Ajeng
Guys, sorry. Gue lagi di jalan pulang. Habis nonton sama kak Dafa. Kalian di mana? Target kita sekarang gimana?
Begitulah kira-kira pesan yang Ajeng kirimkan di grup dan membuat Ayu geram bukan main. Andin yang baru membuka ponselnya saat di perjalanan pulang pun tak kalah geram.
"Bisa-bisanya tuh anak!" teriak Andin yang membuat Ayu yang tengah mengendarai sepeda motornya itu hampir saja oleng.
Bagaimana tidak? Andin berteriak tepat di telinga Ayu. Untung saja Ayu sedang tidak melamun.
"Gue nggak budeg! Gak usah teriak di kuping gue juga, kali! Kalo kita nyungsep, itu gara-gara lo, ya!" balas Ayu.
"Sorry, gue cuma kesel. Lagian kita di motor! Anginnya kenceng banget!" Andin masih berteriak.
"Udah gue bilang jangan teriak, Andin!" Ayu berteriak lebih keras.
"Iya, nggak." Kali ini, Andin bicara lebih pelan. Namun, ia masih merasa geram dengan tindakan Ajeng yang seenak jidatnya sendiri.
Mereka berdua akhirnya sepakat untuk ngambek berjamaah. Agar Ajeng tahu rasa. Memangnya, hanya dia yang bisa marah? Andin dan Ayu juga bisa. Lagipula, alasan mereka marah sudah jelas.
"Jajan dulu, deh. Gue kalo abis marah-marah jadi laper." ucap Andin yang kali ini tidak dibantah oleh Ayu.
Mereka sudah setengah hari melakukan misi, ditambah dengan kabar Ajeng yang menyebalkan. Bagaimana tidak lapar? Hal itu sangat menguras emosi.
"Huh kenyang banget, gue!" seru Andin setelah menenggak es tehnya sampai habis.
Lebih tepatnya sampai es batunya juga ikut tandas dikunyahnya.
"Kalo abis makan tuh berdoa, Neng. Alhamdulillah, gitu. Kayak nggak ada adabnya." ucap Ayu yang setelah itu menyeruput es tehnya.
Tak cukup di sana mereka makan bakso, pulangnya, mereka tetap membeli aneka jajanan yang katanya kalau sampai rumah, mereka akan lapar lagi.
Mereka tetap menyimpan rasa kesal terhadap Ajeng hingga esok harinya. Tak ada yang membalas pesan apapun dari Ajeng dan membiarkan sahabatnya itu sendirian.
Sementara itu, Ajeng berlari tunggang langgang dari gerbang sekolahnya menuju kelas. Ya, Ajeng kesiangan. Ia mengatur napasnya terlebih dahulu di ujung koridor yang hampir menuju kelasnya.
"Aduh, engap banget, gue." ucapnya dengan napas yang masih tersengal.
Tetapi, untung saja bel masuk berbunyi pada saat Ajeng masuk ke dalam kelas. Jadi, ia tidak mendapatkan masalah hari ini. Kalau saja ia terlambat beberapa menit saja, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah buru-buru, lelah, kena hukum pula.
Ajeng langsung mengeluarkan catatannya. Ia masih belum sadar kalau Andin dan Ayu menatap kesal ke arahnya. Kedua sahabatnya itu sudah ingin sekali marah-marah kepada Ajeng. Tetapi, tertahan karena Ajeng kesiangan.
"Eh, kok kalian nggak ada yang spam chat gue? Gue lupa hidupin alarm. Mama juga malah ke pasar." ucap Ajeng tanpa dosa setelah pelajaran pertama berakhir.
Hal itu tentu membuat Andin dan Ayu mengernyitkan keningnya. Aturan, mereka berdua yang protes kepada Ajeng. Kenapa malah jadi sebaliknya?
"Ada akhlak lo begitu, Jeng?" balas Ayu dengan wajah yang masam.
"Emang bener-bener ye anaknya nggak ada adab sopan santunnya. Ini yang harusnya marah, kita berdua sama lo. Malah lo nyalahin kita, lagi." sambung Andin.
Barulah Ajeng sadar kalau kemarin ia sudah membuat kesalahan yang memang cukup fatal. Karena terlambat berangkat sekolah, ia malah mengomel.
Bolpoin yang berada di tangannya kini menjadi sasaran Ajeng untuk mengurangi rasa gugupnya. Ia memutar-mutar benda tersebut dan tidak menyahut apa yang sahabatnya katakan.
Hingga agak lama, barulah kata maaf terucap dari mulut Ajeng. Itupun sangat pelan karena guru pelajaran selanjutnya sudah memasuki kelas.
"Maaf." cicitnya.
Andin dan Ayu hanya memutar bola matanya malas. Pokoknya, hari ini mereka akan mogok bicara dengan Ajeng dan membiarkan gadis itu menjelaskan dengan detail dan barulah mereka mempertimbangkan apakah akan memaafkan Ajeng atau tidak atas tindakannya kemarin.
"Ayo Ajeng, mikir kata-kata yang mau lo sampein sama Andin Ayu biar mereka maafin lo." batin Ajeng yang tengah mencatat materi di depan kelas meski sebenarnya ia tidak terlalu mengerti.
Itu karena fokusnya terbagi saja. Bukan karena Ajeng lemot, ya.
"Cepetan, Yu. Gue udah laper, nih!" Andin menggebrak meja Ayu saat bel istirahat baru saja berbunyi.
Sebenarnya, bukan hanya karena lapar, tapi mereka sebisa mungkin menghindari Ajeng yang kini tengah sibuk menulis catatan yang tertinggal.
"Santai, dong. Gue beresin buku dulu." sahut Ayu.
"Nggak usah. Ntar aja. Cepet!"
Andin yang mengedipkan sebelah matanya sambil melirik Ajeng itu langsung dimengerti Ayu yang langsung bergegas dari tempat duduknya.
"Eh tungguin gue, dong!" teriak Ajeng yang menutup bukunya tergesa-gesa demi menyusul kedua sahabatnya yang sudah melenggang ke luar kelas tanpa menoleh sama sekali ke arahnya.
Ajeng setengah berlari demi menyusul Andin dan Ajeng. Namun, di koridor ia bertemu Dafa yang menyapanya hingga ia lupa dengan tujuan awalnya.
"Eh, Ajeng. Kenapa lari?"
"Em, itu. Nyusul Andin sama Ayu."
"Oh gitu. Gue duluan, ya. Mau ke perpus." ujar Dafa yang diangguki oleh Ajeng.
Sementara itu, pemandangan tersebut tak luput dari pandangan Andin dan Ayu.
"Lo liat, kan? Prioritasnya sekarang emang si monyet." bisik Andin.
"Bener. Udah nggak ada pikiran sama sekali kemarin nelantarin kita." balas Ayu menyetujui perkataan Andin.
Keduanya celingukan mencari tempat duduk di kantin yang hampir penuh. Untung saja, masih ada tersisa meski mereka malas duduk di tengah-tengah. Tapi apa daya, daripada tidak dapat sama sekali.
"Gue yang pesen. Lo jagain bangkunya ntar ada yang nempatin."
Ucapan Andin tersebut diangguki oleh Ayu yang bermain ponsel sambil menunggu Andin memesan makanan untuk mereka berdua.
Sementara itu, Ajeng yang sempat bertegur sapa dengan Dafa itu kehilangan jejak kedua sahabatnya yang duduk di tengah.
"Mereka di mana, sih?" Ajeng masih celingukan ke arah pojok. Karena, biasanya mereka mengambil tempat duduk di sana. Tetapi, sekarang malah ada gerombolan siswa yang duduk di sana.
Sementara itu, Andin kembali ke tempat duduknya dengan membawa baki berisi makanan miliknya dan Ayu.
"Nih, siomay lo. Nggak pake kol sama kentang. Pedesnya dikit." Gadis itu menyodorkan sepiring siomay ke arah Ayu.
"Nih, minumnya air putih dingin." sambung Andin.
"Makasih. Wih udah hapal banget sama pesenan gue, ya." balas Ayu yang langsung mengaduk siomaynya agar bumbunya merata.
"Sttt..." Andin menyenggol lengan Ayu yang hampie menyuapkan siomay ke mulutnya sehingga membuat siomay tersebut jatuh.
"Kenapa, sih nyenggol-nyenggol?" Ayu merasa tidak terima dengan perlakuan Andin.
Tetapi, setelah melihat kode yang diberikan Andin, Ayu akhirnya mengerti. Mereka makan tanpa suara agar tidak dicurigai keberadaannya oleh Ajeng. Namun, rupanya keberuntungan tak berpihak pada mereka karena Ajeng menemukan mereka berdua dan duduk begitu saja.
"Ih, kok kalian ninggalin gue, sih?"
Baik Andin maupun Ayu hanya saling bertukar pandang.
"Maafin gue, dong." Ajeng menunjukkan wajah memelasnya.
"Guys, gue beneran nggak bisa diginiin kalian. Maaf, ya." Ajeng mengulang permintaan maafnya. Ia berharap kedua sahabatnya ini akan luluh dengan wajah memelasnya.
Namun, ternyata semua itu tidaklah cukup karena Andin dan Ayu tak memberikan respon.
"Maafin gue, ya." Mata Ajeng mengerjap beberapa kali.
"Nggak usah sok baik sama kita kalo buktinya prioritas lo aja si monyet." Ayu akhirnya bersuara.
"Iya bener. Ngapain sama kita lagi? Lo kan udah seneng tuh jalan sama gebetan. Sampe ngerjain temen sendiri. Kalo masih temen, ya." Andin juga ikut memberikan sindiran keras.
"Sumpah, gue minta maaf banget. Please dengerin penjelasan gue dulu. Mau, kan?" bujuk Ajeng masih dengan tampang yang memelas.
Akhirnya, Andin dan Ayu mengangguk. Memberikan kesempatan kepada Ajeng untuk menjelaskan apa yang terjadi kemarin.
"Jadi, gue ini nggak bisa nolak ajakan kak Dafa." Ajeng mulai membuka ceritanya.
"Tuh, kan. Emang prioritas lo si monyet! Tau gue!" potong Andin.
"Ih dengerin gue dulu. Belum selesai." Ajeng harus menahan rasa jengkelnya karena ia harus meminta maaf kepada kedua sahabatnya ini.
"Dia langsung bilang ngajak gue nonton sepulang sekolah tanpa nanya dulu gue bisa apa nggak. Gue juga nggak sempet ngejelasin karena dia keburu pergi. Nggak enak dong kalo gue nolak pas pulang sekolah?"
"Tapi, lo enak-enak aja tuh nggak ngabarin kita kalo lo ternyata nggak bisa? Kan, kita bisa leha-leha di rumah." balas Ayu.
"Gue beneran lupa. Maaf."
"Emang kan kalo udah liat cinta, temen sendiri dilupain. Padahal, yang punya misi juga lo sendiri. Gimana, sih? Malah numbalin temen." Andin menambahkan.
Ajeng hampir kehabisan kata karena kedua sahabatnya ini selalu saja bisa menepis perkataannya.
"Guys, gue nggak bakal ngulangin ini lagi. Gue tau gue salah kemarin. Maaf banget, ya. Maaf karena udah nyusahin kalian berdua karena gue yang nggak ikut andil. Padahal, harusnya gue yang ada di garis depan."
Ajeng benar-benar tulus meminta maaf kepada Andin dan Ayu karena memang ia yang salah. Tak seharusnya ia mengabaikan pesan-pesan di grupnya.
"HP lo padahal aktif, Jeng." ucap Ayu yang sebenarnya sudah tidak terlalu marah dengan Ajeng. Tetapi, masih ingin tahu apa yang dilakukan Ajeng kemarin itu.
"Ya namanya juga lagi sama gebetan. Mana bisa liat-liat HP? Bisa kehilangan momen, dong." sambung Andin.
"Sorry banget. Beneran nggak bakal gue ulangin."
"Padahal ya, kemarin itu ada kabar bagus. Tapi karena lo lagi lupa daratan, jadi kelewat deh lo!" tukas Ayu.
Mendengar apa yang Ayu katakan, Ajeng ingin bertanya lebih banyak lagi. Tetapi, bel masuk sudah berbunyi yang membuat siswa-siswi yang masih berada di kantin itu langsung berlari menuju kelas masing-masing sebelum guru masuk ke dalam kelas. Tak terkecuali Ajeng, Andin dan Ayu.
"Jadi, kalian maafin gue, kan?" tanya Ajeng yang hanya dibalas dehaman oleh kedua sahabatnya.
"Kalo gitu, gue mau tau yang kemarin, ya."
"Nggak." balas Ayu.
"Males." Andin ikut menolak.
"Gue traktir bakso depan, deh. Tapi, kalian cerita, ya." bujuk Ajeng.
Andin dan Ayu pura-pura berpikir sampai guru masuk.
"Gimana ntar." putus Andin dan mereka semua fokus pada pelajaran sekarang. Urusan misi, biar dibahas kembali nanti.
Selesai pelajaran, Ajeng langsung menahan Andin dan Ayu. Takut mereka berdua kabur dan tak memberikan penjelasan tentang masalah kemarin.
"Kalian jangan pulang dulu pokoknya. Jelasin dulu ke gue kemarin gimana."
"Iya. Ayo deh jajan bakso. Gue laper!" balas Ayu yang berjalan terlebih dahulu meninggalkan Ajeng dan Andin.
"Nah kalian pesen dulu aja." ucap Ajeng begitu mereka sampai di warung bakso.
"Ini beneran kan lo yang bayarin? Jangan pas udah makan, tiba-tiba lo alesan." tanya Andin yang masih tak percaya dengan Ajeng.
"Beneran ini. Asli. No tipu-tipu." balas Ajeng pasti.
"Untung, gue dikasih duit lebih. Nggak apa-apa deh tekor sekarang. Demi lancarnya misi." batin Ajeng.
"Jadi, gimana?"
"Sabar. Makan dulu baru cerita." Andin sibuk dengan saus dan sambal yang akan menambah rasa di baksonya.
"Ah elah. Sambil makan juga kan bisa!" Ajeng tampaknya tidak terlalu sabar.
"Nggak sabaran, skip."
"Ih iya dong jangan gitu. Makan aja dulu kita." putus Ajeng yang sebenarnya lebih kepada pasrah.
Ia juga menyantap baksonya agar cepat habis dan Andin juga Ayu menceritakan semuanya.
"Udah bisa cerita belum?" tanya Ajeng.
"Udah. Ayu cerita, Yu." tunjuk Andin kepada Ayu yang membuat sang emounya protes.
"Lah? Gue kira lo yang mau jelasin? Kok malah gue?"
"Udah siapa aja." Ajeng menengahi.
"Jadi, kemarin panas banget, Jeng. Mana kita bolak-balik mulu, ngikutin ke sana ke mari. Belum lagi si Zafir bawa motornya ngebut banget. Mana kepergok, lagi." ucap Ayu.
"Bisa ke intinya aja, nggak? Gue nggak nanya prosesnya tapi gimana orangnya?" tanya Ajeng.
"Jadi, lo nggak ngehargain kerja keras kita, gitu?" Ayu mulai berdrama.
Sedangkan, Andin masih belum memulai perannya dan tetap memantau mereka sambil menyeruput es teh lemonnya.
"Jadi, Zafir ini beneran kayak yang lo bilang, Jeng." Ayu mulai meneruskan ceritanya.
"Kayak yang gue bilang gimana?" tanya Ajeng penasaran.
"Yang kata lo kebalikannya itu, lho. Jadi, Zafir nggak punya waktu buat Andin itu bukan karena selingkuh. Tapi, karena orang tuanya sakit. Jadi, dia itu mau ngurus orang tuanya dan kalo dia masih punya pacar, ia takut nggak punya waktu buat pacarnya. Makanya, dia mutusin Andin."
Mendengar penjelasan Ayu, Ajeng tampak puas dan menurutnya, Zafir ini sudah masuk ke kriteria yang ia cari-cari selama ini.
"Akhirnya." batin Ajeng.
"Terus, yang kalian kepergok itu gimana?" tanya Ajeng.
"Itu karena kita grasa-grusu di depan rumahnya dan nyenggol pot. Ya tapi kalo kita nggak kepergok, kita nggak bakal tau juga keadaan si Zafir ini gimana." balas Ayu.
"Berarti, Zafir ini masuk banget ya sama kriteria yang kita cari selama ini. Jadi, fix ya dia masuk list."
Ajeng mengeluarkan catatannya dan menuliskan nama Zafir di sana. Tetapi, Andin yang tadinya hanya diam saja, kini menarik buku yang Ajeng pegang.
"Lho, kenapa, Ndin?" tanya Ajeng.
Wajah Andin terlihat kurang menyenangkan.
"Nggak usah jadiin Zafir target!" ucapnya tegas.
"Lho, tapi dia cocok banget masuk daftar mantan organik." balas Ajeng yang tak terima kalau targetnya harus dilepaskan begitu saja.
"Soalnya dia nggak jomlo!"
"Maksudnya?" tanya Ajeng penasaran.
"Zafir balikan sama Andin." jawab Ayu yang membuat Ajeng melongo tak percaya.