembali merusak mainan Alex yang lain. Namun, bocah itu keburu mengambil makanan di depannya dan memakannya perlahan. "Anak pintar. Jangan terus menangis, itu akan membuat gendang telingaku rusak," gerutunya bicara dengan bocah malang yang sekarang bahkan sibuk dengan makanannya. "Leni ... Alex ... ada apa dengan kalian?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD