MANTAN ORGANIK 11 - MANTAN YANG BAIK

2117 Words
"Jadi, kalian setuju?" tanya Andin yang langsung diangguki oleh Ajeng dan Ayu. Orang yang disarankan Andin adalah mantannya sendiri. Yaitu, Zafir. Ya, tiba-tiba saja nama itu terlintas di kepala Andin. "Eh, tapi ini bener?" Andin yang menyarankan. Tetapi, dia pula yang malah ragu dengan sarannya sendiri. Hal itu membuat Ajeng menjitak kepala Andin pelan. "Aw. Lo kok malah jitak gue, sih?" "Ya lo nih aneh. Lo yang nyaranin, lo juga yang ragu. Kenapa, sih?" Andin menunjukkan deretdan giginya yang membuat Ajeng merasa semakin kesal kepada sahabatnya yang satu ini. "Kayaknya, dia nggak bakal masuk ke kriteria yang lo cari, deh." "Kalo gitu, kenapa lo nyaranin dia, bodoh?" celetuk Ayu. "Jadi, gue dulu putus sama dia karena dia nggak pernah punya waktu buat gue." "Ya, terus?" "Jangan dipotong dulu, kek. Ini gue mau jelasin!" Andin memutar bola matanya malas. Tetapi, setelah itu ia kembali menjelaskan kepada kedua sahabatnya. "Ternyata, dia malah nyelingkuhin gue. Dia selingkuh, Guys." Bukannya memberi respons, Ajeng malah mengetuk-ngetuk dahinya seperti orang yang tengah berpikir serius. "Eh, tapi, ya. Menurut pengalaman--" "Lo nggak berpengalaman, Jeng. Nggak usah bawa-bawa pengalaman." potong Ayu yang sukses mendapat lemparan sukro dari Ajeng. "Bisa nggak, jangan bawa-bawa mulu masalah pribadi? Maksudnya, pengalaman mencari target, ya!" "Pengalaman apa? Kan, yang diselidiki baru Dimas." Baik Ayu maupun Andin, kalau sudah bicara hanya memancing emosi Ajeng saja. Tetapi, ia harus sabar karena tidak ingin kedua sahabatnya itu kembali kabur. "Gini, semua taunya kan si Dimas cowok baik-baik, ya. Bahkan terlalu baik. Tapi, nyatanya dia begitu. Nah, siapa tau malah sebaliknya. Kalo kita nggak nyari tau, nggak bakal tau. Jadi, kita jangan cuma menilai seseorang dari luarnya aja." Andin dan Ayu mengangguk-angguk tanda mengerti. "Tumben pemikiran lo mantep." "Bener. Bisa mikir juga lo." "Yeu! Ini gue serius, Guys. Jadi, mau mulai kapan?" Mereka bertiga sibuk merundingkan tentang memata-matai Zafir dengan beberapa strategi. "Andin, lo kan mantannya. Pasti, tau dong rumahnya? Lo yang mantau, ya." "Dih, kalo ketauan, mau ditaruh di mana muka gue?" "Nggak bakal. Kan, tadi gue udah kasih trik lainnya." "Ya udah oke, deh." Rencananya, hari ini mereka akan menjalankan misi memata-matai mantan Andin itu. Tetapi, sepertinya kegiatan mereka akan melalui sedikit drama. Apa itu? Kita ketahui nanti. Kali ini, mereka berpakaian lebih santai dari kemarin. Ya, mereka tidak menggunakan pakaian yang membuat mereka dicurigai oleh siapapun. Salah-salah, mereka disangka intel. Oh, ya. Yang ditugaskan memata-matai Zafir adalah Andin dan Ayu. Sementara Ajeng? Nah, mari kita putar balik bagaimana kejadian ini akan dibumbui drama-drama. *** Ajeng mengetuk-ngetuk sepatunya ke atas ubin putih yang agak kotor di koridor sekolahnya. Ia merasa kesal karena lupa kalau ada tugas dan tidak ia kerjakan. Alhasil, ia dikeluarkan dari kelasnya. "Lho, Ajeng? Ngapain di sini? Bukannya masih belajar?" tanya seseorang. Kepala Ajeng yang semula menunduk itu terangkat perlahan saat mendengar suara yang menurutnya cukup familiar. Benar saja, Dafa kini berada di hadapannya. "Duh, mau di ke manain ini muka gue?" batin Ajeng. Ajeng tentu tengsin karena bertemu Dafa saat dirinya dikeluarkan dari dalam kelas. Bisa hancur reputasinya di depan gebetan. "Em, itu, anu..." Ajeng mencoba berpikir lebih keras. "Anu apa? Mending ke kantin gak, sih? Lo nggak kesel duduk di sini?" tanya Dafa. "Tapi, Kak." "Halah nggak usah tapi-tapian. Gue tau lo dikeluarin dari kelas, kan?" Ajeng menutup matanya erat. Bagaimana bisa Dafa tahu hal ini? Tamat sudah riwayatnya. Eh, tapi ini kan masih jam pelajaran. Lalu, apakah Dafa juga dikeluarkan dari kelas? Ajeng mendadak kembali percaya diri dan bertanya. "Lo juga, Kak?" tanya Ajeng dengan polosnya. "Gue? Ya nggaklah. Lagi jamkos terus gue belum sarapan tadi. Jadi, makan aja.” jawab Dafa. Oalah anjir. Malu banget gue! - teriak batin Ajeng. Gadis itu meremas ujung seragamnya karena menahan malu. Bisa-bisa ia terlalu percaya diri dengan bertanya seperti itu. "Udah, nggak usah malu gitu, deh. Lupa tugas tuh manusiawi." "Berarti lo juga pernah?" "Nggak, sih." Kalau saja Dafa bukan gebetannya, sudah ia tempeleng kepalanya. Bisa-bisanya lelaki itu membuatnya merasa percaya diri lalu dijatuhkan kembali. "Kak, gue kayaknya balik ke kelas duluan, deh. Jam pelajaran matematika udah habis. Kalo gue telat jam pelajaran selanjutnya, malah jadi masalah lagi." ucap Ajeng sambil melirik jam tangannya. "Oke." Namun, saat Ajeng hendak pergi dari sana, Dafa kembali memanggilnya. "Ajeng!" "Iya, Kak?" "Gini, gue dapet tiket nonton 2." "Oh, bagus dong. Berarti lo bisa nonton dua kali." sahut Ajeng yang membuat Dafa menggeleng kesal. "Gue mau ngajak lo nonton pulang sekolah nanti. Bisa, kan? Bisa ajalah. Gue tunggu depan gerbang." Niatnya, Ajeng yang ingin pergi duluan ke kelas. Tetapi, kenyataannya sekarang Dafa malah beranjak terlebih dahulu dan meninggalkannya yang masih terpaku. "Itu tadi..." gumamnya. Ajeng yang memang agak lemot ini masih mencerna apa yang dikatakan Dafa. Ah, sebenarnya ia masih tidak percaya. Kalau ini mimpi, ia lebih baik tidak bangun. Setelah sadar, Ajeng pun kembali ke kelasnya dengan kondisi senyum-senyum sendiri karena diajak nonton oleh pujaan hatinya. "Ih, dasar orgil. Abis dikeluarin dari kelas, masuk-masuk nyengir gitu." komentar Andin. Lain dengan Andin yang berkomentar, Ayu malah menyentuh dahi Ajeng dengan punggung tangannya. Ia memastikan kalau sahabatnya itu tidak sakit. "Beneran nggak panas, kok. Lo kenapa, deh?" Ajeng hanya menggeleng dengan senyum yang masih tercetak di bibirnya. Andin dan Ayu hanya menebak kalau Ajeng habis bertemu Dafa. Siapa lagi? *** Nah, ini kejadian yang membuat Ajeng malah tidak ikut menjalankan misi kali ini. Kita kembali kepada Andin dan Ayu yang mulai mencari tahu tentang Zafir. "Lo yakin dia dulu selingkuh?" bisik Ayu kepada Andin. "Iya." sahut Andin. "Kok gue kayaknya nggak yakin, deh." "Lah? Kan yang dulu pacaran sama dia dulu gue. Kok lo malah meragukan gue, sih?" Andin mendelik kesal. "Ya ini kan cuma analisa gue aja kali." balas Ayu yang merasa kalau pemikirannya ini kuat. "Eh, mau ke mana, tuh?" bisik Ayu yang melihat Zafir keluar dari rumahnya dengan tergesa-gesa. "Ah, paling mau ketemu ceweknya." jawab Andin sekenanya. "Jangan gitu. Ayo, kita ikutin!" Kedua gadis itu mengikuti Zafir yang mengendarai sepeda motornya cukup kencang. Untung saja, mereka tidak menabrak karena ikut berkendara dengan kencang juga. "Ini Ajeng mana deh? Kok nggak keliatan? Anaknya stand by di mana sih?" gerutu Andin yang tak menemukan Ajeng di ruang obrolan mereka. "Eh, kok ke apotek?" gumam Ayu yang membuat Andin menutup kembali ponselnya. Sepertinya, apa yang Ayu katakan ini lebih menarik daripada memikirkan Ajeng. "Ngapain ya dia ke apotek?" "Ya, jelas beli obat, lah. Lo pikir di apotek mau isi pulsa?" Ayu melirik ke arah Andin yang memberikan pertanyaan tidak bermutu semacam itu. "Ya, iya gue tau. Maksudnya, beli obat buat siapa?" "Kalo lo nanya gue, gue nanya siapa, dong?" "Nanya rumput yang bergoyang. Udah ah. Berisik lo!" *** Meninggalkan kedua sahabat Ajeng yang tengah fokus dengan pekerjaan mereka, kita lihat Ajeng yang kini sudah berada di gedung bioskop bersama Dafa. Sebenarnya, Ajeng tidak benar-benar lupa dengan misinya bersama Andin dan Ayu. Tetapi, dengar sendiri bukan kalau Dafa tidak bertanya terlebih dahulu dan malah memaksanya pergi. Jadi, Ajeng tidak bisa menolak. Oh, ayolah. Siapa juga yang akan menolak kesempatan emas seperti ini? Hal yang sebelumnya hanya ada dalam angan-angannya saja, kini ada di depan matanya. Mana mungin ia lepaskan begitu saja. "Ajeng, kok lo malah ngelamun?" tanya Dafa. "Eh, nggak kok. Gue nggak ngelamun." balas Ajeng. "Lo jangan ngelamun, ini kita mau nonton film horor. Gue nggak mau ya lo ntar tiba-tiba kesurupan." ucap Dafa. "Biarin, biar lo malu." balas Ajeng yang membuat Dafa tertawa. Bagus, Ajeng. Ia sudah berani membuat Dafa tertawa tapi hatinya malah porak poranda. Kedua muda mudi ini menonton dengan serius meski tak jarang Ajeng menutup matanya dengan kedua tangannya. "Eh, tiketnya dibeli pake uang, ya. Jangan nutup mata, Jeng. Sayang." Melupakan kata yang Dafa katakan sebelumnya, Ajeng malah hanya menangkap kata sayang yang Dafa katakan. Dia salah tangkap. Heh, sadar lo! - batin Ajeng, yang rasanya ingin memukul kepalanya sendiri. "Apaan? Itu kan tiketnya lo dapet. Jadi, nggak usah ngerasa rugi, deh." balas Ajeng. Lupakan hatinya yang masih berdebar karena terlalu percaya diri. Sebenarnya, Ajeng bingung jantungnya berdebar karena Dafa atau karena film horor yang tengah mereka tonton saat ini. "Habis ini mau ke mana?" tanya Dafa setelah film yang mereka tonton selesai. "Baliklah." jawab Ajeng. "Ya udah, oke." *** Kembali pada Andin dan Ayu yang masih berada di tengah-tengah misinya mengikuti mantan Andin yang berada di apotek. "Lah, mau ke mana lagi tuh dia?" "Balik, oon. Itu arah ke rumahnya." balas Andin. Perginya Zafir ke apotek membuat tanda tanya besar di kepala Andin. Ia mendadak khawatir kalau sang mantan tengah sakit. "Ah, ngapain gue pikirin? Udah mantan ini." batinnya. "Eh, Ajeng udah ngabarin belom? Itu anak jangan-jangan molor." "Belom ada kabar. Gue udah update posisi padahal." "Ck! Ini dia yang punya kerjaan, malah ngerjain kita!" gerutu Ayu. Mereka masih memantau Zafir yang masuk tergesa-gesa ke dalam rumahnya. Andin semakin merasa kalau ada sesuatu yang tidak beres menimpa mantan kekasihnya itu. "Lo bengong mulu, Ndin? Awas kesambet. Mikirin apa, sih?" "Itu... Gue tiba-tiba kepikiran Zafir, deh." "Lo belum move on, ya?" goda Ayu. Andin hanya mengangkat bahunya. Ia tidak tahu bagaimana pastinya. Tetapi, ia selalu kesal mengingat dirinya yang diselingkuhi. "Lo denger gak?" tanya Ayu. "Denger. Gue nggak b***k. Tapi gue males jawab." balas Andin dengan nada kesal. "Bukan itu, dodol. Gue paham lo belum move on. Ini, lo denger yang batuk-batuk gak?" "Oh itu. Ngomong dong, anjir. Iya denger." "Wah, jangan-jangan Zafir beneran sakit." batin Andin. "Yeh, malah ngelamun lagi." "Yu, jangan-jangan Zafir sakit lagi." Wajah Andin terlihat begitu panik. Ayu jadi ikut panik juga. "Jangan mikir yang aneh-aneh dulu." Sialnya, grasak-grusuk mereka membuat pot yang berada di samping kaki Ayu tersenggol. "Siapa?" teriakan dari dalam rumah Zafir membuat Andin dan Ayu membeku. Upaya kabur mereka tidak berhasil karena lelaki itu sudah membuka pintu rumahnya. Andin benar-benar malu. "Habis dah gue!" teriaknya dalam hati. "Andin?" Zafir tidak bisa menahan keterkejutannya saat melihat sang mantan kekasih berada di depan rumahnya. "Ehehehe. H-hai." sapa Andin sambil tertawa getir. Tanpa bertanya apa yang Andin lakukan, lelaki itu malah mempersilakan kedua gadis itu masuk ke dalam rumahnya. "Dia nggak jahat, kan?" bisik Ayu sangat pelan saat hendak melangkahkan kakinya ke dalam rumah Zafir. "Nggak." balas Andin cepat. Ia tengah berusaha mencari alasan yang tepat jika saja Zafir bertanya mengenai keberadaannya di depan rumah sang mantan kekasih. "Minum dulu." Andin mengangguk dan tersenyum kaku. "Ini kita nggak bakal diculik, kan?" Lagi-lagi, Ayu membisikkan hal yang menurut Andin tidak masuk akal. Ayu ini sepertinya terlalu sering menonton drama sehingga membuat pikirannya kadang di luar nalar. "Nggak, lah." "Oh iya, kok kamu nggak bilang kalo mau ke--" "Eh ini, kita nggak sengaja lewat sini, kok. Terus, aku ngetes aja kamu masih di sini apa nggak rumahnya. Iya, gitu." Andin buru-buru memotong ucapan Zafir yang membuat lelaki itu tersenyum tipis. "Aku liat kok kalian ngikutin aku tadi." ucap Zafir. Anjir! Mampus gue! - Batin Andin dan Ayu berlomba-lomba berteriak. "Maaf ya, Andin." kata Zafir. "Eh?" Andin terkejut. "Iya, aku minta maaf banget sama kamu karena dulu aku--" "Udah nggak apa-apa. Namanya juga masa lalu." Lagi-lagi, Andin memotong pembicaraan Zafir. Padahal, Ayu ingin mendengar alasan Zafir. Mungkin, benar kata Ajeng kalau kejadiannya mungkin bisa saja terbalik dengan Dimas. "Dengerin aku dulu. Maaf ya kalo dulu aku bikin kamu kecewa dan bikin kamu mikir yang nggak-nggak. Maaf karena aku nggak pernah ada waktu buat kamu. Itu karena, aku harus rawat orang tua aku. Mereka sakit. Aku nggak mau pertahanin hubungan kita bukan karena aku nggak sayang sama kamu. Tapi, karena aku nggak mau kamu ngerasa nggak diperhatiin." Jadi, batuk-batuk yang mereka dengar tadi bukan dari Zafir melainkan orang tuanya. Rasanya, Andin ingin menangis saat ini juga. Ternyata, benar apa yang dikatakan Ajeng. Zafir ternyata lelaki baik-baik yang mereka cari. "Kenapa kamu nggak jujur aja, sih?" tanya Andin. "Aku nggak mau kamu punya pacar tapi kayak nggak punya pacar karena aku yang sibuk sama hal lain. Kamu bisa nemuin cowok yang lebih baik dari aku." Andin tak tahan lagi dan menangis pelan. "Eh, jangan nangis, dong." "Kamu, sih. Mana aku udah beneran mikir jahat tentang kamu. Kenapa, sih?" Diam-diam, Ayu membuka ruang pesan mereka bertiga dan memberikan kabar kepada Ajeng. "Aku tuh masih sayang sama kamu, tau! Males banget!" Ucapan frontal Andin membuat Zafir terkejut. Ya, sebenarnya keduanya memang sama-sama belum move on. "Maaf, ya." Ayu yang berada di antara mereka seperti menonton sebuah drama. Ponsel Ayu dan Andin berdenting menandakan ada pesan masuk. Ayu langsung membuka ponselnya, sedangkan Andin bahkan tidak sempat mendengar denting tersebut. Ajeng: Guys sorry... Pesan yang Ajeng kirimkan di grup mereka membuat Ayu jengkel. Kenapa hanya Ayu? Ya karena Andin yang tengah meluruskan masa lalunya itu belum membuka ponselnya. "Balik, yuk!" ajak Ayu yang membuat Andin mengernyit. "Ntar gue jelasin di jalan." bisik Ayu kepada Andin. "Oke. Aku pulang dulu, ya." kata Andin kepada Zafir. "Hati-hati." ucap Zafir sambil mengantar mereka ke depan rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD