Ajeng, Andin dan Ayu saling pandang saat seorang siswa meminta mereka untuk datang ke ruang guru. Sepertinya, mereka tahu apa yang terjadi sehingga mereka dipanggil sekarang. Tetapi, ketiga gadis itu masih berusaha berpikir positif.
"Duh, gue deg-degan, masa." ucap Andin saat mereka berjalan di koridor.
"Itu karena kita idup gak, sih? Makanya deg-degan." sahut Ajeng sekenanya.
Ia hanya tidak ingin membuat suasana semakin memanas dan diserang kepanikan. Jadi, sebisa mungkin membuat jokes yang bisa membuat suasana lebih santai.
"Nggak lagi pengen bercanda, ya." Andin memutar bola matanya malas.
"Jangan tegang-tegang amat, sih."
"Bisa-bisanya lo santai sementara posisi kita kayak mau dibantai!" Ayu yang awalnya hanya diam pun akhirnya bersuara.
Mereka bertiga sampai di depan ruang guru. Tetapi, mereka masih tetap berdiri dan tak berani untuk sekedar mengetuk pintunya atau permisi masuk.
"Lo masuk duluan, Jeng." Andin mendorong bahu Ajeng pelan.
"Ih jangan dorong-dorong. Ntar, pintunya kebuka!" balas Ajeng yang kini menghindar.
"Iya lo masuk duluan, sana. Kan, ini masalah ada gara-gara lo." tambah Ayu.
Ajeng menggeleng keras. Bukankah seharusnya mereka masuk bersama?
"Nggak mau! Kita masuk sama-sama." tolak Ajeng tegas.
Di tengah keributan ketiga remaja ini, guru yang memanggil mereka keluar dari ruangan karena mendengar suara berisik di depan pintu.
"Ajeng, Andin, Ayu. Kalian sudah di sini? Kenapa nggak langsung masuk?" tanya sang guru tegas.
Hal itu membuat ketiga remaja yang berdiam diri di depan pintu ruang guru itu kikuk.
"Eh malah pada bengong. Ayo masuk!"
"I-iya, Bu." sahut ketiganya gugup.
Sang guru masih belum bicara saat Ajeng, Andin dan Ayu sudah duduk bersebrangan dengannya. Hal itu membuat ketiganya semakin gugup. Tetapi, tidak berani bertanya karena sudah jelas tahu apa yang akan menjadi permasalahan kali ini.
"Ada yang bisa menjelaskan?"
Ajeng menutup matanya erat saat sang guru mengangkat angket miliknya.
"Lho, kok kalian malah diem aja? Ajeng."
Tepat sasaran. Sang guru menatap Ajeng sebagai pelaku utama dalam urusan ini.
"Maaf, Bu. Itu kami iseng aja, kok." jawab Ajeng pelan.
Entah bagaimana caranya angket tersebut bisa sampai ke tangan guru. Padahal, Ajeng merasa kalau ia beraksi di luar jam pelajaran. Apa mungkin yang mendapat angket itu ramai-ramai membahasnya?
"Jangan mikirin itu sekarang, Ajeng." batinnya.
"Ini bikin rame banget, lho. Kamu kalau iseng jangan bikin yang aneh-aneh. Apalagi, di lingkungan sekolah."
Ketiga remaja itu hanya terdiam dan tidak bisa memberikan pembelaan sama sekali.
"Kalian paham?"
"Paham, Bu." jawab Ajeng, Andin dan Ayu serempak.
"Kalau begitu, jangan pernah melakukan hal ini lagi. Angket-angket ini Ibu sita. Kalian hanya diperingati kali ini. Tapi, kalau kejadian seperti ini terulang kembali, Ibu nggak segan-segan buat ngasih hukuman. Kalian belajar saja dengan baik. Jangan aneh-aneh." nasihat sang guru.
"Iya, Bu. Maaf kalau keisengan Ajeng malah jadi begini." ucap Ajeng penuh sesal.
"Ya sudah. Kalau begitu, kalian bisa kembali ke kelas."
Ketiganya bisa bernapas lega karena tidak mendapatkan hukuman dan hanya angket yang disita.
"Baik, Bu. Terima kasih."
Setelah meninggalkan ruang guru, Ajeng, Andin dan Ayu memutuskan untuk pergi ke kantin karena kelas mereka sedang jam kosong. Berada di ruang guru beberapa menit membuat tenaga mereka rasanya terkuras habis.
"Gue udah lemes banget jujur. Takut kena hukum bahkan kena skors. Mau bilang apa gue sama emak bapak?" Ayu membuka percakapan di tengah keheningan mereka yang masih begitu tegang.
"Gue juga. Untung aja nggak." Andin mengangguk setuju.
"Sorry, deh. Gue nggak tau kalo ujungnya malah bakal kayak gini." ucap Ajeng penuh sesal.
"Udah, lah. Yang penting, kita nggak kena hukuman." Andin tidak ingin memperpanjang masalah ini karena sudah terlalu pening.
"Jadi, sekarang kita mau ngapain? Apa mau dilanjut?" tanya Ayu kepada Ajeng.
Yang ditanya hanya mengangkat bahu karena sama bingungnya. Program yang sudah hampir berjalan ini malah menghadapi hambatan yang kalau mereka teruskan akan cukup berbahaya untuk keselamatan mereka sendiri.
"Kalian mau makan apa? Gue yang pesen sekarang." tanya Ayu.
"Gue mau bakso, dong. Minumnya es teh aja." jawab Andin.
"Lo, Jeng?"
"Gue ngikut aja deh. Tapi minumnya air putih aja." jawab Ajeng lesu.
"Udah lah, Jeng. Lo jangan mikirin ini lagi. Kayaknya, emang susah buat jalanin ini. Kita jangan ngambil resiko." Andin menepuk bahu Ajeng pelan yang membuat sang empunya mengangguk.
Mengingat ucapan Andin di kantin tadi, rupanya Ajeng masih memikirkan mengenai mantan organik yang ia gagas. Kalau ia maju, sama saja ia mencari masalah. Tetapi, ia juga tidak ingin ini semua sia-sia.
"Ah puyeng banget gue." gumamnya.
Ajeng tidak peduli kalau orang yang lewat menganggapnya gila karena bicara sendiri. Ya, saat ini Ajeng tengah menunggu angkot sendiri karena kedua sahabatnya dijemput.
"Ajeng."
"Eh copot! Ampun deh siap sih ngagetin aja?!" pekik Ajeng saat seseorang menepuk bahunya.
"Eh? Kaget, ya? Sorry."
Ajeng terdiam saat menoleh dan mengetahui siapa yang menepuk bahunya. Rupanya, Dafa di sana. Tetapi, bukan itu yang menjadikan Ajeng terkejut. Melainkan, angket yang berada di tangan Dafa. Dari mana lelaki itu mendapatkannya? Sementara, ia sendiri tidak pernah memberikan angket tersebut kepada Dafa.
"Hai, Kak." sapa Ajeng dengan gugup.
Ia sedang dalam mode pura-pura tidak melihat apa yang Dafa pegang saat ini. Meskipun, jantung sudah berdegup sangat kencang.
"Sendirian aja?" tanya Dafa.
"Berempat, Kak." jawab Ajeng.
Jawaban gadis itu membuat Dafa mengernyit. Pasalnya, sejak tadi ia melihat Ajeng sendiri.
"Iya. Gue, lo sama bayangan kita."
Rupanya, Ajeng tengah berusaha mengalihkan perhatian Dafa yang sepertinya akan menanyakan perihal angket.
"Bisa aja lo. Eh iya, lo nunggu angkot, kan?"
Ajeng mengangguk cepat.
"Itu bukan?" tunjuk Dafa ke arah angkot yang sudah berjalan cukup jauh.
"Hah? Ih kok lo nggak bilang, Kak? Gue ketinggalan dong. Harus nunggu lagi."
Ajeng tampak begitu kesal karena mengobrol dengan Dafa dan membuat angkot yang ditunggunya malah sudah lewat.
"Mau balik bareng gue?"
Pertanyaan Dafa membuat Ajeng yang semula merasa kecewa kini diam-diam tersenyum. Oh, jangan-jangan sebenarnya Dafa sedang modus kepadanya.
"Tapi, makan dulu, yuk. Gue laper."
"Gue nggak, sih. Tapi kalo nemenin doang nggak apa-apa." balas Ajeng yang memang tidak terlalu lapar karena sudah makan bakso di kantin tadi.
"Ya udah kalo gitu."
Ajeng sdikit was-was karena Dafa masih memegangi angketnya.
"Eh iya, Jeng. Gue mau nanya ini, dong."
Akhirnya, yang Ajeng takutkan terjadi juga. Dafa menanyakan perihal angket tersebut.
"Oh itu. Gue cuma iseng doang, Kak. Bukan apa-apa. Lo dapet itu dari mana, sih?" tanya Ajeng.
Ia benar-benar tak punya jawaban lain selain apa yang ia jawab kepada gurunya saat di ruang guru tadi.
"Tapi kok yang lain pada dapet dan gue nggak?" tanya Dafa.
"Duh, kak Dafa bisa gak sih jangan bahas masalah ini?" batin Ajeng.
"Kak, itu makanan lo dateng. Ntar keburu dilalerin." tunjuk Ajeng pada makanan Dafa.
"Oh, iya."
Ajeng berharap setelah makan, Dafa akan melupakan masalah angket itu.
"Oh iya, kenapa gue nggak dapet?"
Harapan Ajeng tinggallah harapan karena Dafa malah masih bertanya di sela-sela kegiatan makannya.
"Nggak penting, Kak. Kenapa pengen banget? Udah ah nggak usah dibahas." balas Ajeng.
Kali ini, semoga Dafa tidak memperpanjang lagi masalah ini.
"Kalo itu nggak penting dan gue nggak dapet, artinya gue penting dong buat lo?"
Pertanyaan Dafa hampir membuat Ajeng tersedak ludahnya sendiri. Pertanyaan ini ternyata lebih menyeramkan dari pertanyaan mengenai angket sebelumnya.
"Eh? Kak makan aja. Jangan sambil ngomong. Ntar keselek." ucap Ajeng.
Hal itu membuat Dafa terkekeh pelan karena menyadari wajah Ajeng yang sekarang sudah memerah.
"Nggak usah ketawa gitu, Kak."
"Gue cuma senyum. Bukan ketawa." kilah Dafa.
Ajeng tidak pernah menduga kalau masalah ini malah membuat dirinya beberapa langkah lebih dekat dengan Dafa. Ya, walaupun saat itu sudah pernah pergi menonton berdua, tapi mereka tidak lebih jauh lagi sejak saat itu.
"Udah. Ayo, pulang." ajak Dafa yang membuat lamunan Ajeng berhenti.
"Lo nggak apa-apa?"
"Nggak. Ayo, pulang. Ntar, gue dicariin." balas Ajeng.
Sudah kali kedua Ajeng pulang diantar Dafa dan saat ini kedekatan mereka sudah lebih dari sebelumnya.
"Lo kok tumben banget nunggu angkot sendiri?" tanya Dafa agak keras karena suaranya beradu dengan angin.
"Temen gue dijemput, Kak."
"Oh, gitu."
"Hmm..."
Ajeng tidak tahu harus bagaimana memperpanjang percakapannya dengan Dafa. Jadi, ia hanya menggumam. Mereka akhirnya hanya diam sampai ke rumah Ajeng.
"Nah, udah nyampe." ujar Dafa yang memberhentikan sepeda motornya.
"Makasih ya, Kak Dafa. Gue ngerepotin lagi." ucap Ajeng.
"Gue nggak repot, kok. Lagian, lo ketinggalan angkot kan gara-gara gue juga." balas Dafa tak lupa dengan senyum manisnya.
Siapapun tolong pegangi Ajeng agar tidak oleng karena senyuman Dafa.
"Y-ya. Oke. Lo, nggak mau mampir dulu?" tawarin Ajeng yang sebenarnya hanya basa-basi.
Ia berharap Dafa tidak mengiyakannya. Karena, ia tidak lunya banyak alasan untuk menjelaskan kepada ibunya siapa Dafa. Belum lagi Mira yang kemungkinan besar akan menggodanya karena pulang diantar laki-laki.
"Makasih. Next time, deh. Gue lagi ada urusan. Gue duluan ya, Jeng."
Setelah Ajeng mengangguk, Dafa langsung melakukan sepeda motornya meninggalkan halaman rumah Ajeng.
"Tuh, kan. Dia tuh sebenernya lagi nggak senggang. Tapi, kok mau ya nganterin gue? Ini gue boleh geer nggak, sih?" gumam Ajeng.
Senyumnya tak lepas dari bibirnya hingga dirinya masuk ke dalam rumah.
"Cie, yang dianterin crush mukanya cerah amat? Seneng, ya?"
Ajeng hampir saja menabrak pintu karena teriakan sang adik.
"Crush apaan, deh?" jawab Ajeng malas.
Rasa bahagianya menguap begitu saja karena godaan sang adik.
"Sok-sokan ngelak, Kak. Tadi aja lo senyum-senyum kayak iklan odol. Sekarang aja pura-pura nggak tau." ucap Mira yang terus menggoda sang kakak.
"Ah, udah deh jangan kepo. Anak kecil dilarang ngikutin urusan orang gede."
"Gede apanya?" kikik Mira.
Ajeng yang tidak ingin meladeni sang adik lebih panjang itu lebih memilih bergegas ke kamarnya. Tetapi, rupanya Mira tidak menyerah secepat itu sebelum mendapat informasi dari sang kakak.
"Kak, kasih tau dong itu siapa? Jangan pelit-pelit amat sama adek sendiri."
"Nggak ada. Itu cuma temen juga. Dah sana-sana!" Ajeng mendorong pelan bahu sang adik agar tak ikut masuk ke dalam kamarnya.
"Emang kerjaannya ngerecokin gue mulu!" kesal Ajeng.
Ia tersenyum sambil merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Mulai saat ini, ia pasti untuk tidak menjadikan Dafa target. Karena, ia akan petrus jakandor alias pepet terus jangan sampai kendor.
***
"Lo harus dengerin ini, Jeng."
Ajeng yang baru saja datang ke sekolah itu langsung diajak rumpi oleh kedua sahabatnya.
"Apaan, sih? Kayaknya ada berita yang amat sangat penting."
"Emang ini penting banget, tau." ucap Ayu yang tampak begitu menggebu.
Sebenarnya, yang punya berita itu Andin. Tetapi, Ayu yang sudah tahu lebih awal itu sangat tidak sabar memberitahu Ajeng masalah ini.
"Emangnya apaan, sih?" Ajeng semakin penasaran dengan kabar apa yang sebenarnya membuat kedua sahabatnya itu begitu bersemangat sekarang.
Andin berbisik kepada Ajeng agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh orang lain. Ia berharap Ajeng akan mendengar ucapannya kali ini.
"Oh, gitu."
Reaksi Ajeng sangat di luar dugaan mereka.
"Lo cuma jawab gitu doang, Jeng?" tanya Ayu tak percaya.
"Ya terus gue harus ngasih reaksi kayak gimana?"
Andin hanya membuang napasnya kasar karena merasa upayanya untuk menyadarkan Ajeng sia-sia.
"Ini kalian lagi ngarang, kan?" tanya Ajeng.
"Ngarang gimana? Siapa yang ngarang?" Bukan Andin yang tersulut emosi melainkan Ayu saat mendengar respon Ajeng.
Cerita Andin ini asli dan tidak mengada-ada sama sekali. Lagipula, mereka tidak ada waktu hanya untuk mengarang cerita seperti ini.
"Gue liat dengan mata kepala gue sendiri, Ajeng. Gimana bisa lo mikir kalo gue bohong dan ngarang cerita? Gue nggak serajin itu buat bikin cerita fiktif." jawab Andin yang merasa kesal karena tidak dipercaya.
"Duh, gimana, ya?"
"Gimana apanya lagi, Ajeng? Lo dengerin kan apa yang tadi gue ceritain? Dafa itu playboy! Lo jagan bulol gini, dong!"
Ayu lagi-lagi menjadi lebih galak karena Ajang yang begitu keras kepala.
"Ajeng, gue liat dengan mata kepala gue sendiri kalo Dafa itu jalan sama kakak kelas kita dan mereka mesra banget. Mereka jalan, Ajeng! Huh. Sabar Andin, sabar!" Andin mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Tapi, kemarin dia nganterin gue. Dia juga--"
"Stop! Kalo lo mau membela Dafa, mending stop, Jeng." potong Ayu.
"Gue tau, ini emang perasaan lo. Tapi, lo nggak harus nurutin semua kata hati lo kalo itu emang nggak baik." tambah Andin.
Ajeng hanya diam karena kedua sahabatnya itu tampak begitu menggebu karena masalah Dafa.
"Gue sebagai sahabat lo cuma bisa peringatin dan kasih tau lo apa yang harus dan jangan lo lakuin. Tapi, sekarang semua balik lagi sama lo, Jeng. Gue ngebilangin lo juga udah. Sekarang, gue nggak mau ikut campur lagi. Mau lo deket sama Dafa kek, tukang kebun, kek. Gue nggak peduli."
Ayu juga setuju dengan perkataan Andin dan mengangguk pasti.